Aku merasa sedikit mual mencium bau obat-obatan yang bercampur dengan aroma pembersih lantai. Benar-benar aroma yang khas memenuhi udara di tiap ruangan rumah sakit. Sementara Mas Andra terlihat gelisah duduk di sampingku. Wajahnya sedikit pucat dan penuh dengan keringat. Ia baru saja menjalani pemeriksaan kesehatan. Saat ini kamu sedang menunggu hasil tes darahnya keluar.
Seminggu yang lalu Mas Andra pulang setelah selama empat bulan mengerjakan proyek di pulau tetangga. Aku tak bisa ikut karena harus merawat ibu mertua dan putra kami satu-satunya. Sejak pulang, Mas Andra mengeluh tak enak badan yang tak kunjung membaik.
Badannya terasa lemas, disertai sakit kepala yang sangat mengganggu. Belum lagi ia mengeluhkan rasa nyeri saat buang air kecil. Bukan itu saja, di beberapa bagian tubuhnya timbul ruam-ruam merah.
Aku yang tadinya amat senang dengan kepulangan Mas Andra, malah menjadi khawatir. Setelah kondisinya semakin memburuk walaupun sudah meminum obat dari apotik, hari ini aku putuskan untuk mengantarnya ke rumah sakit. Tadinya Mas Andra tak mau, tapi aku memaksa dengan sedikit mengancam.
“Nai, kepala Mas pusing sekali,” keluh Mas Andra dengan suara lemas. Ia menyandarkan kepala ke dinding rumah sakit yang putih dan dingin. Tangannya memijit pelipis yang tampak sedikit berkeringat.
Aku menghela napas panjang. “Mas mau aku carikan ranjang untuk istirahat? Aku bisa tanya petugas di depan,” tawarku, tak tega juga melihat keadaannya seperti itu.
Mata Mas Andra terpejam, napasnya sedikit terengah. “Nggak usah, Nai. Kita tunggu di sini aja. Moga hasil lab cepat keluar,” jawabnya.
“Ya udah, aku beli minum di depan dulu. Mas tunggu di sini, ya,” ucapku sembari mengusap pelan punggung tangannya yang terasa sedikit hangat.
Mas Andra tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan. Aku segera bangkit menuju ke mini market yang masih berada di area rumah sakit. Rasa cemas mendera di dalam dada. Sebenarnya sakit apa Mas Andra? Aku masih ingat dengan tatapan dokter yang berulang kali seperti mengasihaniku.
Dengan cepat aku raih dua botol air mineral dan sebungkus biskuit. Khawatir kalau ada apa-apa dengan Mas Andra selama aku tinggalkan. Langkahku terasa gontai, melalui lorong-lorong kamar yang berisi pasien dan tenaga medis yang lalu lalang.
Dahiku berkerut saat sosok Mas Andra sudah tak ada di bangku panjang tempat kami menunggu tadi. Aku edarkan pandangan, tapi tetap tak menemukan ia di mana-mana.
“Maaf, Pak. Apa tadi Bapak lihat suami saya yang pakai baju kaus biru duduk di sini?” tanyaku pada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di sana.
“Oh, suami Ibu pakai baju biru celana hitam?” Ia balik bertanya. Aku balas dengan anggukan.
“Tadi dipanggil ke ruangan dokter sana!” Bapak tersebut menunjuk ruangan Dokter Budi.
“Terima kasih, Pak! Saya permisi!”
Dengan langkah cepat aku menyusul Mas Andra. Rupanya saat aku membeli minuman tadi ia dipanggil menuju ke ruangan. Sedikit ragu aku melonggokkan kepala ke dalam. Mas Andra sudah duduk di hadapan Dokter Budi.
“Masuk, Bu Naira!” titah Dokter Budi.
Aku mengangguk dan segera duduk di kursi kosong di samping Mas Andra. Wajah suamiku semakin pucat saja. Apa Dokter Budi sudah menyampaikan penjelasan mengenai penyakitnya?
“Jadi … gimana dengan kondisi suami saya, Dok? Apa hasil tes darahnya sudah keluar?” tanyaku ragu-ragu.
Dokter Budi mengangguk meskipun tatapannya terfokus pada selembar kertas di meja.
