"Makhluk apa yang kamu maksud, nang?" tanya Bu Silvana hendak memastikan.Federin tidak langsung menjawab. Ia masih tampak menggigil ketakutan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa situasi telah aman. "Genderuwo," jawab Federin dengan lirih yang membuat ibunya dan beberapa warga lain tersentak kaget. "Aku sudah mencurigai itu! Kematian warga kita, pasti karena ulah penunggu pohon beringin itu," sahut seorang bapak tua yang rumahnya berada persis di sebelah rumah Federin. "Kita harus lapor RT agar ia segera bertindak," sahut warga lain yang masih berada di sana. "Benar! Makhluk itu tidak bisa kita biarkan terus menerus mengganggu penduduk kita," ucap warga lain yang ikut menimpali. "Nang, kamu masuk ke dalam rumah ya? Ibu sama warga yang lain, mau pergi ke rumah Pak RT," ucap Bu Silvana pada putranya - Federin, yang segera menganggukkan kepalanya. Bocah itu pun gegas masuk ke dalam rumah. Sementara itu Bu Silvana dan warga yang lain, beramai-ramai pergi menuju k
"Nang? Bangun, Nang!" Bu Silvana berteriak keras sambil mengguncang-guncang tubuh Federin yang terlihat lemas. Mendengar suara keributan dari dalam kamar, Badang dan Gatot gegas masuk ke dalam untuk melihat apa yang telah terjadi. "Bu, ada apa? Apa yang terjadi, Bu?" tanya Badang dengan penasaran saat melihat ibunya yang mulai menangis histeris. "Adikmu, Dang...." Suara Bu Silvana terdengar serak disela-sela tangisannya yang sendu. "Kenapa Federin, Bu?" timpal Gatot yang terlihat tidak sabar menunggu jawaban dari ibunya. "Adik kalian sudah tidak ada." Ucapan Bu Silvana bagaikan petir yang menyambar di siang bolong bagi Badang dan Gatot yang saat ini telah berusia 20 tahun dan juga 18 tahun. Seketika tubuh mereka berdua lemas seperti tiada bertulang. Badang terduduk sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Sementara Gatot hanya termangu menatap adiknya yang terbaring di tempat tidur, dengan kedua mata yang tertutup untuk selamanya. ***Bendera kuning berkibar di halaman d
Triinggg triiinggg triiingggSuara dering telepon terdengar dengan nyaring, yang membuat Pak Clint yang sedang asyik menonton berita di televisi, segera beranjak dari sofa berwarna cream itu, untuk mengangkat gagang telepon. Ia meletakkan telepon itu di telinganya, menunggu seseorang yang berada di seberang telepon mulai bersuara. "Halo?" sapa suara asing dengan suara yang terdengar datar. "Bisa bicara dengan Pak Clint?" tanyanya hendak memastikan."Ya, halo? Dengan saya sendiri," sahut Pak Clint masih menajamkan pendengarannya, menunggu seseorang yang di seberang telepon itu menyampaikan maksud dan tujuannya."Kami dari petugas rumah sakit Sehat Medika, apakah benar, bapak yang bertanggung jawab atas pasien yang bernama Pak Johnson?" tanyanya lagi, kembali hendak memastikan. "Ya, benar. Bagaimana keadaan Bapak Johnson?" Pak Clint hening sesaat, menunggu jawaban dari seseorang yang berada di seberang telpon. "Saya sangat menyesal menyampaikan hal ini. Bahwasanya Bapak Johnson suda
