Salwa tersentak. Matanya membulat, menangkap sepasang manik yang menatapnya dengan cemas. Jemarinya Salman terangkat hendak mengusap wajahnya, tetapi refleks tangannya menampiknya. Sontak Salman terkejut, begitu juga dengan dirinya.
“Maafkan aku,” ucapnya sambil berpaling. Lukanya kini kian bertambah. Seumur hidupnya berusaha menjadi wanita yang taat pada suaminya. Lalu tiba-tiba berani melawan merupakan musibah baginya. Yang membuatnya semakin terluka, kini ia mempunyai anggota tubuh yang kadang sulit dikendalikannya. Semua bermula karena cintanya telah hancur. Cinta pengendali segalanya. Perbedaan menjadi dapat dimaklumi. Cinta dapat meredam emosi. Cinta dapat menghilang kabut dalam rumah tangga. Cinta membuat semuanya membuat berat menjadi ringan. Kini, cinta itu telah berkeping. Ini hanya perkara bubur. Masih banyak perbedaan yang mereka miliki. Hanya seputar makanan. Ia tidak suka makanan beraroma, tetapi kesukaan Salman dan Salsa. Ke depannya, masih bisakah ia menyediakan menu itu? Belum lagi perbedaan selera warna, hobi, kebiasaan bahkan cara berpikir. Bagaimana ia bisa menghadapi semua keadaan di esok hari? Ia tidak yakin iming-iming surga dapat membuatnya bertahan.. Ia menenggelamkan wajah ke bantal meredam deru tangisnya. Tangisnya semakin sulit dikendalikan ketika Salman menaruh kepalanya di pangkuan. “Maafkan aku. Maafkan aku," ucapnya nyaris tak berbunyi. “Abi yang seharusnya minta maaf,” bisik Salman sambil menciumi rambutnya. Sesal tentu saja menyelimuti perasaan Salman. Hatinya hancur melihat keadaan Salwa dan dirinyalah penyebabnya. Naif sekali. Sekarang jelaslah bahwa dirinya hanyalah pahlawan kesiangan.Salwa semakin menenggelamkan kepala mendengar permohonan maaf suaminya. Apa artinya permohonan maaf? Semua telah terjadi. Cintanya terlanjur hancur. Sekarang apa yang harus dilakukannya dengan hati yang hancur? Mampukah ia mengumpulkan serpihan-serpihan hati menjadi utuh? Mungkin waktu bisa mengumpulkan semuanya, tetapi tidak akan seperti semula. ‘Dibanding meratapi nasib, lebih baik waktu anti digunakan untuk mengobati hati dan jangan mengungkit kesalahan suami, karena itu akan membuat hatimu semakin hancur. Banyak bersyukur akan membuat hati sedikit lebih dan ikhlas,’ ucap Silmi saat itu. “Umi kenapa nangis?” tanya Salsabila dengan wajah meringis. Salwa terkesiap. Ia segera bangun sambil mengusap wajahnya. “Tidak, Sayang. Umi cuma sedikit tidak enak badan.”Salman membantu merapikan rambutnya yang berantakan. “Kenapa wajah umi merah?” Salsabila sudah duduk di samping ayahnya. “Umi cuma sakit. Salsa hari ini mau kan ke rumah nenek dulu? Atau sama Ammah di pondok? Supaya Umi bisa istirahat. Salsa mau kan?” Salsabila mengangguk. "Salsa mau sama Ammah di pondok.”“Baiklah kalau begitu.” Salman beralih ke Salwa. Kembali tangannya terangkat, mengelus rambutnya dengan lembut. “Umi izin libur saja ya.”Salwa mengangguk. “Umi mau makan apa? Biar aku belikan nanti di jalan. In sya Allah.”