"Pak, ikuti mobil di depannya!" titah Tsabi cukup penasaran. Namun, ada keraguan yang melanda. Bukankah Shaka sekarang tengah ke luar kota, atau pria itu hanya berpura-pura. "Siap Non," jawab sang driver mengiyakan. Selama ini Tsabi buta akan semua tentang Shaka, bahkan pria itu datang begitu tiba-tiba. Terlebih kebiasaannya yang selalu ngilang malam hari, membuat Tsabi menaruh curiga. Mana ada pekerjaan kantoran yang berangkat malam pulang pagi. Sangat tidak wajar pada umumnya. Mobil terus melaju membelah jalanan. Mengikuti mobil gadis yang sepertinya paham akan sosok pria dewasa yang kini berstatus sebagai suaminya itu. Mobil itu turun di depan sebuah bangunan yang cukup asing bagi Tsabi. Mungkin dia belum pernah menjamah kawasan tersebut. "Turun di sini Non?" tanya Pak Supir menginterupsi. "Iya, bentar ya Pak, tunggu dulu, jangan ke mana-mana saya hanya sebentar," pesan Tsabi turun dari mobil. Mendekati perempuan yang baru saja keluar dari mobilnya. "Tempat apa ini?" tanya T
Tsabi terperangah mendapati suaminya menyusul. Bukankah Shaka di luar kota, atau jangan-jangan benar kalau pria itu hanya berkamuflase saja. "Assalamu'alaikum .... " Suara salam itu menggema di seluruh ruangan. "Waalaikumsalam ...," jawab Tsabi dan anggota keluarga lainnya. Tsabi hendak pamit saat Shaka datang. Membuatnya agak bingung dengan kemunculannya yang tiba-tiba tanpa berkabar. "Maaf Ummi, Abi, baru bisa berkunjung hari ini," ucap pria itu dengan oleh-oleh di tangannya. "Tak mengapa, kami tahu kamu sibuk. Tsabi, buatkan minum untuk suamimu, Nak!" titah Ummi Shali menginterupsi. Tsabi langsung beranjak ke dapur. Menyeduh kopi request ibunya. Tentu saja diperuntukkan untuk suami misteriusnya itu. "Minum Mas!" kata perempuan itu menaruhnya tepat di hadapan Shaka. Tak terbesit di pikiranya kalau pria itu akan menyusul. Padahal dia sudah merencanakan hal lain yang terancam gagal. "Terima kasih sayang," ucap pria itu terdengar menggelikan. Ini adalah panggilan langka, tetapi
"Tsabi berhenti!" pekik Shaka memanggil-manggil khawatir. Dia terdiam di pijakannya tak lagi mengejarnya. Takut istrinya semakin menjauh. Pikirannya sudah tak karuan, rasa cemas dan khawatir mendera di dadanya. Rasa kesal yang sempat menguasai emosinya berangsur menghilang berganti ketakutan melihat langkah kecilnya yang menjauh. Nyatanya langkah kaki Tsabi pelan terus mundur, dia muak dengan semua sikap Shaka. Tsabi sudah tidak tahan hidup dalam bayang-bayang pria dominan yang tak tahu perasaan dan bagaimana cara memperlakukan istrinya. "Ah, sial!" batin pria itu memaki. Merutuki kelakuannya yang kadang tidak bisa menahan diri. Dia langsung menghubungi seseorang untuk mencari cara lain membujuk istrinya untuk pulang. Tsabi sendiri tidak peduli lagi Shaka mau marah, atau bahkan akan membuangnya setelah ini. Dia lebih siap untuk tidak melanjutkan pernikahan ini daripada harus terjebak pernikahan dengan pria setengah waras itu. Langkah kakinya mundur dengan pasti, sekali lagi pria it
Sang dokter menatap dengan wajah menyesal. Membuat Shaka menanti penuh khawatir. "Maaf Pak, kondisi kehamilan Bu Tsabi sangat lemah, janinnya tidak bisa diselamatkan," ucap Dokter dengan berat hati. "Apa!" Seketika Shaka menjadi lemas. Calon pewaris yang sudah digadang-gadang hadir itu kini telah tiada dari rahimnya. "Tidak mungkin, tidak!" gumam Shaka setengah putus asa. Dia hampir tidak percaya kalau kini anaknya telah tiada. "Kenapa kamu nggak nurut Tsabi," batin pria itu marah. Andai saja istrinya tidak nekat keluar, pasti hal seperti ini tidak akan terjadi. "Apa pasien sudah boleh dikunjungi?" tanya Shaka setelah emosinya sedikit terkontrol. "Silahkan jenguk istri Anda Pak, tolong disemangati, kondisi Bu Tsabi masih belum stabil, mungkin dia juga shock mengetahui hal ini," kata Dokter mewanti-wanti. Shaka masuk ruang rawat dengan hati tak karuan. Berusaha menahan diri untuk tidak termakan emosi, walaupun hatinya masih sangat kesal, kecewa, dan marah. Saat Shaka masuk, Tsa
Apa katanya, pindah? Apa ini siasat Shaka untuk menjeratnya semakin jauh dari keluarga. "Kenapa harus pindah, aku tidak mau," tolak Tsabi lantang. Walaupun dia tahu keputusan suaminya tak bisa diganggu gugat. Dia ingin mengeluarkan aksi protesnya secara terang benderang. Bahkan dia sekarang sedikit tidak peduli dengan statusnya. "Apa kamu punya hak untuk menolak. Jangan membuat suamimu marah," kata pria itu dingin. Selalu tak peduli dengan perasaan istrinya yang mempunyai pendapat sendiri. Bagaimana rumah tangga bisa berjalan kalau tanpa kompromi begini. "Tapi kenapa kita harus pindah?" tanya wanita itu sungguh tak paham dengan kelakuan Shaka. "Aku pindah kerja, bukankah seharusnya seorang istri itu harus ikut ke mana pun suaminya pergi." Pindah kerja? Benarkah? Bukankah dia yang mengendalikan semua perusahaan miliknya. Lalu pindah kerja ke mana yang dia maksud. "Benarkah? Berarti aku sekarang boleh tahu pekerjaanmu apa?" tandas Tsabi ingin mendengarkan kejujurannya. "Bukankah
"Apa?" tanya pria itu kebingungan memaknai bahasa tubuh istrinya. "Ganti perempuan lah, mana kamu ngerti," jawabnya sewot. Kesal sekali rasanya. "Ganti yang mana? Katakan yang jelas, aku tidak mengerti kode-koden. Nambah pekerjaan aku saja," ujar pria itu ikutan kesal. "Kalau nggak mau direpotin ya nggak usah punya istri. Aku bisa berangkat beli sendiri," sahut Tsabi sensi. Moodnya sedang tidak baik-baik saja, malah mentalnya disentil ya sudah sekalem apa pun bentuk perempuan itu bakalan ngamuk. Seketika kening Shaka berkerut-kerut, berpikir apa yang dimaksud istrinya, dia baru ngeh kalau saat ini Tsabi baru saja keguguran dan tentu saja memerlukan benda penting itu. "Ish lama," protes Tsabi gemas. Berlalu dari hadapan Shaka lalu beranjak keluar. "Tsabi, beli dari rumah kan bisa. Ngapain jauh-jauh ke luar rumah!" pekik Shaka menghentikan langkahnya. Pria itu berjalan cepat menghadang istrinya. Tsabi membalas tatapan tajam Shaka yang memperingatkan. Kali ini dia tidak takut sama
Shaka bergegas menuju pusat perbelanjaan terdekat. Melakukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Usai memarkirkan mobilnya, rasa hati ragu untuk masuk ke dalam. Namun, mengingat Tsabi yang tengah menunggu akhirnya mendekatkan hatinya. Pria itu berkeliling melewati lorong gondola, mencari-cari di mana benda penting itu berada. Saat menemukan deretan yang begitu beraneka ragam ia langsung mendekati merk yang sempat istrinya pilih saat memesan di ponselnya. Namun, pergerakan tangannya terhenti saat beberapa makhluk PMS lainnya memperhatikannya dengan rasa takjub. Pria itu menebalkan muka, dengan cepat mengambil beberapa pack dari rack lalu bergegas ke kasir. Soalnya sampai di sana cukup antri, membuat pria itu harus tertahan menunggu. Dengan perasaan kesal dan menggerutu berusaha sabar menunggu antrian pembayaran. Demi apa harus tertawan malu cuma gegara menuruti keinginan istrinya yang seumur hidup baru kali ini dia kerjakan. "Sialan! Gegara benda seperti ini gue harus ngantri kaya gini
Keduanya menuju mobil yang sudah siap menunggu di depan rumah. Pria itu lebih dulu membukakan pintu mobilnya untuk Tsabi, lalu berjalan cepat menyusul masuk. Duduk tepat di belakang kemudi. "Pakai sabuk pengamannya Tsabi!" interupsi Shaka pada istrinya yang nampak kesusahan. Refleks, pria itu mendekat lalu membantunya. Pergerakan Shaka yang begitu mendadak, tak ayal membuat Tsabi terkesiap sampai menahan napasnya. Ia terdiam dengan perasaan resah menguasai debaran jantung yang mendadak deg-degan. Tepat di saat pria itu terdiam di depannya menatap begitu dalam. Tsabi sampai menelan saliva gugup mendapati jarak mereka yang begitu dekat. Bahkan wangi maskulin dari tubuh suaminya begitu terasa. Pria itu terpaku kala merasakan wangi tubuhnya begitu menggoda. Manis, itulah rasa yang sempat tertangkap oleh indera penciumannya. Hingga menimbulkan gejolak bernama syahwat jika tidak sadar akan perjalanan keluar. "Sudah," kata Shaka menarik diri dengan perasaan yang sulit diartikan. Seperti