Home / Romansa / Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia) / 5. Mencari Surga Yang Lain

Share

5. Mencari Surga Yang Lain

Author: El Nurien
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Silmi menggeleng. “Hanya saja Salman surga dan nerakamu sekarang.”

“Bagaimana jika aku melepaskan surga yang sekarang  dan mencari surga yang lain?” 

“Astagfirullah …. Salwa, jangan coba berpikir tentang perceraian! Ana tidak akan bilang cerai itu perkara halal yang dibenci karena anti tau soal itu. Tapi pikirkan anak anti, Salsabila. Dia masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah.”

Salwa menghempaskan napas. “Ana pun memikirkan itu. Tapi apa ana terus bisa bersikap baik pada Salman dengan kondisi hati yang sudah hancur?  Ketidakharmonisan orang tua juga akan mempengaruhi perkembangan anak-anak.” 

Giliran Silmi yang menghempaskan napas. “Anti benar.” 

Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. 

“Bagaimana kalau anti fokuskan untuk mengobati hati anti? Siapa tahu itu membuat langkah anti sedikit lebih ringan.”

“Mengobati hati? Silmi, luka yang diduakan itu berdarah-darah, membusuk bahkan bernanah. Setiap saat luka itu menguarkan aroma tidak nyaman sehingga berefek pada hubungan kami. Ana tidak yakin lagi, luka separah itu apa bisa diobati.”

“Astaghfirullah … Salwa. Jangan mendahului takdir. Ana akui, ana tidak begitu memahami kedalaman luka anti. Tapi sebagai sahabat, ana hanya bisa berharap agar anti berupaya untuk mengobati luka. Bagaimana hasilnya nanti, kita serahkan kepada Allah."

Salwa terdiam. Lahar dalam dirinya masih meletup-letup. Namun di sisi lain, ia mengakui kebenaran ucapan Silmi.

"Dibanding meratapi nasib, lebih baik waktu anti digunakan untuk mengobati hati dan jangan mengungkit kesalahan suami, karena itu akan membuat hatimu semakin hancur. Banyak bersyukur akan membuat hati sedikit lebih lega dan ikhlas."

Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Ah iya, Cahya punya makala pembahasan tentang hati,” seru Silmi tiba-tiba. 

“Cahya? Murid anti yang sekarang ikutan tes 30 juzz?” 

Silmi mengangguk. “Dia pernah ditawarin beasiswa dari sebuah univ karena karya tulisnya.”

“Kok berbeda yang ana dengar. Ana dengar dia kuliah karena beasiswa adiknya Kyai. Ibunya … siapa itu? Dokter juga, kan?”

“Lidya, ibunya Setya. Anti tidak salah dengar. Awalnya dia memang dapat beasiswa dari kampus, tapi persyaratan kampus mahasiswa harus meng-asrama di sana. Ibunya tidak mengizinkan. Entah kenapa, singkat cerita dia tetap kuliah tapi di bawah tanggungan Dr. Lidya, tantenya Ustadzah Aisyah.” 

“Ooh begitu. Ana jadi penasaran dengan makalahnya. Dari dulu dia memang terlihat pintar dan menguasai ayat yang dihafalnya, ya.”

“Itu dulu karena sangat kesulitan menghafal. Jadi dia memakai teknik memahaminya dulu, baru menghafal. Alhamdulillah, teknik itu cocok untuk dia, dan siapa sangka dengan jalan itu ia juga mendapatkan beasiswa.”

“Alhamdulillah. Tapi ana tidak jarang melihatnya."

“Dia terbiasa menghabiskan waktu di gedung sebelah. Sekarang dia memang pulang, ayahnya sakit. Kalau anti mau, nanti saya chat dia."

"Mau. Jazakillah jhair." 

Salwa mendesah. Ia kembali menyandarkan punggungnya ke dinding. "Tak lama lagi tes 30 juz dimulai."

Salwa memejamkan matanya yang mulai menghangat. Lukanya akan bertambah parah jika mengingat tes. Bisa-bisanya suaminya menikah di saat ia tengah berjuang. 

"Ingat tes?" tanya Silmi lirih. 

Ia hanya menjawab dengan anggukan. Namun, air matanya mengalir deras, seakan mewakili banyaknya kata yang ingin ia curahkan. 

Silmi menyentuh tangannya. Ia membuka mata. Wajah teduh Silmi membuatnya menghambur diri. 

Silmi menepuk punggungnya. "Sabar, ya. Allah tidak pernah zalim pada hamba-Nya. Hanya saja kita perlu beradaptasi."

"Ana tidak bisa memaafkan, Silmi. Mengapa dia melupakan perjuanganku sekian tahun?" ucapnya di sela isakan.

Silmi melepaskan pelukannya, menatap wajah Salwa yang basah. "Jangan begitu. Soal tes, anti bisa coba lagi di tahun berikutnya." 

Salwa menggeleng. "Ana tidak yakin lagi. Malam tadi, ana ingin murojaah surat Al-Baqarah saja tidak bisa lagi tanpa mushaf. Selain itu, setiap kali membuka mushaf, ana selalu terluka. Ana seperti trauma. Ana …." 

Silmi kembali memeluknya. "Ana ngerti. Tak apa, jangan pikirkan itu. Sekarang yang terpenting, bagaimana anti bisa mengobati hatimu. Setiap penyakit, pasti Allah sediakan obatnya. Mintalah petunjuk pada Allah. Ana akan selalu mendoakan kebaikan untuk anti." 

*** 

“Tante, ayah Salsabila kemana? Selama di sini kenapa aku tidak pernah melihat dia?” tanya Haira sambil memiringkan badan, menghadap Salwa. 

Mereka memutuskan tidur bersama di ruang tengah dengan menghampar kasur tipis. 

Gerakan mulut Salwa yang tadinya membaca tasbih Fatimah seketika terhenti “Dia ada urusan di luar. Jadi selama dua hari ke depan, dia tidak akan pulang. In sya Allah.”

“Jadi selama tiga hari, aku bisa nginap di sini?” seru Haira girang. Tiba-tiba ia menutup mulutnya, ketika menyadari Salsabila yang sudah tertidur pulas di tengah mereka.

Salwa tersenyum. Ia kembali melanjutkan zikirnya. 

“Tante, kenapa tidak memasang foto-foto di dinding?” tanya Haira sambil duduk. Ia mengedarkan pandangannya, menyapu dinding rumah Salwa yang hanya ada beberapa miniatur tersusun di rak gantung. 

“Mengenai hal itu, beberapa pendapat ulama yang berbeda. Ada yang tidak membolehkan memajang benda yang menyerupai ciptaan Allah seperti gambar, lukisan atau patung makhluk bernyawa.” 

Haira membetulkan duduknya. Terlihat ia serius menyimak. 

“Sebagian ulama lagi membolehkan foto karena itu hanyalah hasil tangkapan proyeksi. Namun, kami memilih untuk menghindarinya. Jadi foto-foto kami simpan di album atau di ponsel.”

Haira mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. 

“Haira.”

Nada panggilan Salwa membuatnya menatap serius. 

“Sebelumnya Tante minta maaf. Boleh Tante bertanya sesuatu padamu?”

Haira tercenung. Ia mengerti arah pembicaraan Salwa. Namun, bisakah ia mengelak? Entah kenapa, ia merasa tidak berani berbohong pada wanita yang telah menyelamatkannya. Akhirnya ia mengangguk ragu. 

“Kamu mempunyai orang tua?” 

Haira mengangguk sambil menelan ludahnya. “Aku masih mempunyai ibu, Tante. Sedang ayah telah meninggal sekitar lima tahun yang lalu.”

“Ibumu pasti mencemaskanmu.”

“Aku tidak boleh tinggal di sini ya, Tante?”

“Bukan! Begini, Tante sangat senang kamu tinggal di sini, terutama di saat ayahnya Salsa tidak ada. Tapi ibumu pasti sangat khawatir.”

Haira menggeleng cepat. “Mama—“ Haira cepat-cepat mengulum mulutnya. Menikah dengan laki-laki yang telah beristri rasanya memalukan. Tidak mungkin ia menceritakan hal itu.

“Tidak, Tante. Mama sibuk dengan suami barunya, mana sempat ia memikirkan aku. Andai Mama khawatir, seharusnya dia sudah datang ke sini. Bukankah Kak Haikal sudah tahu keberadaanku. Tidak sulit buat Mama jika ingin mencariku.”

Mulut Salwa bungkam. Menatap iba. Ia yakin, ibunya Haira pasti mencemaskan putrinya, hanya saja mungkin tuntutan kesibukan lain. Membuat ibunya Haira menyampingkan  putrinya. Apalagi jika Haikal tahu adiknya baik-baik saja.

