Share

Bab 72

Penulis: Sylus wife
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-29 18:31:50

Keesokan paginya, Anindya menaiki mobil mewah yang telah disiapkan untuk membawanya ke istana negara. Pikirannya dipenuhi dengan kebimbangan dan tekanan. Meski wajahnya tersenyum, hatinya terasa berat. Ia memandang keluar jendela, memperhatikan gedung-gedung tinggi yang berjejer di sepanjang perjalanan, tetapi tak satu pun pemandangan itu benar-benar ia nikmati.

Setibanya di istana, Ratri sudah menunggunya di ruang tamu utama. Wanita itu menyambut Anindya dengan senyuman ramah yang terasa dingin, seperti topeng yang dirancang untuk menutupi niat sebenarnya.

"Selamat datang, Anindya," sapa Ratri lembut. "Ayo, kita mulai. Ini hari penting untukmu."

Anindya mengangguk dan mengikuti langkah Ratri menuju ruang pertemuan besar yang telah disulap menjadi galeri pribadi. Di tengah ruangan itu, sebuah meja besar dipenuhi buku-buku tebal berisi desain gaun pengantin tradisional yang mewah. Sulistyo dan Jatmiko, ayahnya, sudah duduk di sana, keduanya tampak datar tan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 73

    Malam itu, kegelapan pekat menyelimuti istana negara. Lampu-lampu kota yang gemerlap tampak seperti bintang yang tersebar di bawah langit malam, namun keindahan itu tak mampu mengusir hawa mencekam yang mengelilingi kamar Wakil Presiden Sulistyo.Di balkon kamar megahnya, Sulistyo berdiri diam. Tatapannya menembus kegelapan, memandang kota yang padat dengan ekspresi dingin dan penuh ambisi. Angin malam menerpa wajahnya, namun rasa dingin itu tak mampu menembus dinginnya hati pria itu. Di matanya, kota itu adalah sesuatu yang harus ditaklukkan, dipeluk dalam genggamannya, seperti seorang raja yang tak ingin ada satu pun rakyat yang luput dari kendalinya.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakang, diikuti suara seorang pria yang berbicara dengan nada dalam dan penuh penghormatan. "Tuan ..."Sulistyo tak berbalik. Tubuhnya tetap kaku, memancarkan wibawa yang menekan siapa pun yang ada di sekitarnya. "Bagaimana?" tanyanya dengan suara rendah namun

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 74

    Pagi itu, suasana istana negara terasa berbeda. Langit biru cerah seakan bertolak belakang dengan ketegangan yang memenuhi ruang tamu megah. Anindya tiba dengan anggun, mengenakan pakaian tradisional yang dipadukan dengan gaya modern. Gaunnya yang berwarna pastel mengalir lembut, mempertegas pesona elegannya. Setiap langkahnya diiringi oleh tatapan kagum para staf istana yang kebetulan melihatnya.Saat memasuki ruang tamu, Ratri, ibu Sulistyo, menyambutnya dengan senyum ramah. "Nak Anindya ... Silakan duduk!" Suaranya lembut, penuh kehangatan yang membuat siapa pun merasa nyaman.Anindya menuruti arahan itu dengan sikap penuh keanggunan. Ia duduk di sofa, kakinya dirapatkan dan sedikit dimiringkan, tangannya terlipat di pangkuan. Namun, sebelum suasana bisa menjadi lebih santai, Sulistyo masuk dengan langkah cepat, tatapannya tajam seperti elang yang mengincar mangsanya.Tanpa basa-basi, Sulistyo langsung bertanya. "Anindya, apa yang kau rencanakan dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 75

    Malam itu, suasana di istana negara terasa mencekam meski tidak ada satu pun tanda bahaya yang nyata. Sulistyo melangkah masuk ke kamarnya dengan raut wajah gelap, kemarahan dan kekhawatiran bercampur dalam pikirannya. Lampu di kamar itu hanya menyala remang, membuat bayangan tubuhnya tampak besar di dinding. Dengan gerakan cepat, ia meraih ponselnya, menekan tombol panggilan yang sudah tersimpan. "Rayhan! Bagaimana dengan Aisyah? Ada tanda-tanda gadis itu membuat ulah?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Nada suaranya tajam, penuh tekanan, seolah setiap kata adalah perintah mutlak yang harus segera dipatuhi. Dari seberang telepon, suara Rayhan terdengar tegas tetapi tetap hormat. "Tidak ada, Tuan. Nona Aisyah saat ini sedang sibuk dengan syuting iklan yang dibintanginya. Sejauh ini, tidak ada gerak-gerik mencurigakan darinya. Tuan tidak perlu khawatir." Sulistyo diam sesaat, mendengarkan laporan itu dengan alis berkerut. Namun, rasa tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 76

