Salwa duduk. Perlu beberapa saat ia mengendalikan dirinya. Jika menyinggung keinginan Salman, ia perlu persiapan mental terlebih dahulu. Ia menarik napasnya pelan. “Tidak apa. Tidak salahnya kan aku meminta sesuatu pada Abi?"“Tidak salah! Tapi kenapa baru sekarang? Dan kenapa menjadikan persyaratan?” Salman ikutan duduk.“Itu karena jika Abi menikah otomatis harta itu Abi gunakan untuk dua rumah tangga. Sedang aku delapan tahun menemani Abi, susah senang kita hadapi bersama. Apa salahnya kan jika meminta sebagian harta Abi sebelum dengan perempuan itu? Selain itu juga atas nama Salsabila. Aku hanya ingin mendapatkan jaminan masa depan Salsabila.” “Aku mengerti. Tapi kamu tahu, jika aku menikah lagi, otomatis kebutuhanku akan semakin bertambah.”Lahar di dalam diri yang berusaha ditekannya kini semakin liar. Ia semakin kewalahan menahan lahar itu. “Mengapa? Abi tidak rela Jamilah kesulitan? Padahal itu telah Abi lewati bersamaku? Bi, Bangunan itu memang warisan dari orang tua Abi, ta
Sektika kalimat itu menghantam Salman. Ia tidak pernah memikirkan hal itu. “Jadi sebenarnya, jika aku memberikannya dari dulu, kau juga akan melakukan hal yang sama?” tanya Salman lesu.“Tergantung kamu. Memangnya selama ini aku terlihat matre?”“Bukan begitu! Tapi kenapa kamu mengujiku seperti ini?” protes Salman.“Aku tidak mengujimu. Aku juga tidak terpikirkan akhirnya kamu rela melepaskan ruko itu demi Jamilah! Padahal dulu aku meminta atas nama Salsa. Aku semakin kecewa padamu. Kamu seperti tidak mengenalku.”Salman tertegun. Ia meraih kedua tangan Salwa. “Aku mohon, jangan bicarakan perceraian. Pandanglah anak kita!”Kali ini wajah Salwa meredup. Berganti dengan air mata yang menganak sungai.“Apakah selama ini kamu memandangnya? Pernahkah kamu berpikir bagaimana ayah yang sangat dicintainya telah membagi hati? Selama ini jika kamu pergi, dia selalu menantimu pulang. Ke depannya, aku akan bilang apa padanya jika kamu membagi waktumu untuk orang lain?”Tangan Salman terangkat, te
"NENEK!" teriak Salwa. Ibunya berpaling, begitu juga dengan laki-laki yang sejak tadi ngobrol dengan ibunya. Seketika wajah laki-laki itu membuat Salwa tersentak. "Aditya?" gumamnya. "Hei, Salwa ke sini? Ya Allah … miang, Cu. Nanti gatal." Pegangan Salwa kini terlepas. Salsabila telah berlari ke arah neneknya, tetapi Salwa berjalan semakin pelan. Laki-laki di samping ibunya terus saja menatapnya. Dejavu. Kenangan waktu kecil di kebun semangka bersama laki-laki itu kini mengulang di benak. Sampai besar pun mereka masih saja suka bermain-main di kebun semangka jika musim bertanam semangka. Bahkan ia ingat betul, pernah berlari ke laki-laki itu saat mereka akan berpisah waktu hendak kuliah. Tiba-tiba saja ia merindukan hal itu. Betapa dulu setiap ada masalah ia tinggal menyeberang, masalah akan selesai. Tidak ada soal yang tidak bisa dijawab Aditya. Tidak ada kesedihan yang tidak hilang di bahu Aditya. Aditya selalu bisa menghiburnya dengan cara yang unik. "Apa kabar, Salwa?" B
Salwa menengadahkan wajahnya demi melihat wajah Haikal. Ia kembali menoleh ke wajah Haira. Ia penasaran bagaimana ibu kedua anak rupawan ini?"Ya sudahlah kalau begitu. Kalian cuma berdua? Maksudnya tidak bersama ibumu?"Haira menggeleng. "Ya, sudah. Enggak apa-apa kok. Asal ibu kalian mengizinkan, enggak masalah. Kalian masuklah ke bagian administrasi, itu kantornya," tunjuk Salwa pada sebuah pintu. Seorang laki-laki dewasa memasuki pintu itu. "Haira, kamu tau kan di mana menemui Tante nanti?""Iya, Tante."Salwa mengangguk. "Kalian masuklah!"Ia masih saja berdiri menatap punggung kedua bersaudara itu. Melihat mereka ia teringat masa remajanya. Teringat Aditya yang selalu membersamainya. Tiba-tiba terbersit di benaknya. "Haikal!" Langkah Haikal terhenti. Ia bergegas mendekati keduanya. Ia melepaskan gelang dari kayu kokka berbentuk tasbih dengan butiran kecil-kecil di tangannya, lalu menyerahkan pada Haikal. Haikal menyambutnya heran. "Ini pemberian sahabat Tante. Sekarang Ta