“Baik, hasilnya sudah keluar. Saya sengaja menunggu Bu Naira untuk menyampaikan hasilnya. Karena ini berkaitan dengan status Ibu dan Bapak sebagai suami istri,” ucapnya Dokter Budi tenang.
Ia kembali memandangi aku dan Mas Andra bergantian. Perasaanku mulai tak karuan karena gelagat dokter yang sedikit aneh.
“Tadi saya sudah banyak bertanya di awal pada Pak Andra mengenai apa saja yang beliau rasakan selama sakit. Juga sudah dilakukan pengecekan fisik, lalu tes darah. Menurut hasil diagnosa dan juga tes darah, Pak Andra … positif menderita sifilis,” jelas Dokter Budi tenang.
Waktu bagaikan berhenti sejenak. Napasku tertahan, seirama dengan mata yang tak mampu berkedip. Mulutku ingin berkata tapi lidah bagaikan kelu. Apa aku salah dengar? Sifilis? S-I-F-I-L-I-S? Bukankah itu salah satu penyakit kelamin? Ah, tidak mungkin.
“Ma-maaf, Dokter. Apa saya tidak salah dengar?” Mas Andra tak kalah terkejutnya, sampai bertanya seperti itu.
Aku hanya bisa menatap Dokter Budi dengan rasa tak percaya. Dokter itu menggeleng lemah.
“Maaf, tapi Pak Andra betul-betul didiagnosa menderita penyakit sifilis,” ulangnya dengan nada datar dan tenang.
Aku terhenyak. Tanganku menggenggam erat ujung baju. Rasanya seperti mimpi mendengar penjelasan Dokter Andra.
“Ciri utamanya adalah nyeri saat buang air kecil, ruam di area mulut dan sekitar alat k*lamin. Dan yang terpenting, tes darah menunjukkan ciri-ciri penyakit yang dimaksud.”
Aku masih berusaha mencerna penjelasan Dokter Budi saat suara Mas Andra terdengar lagi.
“Ta-tapi, bagaimana mungkin, Dok? Bu-bukankah sifilis itu penyakit k*lamin? Bagaimana mungkin saya menderita penyakit seperti itu? Pasti hasil pemeriksaannya salah!” tegas Mas Andra dengan suara bergetar.
Dokter Budi menghela napas. “Justru itu yang ingin saya tanyakan. Bagaimana Bapak bisa mendapatkan penyakit ini? Maaf, Bapak hanya bisa tertular penyakit ini jika melakukan hubungan s*ksual dengan orang yang juga menderita infeksi sifilis. Bergonta-ganti pasangan, menggunakan jarum suntik yang tidak steril, dan transfusi darah dari orang yang terinfeksi. Satu lagi, sifilis juga bisa ditularkan dari ibu hamil yang terinfeksi ke anak yang dilahirkannya.”
Kali ini jantungku yang rasanya berhenti berdetak. Tidak, tidak mungkin! Apa benar yang dikatakan Dokter Budi? Aku menoleh dan menatap tajam ke arah Mas Andra. Kali ini, ia benar-benar berhutang penjelasan padaku. Dari mana ia mendapatkan penyakit menjijikkan ini? Mas Andra membalas tatapanku dengan mata melebar. Ia menelan ludah berkali-kali. Wajahnya tampak panik dan kalut.
“Sa-saya tidak terima dengan hasil diagnosa ini! Dokter pasti mengada-ada, benar-benar tidak kompeten!” protes Mas Andra, sembari menunjuk Dokter Budi.
Dokter Budi mendesah, alisnya terangkat. Kali ini tatapannya tertuju ke arahku, seperti ingin berkata sesuatu.
“Ayo, Nai! Kita berobat dan periksa ke rumah sakit lain! Mas tidak terima dituduh macam-macam!” Mas Andra menarik tanganku agar berdiri.
Aku bergeming, tak beranjak sedikit pun dari tempat duduk. “Mas … duduk!” titahku.
Mas Andra terdiam. Ia mematung di tempat. Wajahnya sudah pucat, hampir memutih seperti kapas. Keringat sebesar biji jagung membanjiri dahi dan pelipisnya.
“Duduk, Mas. Sekarang!” pintaku dengan wajah datar.
Dengan gerakan kikuk, Mas Andra akhirnya duduk kembali. Badannya sedikit gemetar. Entah apa yang ia takutkan. Jika tidak bersalah, lantas mengapa bertingkah gelisah?
“Apa penyakit ini bisa ditularkan lewat makanan atau pernafasan, Dok? Atau mungkin lewat keringat dan air liur?” tanyaku harap-harap cemas.
Dokter Budi menggeleng. “Umumnya hanya melalui aktivitas yang sudah saya sebutkan tadi,” jawabnya lugas.
Aku mengusap wajah. Belum siap dengan kenyataan kalau Mas Andra benar-benar menderita sifilis. Kutatap lagi wajahnya. Ruam-ruam merah itu tampak nyata di sekitar mulut suamiku. Belum lagi ruam-ruam yang timbul di area privatnya, yang aku lihat saat membantunya membersihkan badan saat demam sore kemarin.
“Apa Bu Naira memiliki keluhan yang sama?” tanya Dokter Budi hati-hati.
Aku segera menggeleng. “Tidak, Dok. Saya merasa sehat, tidak ada keluhan sedikit pun,” jawabku cepat. Nyatanya aku memang sehat-sehat saja. Tak merasakan keluhan sedikit pun, apalagi gejala seperti yang dimiliki Mas Andra.
“Dan satu lagi, maaf, saya harus bertanya. Kapan terakhir kali Bapak dan Ibu melakukan hubungan suami istri?” Kali ini Dokter Budi bertanya dengan sangat hati-hati.
“Benar-benar tidak sopan!” Mas Andra menggebrak meja.
Aku tersentak, terkejut dengan tindakan Mas Andra. Begitu juga dengan Dokter Budi. Biasanya Mas Andra tak pernah emosional seperti ini.
“Mas! Cukup! Tenanglah sedikit! Dokter Budi bukan asal bicara. Dia sudah bertahun-tahun menjadi tenaga medis! Kalau Mas tidak bisa tenang, tunggu di luar saja!” Aku sedikit meninggikan suara.
Mas Andra yang tadinya terlihat lemas, sekarang tampak garang. Ia bangkit dari kursi dan segera keluar ruangan.
“Maaf, Dok. Maafkan sikap suami saya,” ucapku sambil mengatur napas.
“Tidak masalah, saya mengerti. Jadi, apa Ibu bisa menjawab pertanyaan saya tadi?” ulangnya.
“I-iya, Dok. Terakhir kali kami berhubungan … sudah empat bulan yang lalu. Suami saya baru kembali ke rumah seminggu yang lalu setelah menyelesaikan proyek di luar pulau. Kami belum sempat melakukan itu lagi karena saya juga sedang haid,” jawabku dengan kepala tertunduk.
Sungguh, ada rasa malu dan nyeri di hati. Aku benar-benar tak siap dengan kenyataan yang menunggu untuk terkuak. Apakah mungkin kalau Mas Andra …? Ah, entahlah.
“Baik. Kalau begitu, apa Bu Naira bersedia untuk dites darah? Untuk berjaga-jaga. Atau kalau tidak, Bu Naira harap menjaga jarak dulu agar tidak bercampur dengan Pak Andra. Jika ada keluhan, segera konlustasi ke Puskesmas atau rumah sakit.”
Setelah menimbang dan berpikir sejenak, aku akhirnya setuju untuk melakukan tes darah. Ya, aku harus memastikan apakah aku juga sakit atau tidak.
