"Nadia! Udah siap, 'kan?!" teriak floor director. Nadia menatap, mengacungkan ibu jari lalu berdiri mundur beberapa langkah. Kedua matanya menatap semua model catwalk yang akan membawakan pakaian hasil rancangannya. "Oke, Nadia, here we go," gumamnya. Ia mendongak, tersenyum ceria. "Get ready girls! Its show time! Good luck!" teriaknya memberi semangat kepada para model. Nadia bersedekap, dentuman musik mengiringi para model mulai berjalan ke arah panggung. Lampu sorot juga lampu kamera penonton yang hadir membuat semua fokus ke arah model dan baju yang diperagakan. Ini memang bukan kali pertama Nadia memamerkan karyanya dalam setahun kebelakang, tetapi kali ini rancangannya masuk ke ajang bergengsi kelas dunia yang diadakan di Milan. Tidak mudah untuk tembus ke sana, harus karya apik juga saingan kuat. Nadia mengusung nama brand yang ia ciptakan bernama : Fovere, diambil dari bahasa latin yang artinya nyaman. Dua puluh lima baju ia siapkan, hiasan kepala bahkan asesoris lainnya
Ketika jarak yang membentang, nyatanya mampu membuat seseorang berubah sifat. Janji yang terucap, seolah menguap. Milan, kota yang indah hingga membuat Nadia betah. Walau tetap saja, sendirian tidaklah nyaman. Cerry, sang asisten juga sahabatnya di kota itu bersama suami, tidak dengan Nadia yang berjibaku dengan diri sendiri. "Hah ... mimpi buruk ketemu dia lagi. Janji apaan, bullshit! Empat tahun. Lose contact dari hari itu dan sekarang sekalinya ketemu senyum juga nggak. Fine! Forget him!" erang Nadia kesal bukan kepalang. Sudah dua jam sejak ia kembali ke kamar hotel, tak satu pun desain gaun pengantin pesanan sepupunya berhasil ia buat. Idenya buntu, otaknya mampet tersumbat Arlan. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Nadia memutuskan keluar dan have fun di salah satu club malam yang banyak didatangi model kelas atas juga desainer terkenal. Nadia menghubungi seseorang, ia menanyakan apakah ada akses khusus ke sana sehingga ia tak perlu menunggu antrian, tak masalah jika ia me
Nadia membalas pelukan. Empat tahun lamanya mereka berpisah, kini saat bertemu kembali tak ada canggung. Seperti hanya berpisah sebentar. "Kenan udah sekolah?" Arlan takjub dengan bibir penuh krimi pasta jamur dengan daging asap. "Iya. Kenan minta sekolah. Dia udah lancar baca. Bunda yang ajarin dia, Ayah yang arahin Kenan haruh ini itu. Jujur, kadang porsiku sebagai Mamanya cuma saat Kenan tidur minta dikelonin, nangis minta jajan es krim, atau saat benar-benar mau dimanja. Kenan kayak tau Mamanya fokus menjadi seseorang yang bisa dia banggakan." Nadia mengigit pizza keju pesanannya. Arlan mengusap kepala Nadia, seperti yang suka dilakukan pria itu. "Aku juga bangga, sangat," pujinya begitu tulus. "Waktu Cerry nikah, kamu sama Mama nggak dateng, kenapa?" Nadia meneguk bir dingin miliknya. "Menghindar ketemu kamu. Karena kalau saat itu kita ketemu, aku nggak bisa berhenti nggak kejar kamu, Nad, dan semua rencana bubar jalan." Arlan tertawa. Nadia berdeham, mengapa ia menjadi GR d
Nadia selesai membersihkan diri, ia beralih merapikan pakaian ke dalam koper besar yang akan ia bawa kembali ke Jakarta. Arlan tersenyum, menatap dengan penuh cinta wanita yang kembali bersamanya. Harapan baru tentang masa depan keduanya sudah di depan mata, Arlan masih harus melakukan satu hal lain, yaitu meluluhkan Kenan yang katany Nadia protektif kepadanya.“Kamu nggak mandi? Sana mandi, aku mau ke toko baju, mau beli untuk Kenan,” ujar Nadia tak lama setelah ia menutup koper. Terlihat berat hingga membuat Arlan segera beranjak, membantu Nadia meletakkan di pojok kamar.“Bilang kalau butuh bantuan, jangan sok kuat,” lirih Arlan lalu mengecup pipi Nadia. Suara bel pintu kamar terdengar. Nadia panik, itu pasti Cerry dan suaminya. Sedangkan Arlan tampak santai dan tenang. Ia segera memakai baju dan celana, sebelumnya ia hanya memakai boxer.“Arlan, kalau Cerry—““Kenapa? Kita pacaran, ‘kan?” Arlan mendekat ke pintu, Nadia tampak panik dan hanya bisa mengigit bibir bawahnya.“Nad— Heh