“Untuk apa?” Kali ini Salman mengangkat setengah badannya dengan bertopang tangan. “Biasanya Umi sering memberi masukan atau apa?”“Biasanya Abi bertanya, sekarang hanya menyampaikan keputusan. Jadi suara Umi buat apa?"Ia menghempaskan kepalanya ke bantal. "Setidaknya bertanya mengapa?""Andai pun Umi tahu alasannya apa, untuk apa? Dan seandainya ada ketidakcocokan cara berpikir kita, hanya akan menambah runyam kan?"“Tidak salahnya kan Abi tahu pendapat Umi?”Salwa menghempaskan napasnya. “Sebenarnya apa yang ingin Abi katakan?”“Aneh aja, tanpa komentar Umi,” lirih Salman dengan memasang wajah merajuk dan memejamkan mata.“Baiklah, sebenarnya Umi penasaran, mengapa Abi menolaknya, padahal harga sewa lumayan tinggi? Dan Abi tahu sendiri mencari penyewa itu susah, apalagi zaman sekarang ini. Kalaupun ada belum tentu berjalan mulus, dan Abi sering ngalamin itu. Sedang Aditya, aku tahu betul sifatnya. Dia akan selalu bertindak jujur dan bertanggung jawab, apapun itu.” “Ini yang aku t
“Sayang, lihat deh, ini baguskan?” Jamilah memperlihatkan gambar gamis syar’i di sebuah toko daring. Haikal yang nyemil di dapur ikut menyimak. Tangannya menatap layar ponsel, tetapi telinganya memindai percakapan di ruang tengah. Ia ingin tahu bagaimana respon ayah tirinya terhadap kebiasaan ibunya. “Bagus,” ucap Salman setelah mencermati gambar itu. “Tapi ini terlalu heboh.”Jamilah berdecak. “Ketinggalan zaman banget sih kamu."“Bukan ketinggalan zaman enggaknya. Dari segi warna juga desain, ini terlalu mencolok. Hal ini seperti akan mengundang perhatian. Fungsi pakaian adalah menutupi aurat, apa artinya tertutup kalau pada akhirnya jadi perhatian dan kalau di tempat umum kita tidak bisa menghindarkan dari pandangan laki-laki yang bukan mahram.”Haikal mengernyit. Tanpa sadar ia mengambil kacang goreng di toples dan menyuap, padahal mulutnya masih penuh.“Sayang, sederhanakanlah gaya hidup kita. In sya Allah, hidup kita akan nyaman. Tanpa harus dituntut oleh hawa nafsu juga zaman.
“Assalamu ‘alaikum.” Sontak ia memutar badan ke arah suara. Begitu juga dengan Salwa. Telah berdiri seorang perempuan berkerudung dan berpakaian formal berhadapan dengan mereka. “Istri Pak Bayu?” tanya Salman. Perempuan itu mengangguk. “Nama saya Anita, Pak.” Salman berpaling ke arah istrinya. “Dia pemilik toko kue ini.” Anita tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangannya kepada Salwa. “Anita.”“Sepertinya saya pernah melihat Anda. Di mana ya?” tanya Salwa setelah memperkenalkan dirinya.Anita mengangguk. “Saya kakaknya Cahya. Iya saya pernah melihat Anda di pernikahan Cahya.”“Ooh iya. Benar kakaknya Cahya. Ma sya Allah. Senang bertemu dengan Anda.”“Saya lebih senang lagi karena bertemu dengan seorang ustadzah dimana adik saya menghafal dan menimba ilmu. Mmm ... jika berkenan, saya ingin menjamu Anda sekeluarga. Bagaimana?”Salwa tersenyum. “Kita jangan berbahasa formal begini dong, nggak nyaman.”Anita tertawa. “Saya tidak masalah, tapi walau bagaimanapun Anda ustadzah adik saya.
“Umi sudah selesai ngajinya?” pertanyaan Salwa menembus lamunannya. Ia hanya menjawab dengan anggukan. “Kalau sudah sini dong,” sambung Salman. Ia berdiri, meletakkan mushaf ke atas lemari, lalu duduk di samping Salman. Tiba-tiba saja ia tergoda meletakkan kepala di atas paha Salman. Salman langsung membetulkan posisinya supaya ia berbaring dengan nyaman. Tangan Salman mengelus lembut rambutnya. Ah, ia lupa kapan terakhir melakukan itu. Ia berbalik, lalu menenggelamkan wajah di pinggang Salman. *** Saat hari pernikahan sepupu Salman tiba. Resepsi dilangsungkan di sebuah gedung di tengah kota. Salman sengaja mengantar Salwa lebih awal, karena juga mengajak Jamilah menghadiri resepsi itu. Meski poligami masih dianggap tabu, Salman tidak ingin menyembunyikan status Jamilah di antara keluarga besarnya. Inilah kesempatannya untuk mengenalkan Jamilah pada mereka. “Salwa, benar Salman telah menikah lagi?” tanya seorang perempuan, salah satu kerabat Salman, biasa dipanggil Mona. Mereka d
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa