"Nang? Bangun, Nang!" Bu Silvana berteriak keras sambil mengguncang-guncang tubuh Federin yang terlihat lemas. Mendengar suara keributan dari dalam kamar, Badang dan Gatot gegas masuk ke dalam untuk melihat apa yang telah terjadi. "Bu, ada apa? Apa yang terjadi, Bu?" tanya Badang dengan penasaran saat melihat ibunya yang mulai menangis histeris. "Adikmu, Dang...." Suara Bu Silvana terdengar serak disela-sela tangisannya yang sendu. "Kenapa Federin, Bu?" timpal Gatot yang terlihat tidak sabar menunggu jawaban dari ibunya. "Adik kalian sudah tidak ada." Ucapan Bu Silvana bagaikan petir yang menyambar di siang bolong bagi Badang dan Gatot yang saat ini telah berusia 20 tahun dan juga 18 tahun. Seketika tubuh mereka berdua lemas seperti tiada bertulang. Badang terduduk sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Sementara Gatot hanya termangu menatap adiknya yang terbaring di tempat tidur, dengan kedua mata yang tertutup untuk selamanya. ***Bendera kuning berkibar di halaman d
Triinggg triiinggg triiingggSuara dering telepon terdengar dengan nyaring, yang membuat Pak Clint yang sedang asyik menonton berita di televisi, segera beranjak dari sofa berwarna cream itu, untuk mengangkat gagang telepon. Ia meletakkan telepon itu di telinganya, menunggu seseorang yang berada di seberang telepon mulai bersuara. "Halo?" sapa suara asing dengan suara yang terdengar datar. "Bisa bicara dengan Pak Clint?" tanyanya hendak memastikan."Ya, halo? Dengan saya sendiri," sahut Pak Clint masih menajamkan pendengarannya, menunggu seseorang yang di seberang telepon itu menyampaikan maksud dan tujuannya."Kami dari petugas rumah sakit Sehat Medika, apakah benar, bapak yang bertanggung jawab atas pasien yang bernama Pak Johnson?" tanyanya lagi, kembali hendak memastikan. "Ya, benar. Bagaimana keadaan Bapak Johnson?" Pak Clint hening sesaat, menunggu jawaban dari seseorang yang berada di seberang telpon. "Saya sangat menyesal menyampaikan hal ini. Bahwasanya Bapak Johnson suda
"Sebaiknya bapak laporkan hal ini pada Pak RT dan aparat desa, agar mereka tahu asal usul desa ini dikutuk," ujar Pak Agus hendak beranjak dari Bu Edith. Tapi kepergiannya segera dicegah oleh wanita tua itu. "Tidak, pak! Jangan beritahu mereka," ucap Bu Edith dengan nada memohon, sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan."Lalu, apa yang akan ibu lakukan untuk menghentikan kutukan ini?" tanya Pak Agus hendak memastikan. Ia menatap raut wajah Bu Edith dengan sorot mata yang tajam. "Sebaiknya kita diam-diam saja, dan pindah dari desa ini, pak," jawab Bu Edith dengan enteng. "Apa? diam-diam dan pindah?" Pak Agus tersenyum kecut. Ia tidak menyangka bahwa istrinya memiliki pikiran yang licik. "Kamu hanya memikirkan dirimu saja, Bu. Aku tidak mau seperti itu. Aku akan melaporkan perbuatanmu pada aparat desa," ucapnya dengan tegas. Ia beranjak pergi dari hadapan Bu Edith yang terus memanggil suaminya. Tapi lelaki tua itu seolah tak menggubrisnya. ***Tok tok tokPak Agus mengetuk pint
Bu Edith terduduk lemas melihat suaminya - Pak Agus yang melenggang pergi meninggalkannya sendiri. Ia menangis tersedu-sedu, sambil menatap pintu rumahnya yang terbuka lebar. Sementara itu Nana yang sejak tadi mengintip dari balik pintu kamarnya, mulai memberanikan diri untuk menghampiri Bu Edith - ibu mertuanya. "Bu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya dengan penasaran. Ia menatap wajah wanita tua itu dengan tatapan yang serius. Tangisan Bu Edith terhenti seketika. Ia mengusap airmatanya dengan kasar, menatap wajah menantunya dengan sorot mata yang tajam. Wanita tua itu segera beranjak dari tempat ia duduk, meninggalkan Nana yang masih penuh dengan tanda tanya. Brak! Suara pintu yang dibanting dengan keras, telah membuat Nana tersentak kaget. Wanita tua itu telah masuk ke dalam kamarnya. Ia mengunci pintu, tanpa memberitahu keadaan yang sebenarnya pada Nana, menantunya yang telah ditinggalkan oleh Franky - putra bungsunya. *** "Kamu sudah yakin ingin memberitahukan apa y