    Istana negara hari itu berubah menjadi pusat perhatian dunia. Sebuah pernikahan megah yang jauh lebih mewah dari pada sebelumnya digelar di sana. Para tamu undangan, termasuk pejabat tinggi, tokoh masyarakat, dan wartawan dari berbagai media, memenuhi aula utama yang dihiasi gemerlap lampu kristal dan rangkaian bunga segar yang membentuk lorong megah menuju pelaminan.Sulistyo, dengan pakaian tradisional Javanagara yang memancarkan wibawa, berdiri di tengah aula. Wajahnya tampak bersinar, penuh percaya diri, seolah pernikahan ini adalah puncak dari kesuksesannya. Kilatan kamera terus menyorotnya, memotret setiap sudut keanggunannya.Tak lama, perhatian para tamu beralih. Dari ujung aula, Anindya muncul dengan elegan, mengenakan gaun pengantin putih yang berkilauan di bawah cahaya lampu. Di belakangnya, Aisyah, sebagai bridesmaid, memegangi ujung kain batik panjang yang menjuntai dari gaun Anindya. Langkah mereka perlahan, tetapi setiap langkah membawa ketegangan ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 77

    "Kalian tidak bisa melakukan ini padaku! Aku wakil presiden! Kalian tidak punya hak menangkapku!" Sulistyo meraung, suaranya menggema di aula megah yang kini berubah menjadi arena pengadilan publik. Tubuhnya meronta-ronta saat aparat keamanan dengan sigap membawanya pergi. Namun, jeritannya hanya terdengar seperti bunyi rantai yang terputus—sia-sia, tanpa daya.Para tamu yang masih berada di tempat hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan bisu. Wajah-wajah mereka dipenuhi kebingungan, kecemasan, dan sedikit rasa puas. Bisikan-bisikan pelan mulai menggema di antara mereka, dan kamera para wartawan dengan gencar mengabadikan setiap gerakan Sulistyo yang dipaksa keluar aula.Di sisi lain kota, suasana di kantor Nursyid jauh dari tenang. Puluhan wartawan mengepung gedung itu, menunggu setiap pernyataan dari pria yang selama ini dikenal dengan kepiawaiannya dalam bermain di belakang layar. Namun, saat Nursyid keluar untuk menemui mereka, ia hanya memberikan senyum tip

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 78

    Di aula istana negara, suasana yang biasanya serius mendadak dipenuhi tawa dan canda. Namun, di tengah keramaian itu, Nursyid tampak berseri-seri, senyum lebarnya membuat beberapa orang di ruangan mengangkat alis heran. Ia mengangkat gelas jus jeruknya dan berbicara dengan nada penuh kepuasan."Kalian sudah lihat hukuman yang akan dijatuhkan kepada Sulistyo? Aku puas sekali melihatnya! Dia akan dihukum mati! Yeay!" serunya dengan semangat yang berlebihan, bahkan menambahkan, "Sekalian adiknya juga dihukum mati ..."Mahendra, yang duduk di seberang meja, hanya memandang Nursyid dengan tatapan bingung sekaligus geli. "Kalau begitu, kenapa kau tidak laporkan ulang saja kasus hukuman mati adikmu yang tidak masuk akal itu?" tanyanya dengan nada serius namun penuh rasa ingin tahu.Nursyid mendengus kesal, lalu meletakkan gelasnya dengan keras di meja. "Boleh saja ... Tapi sayangnya, surat penangkapan bahkan surat hukuman tidak ada padaku. Keluarga sialan itu sud

