Tsabi hanya bisa memejam merasakan setiap jengkal napas suaminya menyusuri leher jenjangnya. Cumbuan basah itu membuat sensasi panas di antara keduanya makin menggelora. Memaksakan mulut mungil itu mengeluarkan desahan yang menggelikan. Rasanya pikiran dan hatinya ingin menolak, tetapi tubuh itu seakan menerima dengan begitu lepas. Merasakan sensasi yang baru pertama didapat. Membawa dalam ribuan angan dengan menekan sejuta rasa perasaan. Ia menggigit bibirnya kuat saat pria itu mulai menjelajah alam cinta di tempat yang lebih dalam. Memberikan jejak berkerlipan di bagian tubuh yang mana pun pria itu sukai. Memberikan tanda kepemilikannya di sana sini. Menyusuri tempat tersembunyi yang sebelumnya tertutup rapat belum pernah terjamah sama sekali. Dijamin masih ori. "Engh ... sshhtt ...." Tsabi mendesah plus mendesis secara bersamaan. Ia memberi jarak saat sesuatu yang tak terduga membuatnya tidak nyaman sama sekali. Mendorong dada bidang suaminya agar menjauh dari atas tubuhnya. Sh
"Untuk apa kamu di sini, biar Bik Lusi yang mengerjakan Tsabi," kata pria itu tak suka. "Tapi Mas, aku hanya membuat cemilan. Apa itu salah?" sahut perempuan itu bingung sendiri. Apanya yang salah, dia bahkan tidak mengerjakan sesuatu yang berlebihan. "Biarkan orang lain yang mengerjakan, untuk apa kamu repot sendiri," omel Shaka perhatian. Namun, kadang Tsabi dibuat tidak mengerti dengan sikapnya yang dingin dan aneh ini. Mengerjakan apa pun tak boleh, keluar rumah tak boleh. Hidup juga perlu bersosialisasi, tetapi nampaknya itu tidak berlaku untuk Shaka. "Biar saya saja Non," ujar Bik Lusi mengambil alih sebelum tuannya bertambah murka. Tsabi mencuci tangannya lalu beranjak dari dapur. Selera makannya tiba-tiba menghilang gegara teguran Shaka. "Ini tu setengah malam, kamu bisa meminta tolong lewat panggilan telpon daripada keluar kamar," ujar pria itu sembari berjalan ke arah kamar. "Nggak jadi, udah nggak lapar," sahut Tsabi kesal. Apanya yang salah, hanya aktivitas kecil yan
Tsabi mundur teratur seiring langkah kaki Shaka makin mendekat. Menatap tajam penuh intimidasi. "Jangan pernah menyentuh barang-barangku di kamar ini tanpa diminta, ngerti!" tekan Shaka galak. Padahal Tsabi hanya berniat menyinggahi saja, nyatanya dibuat shock atas perlakuannya. Apa jadinya kalau benar membuka ponsel itu, mungkin Shaka benar-benar akan melahapnya. Perempuan itu mengangguk ketakutan, tak menyangka respon Shaka semengerikan ini. Jujur perempuan itu makin penasaran dengan isi ponselnya yang tidak boleh tersentuh itu. Perempuan itu baru menghela napas lega saat Shaka memberi jarak. Beranjak dengan wajah kesal. Lebih dulu berbalik sebelum sempat mencapai pintu. "Jangan ke mana-mana!" katanya tegas. Menyorotnya tajam. "Tapi Mas, bukannya tadi katanya boleh, kok sekarang beda lagi. Aku sudah mengabari ummi kalau mau datang, beliau pasti sudah menunggu," balas Tsabi mengutarakan pembelaan hatinya. Dia bahkan sudah sangat senang diberi izin walau hanya satu hari. "Tadinya
"Pak, ikuti mobil di depannya!" titah Tsabi cukup penasaran. Namun, ada keraguan yang melanda. Bukankah Shaka sekarang tengah ke luar kota, atau pria itu hanya berpura-pura. "Siap Non," jawab sang driver mengiyakan. Selama ini Tsabi buta akan semua tentang Shaka, bahkan pria itu datang begitu tiba-tiba. Terlebih kebiasaannya yang selalu ngilang malam hari, membuat Tsabi menaruh curiga. Mana ada pekerjaan kantoran yang berangkat malam pulang pagi. Sangat tidak wajar pada umumnya. Mobil terus melaju membelah jalanan. Mengikuti mobil gadis yang sepertinya paham akan sosok pria dewasa yang kini berstatus sebagai suaminya itu. Mobil itu turun di depan sebuah bangunan yang cukup asing bagi Tsabi. Mungkin dia belum pernah menjamah kawasan tersebut. "Turun di sini Non?" tanya Pak Supir menginterupsi. "Iya, bentar ya Pak, tunggu dulu, jangan ke mana-mana saya hanya sebentar," pesan Tsabi turun dari mobil. Mendekati perempuan yang baru saja keluar dari mobilnya. "Tempat apa ini?" tanya T
Tsabi terperangah mendapati suaminya menyusul. Bukankah Shaka di luar kota, atau jangan-jangan benar kalau pria itu hanya berkamuflase saja. "Assalamu'alaikum .... " Suara salam itu menggema di seluruh ruangan. "Waalaikumsalam ...," jawab Tsabi dan anggota keluarga lainnya. Tsabi hendak pamit saat Shaka datang. Membuatnya agak bingung dengan kemunculannya yang tiba-tiba tanpa berkabar. "Maaf Ummi, Abi, baru bisa berkunjung hari ini," ucap pria itu dengan oleh-oleh di tangannya. "Tak mengapa, kami tahu kamu sibuk. Tsabi, buatkan minum untuk suamimu, Nak!" titah Ummi Shali menginterupsi. Tsabi langsung beranjak ke dapur. Menyeduh kopi request ibunya. Tentu saja diperuntukkan untuk suami misteriusnya itu. "Minum Mas!" kata perempuan itu menaruhnya tepat di hadapan Shaka. Tak terbesit di pikiranya kalau pria itu akan menyusul. Padahal dia sudah merencanakan hal lain yang terancam gagal. "Terima kasih sayang," ucap pria itu terdengar menggelikan. Ini adalah panggilan langka, tetapi
"Tsabi berhenti!" pekik Shaka memanggil-manggil khawatir. Dia terdiam di pijakannya tak lagi mengejarnya. Takut istrinya semakin menjauh. Pikirannya sudah tak karuan, rasa cemas dan khawatir mendera di dadanya. Rasa kesal yang sempat menguasai emosinya berangsur menghilang berganti ketakutan melihat langkah kecilnya yang menjauh. Nyatanya langkah kaki Tsabi pelan terus mundur, dia muak dengan semua sikap Shaka. Tsabi sudah tidak tahan hidup dalam bayang-bayang pria dominan yang tak tahu perasaan dan bagaimana cara memperlakukan istrinya. "Ah, sial!" batin pria itu memaki. Merutuki kelakuannya yang kadang tidak bisa menahan diri. Dia langsung menghubungi seseorang untuk mencari cara lain membujuk istrinya untuk pulang. Tsabi sendiri tidak peduli lagi Shaka mau marah, atau bahkan akan membuangnya setelah ini. Dia lebih siap untuk tidak melanjutkan pernikahan ini daripada harus terjebak pernikahan dengan pria setengah waras itu. Langkah kakinya mundur dengan pasti, sekali lagi pria it
Sang dokter menatap dengan wajah menyesal. Membuat Shaka menanti penuh khawatir. "Maaf Pak, kondisi kehamilan Bu Tsabi sangat lemah, janinnya tidak bisa diselamatkan," ucap Dokter dengan berat hati. "Apa!" Seketika Shaka menjadi lemas. Calon pewaris yang sudah digadang-gadang hadir itu kini telah tiada dari rahimnya. "Tidak mungkin, tidak!" gumam Shaka setengah putus asa. Dia hampir tidak percaya kalau kini anaknya telah tiada. "Kenapa kamu nggak nurut Tsabi," batin pria itu marah. Andai saja istrinya tidak nekat keluar, pasti hal seperti ini tidak akan terjadi. "Apa pasien sudah boleh dikunjungi?" tanya Shaka setelah emosinya sedikit terkontrol. "Silahkan jenguk istri Anda Pak, tolong disemangati, kondisi Bu Tsabi masih belum stabil, mungkin dia juga shock mengetahui hal ini," kata Dokter mewanti-wanti. Shaka masuk ruang rawat dengan hati tak karuan. Berusaha menahan diri untuk tidak termakan emosi, walaupun hatinya masih sangat kesal, kecewa, dan marah. Saat Shaka masuk, Tsa
Apa katanya, pindah? Apa ini siasat Shaka untuk menjeratnya semakin jauh dari keluarga. "Kenapa harus pindah, aku tidak mau," tolak Tsabi lantang. Walaupun dia tahu keputusan suaminya tak bisa diganggu gugat. Dia ingin mengeluarkan aksi protesnya secara terang benderang. Bahkan dia sekarang sedikit tidak peduli dengan statusnya. "Apa kamu punya hak untuk menolak. Jangan membuat suamimu marah," kata pria itu dingin. Selalu tak peduli dengan perasaan istrinya yang mempunyai pendapat sendiri. Bagaimana rumah tangga bisa berjalan kalau tanpa kompromi begini. "Tapi kenapa kita harus pindah?" tanya wanita itu sungguh tak paham dengan kelakuan Shaka. "Aku pindah kerja, bukankah seharusnya seorang istri itu harus ikut ke mana pun suaminya pergi." Pindah kerja? Benarkah? Bukankah dia yang mengendalikan semua perusahaan miliknya. Lalu pindah kerja ke mana yang dia maksud. "Benarkah? Berarti aku sekarang boleh tahu pekerjaanmu apa?" tandas Tsabi ingin mendengarkan kejujurannya. "Bukankah