Salwa menatap wajah putrinya yang terlelap. Perpisahan merupakan mimpi buruk bagi anak-anak. Salsabila terlalu kecil untuk menerima kenyataan ini. Jauhnya dari perhatian seorang ayah sudah pasti, ditambah lagi dengan sang ibu sibuk mencari nafkah. Lalu mungkin suatu saat harus beradaptasi dengan orang asing. Haira salah satu bukti nyata, sulitnya seorang anak menerima sosok baru dalam keluarga.

Sebelah tangannya mengelus rambut keriting putrinya. Silmi benar, dibanding memikirkan luka dan kecewa, lebih baik ia berbenah diri, mengobati hati agar kehidupannya terasa lebih ringan dan ikhlas. 

*** 

“Haikal! Mau ke mana lagi kamu?” Jamilah dari dapur bergegas ke ruang tengah begitu melihat putranya keluar dengan memakai jaket dan kunci di tangan. 

Haikal menghentikan langkahnya. “Aku anak cowok, Ma. Bisa menjaga diri. Seharusnya yang Mama khawatirkan tu Haira. Ini sudah 24 jam lo, Ma.”

“Bukannya kamu bilang dia baik-baik saja?!”

“Astaga, Mama. Hanya begitu! Seharusnya Mama memastikan langsung bagaimana keadaannya.”

“Kamu –" Jamilah bungkam. “Kamu tahu hari ini Mama sibuk banget. Lagi pula kamu melihatnya langsung. Mama percaya saja kamu,” dalih Jamilah. 

Haikal menatap sinis. Ia beralih menatap ke arah Salman. “Sibuk melayani dia? Teruskan saja, Ma. Aku keluar dulu. Kunci saja pintunya, aku tidak pulang malam ini.” 

“HAIKAL!” Haikal menghidupkan mesin motor, tanpa peduli dengan teriakan ibunya. 

“Haikal!!” 

Salman menyentuh pundak istrinya. “Sudahlah! Jangan paksa dia. Kehadiranku saja sudah membuat mereka tidak nyaman, jadi jangan tambah lagi dengan sikapmu.” 

Jamilah terisak. “Aku cuma khawatir, Mas. Kalau mereka kenapa-napa, bagaimana?’ ia menenggelamkan kepalanya ke bahu Salman. 

“Kita doakan saja, semoga Allah melindungi mereka.” 

*** 

Related chapters

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   6. Pengendali Itu Pecah

    Jamilah terisak. “Aku cuma khawatir, Mas. Kalau mereka kenapa-napa, bagaimana?’ ia menenggelamkan kepalanya ke dada Salman. “Kita doakan saja, semoga Allah melindungi mereka.” *** Setelah Salman pulang, Jamilah segera menelpon Haikal agar menjemput adiknya. Ia langsung memukul bokong Haira begitu sampai di rumah. “Gadis nakal!" “Aaa ... sakit, Ma!” teriak Haira sambil berusaha menghindar dari ibunya. "Ke mana saja kamu berapa hari ini, ha? Tidak tahu malu!”Haikal langsung berlari menjauhkan adiknya dari ibu mereka. “Ma!”“Haikal, kamu jangan membela dia. Ini gara-gara kamu, dia jadi manja!” seru Jamilah, sambil berusaha menarik badan Haira, tetapi Haikal terus menghalanginya. “Tidak tahu malu?!” teriak Haira. “Bukannya Mama yang tidak malu, merebut suami orang?”“Haira, diam!” tegur Haikal.“Benar 'kan, Kak?! Mama menikah dengan laki-laki yang sudah berkeluarga 'kan? Apa itu tidak termasuk tidak malu?!” “Haira, umurmu sudah 16 tahun, seharusnya kamu bisa membedakan mana yang