*** Salwa berusaha memaksa diri beraktifitas. Diam hanyalah membuat hatinya semakin nelangsa. Saat Salman datang dari mengantar Salsabila, ia sedang di dapur membuat telur mata sapi. Salam Salman hanya dijawabnya dari dapur, tanpa merasa harus menyambutnya. “Bikin apa? Bukannya tadi aku bilang akan membelikan makanan?” tanya Salman sambil meletakkan makanan yang baru saja dibelinya. Ia mengambil mangkuk dan piring dari lemari, lalu menuang sayur ke mangkuk, sedang ikan ke piring. Salwa hanya menjawab dengan senyuman dipaksakan. Ia meletakkan telur mata sapi buatannya ke dalam piring lalu menaruh ke atas meja. Saat ditanya mau dibelikan apa, ia menyerahkan kepada Salman. Namun belakangan, ia tidak yakin apakah Salman akan membelikan makanan sesuai seleranya. Ia tidak ingin insiden bubur terulang lagi. Sungguh sangat menyiksa, perut ingin memuntahkan isi, tetapi tidak ada yang bisa dikeluarkan. “Pagi-pagi sudah ada jual sayur masak?” tanyanya sambil memperhatikan isi mangkuk.Salman mengangguk sambil memeluknya dari belakang. Ia meletakkan dagunya di leher Salwa. “Pas kebetulan tadi baru buka. Maafkan Abi. In sya Allah, tidak akan beli bubur lagi.”Salwa mengernyit. Ia merasakan tubuhnya bereaksi. Ya. Ia mengakui, kalau dirinya sangat merindukan laki-laki itu. Andai itu dulu, ia akan berbalik lalu memeluk erat. Kali ini, gengsi menahannya. Ia takut, kalau kerinduannya tidak berimbang dengan Salman. Tentu akan menambah luka lagi. “Tidak apa. Entah kenapa tadi perutnya tiba-tiba mual. Tunggu sebentar.” Ia berusaha melepaskan dua tangan yang bertautan di pinggangnya, tetapi kedua tangan itu semakin mengerat. “Aku mau mengambil piring buat tempat nasi. Abi sudah makan belum?”Salman melepaskan pegangannya. Namun, tanpa disangka tiba-tiba badan Salwa terpaling dan langsung tenggelam dalam pelukan Salman. “Aku sangat merindukanmu,” bisik Salman. Kalimat yang sering membuatnya melayang kini berubah rupa. Fakta yang baru didapatkan pagi ini, perasaannya tidak sepenuhnya lagi percaya pada ucapan Salman. “Bagaimana mungkin Abi merindukanku. Sedang selama tiga hari dia selalu menamani. Barang baru, tentu memberikan sensasi baru,” ucap Salwa nada bergelombang. Salman semakin mengeratkan pelukannya. “Jangan bilang begitu. Bagaimanapun dia orang baru, aku perlu beradaptasi dengannya. Sedangkan kamu, sudah menjadi belahan jiwaku. Sehari saja tidak bertemu, betapa hati ini sangat tersiksa.”Salwa berdecak. Mengapa ia merasa Salman menjadi seorang penggombal. Ia melepaskan diri dari pelukan Salman. “Aku mau mengambil piring.”Badannya kembali tertarik. Namun, kali ini Salman bukan mengunci badannya, melainkan kedua bibirnya. Tangannya berusaha mendorong dada Salman, tetapi dengan sigap Salman memegang sebelah tangannya. Seketika air matanya mengalir deras. Mengapa semuanya terasa menyakitkan?Badannya kembali tertarik. Namun, kali ini Salman bukan mengunci badannya, melainkan kedua bibirnya. Tangannya berusaha mendorong dada Salman, tetapi dengan sigap Salman memegang sebelah tangannya. Seketika air matanya mengalir deras. Mengapa semuanya terasa menyakitkan? ‘Banyak bersyukur akan membuat hatimu sedikit lega dan ikhlas,’ ucapan Silmi kembali terngiang. Ia berusaha melenturkan dirinya. Memberontak tidak ada gunanya. Kenyataannya, Salman punya hak atas dirinya. Siapa sangka, di saat ia merelakan diri, Salman melepaskan ciumannya. Matanya terbuka. Jari jemari Salman mengusap wajahnya. “Maafkan aku. Aku janji tidak akan memaksamu.” Mulutnya tak berucap, bahkan air matanya pun seakan bekerjasama. Mengungkapkan segala rasa tanpa bunyi. “Aku telah melakukan banyak kesalahan dan mungkin tidak termaafkan. Namun, beri aku kesempatan untuk mengobati hatimu. Ya.” Salwa mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Salman. Salman kembali memajukan wajahnya, tetapi tubuhn
“Sepertinya kamu sengaja menghindariku,” ucap Aditya setelah Salsabila dan Haira jauh dari mereka. “Maksudmu?” “Kemarin kamu tiba-tiba pulang, padahal katanya ingin bermalam di rumah ibumu. Tapi tiba-tiba sore sudah pulang.”“Kenapa aku harus menghindarimu?” tanya Salwa sambil mengambil botol minuman, lalu ingin meneguknya. Sayangnya, botol di tangannya sudah keburu direbut Aditya. “Kalau kamu tidak menghindariku, tidak seharusnya kamu pulang sore itu,” ucap Aditya sambil membuka segel botol dan penutupnya, lalu menyerahkannya pada Salwa. “Padahal jelas-jelas Salsa bilang padaku ingin bermalam.” Salwa hanya menatap botol itu, tanpa minat untuk mengambil kembali. Aditya kembali menggerakkan botol minuman itu, “Salwa, aku tahu diri kok, kalau kamu sudah menikah. Selama kamu bahagia, aku juga bahagia. Aku tidak akan mengganggumu.”Salwa tertegun. Ia bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Aditya, seandainya tahu masalah yang dihadapinya?Ia teringat mengapa ia pulang ke rumah ibunya,
Haira tersenyum mencebik melihat wajah ibunya. “Apaan sih, Mama. Aku sudah memutuskan masuk di pondok mana." “Tapi dari mana kamu tahu informasi pondok itu?” tanya Jamilah cemas.“Ada deh,” jawab Haira cuek. Ia mengambil remote televisi dari tangan Haikal. “Tapi sebagai orang tua, kami harus tahu dan melihat langsung pondok itu, sebelum kamu mendaftar ke sana. Kami harus memastikan kamu nyaman di pondok itu.”“Ada orang yang aku kenal di sana, Ma. Dia baik. Aku juga pernah ke sana. Aku menyukainya, jadi Mama nggak usah khawatir. Selain itu, aku ga mau Mama ke sana.”Jamilah tersentak dengan ucapan Haira yang terakhir. “Berita Mama kawin dengan suami orang sudah tersebar di sekolahku, aku tidak ingin juga menyebar ke pondok. Cukup Kak Haikal yang jadi waliku.”Jamilah menatap Salman untuk meminta pendapatnya. Salman hanya membalasnya dengan anggukan. “Baiklah, jika itu maumu. Meski sedih, Mama menurut saja. Mama percayakan itu pada Haikal. Semoga kamu betah di sana. Almarhum Papa p
Aditya terlonjak. Ia meluruskan badannya ke arah Salman. Keningnya mengerut tajam. “Bukankah itu gedung warisan dari orang tuamu?"“Memang benar. Tapi aku telah memberikan padanya. Sekarang lagi proses pengalihan nama.”Wajah Aditya sedikit mulai melentur, tetapi tetap saja ia sangat malas harus bekerjasama dengan suami mantannya. “Kalau memang tidak ada yang dibicarakan lagi, aku duluan.Terima kasih, Pak Bayu. Senang bertemu dengan Bapak,” ucap Salman sambil mengulurkan tangannya ke arah Bayu. “Sama-sama,” jawab Bayu. “Semoga kita berjodoh, Pak.”Sayangnya, Bayu tidak mendengar ucapan amin dari Salman. Tak lama Salman telah hilang dari pandangan mereka. Berselisih dengan karyawan yang mengantarkan minuman untuk mereka. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kau punya perasaan terhadap istrinya?” tanya Bayu sambil menggeser gelas minuman yang diletakkan karyawan.“Tepatnya mantan,” sahut Aditya dengan wajah masih saja suram. Bayu tidak memperlihatkan wajah terkejut. Ia meneguk kopi yang
Salwa duduk. Perlu beberapa saat ia mengendalikan dirinya. Jika menyinggung keinginan Salman, ia perlu persiapan mental terlebih dahulu. Ia menarik napasnya pelan. “Tidak apa. Tidak salahnya kan aku meminta sesuatu pada Abi?"“Tidak salah! Tapi kenapa baru sekarang? Dan kenapa menjadikan persyaratan?” Salman ikutan duduk.“Itu karena jika Abi menikah otomatis harta itu Abi gunakan untuk dua rumah tangga. Sedang aku delapan tahun menemani Abi, susah senang kita hadapi bersama. Apa salahnya kan jika meminta sebagian harta Abi sebelum dengan perempuan itu? Selain itu juga atas nama Salsabila. Aku hanya ingin mendapatkan jaminan masa depan Salsabila.” “Aku mengerti. Tapi kamu tahu, jika aku menikah lagi, otomatis kebutuhanku akan semakin bertambah.”Lahar di dalam diri yang berusaha ditekannya kini semakin liar. Ia semakin kewalahan menahan lahar itu. “Mengapa? Abi tidak rela Jamilah kesulitan? Padahal itu telah Abi lewati bersamaku? Bi, Bangunan itu memang warisan dari orang tua Abi, ta