Tok tok tokPintu rumah diketuk dengan nyaring. Aldous dan Martin saling pandang selama beberapa saat, sebelum Aldous kembali mengetuk pintu rumah Pak RT. Selang beberapa menit, pintu dibukakan oleh Pak Clint. Lelaki yang mulai menampakkan kerutan di wajahnya, menatap kedua bocah itu dengan tatapan heran. "Aldous? Martin? Ada apa ya?" tanyanya dengan penasaran. Kedua bocah itu tidak langsung menjawab. Mereka saling menatap selama beberapa saat."Begini, pak," ungkap Aldous yang mulai membuka suaranya. Ia terlihat ragu-ragu. "Ya, ada apa?" tanya lelaki itu, masih menunggu dengan sabar, kedua bocah itu untuk berbicara."Kami ingin mengungkapkan sesuatu pada bapak," lanjutnya setelah ia berhasil mengumpulkan keberaniannya. Kedua alis Pak Clint tampak mengerut. Menatap wajah Aldous dengan heran. "Mengenai apa ya?" tanyanya yang mulai tampak penasaran, seolah tidak sabar untuk menunggu. "Mengenai penunggu pohon beringin itu, pak," timpal Martin dengan cepat. Kedua mata Pak Clint ter
"Apa? Tidak mungkin itu suami saya, pak! Dia pamit padaku untuk pulang ke kampung halaman almarhum ibunya," ucap Bu Edith dengan perasaan tidak percaya. Jantungnya berdetak sangat cepat. "Kalau begitu, ibu bisa mengkonfirmasinya di rumah sakit. Mayat itu berada di rumah sakit," ucap Pak Clint dengan datar. Bu Edith segera mengikuti Pak Clint dan rombongan beberapa orang warga untuk melihat sendiri kebenarannya. Setibanya di kamar mayat, aroma busuk tercium memenuhi ruangan, yang membuat para warga ingin muntah, dan tidak sanggup untuk berada di ruangan itu untuk waktu yang lama. Mereka gegas keluar. Hanya tersisa Pak Clint, dan Bu Edith, juga salah seorang petugas rumah sakit yang menunjukkan mayat yang baru datang itu. Petugas membuka penutup kain yang menutupi seluruh tubuh mayat. Sementara itu Bu Edith memperhatikan secara detail mayat itu. Di jari manis tangan kanannya, terselip cincin perkawinan yang sama dengannya, yang membuat Bu Edith yakin bahwa itu adalah benar suaminya
Bu Edith menatap Nana yang terlihat sedang membersihkan meja makan setelah beberapa menit lalu meja itu dipakai untuk makan siang. Sorot matanya yang terlihat tajam, membuat Nana kikuk dan sedikit salah tingkah. Nana meletakkan piring-piring kotor ke dalam wastafel dengan sangat hati-hati. Kemudian, ia mulai mencuci piring-piring itu. "Berapa usia kamu?" tanya Bu Edith secara tiba-tiba, yang telah memecahkan keheningan yang berlangsung cukup lama. Nana menoleh, ia melihat wajah Bu Edith yang menatapnya tanpa ekspresi. Agak aneh. Nana tersenyum kaku. "Bukankah ibu sudah tahu? Usiaku 22 tahun," jawabnya dengan sedikit gugup."22 tahun?" ulang wanita itu dengan rasa tidak percaya. Nana hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan, menjawab pertanyaan ibu mertuanya. ***Bu Edith duduk di hadapan Kadita yang menatapnya dengan serius, menunggu wanita tua itu memberikan kabar baik padanya. "Sebentar lagi malam Jumat Kliwon. Apakah kamu sudah menemukan wanita yang aku minta?" tanya Kadi
Nana menggelengkan kepalanya pelan, melihat ujung keris itu semakin dekat dengan tubuhnya. Kemudian ia berteriak histeris. Teriakannya terdengar melengking panjang, sebelum darah muncrat membasahi seluruh wajah Kadita yang tampak tersenyum merasa puas. Sementara Bu Edith terlihat memejamkan kedua matanya karena tidak sanggup melihat pemandangan itu. Perlahan Kadita merobek dada Nana yang telah tewas dengan kedua matanya yang tampak melotot. Kemudian ia mengambil bagian organ tubuh wanita itu yang tampak lembek berwarna kecokelatan. Ya, itu adalah bagian hati Nana. Setelah berhasil mengeluarkan hati itu, Kadita tersenyum menyeringai. Senyumnya perlahan berubah menjadi tawa yang kian menggelegar.Kadita mendadak hening. Kedua matanya melotot, sebelum ia melahap dengan rakus hati yang telah ia dapatkan. Setelah habis, mulutnya terlihat penuh dengan darah. Kadita menjilat seluruh jarinya yang berlumuran darah. Sementara Bu Edith hanya menatapnya dengan jijik. Ia merasa mual, ingin mun