Share

6. Pengendali Itu Pecah

Penulis: El Nurien
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jamilah terisak. “Aku cuma khawatir, Mas. Kalau mereka kenapa-napa, bagaimana?’ ia menenggelamkan kepalanya ke dada Salman. 

“Kita doakan saja, semoga Allah melindungi mereka.” 

*** 

Setelah Salman pulang, Jamilah segera menelpon Haikal agar menjemput adiknya. Ia langsung memukul bokong Haira begitu sampai di rumah. “Gadis nakal!"  

“Aaa ... sakit, Ma!” teriak Haira sambil berusaha menghindar dari ibunya. 

"Ke mana saja kamu berapa hari ini, ha? Tidak tahu malu!”

Haikal langsung berlari menjauhkan adiknya dari ibu mereka. “Ma!”

“Haikal, kamu jangan membela dia. Ini gara-gara kamu, dia jadi manja!” seru Jamilah, sambil berusaha menarik badan Haira, tetapi Haikal terus menghalanginya. 

“Tidak tahu malu?!” teriak Haira. “Bukannya Mama yang tidak malu, merebut suami orang?”

“Haira, diam!” tegur Haikal.

“Benar 'kan, Kak?! Mama menikah dengan laki-laki yang sudah berkeluarga 'kan? Apa itu tidak termasuk tidak malu?!” 

“Haira, umurmu sudah 16 tahun, seharusnya kamu bisa membedakan mana yang merebut dan poligami.”

“Sama saja, Ma. Mama pikir, ada wanita yang mau suaminya menikah lagi. Mama sendiri tidak aku akan melakukan itu kan? Mama telah merebut kebahagiaan orang lain. NGACA MA!!” teriak Haira.

“HAIRA!!” bentak Jamilah dengan wajah merah padam.

“Sudahlah, Ma! Dia baru datang, seharusnya Mama tanyakan bagaimana keadaannya, tapi malah memukuli dia.” Haikal beralih ke adiknya. “”Haira, kamu sudah makan?”

Haira mengangguk. 

“Kamu masuklah! Siap-siap sekolah. Kakak antar ke sekolah."

Haira mengangguk ceria. “Kalau begitu aku mandi dulu.” Haira berlalu tanpa menoleh pada ibunya.

Haikal berpaling pada ibunya. “Ma, seharusnya Mama kontrol diri. Dia anak gadis, Ma. Sikap Mama membuatnya tidak betah diam di rumah. Kalau dia sering keluar rumah, itu berbahaya.” 

“Kontrol diri kamu bilang?! Kamu tahu apa perasaan orang tua? Ibu mana yang tidak marah putrinya keluar rumah tanpa pamit dan  bermalam di rumah orang?”

“Seharusnya Mama tanyakan mengapa dia keluar rumah tanpa pamit. Mama pasti tahu penyebabnya. Jika Mama ingin marah pada dia, seharusnya Mama marahi juga diri Mama sendiri.”

“Kau—“ 

Haikal tak menghiraukannya lagi. Ia berlalu ke kamarnya, tak lama terdengar dentuman pintu.

*** 

“Abi!!” teriak Salsabila menyongsong ayahnya yang baru saja membuka pagar. Anak itu telah menunggu ayahnya sejak bagun tidur. 

Terasa ada yang mengiris di hati Salwa. Kini semuanya tidak sama lagi dengan beberapa hari yang lalu. Sebelum Salman menikah lagi. Salman bepergian bukanlah pertama kali. Setiap akan datang ia selalu berusaha menghiasi dirinya juga putrinya. 

Teriakan Salsabila menjadi sesuatu yang mendebarkan. Orang yang pertama kali Salman peluk adalah putrinya. Ia akan bersabar menahan diri menunggu putrinya melepas rindu dan bercengkrama terlebih dahulu.

Kini teriakan Salsabila menjadi seiris sembilu yang menoreh luka di hatinya. Ia berharap Salsabila terus memeluk atau bercengkrama dengan ayahnya, setidaknya dapat memperlambat dengan dirinya. Apakah dia tidak merindukannya? Ia pasti merindukan laki-laki yang telah menemaninya sekian tahun. Rindu sesuatu yang nelangsa tetapi indah. Kini kerinduan itu bertambah komposisinya. Nelangsa, indah, juga menyiksa. 

“Abi kemana saja? Kenapa Abi tidak menelepon Salsa dan Umi?” tanya Salsabila, masih dalam gendongan ayahnya. Salman membawanya ke dapur, mendekati Salwa yang terlihat melap meja makan. Bohong. Kenyataannya, mereka belum sarapan. Tidak ada kegiatan yang membuat meja kotor. 

“Maafkan Abi, Sayang,” jawab Salman. Ia meletakkan sebuah plastik hitam, lalu mendudukkan Salsabila. Sesaat ia melirik Salwa yang telah sibuk membuka kantong plastiknya. Ia ingin merengkuh bahu Salwa, tetapi gagal. Salwa telah menjauh, membuka lemari, lalu mengeluarkan beberapa buah mangkuk. 

“Umi tidak memeluk Abi?” tanya Salsabila. 

Gerakan Salwa terhenti. Ia menatap suaminya yang sepertinya juga mengharapkannya.

 “Mmm ... Umi ingin menuang bubur ini, Sayang,” ucapnya sambil bergegas mengeluarkan isi di dalam kantong plastik. Salsabila masih saja menatapnya heran. 

“Banyak sekali mangkuknya, Mi?" 

Salwa kembali terkesiap. Sesaat ia menjadi orang linglung. Menatap tiga buah mangkuk yang sudah tersusun. Ia lupa, kalau mereka terbiasa makan satu wadah bersama. “Mmm ... Ummi ingin membuat ini,” ucapnya sambil mengambil gorengan tempe yang sejak tadi masih di atas tirisan minyak. 

“Membuat gorengan dalam mangkuk, Mi?” tanya Salsabila. 

Salwa kembali tergagap. Ia membuka mulut, tetapi kembali menutup. Ia merasakan, mendadak otaknya sedang lumpuh. 

Salman berusaha tertawa. 

“Anak Abi cerewet banget ya," Salman mencubit bibir putrinya. "Kenapa Salsa lebih memperhatikan itu? Salsa tidak merindukan Abi?" 

Salman memasang wajah merajuk.  

Salsabila mengalihkan perhatiannya. Sejenak Salwa dapat bernapas lega. Ia segera mengambil dua buah mangkuk yang tadi di atas meja, lalu mengembalikan dalam lemari dan menggantinya dengan sebuah piring. 

“Rindu, Abi. Sangat rindu. Abi tahu tidak, tiga hari ada kakak di sini. Haira namanya.”

“Haira?” sontak Salman setengah berteriak, membuat putrinya terkejut. 

Salwa menoleh padanya. “Abi kenal dengan Kak Haira?"

Salman menggeleng cepat. “Mana mungkin Abi mengenalnya. Bertemu saja belum.”

“Iya ya,” jawab Salsabila. 

“Sekarang kita makan, yuk!” Salwa mendekatkan sebuah mangkuk yang telah berisi bubur pada mereka. Salman mendudukkan putrinya pada kursi tengah, lalu ia duduk di kursi samping Salsabila. 

“Masih panas,” ucap Salwa sambil mengaduk-ngaduk bubur. Terlihat asap keluar dari bubur itu, menguarkan aroma bumbu. Mendadak Salwa menjadi muak menciumnya. 

Ia memang tidak terlalu suka dengan aroma bumbu, termasuk dari bubur. Hanya saja, selama ini ia menikmatinya karena kebersamaan yang mereka miliki. Entah kenapa, ia tidak bisa bertoleran lagi. Tiba-tiba perutnya merasa mual menciumnya. 

Ia menyuapkan bubur itu ke mulut Salwa, lalu ke mulut Salman. Ia kembali ingin mengambil, tetapi Salman merebut sendok yang dipegangnya. Tak lama sesendok bubur telah berada di dekatnya. Sesaat ia menatap Salman yang sedang menunggu mulutnya terbuka.

Ia memaksakan diri untuk membuka mulutnya. Baru saja, bubur itu menyentuh lidahnya, tiba-tiba mual di perut melonjak. Menuntut dikeluarkan. 

Ia segera beranjak ke kamar mandi memuntahkan bubur yang tadi disuap. Malangnya, perutnya terus kontraksi, sedang di perutnya tidak ada makanan sedikitpun. Bahkan kini hanya keluar cairan yang menguning, perutnya masih saja melonjak. 

“Umi kenapa?” tanya Salman yang wajah cemas. 

“Tidak apa? Abi temani Salwa makan saja,” ucapnya dengan napas tersengal. “Hoak ....!”

Salman ingin bersuara, tetapi urung ketika melihat putrinya muncul dengan wajah cemas. Ia keluar dari kamar mandi, lalu mengangkat Salsabila ke dapur. 

“Umi kenapa?” tanya Salsabila. 

Salman tak menjawab. Ia mengambil mangkuk bubur, membawa Salsabila ke ruang tengah. “Kita makan di sini saja, ya.”

Salwa berjalan, melewati mereka dengan sisa-sisa tenaga. Ia langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang, begitu sampai ke kamar. 

 “Salsa suap sendiri ya. Abi mau lihat Umi dulu. Salsa mau kan?” 

Salsa mengangguk ragu. 

“Anak solehah,” ucap Salman sambil mengusap lembut rambut keriting anaknya. 

Sampai di kamar ia mengambil minyak kayu putih, membuka penutupnya lalu menyerahkan pada Salwa. Salwa segera membaui aroma dari minyak kayu putih itu dengan mata terpejam. Jasmaninya sedikit lebih lega, tetapi sesak masih membalutnya. 

“Umi nangis?” 

Bab terkait

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   7. Serpihan Hati

    Salwa tersentak. Matanya membulat, menangkap sepasang manik yang menatapnya dengan cemas. Jemarinya Salman terangkat hendak mengusap wajahnya, tetapi refleks tangannya menampiknya. Sontak Salman terkejut, begitu juga dengan dirinya. “Maafkan aku,” ucapnya sambil berpaling. Lukanya kini kian bertambah. Seumur hidupnya berusaha menjadi wanita yang taat pada suaminya. Lalu tiba-tiba berani melawan merupakan musibah baginya. Yang membuatnya semakin terluka, kini ia mempunyai anggota tubuh yang kadang sulit dikendalikannya. Semua bermula karena cintanya telah hancur. Cinta pengendali segalanya. Perbedaan menjadi dapat dimaklumi. Cinta dapat meredam emosi. Cinta dapat menghilang kabut dalam rumah tangga. Cinta membuat semuanya membuat berat menjadi ringan. Kini, cinta itu telah berkeping. Ini hanya perkara bubur. Masih banyak perbedaan yang mereka miliki. Hanya seputar makanan. Ia tidak suka makanan beraroma, tetapi kesukaan Salman dan Salsa. Ke depannya, masih bisakah ia menyediakan me

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   8. Orang Dari Masa Lalu

    Badannya kembali tertarik. Namun, kali ini Salman bukan mengunci badannya, melainkan kedua bibirnya. Tangannya berusaha mendorong dada Salman, tetapi dengan sigap Salman memegang sebelah tangannya. Seketika air matanya mengalir deras. Mengapa semuanya terasa menyakitkan? ‘Banyak bersyukur akan membuat hatimu sedikit lega dan ikhlas,’ ucapan Silmi kembali terngiang. Ia berusaha melenturkan dirinya. Memberontak tidak ada gunanya. Kenyataannya, Salman punya hak atas dirinya. Siapa sangka, di saat ia merelakan diri, Salman melepaskan ciumannya. Matanya terbuka. Jari jemari Salman mengusap wajahnya. “Maafkan aku. Aku janji tidak akan memaksamu.” Mulutnya tak berucap, bahkan air matanya pun seakan bekerjasama. Mengungkapkan segala rasa tanpa bunyi. “Aku telah melakukan banyak kesalahan dan mungkin tidak termaafkan. Namun, beri aku kesempatan untuk mengobati hatimu. Ya.” Salwa mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Salman. Salman kembali memajukan wajahnya, tetapi tubuhn