"Sebaiknya bapak laporkan hal ini pada Pak RT dan aparat desa, agar mereka tahu asal usul desa ini dikutuk," ujar Pak Agus hendak beranjak dari Bu Edith. Tapi kepergiannya segera dicegah oleh wanita tua itu. "Tidak, pak! Jangan beritahu mereka," ucap Bu Edith dengan nada memohon, sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan."Lalu, apa yang akan ibu lakukan untuk menghentikan kutukan ini?" tanya Pak Agus hendak memastikan. Ia menatap raut wajah Bu Edith dengan sorot mata yang tajam. "Sebaiknya kita diam-diam saja, dan pindah dari desa ini, pak," jawab Bu Edith dengan enteng. "Apa? diam-diam dan pindah?" Pak Agus tersenyum kecut. Ia tidak menyangka bahwa istrinya memiliki pikiran yang licik. "Kamu hanya memikirkan dirimu saja, Bu. Aku tidak mau seperti itu. Aku akan melaporkan perbuatanmu pada aparat desa," ucapnya dengan tegas. Ia beranjak pergi dari hadapan Bu Edith yang terus memanggil suaminya. Tapi lelaki tua itu seolah tak menggubrisnya. ***Tok tok tokPak Agus mengetuk pint
Bu Edith terduduk lemas melihat suaminya - Pak Agus yang melenggang pergi meninggalkannya sendiri. Ia menangis tersedu-sedu, sambil menatap pintu rumahnya yang terbuka lebar. Sementara itu Nana yang sejak tadi mengintip dari balik pintu kamarnya, mulai memberanikan diri untuk menghampiri Bu Edith - ibu mertuanya. "Bu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya dengan penasaran. Ia menatap wajah wanita tua itu dengan tatapan yang serius. Tangisan Bu Edith terhenti seketika. Ia mengusap airmatanya dengan kasar, menatap wajah menantunya dengan sorot mata yang tajam. Wanita tua itu segera beranjak dari tempat ia duduk, meninggalkan Nana yang masih penuh dengan tanda tanya. Brak! Suara pintu yang dibanting dengan keras, telah membuat Nana tersentak kaget. Wanita tua itu telah masuk ke dalam kamarnya. Ia mengunci pintu, tanpa memberitahu keadaan yang sebenarnya pada Nana, menantunya yang telah ditinggalkan oleh Franky - putra bungsunya. *** "Kamu sudah yakin ingin memberitahukan apa y
Tok tok tokPintu rumah diketuk dengan nyaring. Aldous dan Martin saling pandang selama beberapa saat, sebelum Aldous kembali mengetuk pintu rumah Pak RT. Selang beberapa menit, pintu dibukakan oleh Pak Clint. Lelaki yang mulai menampakkan kerutan di wajahnya, menatap kedua bocah itu dengan tatapan heran. "Aldous? Martin? Ada apa ya?" tanyanya dengan penasaran. Kedua bocah itu tidak langsung menjawab. Mereka saling menatap selama beberapa saat."Begini, pak," ungkap Aldous yang mulai membuka suaranya. Ia terlihat ragu-ragu. "Ya, ada apa?" tanya lelaki itu, masih menunggu dengan sabar, kedua bocah itu untuk berbicara."Kami ingin mengungkapkan sesuatu pada bapak," lanjutnya setelah ia berhasil mengumpulkan keberaniannya. Kedua alis Pak Clint tampak mengerut. Menatap wajah Aldous dengan heran. "Mengenai apa ya?" tanyanya yang mulai tampak penasaran, seolah tidak sabar untuk menunggu. "Mengenai penunggu pohon beringin itu, pak," timpal Martin dengan cepat. Kedua mata Pak Clint ter
"Apa? Tidak mungkin itu suami saya, pak! Dia pamit padaku untuk pulang ke kampung halaman almarhum ibunya," ucap Bu Edith dengan perasaan tidak percaya. Jantungnya berdetak sangat cepat. "Kalau begitu, ibu bisa mengkonfirmasinya di rumah sakit. Mayat itu berada di rumah sakit," ucap Pak Clint dengan datar. Bu Edith segera mengikuti Pak Clint dan rombongan beberapa orang warga untuk melihat sendiri kebenarannya. Setibanya di kamar mayat, aroma busuk tercium memenuhi ruangan, yang membuat para warga ingin muntah, dan tidak sanggup untuk berada di ruangan itu untuk waktu yang lama. Mereka gegas keluar. Hanya tersisa Pak Clint, dan Bu Edith, juga salah seorang petugas rumah sakit yang menunjukkan mayat yang baru datang itu. Petugas membuka penutup kain yang menutupi seluruh tubuh mayat. Sementara itu Bu Edith memperhatikan secara detail mayat itu. Di jari manis tangan kanannya, terselip cincin perkawinan yang sama dengannya, yang membuat Bu Edith yakin bahwa itu adalah benar suaminya
Bu Edith menatap Nana yang terlihat sedang membersihkan meja makan setelah beberapa menit lalu meja itu dipakai untuk makan siang. Sorot matanya yang terlihat tajam, membuat Nana kikuk dan sedikit salah tingkah. Nana meletakkan piring-piring kotor ke dalam wastafel dengan sangat hati-hati. Kemudian, ia mulai mencuci piring-piring itu. "Berapa usia kamu?" tanya Bu Edith secara tiba-tiba, yang telah memecahkan keheningan yang berlangsung cukup lama. Nana menoleh, ia melihat wajah Bu Edith yang menatapnya tanpa ekspresi. Agak aneh. Nana tersenyum kaku. "Bukankah ibu sudah tahu? Usiaku 22 tahun," jawabnya dengan sedikit gugup."22 tahun?" ulang wanita itu dengan rasa tidak percaya. Nana hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan, menjawab pertanyaan ibu mertuanya. ***Bu Edith duduk di hadapan Kadita yang menatapnya dengan serius, menunggu wanita tua itu memberikan kabar baik padanya. "Sebentar lagi malam Jumat Kliwon. Apakah kamu sudah menemukan wanita yang aku minta?" tanya Kadi
Melihat pemandangan di depannya, membuat Bu Layla berteriak dengan histeris. Wanita itu merangkak untuk menghampiri tubuh suaminya yang terlihat tidak berdaya. Pak Khaled batuk berdarah, yang membuat Bu Layla semakin panik. "Bu, cepat bawa Xiena dan Xavier keluar dari rumah ini. Ajak juga putri kita, " ucapnya dengan suara yang lirih. Lelaki tua itu tampak sekarat. "Tapi kami harus ke mana Pak? " tanya Bu Layla dengan panik. Belum sempat Pak Khaled menjawab pertanyaan istrinya, ia yang melihat Esmeralda berjalan maju ke arahnya, berusaha sekuat tenaga untuk kembali bangkit, melindungi anak dan istrinya. "Cepatlah pergi, bu! " ucapnya yang segera berdiri di hadapan Esmeralda. Sementara Pak Khaled mengalihkan perhatian hantu wanita itu, Bu Layla dan Camelia pergi meninggalkan kamar sambil membawa serta Xiena dan Xavier. Mereka berhasil keluar dari rumah itu. Sedangkan Pak Khaled mendapatkan serangan bertubi-tubi yang membuat lelaki tua itu semakin tidak berdaya. Pak Khaled yan
"Bu, coba lihat siapa yang datang? " ucap Pak Khaled memberikan perintah. Bu Layla tidak menyahut. Ia segera beranjak dari tempat duduk nya menuju ke pintu depan. Saat ia membuka pintu dengan perlahan, ia membelalakkan kedua matanya karena terkejut. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang berdiri di depan pintu dengan wajah yang pucat itu, benar-benar Esmeralda. Dia sudah pulang setelah hampir satu bulan menghilang tanpa jejak, dan juga tiada kabar. Bu Layla melongo. "Ini beneran kamu Esmeralda? " tanyanya hendak memastikan. Wanita itu diam. Bibirnya mengatup rapat. Pandangannya kosong. Ia tidak menyahut pertanyaan yang telah diajukan oleh Bu Layla. Tatapan matanya terlihat kosong. Ia berjalan masuk ke dalam, melewati Bu Layla yang masih terbengong memandangi punggung Esmeralda yang semakin jauh dari hadapannya. wanita itu menuju ke kamar si kembar. Bu Layla yang tersadar dari lamunannya, bergegas masuk ke dalam rumah. Pak Khaled yang semula terlihat f