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 79

    Aisyah tersenyum kecil, mengangguk penuh keyakinan. "Boleh saja. Tapi, setelah Sulistyo benar-benar sudah dieksekusi, ya."Jawaban itu membuat Mahendra merasa lega, seolah beban berat yang selama ini menekan dadanya mulai menguap. Namun, di balik senyumannya, hatinya masih menyimpan tanda tanya yang tak terjawab. Setelah beberapa saat terdiam, ia memberanikan diri untuk bertanya. "Kalau boleh tahu ... Kenapa kau menerima pertanyaan asal-asalanku tadi dengan begitu mudah?"Aisyah menatapnya, sejenak terdiam, lalu terkekeh pelan. "Harusnya aku yang bertanya pada Kak Mahendra. Apa yang membuat Kak Mahendra nekat ingin memiliki hubungan seperti itu denganku? Kak Mahendra tahu sendiri, kan? Jika Sulistyo mati, aku akan jadi janda. Di Dwipantara, masih banyak orang yang memandang rendah seorang janda. Apalagi janda dari wakil presiden yang terkenal karena korupsi. Wah ... Aku tidak tahu serendah apa harga diriku di mata dunia."Nada suaranya penuh kepahitan. Sen

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 80

    Mahendra tersenyum kecut mendengar jawaban Aisyah. Ada nada kecewa di wajahnya, namun ia mencoba menyembunyikannya dengan sikap yang tenang. "Baiklah, kalau itu keputusanmu, aku tidak akan memaksa. Tapi ingat, aku di sini jika kau butuh bantuan."Aisyah mengangguk kecil, namun perhatian mereka segera teralihkan oleh bunyi ponsel Aisyah yang bergetar di atas meja. Ia mengambilnya, membuka notifikasi yang ternyata berasal dari akun-akun penggemarnya. Semua akun itu menandai namanya di unggahan video yang kini tengah viral di berbagai media sosial.Wajah Aisyah sedikit memucat, namun ia tetap tenang. Video yang menunjukkan tragedi kelam saat ia menjadi korban Sulistyo kini tersebar luas, meskipun wajah dan tubuhnya sudah di-blur untuk unggahan ulang. Mahendra, yang melihat perubahan ekspresi Aisyah, segera mendekat dengan wajah khawatir. "Apa kau baik-baik saja? Video itu ... bukankah seharusnya wajah dan tubuhmu tidak terlihat jelas?" tanyanya, nada suaranya penuh kegelisahan.Aisyah m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02

Bab terbaru

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 101

    Sulistyo kembali menutup pintu kamar dengan suara yang berat, suara kunci yang berputar menjadi tanda bahwa dunia Aisyah telah tertutup rapat dari dunia luar. Ia merasa telah melindunginya—mengurungnya di tempat yang ia anggap aman dari semua yang bisa menyakitinya. Namun bagi Aisyah, kamar dingin itu tak lebih dari sangkar yang merampas kebebasan dan harapan kecil untuk menghirup udara bebas. Di dalam ruang sempit dan gelap itu, dia hanyalah burung tanpa sayap, bersembunyi di balik jeruji yang terbuat dari kepemilikan dan obsesi.Sulistyo melangkah meninggalkan kamar, pintu terkunci di belakangnya seolah mengunci juga nuraninya yang sudah lama menghilang. Langkahnya yang santai bergema di sepanjang lorong yang berhiaskan kekuasaan dan kehampaan, membawa dirinya menuju ruang presiden yang kini menjadi singgasananya.Dia duduk di kursi besar, tubuhnya bersandar dengan penuh percaya diri, tangannya menggenggam sandaran kursi seolah dunia ada dalam genggamannya. Tidak

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 100

    "Apa yang kau lakukan, Sulistyo?!" suara Jatmiko memecah ketegangan, menancap seperti pedang tajam yang menusuk udara. Tatapannya penuh kemarahan, matanya menyorotkan wibawa seorang pria yang terbiasa memimpin. "Kau membuat ibumu takut! Kau lupa, Sulistyo? Dia ibumu! Tak peduli apa pun yang terjadi, kau tidak boleh membantah atau melawan!"Sulistyo tidak bergeming. Tatapannya yang dingin dan penuh ketidakpedulian membuat atmosfer semakin mencekam. Ia memandang lurus ke arah Jatmiko, lalu dengan suara rendah yang menahan bara api, ia bertanya, "Apa kedatangan kalian berdua hanya untuk mengusikku? Untuk menyulut api di hatiku, lalu menuduhku yang membuatnya menyala? Siapa yang lebih dulu memulai, aku atau Ibu?"Suasana menegang hingga terasa menggantung di udara. Aisyah yang masih duduk di pangkuan Sulistyo menunduk semakin dalam. Ketakutan mencengkeram hatinya seperti belenggu yang tak terlihat. Tubuhnya gemetar, dan bibirnya yang pecah bergetar ketika dia mencoba b

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 99

    Ratri mendengus sinis, memutar bola matanya dengan malas. "Wanita tidak berguna itu... Harusnya kau bunuh saja! Lempar dia ke laut, biar hilang tanpa jejak. Dia hanya beban untuk keluarga ini!" Nada suaranya bergetar dengan kemarahan yang terpendam, seperti bara api yang siap menyulut kebencian lebih besar.Sulistyo mendengar hinaan ibunya dengan senyum yang kian melebar, namun matanya berkilat gelap, penuh gairah akan kekuasaan yang telah dia raih. Dia tertawa pelan, suara itu bagai bayangan kematian yang menyelusup pelan-pelan ke dalam ruangan. "Siapa bilang? Aisyah..." Dia menarik napas, seolah mengingat kenangan yang manis sekaligus kejam. "Dulu, dia memang seperti duri di dalam dagingku. Wanita keras kepala yang tidak tahu tempatnya. Tapi sekarang..."Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, memelototi ibunya dengan tatapan penuh kemenangan. "Sekarang, dia adalah wanita yang paling tunduk dan patuh yang pernah ada. Ketakutannya adalah kunci, kelemahannya menj

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 98

    Sulistyo duduk santai di sofa ruang keluarga, tetapi matanya penuh waspada, mengamati setiap sudut ruangan seperti raja yang baru saja merebut tahtanya. Cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai terasa dingin, tak mampu menembus aura suram yang melingkupinya. Dia tidak perlu memanggil keluarganya. Dia tahu—seperti serigala mencium darah—mereka akan datang sendiri, penuh rasa ingin tahu yang menyala-nyala.Tak butuh waktu lama. Langkah kaki terdengar mendekat, lalu pintu terbuka lebar. Jatmiko dan Ratri, kedua orang tuanya, masuk dengan ekspresi penuh kewaspadaan. Di belakang mereka, Prasetya, adik bungsunya yang sekarang memimpin partai besar, mengikuti dengan raut wajah setengah penasaran, setengah cemas. Mereka duduk dengan rapi, seperti para hakim yang siap mengadili."Ayah dengar," Jatmiko memulai, suaranya dalam dan tegas, meski bibirnya tampak bergetar, "kau mendapatkan kekuatan... semacam asap hitam misterius. Itu hanya rumor, kan? Sesuatu yang dilebih-lebihkan? Atau... ba

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 97

    “Kakakmu itu.…” Sulistyo bergumam pelan, seolah berbicara dengan bayangannya sendiri, sementara senyuman licik terlukis di bibirnya. “Kalau dibiarkan, dia bisa jadi ancaman besar untukku.” Suaranya datar, tetapi penuh dengan nada ancaman yang membuat udara di ruangan terasa semakin dingin dan mencekam.Mata Aisyah membelalak. Napasnya tersentak, dadanya terasa remuk. Ia langsung menggeleng keras dengan ketakutan yang nyata, memohon dengan segenap jiwa yang tersisa. “Tidak! Jangan, aku mohon!” suaranya pecah penuh kepanikan. “Kau ... Kau sudah berjanji! Kau berjanji tidak akan menyakiti keluargaku selama aku menuruti semua keinginanmu!”Sulistyo membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Aisyah yang pucat. Tangannya mencengkeram dagu Aisyah dengan kasar, memaksa mata mereka bertemu. Cengkeramannya begitu kuat hingga Aisyah merasa tulang rahangnya berdenyut sakit. “Benarkah aku pernah berkata seperti itu?” Suaranya rendah, nyaris berbisik, tetapi penuh racun.

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 96

    Ponsel di meja bergetar, nyaring, memenuhi ruang dengan dering yang menggema seperti dentuman bel kematian yang tidak terhindarkan. Nama Anisa muncul di layar, berkedip-kedip seolah mengundang harapan yang tak pernah benar-benar hadir dalam hidup Aisyah. Jemarinya gemetar saat mencoba meraih ponsel itu. Namun, tangan besar Sulistyo dengan cepat menangkap pergelangan tangannya, menghentikan gerakannya seakan mengunci nasib yang sudah diputuskan."Tidak boleh!" tegas Sulistyo dengan nada rendah yang penuh ancaman.Aisyah menatapnya dengan pandangan memohon. Matanya berkaca-kaca, bening seperti cermin yang memantulkan rasa takut dan ketidakberdayaan. "Ayolah…." Suaranya pecah, hampir seperti bisikan. "Aku hanya ingin bicara dengan kakakku sebentar saja. Aku janji tidak akan lama, dan aku tidak akan membicarakan apa pun tentangmu … Aku bersumpah!"Sulistyo tersenyum miring, senyum yang tidak membawa kehangatan tetapi ketakutan yang semakin menusuk. Ia mengusap

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 95

    Aisyah memejamkan mata, ragu-ragu namun perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Sulistyo. Udara di antara mereka seolah membeku, penuh ketegangan yang menggigit. Napas keduanya bertemu dalam hembusan lembut yang membakar kulit, menggema di dalam kepala Aisyah dengan nyeri yang tak bisa dijelaskan. Ia bisa merasakan detak jantungnya menggila, sementara rasa takut dan pasrah bercampur menjadi satu, menghantamnya dengan kekuatan yang membuat tubuhnya kaku.Sulistyo tersenyum penuh kemenangan. Dalam benaknya, ketundukan Aisyah adalah puncak dari segala kesenangan. Tanpa menunggu lebih lama, tangannya yang besar dan kasar melesat ke belakang kepala Aisyah, menariknya dengan keras hingga bibir mereka bertemu dalam ciuman yang intens dan penuh dominasi. Tidak ada kelembutan, hanya kerakusan yang menguasai. Bibirnya menghujam tanpa ampun, menuntut lebih dan lebih, seakan ingin menyerap habis jiwa istrinya yang gemetar di dalam genggamannya.Aisyah menahan napas, tubuhnya mem

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 94

    Sulistyo tersenyum tipis, kemudian tawa gila meledak dari bibirnya, memenuhi ruangan dengan gema yang mencekam. Kepalanya menengadah ke langit-langit seolah ia baru saja merengkuh kemenangan tertinggi. “Aku akan membuatmu semakin mencintaiku, Aisyah!” serunya penuh gairah. Tanpa ragu, ia menghunjamkan asap hitam yang memadat dari tubuhnya ke perut Mustofa, berkali-kali, seperti seorang algojo tanpa belas kasih.Darah menyembur liar, membasahi lantai, memancar dari setiap luka yang ditinggalkan oleh senjata bayangan itu. Mustofa terisak tanpa suara, suaranya terkunci oleh rasa sakit yang luar biasa. Tenggorokannya yang penuh luka tak lagi mampu mengeluarkan teriakan, hanya rintihan parau yang tercekik di dalam dada. Asap hitam terus menari-nari, menusuk-nusuk tanpa ampun, merobek kulit dan daging dengan ganas, hingga isi perutnya mulai tumpah keluar, berlumuran darah dan aroma kematian.Sulistyo memiringkan kepala, menikmati setiap momen seperti seorang seniman yang

  • Hamil Anak Calon Wakil Presiden   Bab 93

    Asap hitam mengepul dari tubuh Sulistyo, merayap seperti ular licik di sekeliling ruangan, menciptakan hawa mencekam yang membuat napas Aisyah tercekat. Mata hitam pria itu memandang lekat padanya, menyala dengan kekejian yang hanya ia sendiri yang tahu bagaimana cara menikmatinya."Aisyah," ucap Sulistyo pelan, suara lembut yang mengandung ancaman di setiap hurufnya, "kau ingin hadiah dulu, atau ... Hukuman dulu?"Aisyah mencoba membuka mulut, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokan yang serasa dicekik oleh rasa takut. "A-aku...."Tiba-tiba, teriakan memecah kesunyian. "Aisyah!" Mustofa menggeliat di lantai, menyeret tubuhnya yang terikat dengan kedua kaki yang gemetar penuh amarah. "Aku adalah ayahmu! Cepat lepaskan aku kalau kau tidak ingin menjadi anak durhaka!"Aisyah menggertakkan gigi, wajahnya memucat. "Eksekusi saja dia!" teriaknya dengan suara yang bergetar, matanya memancarkan kebencian yang membakar. "Tapi ... Lepaskan Pak Rayhan! Di

DMCA.com Protection Status