"Mama, Om itu suruh pergi!" omel Kenan. "Kenan, nggak sopan, Nak, nggak boleh gitu," tegur Risa. Ia lalu mengajak cucunya masuk ke dalam rumah yang ditempati Nadia. Arlan meringis, Nadia meraih jemari tangan Arlan lalu mengajak masuk ke dalam rumah. Kenan memanyunkan bibirnya, ia kesal saat melihat Arlan duduk di dekatnya. "Kenan, Mama mau bikin makanan dulu, temani Om Arlan, ya, Nak." Nadia beranjak, ia tersenyum ke Kenan lalu beralih ke Arlan yang menganggukkan kepala. Risa sendiri hanya senyam senyum, terlihat jelas jika Kenan tak suka dengan kehadiran Arlan. "Kenan, udah gede ya. Dulu masih bayi Om gendong, Kenan juga bobonya maunya sama Om," ujar Arlan sembari melirik ke Kenan yang mengganti acara di TV dengan remot. Kenan diam saja. Hingga beberapa menit kemudian Kedua lelaki beda usia itu saling diam. "Makanan siap, yuk, makan," panggil Nadia. "Kenan, ajak Om Arlan. Habis makan kita ke mal, katanya mau beli sepatu sekolah." Nadia mengatur piring. "Oh, iya, Kenan minggu
Gerakan Arlan guna meluluhkan hati Kenan terus dilakukan. Ia bahkan menyempatkan diri datang ke sekolah bocah itu. Padahal Nadia sudah melarang karena ia yang akan menjemput. Arkana keras kepala dan memaksa ke sekolah. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Kenan sudah masuk pekan ke dua sekolah dan info dari Nadia, jika Kenan lanjut les calistung juga drum band cilik hingga pukul tiga sore. Anak TK jaman sekarang, sekolahnya lama. Namun, asiknya di sekolah Kenan, ada jam tidur siang, jadi mirip day care. Arlan masih duduk di dalam mobil, ia memangku laptop, bahkan dirinya melakukan pekerjaan tapi tetap usaha dekat dengan Kenan. "Ya, halo," jawabnya sambil menjepit ponsel dengan bahu di telinga kanan. "Pak Arlan dicari Bu Ratu, apa bisa ke kantor lagi?" Duh, lupa. Arlan ada meeting jam empat dengan Ratu. Sekarang jam tiga kurang, jarak sekolah ke rumah Nadia lalu ke kantor lagi akan memakan banyak waktu. "Bisa," jawab Arlan sambil menggigit bibirnya, ia khawatir pa
Arlan menggendong Kenan yang tertidur di dalam mobil menuju ke dalam rumah Nadia. Wanita itu menyambut dengan senyuman."Hai," lirih pelan Arlan lalu mencium pipi Nadia. Wanita itu tersenyum seraya menutup pintu rumah. Harum masakan membuat air liur Arlan mengumpul di rongga mulut, ia melirik ke atas meja makan, benar-benar calon istri idaman.Nadia membuka pintu kamar Kenan, Arlan merebahkan perlahan tubuh bocah kecil itu, tak lupa melepaskan sepatu."Jangan dibangunin, biar aja," bisik Arlan."Kamu kemalaman, anakku tidur pake baju sekolah, jorok, Lan," keluh Nadia yang juga berbisik."Udah ... nggak papa, sesekali, kasihan capek banget. Sibuk gambar sama makan di ruang rapat. Terus sama Bu Ratu dibeliin pizza, kenyang banget Kenan."Nadia mengangguk. Arlan menarik pinggang Nadia, ia peluk erat dengan posisi dirinya duduk di kursi meja belajar Kenan."I Miss you," bisik Arlan seraya mengulum senyum. Nadia menangkup wajah Arlan."Aku juga," jawab Nadia. Ia mengecup kening Arlan lama.
Kenan menatap jutek ke Arlan yang duduk menikmati sarapan pagi di rumah Nadia. Dengan mulut penuh mengunyah sereal coklat dengan susu putih, Kenan sepertinya lupa semalam ia tidur dengan lelaki yang dipanggilnya Papa. Arlan tesenyum, lalu meneguk kopi, setelahnya ia bertopang dagu.“Nan, tidurnya nyenyak?” pertanyaan itu membuat Nadia melirik cepat. Ia takut masih pagi sudah terjadi perang dingin.“Hm.” Kenan menjawab dengan enggan.“Kamu tidur sama Om Arlan, Nan,” sambar Nadia dari pada Arlan yang bicara.“Kenan tau,” sambung bocah itu.“Kamu ingat?!” Alran memekik.“Ingat. Terus kenapa?” lirikan Kenan masih menunjukkan ketidak sukaannya.“Kenapa kamu sekarang judes banget. Semalam aja … minta panggil Om, Papa.”“Nggak boleh?” sinis Kenan lagi. “Kenan kenyang. Mama, Kenan mau nonton di kamar, ya.”“Nonton di sini aja, jangan di kamar,” larang Nadia.“Oke, Ma.” Dengan langkah enggan, Kenan menuju ke sofa yang semalam ditiduri Arlan. Lelaki itu menoleh ke Nadia.“Kenan gengsi, Lan, sab