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   9. Orang Dari Masa Lalu (B)

    “Sepertinya kamu sengaja menghindariku,” ucap Aditya setelah Salsabila dan Haira jauh dari mereka. “Maksudmu?” “Kemarin kamu tiba-tiba pulang, padahal katanya ingin bermalam di rumah ibumu. Tapi tiba-tiba sore sudah pulang.”“Kenapa aku harus menghindarimu?” tanya Salwa sambil mengambil botol minuman, lalu ingin meneguknya. Sayangnya, botol di tangannya sudah keburu direbut Aditya. “Kalau kamu tidak menghindariku, tidak seharusnya kamu pulang sore itu,” ucap Aditya sambil membuka segel botol dan penutupnya, lalu menyerahkannya pada Salwa. “Padahal jelas-jelas Salsa bilang padaku ingin bermalam.” Salwa hanya menatap botol itu, tanpa minat untuk mengambil kembali. Aditya kembali menggerakkan botol minuman itu, “Salwa, aku tahu diri kok, kalau kamu sudah menikah. Selama kamu bahagia, aku juga bahagia. Aku tidak akan mengganggumu.”Salwa tertegun. Ia bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Aditya, seandainya tahu masalah yang dihadapinya?Ia teringat mengapa ia pulang ke rumah ibunya,

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   10. Sebuah Rasa

    Haira tersenyum mencebik melihat wajah ibunya. “Apaan sih, Mama. Aku sudah memutuskan masuk di pondok mana." “Tapi dari mana kamu tahu informasi pondok itu?” tanya Jamilah cemas.“Ada deh,” jawab Haira cuek. Ia mengambil remote televisi dari tangan Haikal. “Tapi sebagai orang tua, kami harus tahu dan melihat langsung pondok itu, sebelum kamu mendaftar ke sana. Kami harus memastikan kamu nyaman di pondok itu.”“Ada orang yang aku kenal di sana, Ma. Dia baik. Aku juga pernah ke sana. Aku menyukainya, jadi Mama nggak usah khawatir. Selain itu, aku ga mau Mama ke sana.”Jamilah tersentak dengan ucapan Haira yang terakhir. “Berita Mama kawin dengan suami orang sudah tersebar di sekolahku, aku tidak ingin juga menyebar ke pondok. Cukup Kak Haikal yang jadi waliku.”Jamilah menatap Salman untuk meminta pendapatnya. Salman hanya membalasnya dengan anggukan. “Baiklah, jika itu maumu. Meski sedih, Mama menurut saja. Mama percayakan itu pada Haikal. Semoga kamu betah di sana. Almarhum Papa p

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   11. Kepercayaan Yang Retak

    Aditya terlonjak. Ia meluruskan badannya ke arah Salman. Keningnya mengerut tajam. “Bukankah itu gedung warisan dari orang tuamu?"“Memang benar. Tapi aku telah memberikan padanya. Sekarang lagi proses pengalihan nama.”Wajah Aditya sedikit mulai melentur, tetapi tetap saja ia sangat malas harus bekerjasama dengan suami mantannya. “Kalau memang tidak ada yang dibicarakan lagi, aku duluan.Terima kasih, Pak Bayu. Senang bertemu dengan Bapak,” ucap Salman sambil mengulurkan tangannya ke arah Bayu. “Sama-sama,” jawab Bayu. “Semoga kita berjodoh, Pak.”Sayangnya, Bayu tidak mendengar ucapan amin dari Salman. Tak lama Salman telah hilang dari pandangan mereka. Berselisih dengan karyawan yang mengantarkan minuman untuk mereka. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kau punya perasaan terhadap istrinya?” tanya Bayu sambil menggeser gelas minuman yang diletakkan karyawan.“Tepatnya mantan,” sahut Aditya dengan wajah masih saja suram. Bayu tidak memperlihatkan wajah terkejut. Ia meneguk kopi yang

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   12. Kepercayaan Yang Retak (B)