Sektika kalimat itu menghantam Salman. Ia tidak pernah memikirkan hal itu. “Jadi sebenarnya, jika aku memberikannya dari dulu, kau juga akan melakukan hal yang sama?” tanya Salman lesu.“Tergantung kamu. Memangnya selama ini aku terlihat matre?”“Bukan begitu! Tapi kenapa kamu mengujiku seperti ini?” protes Salman.“Aku tidak mengujimu. Aku juga tidak terpikirkan akhirnya kamu rela melepaskan ruko itu demi Jamilah! Padahal dulu aku meminta atas nama Salsa. Aku semakin kecewa padamu. Kamu seperti tidak mengenalku.”Salman tertegun. Ia meraih kedua tangan Salwa. “Aku mohon, jangan bicarakan perceraian. Pandanglah anak kita!”Kali ini wajah Salwa meredup. Berganti dengan air mata yang menganak sungai.“Apakah selama ini kamu memandangnya? Pernahkah kamu berpikir bagaimana ayah yang sangat dicintainya telah membagi hati? Selama ini jika kamu pergi, dia selalu menantimu pulang. Ke depannya, aku akan bilang apa padanya jika kamu membagi waktumu untuk orang lain?”Tangan Salman terangkat, te
"NENEK!" teriak Salwa. Ibunya berpaling, begitu juga dengan laki-laki yang sejak tadi ngobrol dengan ibunya. Seketika wajah laki-laki itu membuat Salwa tersentak. "Aditya?" gumamnya. "Hei, Salwa ke sini? Ya Allah … miang, Cu. Nanti gatal." Pegangan Salwa kini terlepas. Salsabila telah berlari ke arah neneknya, tetapi Salwa berjalan semakin pelan. Laki-laki di samping ibunya terus saja menatapnya. Dejavu. Kenangan waktu kecil di kebun semangka bersama laki-laki itu kini mengulang di benak. Sampai besar pun mereka masih saja suka bermain-main di kebun semangka jika musim bertanam semangka. Bahkan ia ingat betul, pernah berlari ke laki-laki itu saat mereka akan berpisah waktu hendak kuliah. Tiba-tiba saja ia merindukan hal itu. Betapa dulu setiap ada masalah ia tinggal menyeberang, masalah akan selesai. Tidak ada soal yang tidak bisa dijawab Aditya. Tidak ada kesedihan yang tidak hilang di bahu Aditya. Aditya selalu bisa menghiburnya dengan cara yang unik. "Apa kabar, Salwa?" B
Salwa menengadahkan wajahnya demi melihat wajah Haikal. Ia kembali menoleh ke wajah Haira. Ia penasaran bagaimana ibu kedua anak rupawan ini?"Ya sudahlah kalau begitu. Kalian cuma berdua? Maksudnya tidak bersama ibumu?"Haira menggeleng. "Ya, sudah. Enggak apa-apa kok. Asal ibu kalian mengizinkan, enggak masalah. Kalian masuklah ke bagian administrasi, itu kantornya," tunjuk Salwa pada sebuah pintu. Seorang laki-laki dewasa memasuki pintu itu. "Haira, kamu tau kan di mana menemui Tante nanti?""Iya, Tante."Salwa mengangguk. "Kalian masuklah!"Ia masih saja berdiri menatap punggung kedua bersaudara itu. Melihat mereka ia teringat masa remajanya. Teringat Aditya yang selalu membersamainya. Tiba-tiba terbersit di benaknya. "Haikal!" Langkah Haikal terhenti. Ia bergegas mendekati keduanya. Ia melepaskan gelang dari kayu kokka berbentuk tasbih dengan butiran kecil-kecil di tangannya, lalu menyerahkan pada Haikal. Haikal menyambutnya heran. "Ini pemberian sahabat Tante. Sekarang Ta
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa