"Helios kenapa?" tanya Federin dengan raut wajah yang tampak panik, ia menatap wajah teman-temannya secara bergantian, yang hanya menggelengkan kepala. "Kita lihat, yuk!" ajak Aldous yang segera beranjak dari tempatnya berdiri, dan disusul oleh Federin, Harley, dan Martin. Bocah-bocah itu tampak tercengang saat mereka tidak menemukan temannya di balik pohon beringin. "Aneh sekali, bukankah dia tadi masih berada di sini?" ucap Harley dengan heran, dan disetujui oleh teman-temannya yang tampak menganggukkan kepala. "Ke mana dia? Apakah dia sedang mengerjai kita?" tanya Martin sambil menatap wajah teman-temannya secara bergantian. "Entahlah, kalau pun benar dia mengerjai kita, lihat saja nanti!" kecam Harley dengan kesal. "Sudahlah, ayo kita pulang saja! Sebentar lagi magrib," ajak Aldous yang segera pergi meninggalkan area perkebunan, dan disusul oleh teman-temannya yang lain. Sementara itu, Helios yang masih berdiri kaku di sana, menatap teman-temannya yang telah pergi, tanpa bi
"Franky?" Suara Pak Agus yang tiba-tiba muncul dari arah pintu toko, membuat perhatian lelaki itu tersita. Ia menoleh, melihat bapaknya yang berjalan menghampiri dirinya. "Kamu ngapain di situ?" tanya Pak Agus dengan heran sambil mengerutkan kedua alisnya menatap putranya itu. Franky tidak langsung menjawab. Ia masih menggigil karena takut. Perhatiannya kembali ia arahkan ke depan, di mana makhluk menyeramkan itu berada. Tapi kosong. Tak ada apa pun di sana. Franky segera beranjak dari tempatnya. Ia berjalan menghampiri bapaknya dengan raut wajah yang pucat. "Kamu kenapa? Nggak enak badan?" tanya lelaki tua itu hendak memastikan.Franky tidak menyahut. Sesekali tatapannya ia alihkan ke belakang. Ia masih penasaran, ke mana makhluk itu pergi. Tapi sia-sia saja. Tak ada apa pun di sana. Semua menghilang begitu saja tanpa jejak. "Pak, aku mau pamit pulang," ujar Franky secara tiba-tiba. "Kenapa?" "Sepertinya aku sudah kelelahan, Pak. Akhir-akhir ini aku seperti berhalusinasi meli
"Makhluk apa yang kamu maksud, nang?" tanya Bu Silvana hendak memastikan.Federin tidak langsung menjawab. Ia masih tampak menggigil ketakutan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa situasi telah aman. "Genderuwo," jawab Federin dengan lirih yang membuat ibunya dan beberapa warga lain tersentak kaget. "Aku sudah mencurigai itu! Kematian warga kita, pasti karena ulah penunggu pohon beringin itu," sahut seorang bapak tua yang rumahnya berada persis di sebelah rumah Federin. "Kita harus lapor RT agar ia segera bertindak," sahut warga lain yang masih berada di sana. "Benar! Makhluk itu tidak bisa kita biarkan terus menerus mengganggu penduduk kita," ucap warga lain yang ikut menimpali. "Nang, kamu masuk ke dalam rumah ya? Ibu sama warga yang lain, mau pergi ke rumah Pak RT," ucap Bu Silvana pada putranya - Federin, yang segera menganggukkan kepalanya. Bocah itu pun gegas masuk ke dalam rumah. Sementara itu Bu Silvana dan warga yang lain, beramai-ramai pergi menuju k
"Nang? Bangun, Nang!" Bu Silvana berteriak keras sambil mengguncang-guncang tubuh Federin yang terlihat lemas. Mendengar suara keributan dari dalam kamar, Badang dan Gatot gegas masuk ke dalam untuk melihat apa yang telah terjadi. "Bu, ada apa? Apa yang terjadi, Bu?" tanya Badang dengan penasaran saat melihat ibunya yang mulai menangis histeris. "Adikmu, Dang...." Suara Bu Silvana terdengar serak disela-sela tangisannya yang sendu. "Kenapa Federin, Bu?" timpal Gatot yang terlihat tidak sabar menunggu jawaban dari ibunya. "Adik kalian sudah tidak ada." Ucapan Bu Silvana bagaikan petir yang menyambar di siang bolong bagi Badang dan Gatot yang saat ini telah berusia 20 tahun dan juga 18 tahun. Seketika tubuh mereka berdua lemas seperti tiada bertulang. Badang terduduk sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Sementara Gatot hanya termangu menatap adiknya yang terbaring di tempat tidur, dengan kedua mata yang tertutup untuk selamanya. ***Bendera kuning berkibar di halaman d
Triinggg triiinggg triiingggSuara dering telepon terdengar dengan nyaring, yang membuat Pak Clint yang sedang asyik menonton berita di televisi, segera beranjak dari sofa berwarna cream itu, untuk mengangkat gagang telepon. Ia meletakkan telepon itu di telinganya, menunggu seseorang yang berada di seberang telepon mulai bersuara. "Halo?" sapa suara asing dengan suara yang terdengar datar. "Bisa bicara dengan Pak Clint?" tanyanya hendak memastikan."Ya, halo? Dengan saya sendiri," sahut Pak Clint masih menajamkan pendengarannya, menunggu seseorang yang di seberang telepon itu menyampaikan maksud dan tujuannya."Kami dari petugas rumah sakit Sehat Medika, apakah benar, bapak yang bertanggung jawab atas pasien yang bernama Pak Johnson?" tanyanya lagi, kembali hendak memastikan. "Ya, benar. Bagaimana keadaan Bapak Johnson?" Pak Clint hening sesaat, menunggu jawaban dari seseorang yang berada di seberang telpon. "Saya sangat menyesal menyampaikan hal ini. Bahwasanya Bapak Johnson suda
"Sebaiknya bapak laporkan hal ini pada Pak RT dan aparat desa, agar mereka tahu asal usul desa ini dikutuk," ujar Pak Agus hendak beranjak dari Bu Edith. Tapi kepergiannya segera dicegah oleh wanita tua itu. "Tidak, pak! Jangan beritahu mereka," ucap Bu Edith dengan nada memohon, sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan."Lalu, apa yang akan ibu lakukan untuk menghentikan kutukan ini?" tanya Pak Agus hendak memastikan. Ia menatap raut wajah Bu Edith dengan sorot mata yang tajam. "Sebaiknya kita diam-diam saja, dan pindah dari desa ini, pak," jawab Bu Edith dengan enteng. "Apa? diam-diam dan pindah?" Pak Agus tersenyum kecut. Ia tidak menyangka bahwa istrinya memiliki pikiran yang licik. "Kamu hanya memikirkan dirimu saja, Bu. Aku tidak mau seperti itu. Aku akan melaporkan perbuatanmu pada aparat desa," ucapnya dengan tegas. Ia beranjak pergi dari hadapan Bu Edith yang terus memanggil suaminya. Tapi lelaki tua itu seolah tak menggubrisnya. ***Tok tok tokPak Agus mengetuk pint
Bu Edith terduduk lemas melihat suaminya - Pak Agus yang melenggang pergi meninggalkannya sendiri. Ia menangis tersedu-sedu, sambil menatap pintu rumahnya yang terbuka lebar. Sementara itu Nana yang sejak tadi mengintip dari balik pintu kamarnya, mulai memberanikan diri untuk menghampiri Bu Edith - ibu mertuanya. "Bu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya dengan penasaran. Ia menatap wajah wanita tua itu dengan tatapan yang serius. Tangisan Bu Edith terhenti seketika. Ia mengusap airmatanya dengan kasar, menatap wajah menantunya dengan sorot mata yang tajam. Wanita tua itu segera beranjak dari tempat ia duduk, meninggalkan Nana yang masih penuh dengan tanda tanya. Brak! Suara pintu yang dibanting dengan keras, telah membuat Nana tersentak kaget. Wanita tua itu telah masuk ke dalam kamarnya. Ia mengunci pintu, tanpa memberitahu keadaan yang sebenarnya pada Nana, menantunya yang telah ditinggalkan oleh Franky - putra bungsunya. *** "Kamu sudah yakin ingin memberitahukan apa y
Tok tok tokPintu rumah diketuk dengan nyaring. Aldous dan Martin saling pandang selama beberapa saat, sebelum Aldous kembali mengetuk pintu rumah Pak RT. Selang beberapa menit, pintu dibukakan oleh Pak Clint. Lelaki yang mulai menampakkan kerutan di wajahnya, menatap kedua bocah itu dengan tatapan heran. "Aldous? Martin? Ada apa ya?" tanyanya dengan penasaran. Kedua bocah itu tidak langsung menjawab. Mereka saling menatap selama beberapa saat."Begini, pak," ungkap Aldous yang mulai membuka suaranya. Ia terlihat ragu-ragu. "Ya, ada apa?" tanya lelaki itu, masih menunggu dengan sabar, kedua bocah itu untuk berbicara."Kami ingin mengungkapkan sesuatu pada bapak," lanjutnya setelah ia berhasil mengumpulkan keberaniannya. Kedua alis Pak Clint tampak mengerut. Menatap wajah Aldous dengan heran. "Mengenai apa ya?" tanyanya yang mulai tampak penasaran, seolah tidak sabar untuk menunggu. "Mengenai penunggu pohon beringin itu, pak," timpal Martin dengan cepat. Kedua mata Pak Clint ter