'Ba- bagaimana ini? Bukti-buktinya terlalu banyak...' Anindya memegangi kepalanya, jemarinya meremas rambutnya sendiri dengan panik. Wajahnya pucat pasi. 'Saksinya juga bukan orang sembarangan. Mereka... mereka orang-orang yang tidak mungkin bisa disogok. Bagaimana caranya aku menyangkal semua ini?' batinnya bergemuruh, mencoba mencari celah dalam kekalutan.
Namun sebelum ia bisa berkata apa-apa, suara dingin dan tajam memotong lamunannya."Tidak perlu menyangkal." Suara itu datang dari Nursyid, yang kini berdiri dengan ekspresi penuh kebencian. Tatapannya menusuk langsung ke hati Anindya, membuat wanita itu mundur setengah langkah. "Keluarga itu... bukan manusia. Mereka tidak lebih dari binatang."Tangan Nursyid mengepal erat, jemarinya gemetar karena amarah yang ia tahan. Matanya memerah, air mata mulai menggenang di sudut matanya, namun ia tetap berdiri tegak, mencoba menjaga kendali. "Prasetya... adik Sulistyo, yang kalian kenal sebagai politisi yang bAnindya terbaring di ranjangnya, menatap langit-langit kamar dengan mata yang terbuka lebar. Pikirannya penuh dengan kekacauan, berputar seperti badai yang tak kunjung reda. Adegan-adegan dari pertemuan di taman tadi terus menghantui pikirannya, memunculkan rasa takut yang bercampur dengan kebingungan."Apa-apaan ini?!" gumamnya pelan, namun suaranya menggema di keheningan kamar. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri. "Aku hanya ingin menikah dengan pria kaya... Tapi kenapa setiap kali aku hampir mendapatkannya, selalu saja ada halangan?!"Ia menghela napas panjang, lalu melepaskan tangannya dari wajah. Tatapannya kosong, terarah pada lampu kamar di atasnya. Kilasan masa lalu muncul dalam pikirannya. "Saat itu, aku gagal menikah karena ternyata pria itu sudah punya istri..." Anindya berbicara pada dirinya sendiri, mencoba merangkai logika di tengah pusaran emosinya. "Dan yang lain... dia gagal juga, karena pria itu ingin punya istri lebi
Keesokan paginya, Anindya menaiki mobil mewah yang telah disiapkan untuk membawanya ke istana negara. Pikirannya dipenuhi dengan kebimbangan dan tekanan. Meski wajahnya tersenyum, hatinya terasa berat. Ia memandang keluar jendela, memperhatikan gedung-gedung tinggi yang berjejer di sepanjang perjalanan, tetapi tak satu pun pemandangan itu benar-benar ia nikmati.Setibanya di istana, Ratri sudah menunggunya di ruang tamu utama. Wanita itu menyambut Anindya dengan senyuman ramah yang terasa dingin, seperti topeng yang dirancang untuk menutupi niat sebenarnya."Selamat datang, Anindya," sapa Ratri lembut. "Ayo, kita mulai. Ini hari penting untukmu."Anindya mengangguk dan mengikuti langkah Ratri menuju ruang pertemuan besar yang telah disulap menjadi galeri pribadi. Di tengah ruangan itu, sebuah meja besar dipenuhi buku-buku tebal berisi desain gaun pengantin tradisional yang mewah. Sulistyo dan Jatmiko, ayahnya, sudah duduk di sana, keduanya tampak datar tan
Malam itu, kegelapan pekat menyelimuti istana negara. Lampu-lampu kota yang gemerlap tampak seperti bintang yang tersebar di bawah langit malam, namun keindahan itu tak mampu mengusir hawa mencekam yang mengelilingi kamar Wakil Presiden Sulistyo.Di balkon kamar megahnya, Sulistyo berdiri diam. Tatapannya menembus kegelapan, memandang kota yang padat dengan ekspresi dingin dan penuh ambisi. Angin malam menerpa wajahnya, namun rasa dingin itu tak mampu menembus dinginnya hati pria itu. Di matanya, kota itu adalah sesuatu yang harus ditaklukkan, dipeluk dalam genggamannya, seperti seorang raja yang tak ingin ada satu pun rakyat yang luput dari kendalinya.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakang, diikuti suara seorang pria yang berbicara dengan nada dalam dan penuh penghormatan. "Tuan ..."Sulistyo tak berbalik. Tubuhnya tetap kaku, memancarkan wibawa yang menekan siapa pun yang ada di sekitarnya. "Bagaimana?" tanyanya dengan suara rendah namun
Pagi itu, suasana istana negara terasa berbeda. Langit biru cerah seakan bertolak belakang dengan ketegangan yang memenuhi ruang tamu megah. Anindya tiba dengan anggun, mengenakan pakaian tradisional yang dipadukan dengan gaya modern. Gaunnya yang berwarna pastel mengalir lembut, mempertegas pesona elegannya. Setiap langkahnya diiringi oleh tatapan kagum para staf istana yang kebetulan melihatnya.Saat memasuki ruang tamu, Ratri, ibu Sulistyo, menyambutnya dengan senyum ramah. "Nak Anindya ... Silakan duduk!" Suaranya lembut, penuh kehangatan yang membuat siapa pun merasa nyaman.Anindya menuruti arahan itu dengan sikap penuh keanggunan. Ia duduk di sofa, kakinya dirapatkan dan sedikit dimiringkan, tangannya terlipat di pangkuan. Namun, sebelum suasana bisa menjadi lebih santai, Sulistyo masuk dengan langkah cepat, tatapannya tajam seperti elang yang mengincar mangsanya.Tanpa basa-basi, Sulistyo langsung bertanya. "Anindya, apa yang kau rencanakan dengan