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   7. Serpihan Hati

    Salwa tersentak. Matanya membulat, menangkap sepasang manik yang menatapnya dengan cemas. Jemarinya Salman terangkat hendak mengusap wajahnya, tetapi refleks tangannya menampiknya. Sontak Salman terkejut, begitu juga dengan dirinya. “Maafkan aku,” ucapnya sambil berpaling. Lukanya kini kian bertambah. Seumur hidupnya berusaha menjadi wanita yang taat pada suaminya. Lalu tiba-tiba berani melawan merupakan musibah baginya. Yang membuatnya semakin terluka, kini ia mempunyai anggota tubuh yang kadang sulit dikendalikannya. Semua bermula karena cintanya telah hancur. Cinta pengendali segalanya. Perbedaan menjadi dapat dimaklumi. Cinta dapat meredam emosi. Cinta dapat menghilang kabut dalam rumah tangga. Cinta membuat semuanya membuat berat menjadi ringan. Kini, cinta itu telah berkeping. Ini hanya perkara bubur. Masih banyak perbedaan yang mereka miliki. Hanya seputar makanan. Ia tidak suka makanan beraroma, tetapi kesukaan Salman dan Salsa. Ke depannya, masih bisakah ia menyediakan me

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   8. Orang Dari Masa Lalu

    Badannya kembali tertarik. Namun, kali ini Salman bukan mengunci badannya, melainkan kedua bibirnya. Tangannya berusaha mendorong dada Salman, tetapi dengan sigap Salman memegang sebelah tangannya. Seketika air matanya mengalir deras. Mengapa semuanya terasa menyakitkan? ‘Banyak bersyukur akan membuat hatimu sedikit lega dan ikhlas,’ ucapan Silmi kembali terngiang. Ia berusaha melenturkan dirinya. Memberontak tidak ada gunanya. Kenyataannya, Salman punya hak atas dirinya. Siapa sangka, di saat ia merelakan diri, Salman melepaskan ciumannya. Matanya terbuka. Jari jemari Salman mengusap wajahnya. “Maafkan aku. Aku janji tidak akan memaksamu.” Mulutnya tak berucap, bahkan air matanya pun seakan bekerjasama. Mengungkapkan segala rasa tanpa bunyi. “Aku telah melakukan banyak kesalahan dan mungkin tidak termaafkan. Namun, beri aku kesempatan untuk mengobati hatimu. Ya.” Salwa mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Salman. Salman kembali memajukan wajahnya, tetapi tubuhn

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   9. Orang Dari Masa Lalu (B)

    “Sepertinya kamu sengaja menghindariku,” ucap Aditya setelah Salsabila dan Haira jauh dari mereka. “Maksudmu?” “Kemarin kamu tiba-tiba pulang, padahal katanya ingin bermalam di rumah ibumu. Tapi tiba-tiba sore sudah pulang.”“Kenapa aku harus menghindarimu?” tanya Salwa sambil mengambil botol minuman, lalu ingin meneguknya. Sayangnya, botol di tangannya sudah keburu direbut Aditya. “Kalau kamu tidak menghindariku, tidak seharusnya kamu pulang sore itu,” ucap Aditya sambil membuka segel botol dan penutupnya, lalu menyerahkannya pada Salwa. “Padahal jelas-jelas Salsa bilang padaku ingin bermalam.” Salwa hanya menatap botol itu, tanpa minat untuk mengambil kembali. Aditya kembali menggerakkan botol minuman itu, “Salwa, aku tahu diri kok, kalau kamu sudah menikah. Selama kamu bahagia, aku juga bahagia. Aku tidak akan mengganggumu.”Salwa tertegun. Ia bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Aditya, seandainya tahu masalah yang dihadapinya?Ia teringat mengapa ia pulang ke rumah ibunya,

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   10. Sebuah Rasa

    Haira tersenyum mencebik melihat wajah ibunya. “Apaan sih, Mama. Aku sudah memutuskan masuk di pondok mana." “Tapi dari mana kamu tahu informasi pondok itu?” tanya Jamilah cemas.“Ada deh,” jawab Haira cuek. Ia mengambil remote televisi dari tangan Haikal. “Tapi sebagai orang tua, kami harus tahu dan melihat langsung pondok itu, sebelum kamu mendaftar ke sana. Kami harus memastikan kamu nyaman di pondok itu.”“Ada orang yang aku kenal di sana, Ma. Dia baik. Aku juga pernah ke sana. Aku menyukainya, jadi Mama nggak usah khawatir. Selain itu, aku ga mau Mama ke sana.”Jamilah tersentak dengan ucapan Haira yang terakhir. “Berita Mama kawin dengan suami orang sudah tersebar di sekolahku, aku tidak ingin juga menyebar ke pondok. Cukup Kak Haikal yang jadi waliku.”Jamilah menatap Salman untuk meminta pendapatnya. Salman hanya membalasnya dengan anggukan. “Baiklah, jika itu maumu. Meski sedih, Mama menurut saja. Mama percayakan itu pada Haikal. Semoga kamu betah di sana. Almarhum Papa p

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   11. Kepercayaan Yang Retak

    Aditya terlonjak. Ia meluruskan badannya ke arah Salman. Keningnya mengerut tajam. “Bukankah itu gedung warisan dari orang tuamu?"“Memang benar. Tapi aku telah memberikan padanya. Sekarang lagi proses pengalihan nama.”Wajah Aditya sedikit mulai melentur, tetapi tetap saja ia sangat malas harus bekerjasama dengan suami mantannya. “Kalau memang tidak ada yang dibicarakan lagi, aku duluan.Terima kasih, Pak Bayu. Senang bertemu dengan Bapak,” ucap Salman sambil mengulurkan tangannya ke arah Bayu. “Sama-sama,” jawab Bayu. “Semoga kita berjodoh, Pak.”Sayangnya, Bayu tidak mendengar ucapan amin dari Salman. Tak lama Salman telah hilang dari pandangan mereka. Berselisih dengan karyawan yang mengantarkan minuman untuk mereka. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kau punya perasaan terhadap istrinya?” tanya Bayu sambil menggeser gelas minuman yang diletakkan karyawan.“Tepatnya mantan,” sahut Aditya dengan wajah masih saja suram. Bayu tidak memperlihatkan wajah terkejut. Ia meneguk kopi yang

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   12. Kepercayaan Yang Retak (B)

    Salwa duduk. Perlu beberapa saat ia mengendalikan dirinya. Jika menyinggung keinginan Salman, ia perlu persiapan mental terlebih dahulu. Ia menarik napasnya pelan. “Tidak apa. Tidak salahnya kan aku meminta sesuatu pada Abi?"“Tidak salah! Tapi kenapa baru sekarang? Dan kenapa menjadikan persyaratan?” Salman ikutan duduk.“Itu karena jika Abi menikah otomatis harta itu Abi gunakan untuk dua rumah tangga. Sedang aku delapan tahun menemani Abi, susah senang kita hadapi bersama. Apa salahnya kan jika meminta sebagian harta Abi sebelum dengan perempuan itu? Selain itu juga atas nama Salsabila. Aku hanya ingin mendapatkan jaminan masa depan Salsabila.” “Aku mengerti. Tapi kamu tahu, jika aku menikah lagi, otomatis kebutuhanku akan semakin bertambah.”Lahar di dalam diri yang berusaha ditekannya kini semakin liar. Ia semakin kewalahan menahan lahar itu. “Mengapa? Abi tidak rela Jamilah kesulitan? Padahal itu telah Abi lewati bersamaku? Bi, Bangunan itu memang warisan dari orang tua Abi, ta

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   13. Berawal Dari Mimpi

    Sektika kalimat itu menghantam Salman. Ia tidak pernah memikirkan hal itu. “Jadi sebenarnya, jika aku memberikannya dari dulu, kau juga akan melakukan hal yang sama?” tanya Salman lesu.“Tergantung kamu. Memangnya selama ini aku terlihat matre?”“Bukan begitu! Tapi kenapa kamu mengujiku seperti ini?” protes Salman.“Aku tidak mengujimu. Aku juga tidak terpikirkan akhirnya kamu rela melepaskan ruko itu demi Jamilah! Padahal dulu aku meminta atas nama Salsa. Aku semakin kecewa padamu. Kamu seperti tidak mengenalku.”Salman tertegun. Ia meraih kedua tangan Salwa. “Aku mohon, jangan bicarakan perceraian. Pandanglah anak kita!”Kali ini wajah Salwa meredup. Berganti dengan air mata yang menganak sungai.“Apakah selama ini kamu memandangnya? Pernahkah kamu berpikir bagaimana ayah yang sangat dicintainya telah membagi hati? Selama ini jika kamu pergi, dia selalu menantimu pulang. Ke depannya, aku akan bilang apa padanya jika kamu membagi waktumu untuk orang lain?”Tangan Salman terangkat, te

Latest chapter

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   111. Ektra Part (2)

    “Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   110. Ekstra Part

    Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   109. Ending (3)

    Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   108. Ending (2)

    Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   107. Ending

    “Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   106. Pengorbananmu Takkan Sia-sia (2)

    Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat  kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   105. Pengorbananmu Takkan Sia-sia

    "Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   104. Caraku Melindungimu (2)

    Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   103. Caraku Melindungimu

    Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa

DMCA.com Protection Status