    Salwa duduk. Perlu beberapa saat ia mengendalikan dirinya. Jika menyinggung keinginan Salman, ia perlu persiapan mental terlebih dahulu. Ia menarik napasnya pelan. “Tidak apa. Tidak salahnya kan aku meminta sesuatu pada Abi?"“Tidak salah! Tapi kenapa baru sekarang? Dan kenapa menjadikan persyaratan?” Salman ikutan duduk.“Itu karena jika Abi menikah otomatis harta itu Abi gunakan untuk dua rumah tangga. Sedang aku delapan tahun menemani Abi, susah senang kita hadapi bersama. Apa salahnya kan jika meminta sebagian harta Abi sebelum dengan perempuan itu? Selain itu juga atas nama Salsabila. Aku hanya ingin mendapatkan jaminan masa depan Salsabila.” “Aku mengerti. Tapi kamu tahu, jika aku menikah lagi, otomatis kebutuhanku akan semakin bertambah.”Lahar di dalam diri yang berusaha ditekannya kini semakin liar. Ia semakin kewalahan menahan lahar itu. “Mengapa? Abi tidak rela Jamilah kesulitan? Padahal itu telah Abi lewati bersamaku? Bi, Bangunan itu memang warisan dari orang tua Abi, ta

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   13. Berawal Dari Mimpi

    Sektika kalimat itu menghantam Salman. Ia tidak pernah memikirkan hal itu. “Jadi sebenarnya, jika aku memberikannya dari dulu, kau juga akan melakukan hal yang sama?” tanya Salman lesu.“Tergantung kamu. Memangnya selama ini aku terlihat matre?”“Bukan begitu! Tapi kenapa kamu mengujiku seperti ini?” protes Salman.“Aku tidak mengujimu. Aku juga tidak terpikirkan akhirnya kamu rela melepaskan ruko itu demi Jamilah! Padahal dulu aku meminta atas nama Salsa. Aku semakin kecewa padamu. Kamu seperti tidak mengenalku.”Salman tertegun. Ia meraih kedua tangan Salwa. “Aku mohon, jangan bicarakan perceraian. Pandanglah anak kita!”Kali ini wajah Salwa meredup. Berganti dengan air mata yang menganak sungai.“Apakah selama ini kamu memandangnya? Pernahkah kamu berpikir bagaimana ayah yang sangat dicintainya telah membagi hati? Selama ini jika kamu pergi, dia selalu menantimu pulang. Ke depannya, aku akan bilang apa padanya jika kamu membagi waktumu untuk orang lain?”Tangan Salman terangkat, te

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   14. Iman Atau Cinta?

    "NENEK!" teriak Salwa. Ibunya berpaling, begitu juga dengan laki-laki yang sejak tadi ngobrol dengan ibunya. Seketika wajah laki-laki itu membuat Salwa tersentak. "Aditya?" gumamnya. "Hei, Salwa ke sini? Ya Allah … miang, Cu. Nanti gatal." Pegangan Salwa kini terlepas. Salsabila telah berlari ke arah neneknya, tetapi Salwa berjalan semakin pelan. Laki-laki di samping ibunya terus saja menatapnya. Dejavu. Kenangan waktu kecil di kebun semangka bersama laki-laki itu kini mengulang di benak. Sampai besar pun mereka masih saja suka bermain-main di kebun semangka jika musim bertanam semangka. Bahkan ia ingat betul, pernah berlari ke laki-laki itu saat mereka akan berpisah waktu hendak kuliah. Tiba-tiba saja ia merindukan hal itu. Betapa dulu setiap ada masalah ia tinggal menyeberang, masalah akan selesai. Tidak ada soal yang tidak bisa dijawab Aditya. Tidak ada kesedihan yang tidak hilang di bahu Aditya. Aditya selalu bisa menghiburnya dengan cara yang unik. "Apa kabar, Salwa?" B

Bab terbaru

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   111. Ektra Part (2)

    “Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   110. Ekstra Part

    Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   109. Ending (3)

    Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   108. Ending (2)

    Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   107. Ending

    “Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   106. Pengorbananmu Takkan Sia-sia (2)

    Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat  kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   105. Pengorbananmu Takkan Sia-sia

    "Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   104. Caraku Melindungimu (2)

    Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   103. Caraku Melindungimu

    Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa

DMCA.com Protection Status