Malam itu, suasana di istana negara terasa mencekam meski tidak ada satu pun tanda bahaya yang nyata. Sulistyo melangkah masuk ke kamarnya dengan raut wajah gelap, kemarahan dan kekhawatiran bercampur dalam pikirannya. Lampu di kamar itu hanya menyala remang, membuat bayangan tubuhnya tampak besar di dinding. Dengan gerakan cepat, ia meraih ponselnya, menekan tombol panggilan yang sudah tersimpan. "Rayhan! Bagaimana dengan Aisyah? Ada tanda-tanda gadis itu membuat ulah?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Nada suaranya tajam, penuh tekanan, seolah setiap kata adalah perintah mutlak yang harus segera dipatuhi. Dari seberang telepon, suara Rayhan terdengar tegas tetapi tetap hormat. "Tidak ada, Tuan. Nona Aisyah saat ini sedang sibuk dengan syuting iklan yang dibintanginya. Sejauh ini, tidak ada gerak-gerik mencurigakan darinya. Tuan tidak perlu khawatir." Sulistyo diam sesaat, mendengarkan laporan itu dengan alis berkerut. Namun, rasa tid
Istana negara hari itu berubah menjadi pusat perhatian dunia. Sebuah pernikahan megah yang jauh lebih mewah dari pada sebelumnya digelar di sana. Para tamu undangan, termasuk pejabat tinggi, tokoh masyarakat, dan wartawan dari berbagai media, memenuhi aula utama yang dihiasi gemerlap lampu kristal dan rangkaian bunga segar yang membentuk lorong megah menuju pelaminan.Sulistyo, dengan pakaian tradisional Javanagara yang memancarkan wibawa, berdiri di tengah aula. Wajahnya tampak bersinar, penuh percaya diri, seolah pernikahan ini adalah puncak dari kesuksesannya. Kilatan kamera terus menyorotnya, memotret setiap sudut keanggunannya.Tak lama, perhatian para tamu beralih. Dari ujung aula, Anindya muncul dengan elegan, mengenakan gaun pengantin putih yang berkilauan di bawah cahaya lampu. Di belakangnya, Aisyah, sebagai bridesmaid, memegangi ujung kain batik panjang yang menjuntai dari gaun Anindya. Langkah mereka perlahan, tetapi setiap langkah membawa ketegangan ya
"Kalian tidak bisa melakukan ini padaku! Aku wakil presiden! Kalian tidak punya hak menangkapku!" Sulistyo meraung, suaranya menggema di aula megah yang kini berubah menjadi arena pengadilan publik. Tubuhnya meronta-ronta saat aparat keamanan dengan sigap membawanya pergi. Namun, jeritannya hanya terdengar seperti bunyi rantai yang terputus—sia-sia, tanpa daya.Para tamu yang masih berada di tempat hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan bisu. Wajah-wajah mereka dipenuhi kebingungan, kecemasan, dan sedikit rasa puas. Bisikan-bisikan pelan mulai menggema di antara mereka, dan kamera para wartawan dengan gencar mengabadikan setiap gerakan Sulistyo yang dipaksa keluar aula.Di sisi lain kota, suasana di kantor Nursyid jauh dari tenang. Puluhan wartawan mengepung gedung itu, menunggu setiap pernyataan dari pria yang selama ini dikenal dengan kepiawaiannya dalam bermain di belakang layar. Namun, saat Nursyid keluar untuk menemui mereka, ia hanya memberikan senyum tip
Di aula istana negara, suasana yang biasanya serius mendadak dipenuhi tawa dan canda. Namun, di tengah keramaian itu, Nursyid tampak berseri-seri, senyum lebarnya membuat beberapa orang di ruangan mengangkat alis heran. Ia mengangkat gelas jus jeruknya dan berbicara dengan nada penuh kepuasan."Kalian sudah lihat hukuman yang akan dijatuhkan kepada Sulistyo? Aku puas sekali melihatnya! Dia akan dihukum mati! Yeay!" serunya dengan semangat yang berlebihan, bahkan menambahkan, "Sekalian adiknya juga dihukum mati ..."Mahendra, yang duduk di seberang meja, hanya memandang Nursyid dengan tatapan bingung sekaligus geli. "Kalau begitu, kenapa kau tidak laporkan ulang saja kasus hukuman mati adikmu yang tidak masuk akal itu?" tanyanya dengan nada serius namun penuh rasa ingin tahu.Nursyid mendengus kesal, lalu meletakkan gelasnya dengan keras di meja. "Boleh saja ... Tapi sayangnya, surat penangkapan bahkan surat hukuman tidak ada padaku. Keluarga sialan itu sud
Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu.Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?"Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?"Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me