“Dion! Pergilah sekarang, aku akan mengabarimu soal ibu kalau sudah berhasil menemukannya!” “Apa maksudmu? Berarti Tante Tina menghilang?” “Tidak, aku baru menerima telepon dari dokter yang bertanggung jawab kalau kamarnya dipindahkan!” Riti baru teringat obrolannya dengan Tama saat mereka bertemu kemarin, jika pria itu mengusulkan akan memindahkan ibunya ke tempat yang sama di rumah sakit Delizah. Maksud Tama adalah memudahkan pemantauan dan juga penjagaan pada dua wanita itu secara bersamaan. Selain lebih efesien, akan lebih hemat juga sebab di sana Riti tidak perlu memikirkan biayanya. “Oh, apa dia baik-baik saja?” tanya Dion curiga. “Ya! Cepat pergi, aku akan pergi bekerja juga!” Riti berkata sambil mendorong tubuh sepupunya keluar dari koridor rumah sakit itu. “Oke, Oke! Aku pergi kalau begitu!” Dion pergi setelah berkata dan pamit pada Riti. Riti bersyukur karena tidak harus repot-repot mengusir Dion pergi menjauh. Ia khawatir Tama akan cemburu karena melihat laki-laki l
“Lalu, apa ini?” kata Riti sambil menunjukkan foto di handphonenya. Tama melihat foto yang ditunjukkan Riti sekilas, ia sudah tahu tentang berita viral itu dari Jasin, tapi tidak menanggapinya karena sama sekali tidak benar. Jadi, seperti biasa ia merasa tidak perlu untuk menanggapinya. Namun, ternyata pengawalannya itu benar, demi melihat Riti begitu terpukul dan tidak percaya kepadanya. Sekarang ia merasa perlu untuk menghapusnya. “Itu bukan apa-apa, lagu sama sekali tidak melakukan apa pun dengan Yuna!” katanya. Riti tidak melihat Tama sedang berbohong, tapi bagaimana dengan Yuna yang terlihat dengan jelas ingin merebut suaminya. Kakaknya itu pasti tahu tentang berita itu, dan membiarkannya. Ia tidak melakukan klarifikasi sedikit pun terhadap adiknya yang menandakan Yuma memang sengaja. “Maafkan, aku!” kata Riti sambil meremas tangan Tama dengan lembut. Jasin yang mengemudikan mobil dengan serius, tiba-tiba melihat ke arah kaca spion di depannya. Ia melihat pertengkaran suami
“Kenapa? Apa kamu takut terjadi apa-apa padanya, jika mengumumkan pernikahanmu? Kalau kamu mengadakan pesta di sini, tidak menutup kemungkinan orang akan tahu persembunyianku! Jadi, mana yang akan kamu pilih aku atau dia?” tanya Delizah sambil menyimpan belatinya, yang sedari tadi ia mainkan untuk latihan. “Aku memilih ibu!” Delizah tersenyum mendengar ucapan anaknya itu. “Oh iya, Riti sekarang ada di sini, dia masih melihat ibunya, jadi, ibu lebih baik bersikap seperti dulu!” “Jadi, ibunya ada di sini? Apa dia sakit juga?” Delizah bertanya dengan raut wajah khawatir. “Ya!” “Kalau begitu, biarkan dia tahu wajah asliku!” kata Delizah sambil meraih belati, yang tadi ia simpan kemudian ia lemparkan ke pintu. Tama menghela nafas panjang, ia tahu Delizah tidak suka kalau dirinya datang di pagi atau siang hari sebab mengganggu jadwal latihannya. Beberapa bulan yang lalu, ia sempat cidera yang mengakibatkan ia harus duduk di kursi roda. Namun, sekarang luka di kakinya sudah tidak sak
“Ibu? Tama ... benarkah itu Ibumu?” bisik Riti hampir tak percaya. Ia melihat Delizah dengan penampilan yang berbeda dari saat pertama mereka bertemu. Ia tidak duduk di kursi roda, wajah dan badannya lebih segar serta rambutnya tidak beruban. Apa dia mengecat rambutnya, atau inikah penampilan aslinya? “Ya, dia ibuku!” sahut Tama, “Benar, kan? Riti hampir tak percaya kalau itu Ibu!” “Kemarilah!” Delizah memanggil Riti sambil mengeringkan rambutnya di depan meja rias. Riti mendekat sambil menunduk malu. “Ibu, maafkan aku, Ibu terlihat sangat muda dan cantik!” katanya. “Kemalkan, aku Delizah! Kita bisa berteman kalau sudah menikah!” Riti menyambut uluran tangannya, dengan gugup. Di saat yang sama, Delizah menarik tangannya dengan gerakan cepat, memutar lalu berusaha menjatuhkannya. “Hap!” Sebenarnya gerakan itu sangat biasa bagi Riti, tapi karena sebelumnya tidak waspada, Riti sedikit limbung dan bisa mengimbangi kejatuhannya sedikit. “Akh!” Riti memekik, sambil berusaha mengu
“Lalu, kenapa memangnya kalau dia mati? Dia ada atau tidak itu sama saja!” kata Kiran, seketika Marhen dan Yuna menoleh padanya.Yuna langsung mengangguk, memang benar ada atau tidaknya Tina, sama sekali tidak berpengaruh padanya. Namun, dari segi hati nurani ia masih menaruh simpati. Biar bagaimanapun juga, Tina pernah melahirkan dan membesarkannya. Aneh memang, kalau pihak rumah sakit yang tidak tahu ke mana perginya pasien itu.“Tapi—“ ucapan Yuna terputus.“Tenanglah, aku yakin dia baik-baik saja, atau mungkin pulang ke rumahnya, kalau Ibumu tiada, adikmu pasti mengabarkannya pada kita!” ujar Kiran dengan tenang.“Ya, kamu benar!” kata Marhen.Yuna begitu penasaran, hingga ia langsung beranjak dari duduknya, lalu pergi tanpa berpamitan pada Marhen atau Kiran. Ia mengendarai mobilnya sendiri menuju rumah lama kakeknya, yang dahulu pernah ditinggali oleh Riti dan ibunya. Namun, setelah sampai di sana ia hanya melihat rumah itu kosong. Suasananya sepi, tidak terurus, rumput
Tiba-tiba gerakan tangan Listi memfoto restoran dan makanan, terhenti di wajah Yuna.“Yuna! Kenapa aku pikir gadis itu mirip sekali denganmu, ya?” katanya.Yuna membeliakkan matanya dan tersenyum, lalu menggelengkan kepala. Pengendalian diri Yuna dalam menguasai perasaan sangat luar biasa, ia memang jago dalam berakting.“Ada-ada aja kamu, apa kamu punya fotonya biar aku bisa menyocokkannya dengan wajaku?”“Tidak, aku tidak punya, tapi wajah perempuan itu ada di otakku! Aku sama sekali tidak terpikirkan untuk merekam kejadian itu!”“Oh, syukurlah, untung saja tidak ada, bisa-bisa kamu buat gosip baru!”Dua wanita itu tertawa kecil, setelah selesai makan, mereka berpisah dan berjanji akan saling memberi kabar.Sementara itu di kota yang berbeda, Tama dan Riti sedang berbaring di sofa bed, dengan saling berpelukan. Tama tak henti-hentinya mencium Rti sambil memujinya, atas segala kelebihan Riti yang sebelumnya tidak ia ketahui.Riti hanya diam dan membiarkan kelakuan pria itu da
“Siapa sepupu sundal?” Tama bertanya dengan mengerutkan keningnya, karena membaca nama orang yang baru saja melakukan chatting dengan istrinya. “Dia sepupuku! Dia keras kepala dan angkuh, makanya aku sebut sundal!” jawab Riti setelah menguasai rasa gugupnya. “Oh!” Tama berkata sambil menyerahkan kembali handphone Riti. Saat itu, Delizah sudah menyiapkan diri dan kembali terlihat tua. Ia memakai rambut palsunya yang berwarna putih, hingga menyerupai uban. Waktu menikah dahuk, usia Delizah masih sangat muda, hingga saat Tama dewasa pun ia masih kuat dan bugar. Alasannya menyamar hanyalah alasan keamanan semata dan agar orang segan untuk menganiaya dirinya. Walaupun, ia memiliki pengawal yang baik, tapi tetap saja ia menutupi jati diri yang sebenarnya, untuk melihat ketulusan orang di sekitarnya. Tama sebagai anak pun tidak bisa berbuat banyak atas tindakan ibunya. Namun, dalam hati ia membenarkan juga. Selain karena keamanan, dalam posisi duduk di atas kursi roda bisa memungkinkan
Sekarang mereka sudah berada di depan ruang ICU. Tina sudah dipindahkan ke sana, di mana tidak ada orang yang boleh masuk kecuali, hanya yang berkepentingan saja.Selama menunggu Riti mengirim kabar kepada Yuna dan juga Dion, melalui pesan. Gadis itu merasa perlu untuk mengabarkannya, karena mengetahui keadaan Tina adalah hak dari saudaranya juga.Sementara hari sudah menjelang sore, baik Yuna maupun Dion tidak ada yang membaca pesannya, dikarenakan kesibukan mereka. “Tama, aku mengabarkan keadaan ibu kepada dua saudaraku, seandainya mereka ke sini, apa kamu mengizinkannya?” Riti bertanya pada Tama, sebelum mengirimkan alamat di mana rumah sakit itu berada.Walaupun, Tama tidak mengatakan secara langsung jika rumah sakit itu adalah miliknya, tapi Riti tidak bodoh. Ia bisa menyimpulkan sendiri—dari apa yang dilihatnya pada kamar Delizah dan juga ruangan ibunya—yang menunjukkan dengan jelas siapa pemiliknya.Oleh karena itu ia perlu meminta izin terlebih dahulu. Siapa tahu tempat