Tok tok tokSuara ketukan nyaring telah menyita perhatian Pak Khaled, Bu Layla dan Camelia yang sedang bermain dengan Xavier dan Xiena di ruang keluarga. Ketiganya saling menatap satu sama lain selama beberapa saat. "Siapa ya yang datang? " tanya Pak Khaled yang terlihat penasaran. Camelia hanya angkat bahu, lalu kembali mengalihkan pandangannya menatap wajah Xavier dan Xiena. Bu Layla yang menyadari bahwa dirinya yang harus membukakan pintu, segera beranjak dari tempat ia duduk. "Biar ibu saja yang buka, " ucapnya yang melenggang pergi menuju ke pintu depan. Raut wajah Bu Layla berubah saat ia melihat seseorang yang berada di balik pintu, yang telah mengetuk pintu rumahnya adalah Pak Clint. Sebuah senyuman tampak tercetak dengan jelas di bibirnya. "Pak Clint? Ada apa ya? Tumben sore-sore datang bertamu? " tanya Bu Layla hendak memastikan. Pak Clint terdiam selama beberapa saat. Wajahnya tampak memperlihatkan raut kebingungan dan gelisah, membuat Bu Layla menyadari bahwa ada
Seluruh bulu kuduk nya mendadak merinding. Esmeralda cepat-cepat masuk ke dalam mobilnya, dan kembali mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit yang sebelumnya telah di beritahukan oleh Bi Masha lewat pesan singkat di aplikasi hijau. Setibanya di rumah sakit, Esmeralda segera turun dari mobil. Ia keluar dari halaman parkir menuju ke lobby rumah sakit. Ia menemui resepsionis yang berjaga di sana. "Permisi, mbak. Saya mau menjenguk pasien atas nama Bu Aurora yang katanya sedang kritis, " ucap Esmeralda dengan raut wajahnya yang terlihat serius. "Oh, Bu Aurora ya? dia sudah dipindahkan ke rumah sakit umum Daerah yang ada di seberang sana, Bu! Keadaannya semakin parah. kedua matanya terus mengeluarkan darah. "Mendengar penjelasan dari petugas rumah sakit yang berjaga, membuat Esmeralda termangu selama beberapa saat lamanya. Lamunan Esmeralda terberai saat ia mendengar suara dering ponsel yang berbunyi keras dari dalam tasnya. "Baik, mbak. Terimakasih infony
Esmeralda melangkah dengan perasaan kecewa yang mendalam. Ia merasa patah hati setelah melakukan ritual sesajen itu, tapi tidak membuahkan hasil sama sekali. Tidak ada petunjuk atau tanda-tanda keberadaan bayi perempuannya. Bu Layla yang menyadari diamnya wanita itu, mengusap-usap dengan lembut bahunya seolah memberikan isyarat agar wanita itu tetap kuat dan bersabar. Kedatangan Mereka segera disambut oleh Camelia yang menghampiri mereka dengan raut wajah yang terlihat sangat antusias. "Bagaimana? Apakah Xiena sudah ditemukan? " tanyanya menyambar. Bu layla dan Pak Khaled saling menatap satu sama lain selama beberapa saat, lalu menggelengkan kepalanya dengan perlahan. Sementara Esmeralda hanya tertunduk dengan raut wajah yang murung. "Di mana Xavier, Mel? " tanya Bu Layla hendak memastikan. Ia merasa heran kenapa putrinya tidak bersama dengan bayi laki-laki itu. "Sehabis ku mandikan dan kuberi susu, dia tidur di kamar, " sahut Camelia menjelaskan. "Nduk, kamu kembali ke kamar s
Esmeralda tidak langsung menjawab. Ia terdiam selama beberapa saat lamanya. Wajahnya ia tundukkan dalam-dalam. Ia menarik nafas panjang, kemudian ia menghembuskan kembali secara perlahan. "Saya.... Dulunya menikah dengan orang sini, " ucap Esmeralda yang memulai ceritanya. Sementara Bu Layla dan Camelia tampak menyimak penuturan wanita itu. "Saya sempat tinggal di sini bersama dengan mantan suami saya. Ibu mertua saya kurang menyukai saya karena saya belum memiliki keturunan. Lalu saya tiba-tiba hamil. Tapi mantan suami saya malah menceraikan saya. Katanya dia mandul, bagaimana mungkin saya bisa hamil? Dia menuding saya selingkuh." Airmata kembali mengalir perlahan membasahi pipi Esmeralda. "Ya, saya merasakan ada yang aneh dengan kehamilan saya. Hanya beberapa bulan saja, tiba-tiba perut saya membesar, dan saya merasakan kontraksi yang hebat hingga saya tidak sadarkan diri. Saat saya terbangun, ibu mertua saya bilang bahwa bayi saya tidak selamat.""Lalu, apa yang terjadi? " tanya
*Special Part*Dokter wanita itu tertegun selama beberapa saat. Dia melirik wajah Esmeralda yang balas menatapnya, sebelum pandangannya kembali beralih menatap wajah sang perawat. "Ada apa dengan bayi lelaki itu?" tanyanya hendak memastikan. Dokter wanita itu menyerahkan bayi perempuan yang sejak tadi berada di tangannya, pada sang ibu yang segera menampungnya. Dokter itu berjalan perlahan menghampiri sang perawat yang kembali menatap bayi lelaki yang tidak bergerak sama sekali. "Dia tidak menangis, dan juga tidak bergerak, dok. Apakah dia sudah meninggal?" Perawat itu menatap wajah dokter yang berdiri di hadapannya dengan perasaan khawatir. Dokter itu kemudian menggendong bayi laki-laki itu. Dan benar, ia tidak merasakan nafas bayi itu. Dia memijat perlahan dada bayi itu, memberikan pertolongan. dia pikir, bayi itu tersedak air ketuban. Setelah beberapa menit ia berusaha, tapi hasilnya nihil. dokter mulai berputus asa. Dia menarik nafas panjang, dan menghelanya dengan kasar. D
Angin berembus dengan semilir. Pintu terbuka semakin lebar, yang membuat kedua mata Camelia dan Esmeralda terbelalak dengan lebar. Tak seorang pun yang berdiri di sana untuk membuka pintu. Padahal mereka sudah sangat yakin bahwa pintu kamar sudah ditutup dengan benar. Tidak mungkin terbuka oleh angin.Camelia dan Esmeralda saling menatap satu sama lain. Keduanya saling menelan ludah."Siapa yang membuka pintu itu? " Camelia menatap wajah Esmeralda dengan tatapan tajam.Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan perlahan. "Mungkin tadi saat Pak Kyai Khaled keluar, dia tidak menutup pintu dengan rapat, jadi terbuka sedikit oleh angin, " Sahut Esmeralda berusaha menenangkan dirinya dan juga putri Pak Kyai yang hanya menganggukkan kepalanya, setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh wanita itu."Ya, masuk akal juga, " Ucapnya dengan intonasi yang datar. Ia tersenyum kaku, berusaha menyamarkan perasaan takut yang sedang menguasai dirinya.Esmeralda balas tersenyum. "Biar aku tutup pin
Mendengar teriakan Camelia, perhatian Pak Kyai Khaled dan Bu Layla, segera tersita. Keduanya saling menatap satu sama lain selama beberapa saat, sebelum keduanya beranjak dari tempat mereka menuju ke dapur untuk melihat apa yang telah terjadi pada putri mereka.Keduanya tercengang saat melihat Camelia tergeletak di lantai dapur, dengan pecahan gelas yang sedikit basah.Mereka melangkah dengan hati- hati agar tidak terkena pecahan kaca, mendekati putri mereka yang tidak sadarkan diri."Nduk? " Pak kyai mengusap lembut wajah Camelia. Wanita itu sama sekali tidak merespon."Pak, kita bawa dia ke kamar saja, " Ucap Bu Layla dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran.Sementara Pak kyai Khaled membopong tubuh putrinya, membawanya ke kamar, Bu Layla membereskan pecahan gelas."Apa yang telah dilihat putri kita, pak? Sampai dia tidak sadarkan diri seperti itu, " Ucap Bu Layla menatap wajah Pak kyai, setelah wanita itu masuk ke dalam kamar putrinya, dan duduk di sebelah suaminya."Entahlah, Bu