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Mas Andra hanya diam tanpa bicara. Pikiranku berkecamuk. Mulut memang tak bersuara tapi di kepalaku penuh dengan pertanyaan dan perdebatan. Ada badai yang menghantam dan meluluhlantakkan kepercayaan yang selama ini aku bangun untuk Mas Andra.Aku ingin cepat sampai ke rumah, agar bisa mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada. Kepala terasa berdenyut seakan ingin pecah.“Pelan-pelan, Naira. Jangan ngebut! Di depan sana lampu merah!” tegur Mas Andra. Ia terlihat sedikit gemetar saat memegang sabuk pengaman dengan erat.Aku terkesiap saat tahu kalau tanpa sadar sudah memacu mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Untunglah aku masih sempat menurunkan kecepatan begitu mendekati lampu merah. Badan Mas Andra terhuyung ke depan saat kakiku menginjak rem sedikit mendadak.Terlintas lagi apa yang terjadi di rumah sakit tadi. Setelah melakukan pengecekan dan tes darah, tentu saja hasilnya keluar dan aku dinyatakan sehat. Mungkinkah ini salah satu cara Tuhan m
“Da-dari siapa? Maksud kamu apa sih, Nai? Kamu nuduh Mas macam-macam?!” Suara Mas Andra sedikit meninggi.Aku menghembuskan dan menghirup napas panjang berkali-kali. Tenang Naira, tenang.“Apa Mas pernah memakai jarum suntik sembarangan?” tanyaku, menatapnya lekat.Ia menggeleng cepat. “Ngapain mainan jarum suntik! Pertanyaan aneh!” Mas Andra melipat tangan ke dadanya.“Selama empat bulan di sana, Mas pernah terima transfusi darah tanpa sepengetahuanku?” Mataku menyelidik.“Nggak, lah! Untuk apa juga? Mas kan, gak pernah sakit!” serunya dengan wajah keheranan.Aku mengangguk takzim. “Berarti … kamu tidur dengan siapa, Mas? Kamu selingkuh?” Kali ini mataku tak berkedip. Setiap perubahan raut di wajahnya tampak jelas.Mulai dari mata yang sedikit melebar, mulut yang terbuka, sampai tangan yang terus-terusan mengusap rambut. Suamiku sedang gugup. Aku yakin detak jantungnya tak karuan sekarang.“Ka-kamu jangan asal tuduh, Nai! Bisa-bisanya kamu bicara gitu! Mas cari nafkah mati-matian di
“Nai, Naira! Heh, apa-apaan sih dia? Ndra, istri kamu kenapa sih? Ya ampun, gak sopan banget!” rutuk Mama terdengar samar di telingaku.Aku hiraukan saja ocehannya yang tak lagi terdengar setelah pintu kamar kututup. Momongan lagi katanya? Ya Tuhan, andai keadaan sekarang baik-baik saja seperti dulu, sudah pasti aku akan dengan senang hati menjawab permintaan Mama. Hanya saja, dengan kondisi Mas Andra yang mencurigakan seperti itu … aku menjadi mawas diri. Bahkan, rasa rindu padanya yang tadinya begitu besar di dalam dada, harus aku bunuh dengan tega.Nyatanya aku masihlah seorang wanita dewasa yang normal. Selama empat bulan sudah tak merasakan sentuhan cinta dari Mas Andra, rasanya seperti ada yang hilang. Aku haus, aku rindu, aku ingin, memuaskan hasrat yang lama terpendam.Meskipun dokter Budi mengatakan kalau penyakitnya takkan menular lewat keringat, sentuhan kulit, ataupun air liur, aku tetap saja enggan dan takut menyentuh Mas Andra. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan tenta
Widya menyambut kedatanganku dan Fadil dengan senang. Ia tampak bahagia setelah melewati tiga tahun menanti kehadiran sang buah hati. Tak lupa aku serahkan cake dan juga hampers bayi yang tadi aku beli di mall. Fadil terlihat senang melihat adik bayi yang imut dan juga montok. Putri kecil yang sehat dan cantik itu, diberi nama Sahara. “Maaf ya Wid, baru sempat jenguk sekarang. Soalnya kemarin-kemarin gak enak tinggalin Mama di rumah sendirian. Kalau sekarang Mas Andra udah pulang,” ucapku seraya memandangi wajah bayi mungil yang sangat mirip dengan Widya. “Santai aja, Beb. Gue juga paham kok. Alhamdulillah ni baby dah keluar dari perut gue. Kemarin mulesnya ya ampun, ampe sehari semalam!” ujar Widya sambil tertawa-tawa. Aku ikutan tertawa mendengar candaannya. Widya adalah teman dekatku semasa di SMA. Saat lulus kami terpisah karena Widya diterima sebagai mahasiswa kedokteran sedangkan aku mengambil jurusan akuntansi. Selama itu kami masih menjalin komunikasi walaupun jarang bertemu
“Waktu itu, aku gak lihat jelas, Yang. Kayaknya dia sendirian tapi ada yang nungguin, jemput dia. Mungkin Mbak Naira, deh. Perempuan soalnya yang jemput. Aku kurang jelas lihat mukanya, dia pake kacamata hitam,” sambung Mas Alfi.Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ya Tuhan, apakah benar yang dikatakan Mas Alfi? Lantas siapa perempuan yang menjemput Mas Andra di bandara? Aku sungguh tak habis pikir. Telapak tanganku makin lembab saja dengan keringat, selalu begitu saat jika sedang cemas atau gugup.“Oh, gitu. Ya udah, deh. Mungkin Naira yang jemput. Udah dulu ya, Yang. Aku mau tidur siang. Kamu hati-hati di sana!” pesan Widya pada suaminya.“Kamu juga hati-hati di rumah sama Sahara. Kalau ada apa-apa, cepet kabari. Love you.”Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir. Widya mendesah, matanya memancarkan kekhawatiran melihatku terdiam. Sedangkan aku merasa cemas, malu, sakit, dan rapuh yang melebur menjadi satu.Selama ini aku sungguh percaya pada Mas Andra. Namun, dengan keadaan
Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju ke arah lemari. Selagi Mas Andra sedang bertamu, aku punya waktu untuk leluasa memeriksa seisi kamar. Dengan cepat aku membuka seluruh laci dan menyingkap setiap tumpukan lipatan pakaian. Tiap sudut kamar aku periksa dengan teliti.Di bawah kasur, di bawah ranjang, di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu di dalam tas kecil itu. Koper yang kemarin sudah dirapikan, aku bongkar kembali. Meraba-raba pada tiap sisi, untuk mencari kalau-kalau benda itu disembunyikan. Sayang, aku tak kunjung menemukan benda itu.Argh! Seperti orang gila aku hilir mudik di dalam kamar. Di mana Mas Andra menyembunyikan benda itu? Di mana? Kusandarkan badan ke pintu kamar untuk menenangkan diri. Mata masih mencari-cari keberadaan tas Mas Andra. Sampai akhirnya mataku tertuju pada bagian atas lemari. Lemari besar setinggi hampir dua meter yang memuat hampir semua pakaianku dan Mas Andra.Ada beberapa benda yang aku taruh di atas sana. Beb
Mata Mas Andra mengerjap cepat. Ia menjilat bibir bawahnya dengan gugup. Ayolah, Mas, jawablah cepat. Jangan biarkan aku semakin curiga. Aku sudah sekuat tenaga menahan semua pertanyaan yang ingin keluar tanpa jeda.“Li-libur? Ng-nggak pernah, Nai! Mas selalu stand-by di lokasi proyek, kok. Kan, memang gak dapat jatah libur?” jelasnya, mencoba memasang tampang meyakinkan.“Oh, gitu. Kalau misal aku tanya Pak Herman gimana, Mas? Cuma untuk memastikan aja. Masa gak pernah dapat jatah libur,” lanjutku dengan tenang.Wajah Mas Andra berubah menjadi pias. Ia langsung berdiri dari duduknya.“Maksud kamu apa sih, Nai? Kok sampai melibatkan Pak Herman segala? Mas gak suka ya, kamu ikut campur masalah pekerjaan!” omelnya dengan wajah muram, suaranya meninggi.“Aku bukan ikut campur masalah pekerjaan, Mas! Hanya ingin memastikan hal itu saja. Gak kurang, gak lebih!” Aku tak mau kalah.“Kenapa? Kenapa emangnya? Kalau libur, Mas sudah pasti pulang, Nai!” Mas Andra berkata dengan ekspresi kesal. T
(Dua Bulan yang Lalu)Aku memandangi ponsel dengan perasaan tak menentu. Setelah semalam bertukar kabar dengan Mas Andra, sekarang ponselnya tidak aktif sejak tadi pagi. Padahal biasanya, Mas Andra tak pernah lupa menyapa lewat pesan WA saat ia bangun tidur. Tak jarang pula ia mengirimkan voice note, bahkan saat istirahat makan siang ia akan mengabari lagi.Memang salahku yang tidak terpikir untuk meminta nomor salah satu teman kerjanya di sana. Ah, benar-benar cemas rasanya. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan Mas Andra? Sehari semalam aku harus menanggung rasa gundah itu. Untunglah, saat aku terbangun subuh, beberapa pesan dari Mas Andra masuk. Katanya listrik di lokasi proyek tempat mess-nya berada sedang mengalami gangguan. Hal itulah yang menyebabkan ponselnya kehabisan daya.Perasaanku menjadi tenang lagi. amat bersukur karena keadaan Mas Andra baik-baik saja. Tak ada pikiran buruk kalau dia akan berani bermain api ataupun macam-macam. Sedikit pun tak pernah terlintas di dalam ke
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole
Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]
(PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m
Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Sekarang, Mama pasti sudah berangkat ke acara arisannya. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau Mbak Della tak ikut kali ini.Kalau perkiraanku tepat, berarti hanya ada Mas Andra dan perempuan itu saja di rumah. Apalagi tadi Mas Andra mengatakan kalau dia akan memberikan ongkos taksi pada Mama.Bayangan lingerie-lingerie milikku yang sudah berpindah tempat di bawah ranjang Mbak Della dalam keadaan tak karuan, kembali terlintas. Seketika mual kembali menyerang dan membuat mata berair.Apakah aku marah? Ataukah lebih ke merasa jijik? Mungkin gabungan dari keduanya. Marah karena dia sudah lancang, dan jijik karena paham akan perbuatan mereka.Mbak Della tidak mungkin memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah. Dia tak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Yang selama ini sudah bermain kucing-kucingan denganku, adalah Mas Andra.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, tak ingin terburu-buru ataupun terlalu santai. Takutnya,
“Kamu cuma berdua sama Fadil aja, Nai?” tanya Umi begitu aku sampai.“Iya, Mi. Suntuk aja di rumah, jadi main ke sini, deh!” ucapku sembari masuk.Fadil sudah sejak sampai tadi berpindah ke gendongan kakungnya. Mereka langsung berjalan ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang sedang berbuah begitu lebat.“Gimana di sana, Nai? Aman? Katanya udah ada pembantu baru, kan?”Sampai di dapur, aku langsung membuka tudung nasi Umi. Selera makan sontak timbul melihat sayur asem, gorengan tempe, dan sambal terasi. Tanpa ragu aku mengambil piring dan sendok.“Ya, gitulah, Mi. Mau dibilang aman, ya aman. Tapi, semenjak ada pembantu baru itu, suasana rumah jadi aneh,” ujarku, tangan sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring.Umi ikut duduk dan hanya menatapku saja. Dia sudah maklum dengan kebiasaanku yang langsung memeriksa tudung saji begitu sampai di rumah.“Aneh gimana, Nai? Perasaan kamu aja, kali. Sama Andra, udah baikan?” selidiknya.Aku yang sudah mulai mengunyah, terpaksa t
Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.
Sudah beberapa malam ini aku selalu terbangun dari jam 1 dini hari hingga subuh. Mungkin karena belum beruntung, aku tak menemukan hal-hal aneh. Setiap kali aku memeriksa ke kamar di jam-jam acak, Mas Andra tampak sedang tertidur pulas.Namun, aku tak putus asa. Bisa jadi saat ini Mbak Della dan Mas Andra sedang menjaga jarak karena insiden baju tidur kemarin. Kurasa mereka menganggap keadaan sedang tak aman sehingga harus berhati-hati. Jika mereka berdua licik, maka aku harus selangkah lebih maju.Pagi ini, saat kami semua sedang berkumpul, Mas Andra menyerahkan amplop berwarna cokelat. Satu untukku, satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Mbak Della.“Ini uang belanja kamu, ini untuk Mama, dan yang ini gaji Mbak Della,” ucap Mas Andra yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat ke kantor.“Makasih,” jawabku singkat. Paling tidak, dia masih sadar untuk menafkahiku meskipun kami sedang perang dingin.“Makasih, Pak Andra. Makasih.” Mbak Della mendekap amplop itu dengan wajah berbinar
Merasa pusing, aku terduduk lemas di pinggir ranjang berukuran kecil tempat pembaringan Mbak Della. Membayangkan kalau benda empuk itu mungkin saja menjadi saksi bisu perbuatan terlarang, lagi-lagi aku meradang.Aku yakin kalau ini adalah salah satu petunjuk yang sengaja Tuhan berikan untukku. Jika tidak, mungkin sampai sekarang aku tak akan pernah tahu ke mana larinya pakaian-pakaian dinas malam itu.Setelah berpikir sejenak, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto pakaian yang penuh najis dan noda. Dalam kepalaku terus terpikir kalau hal ini nanti akan berguna di masa yang akan datang. Tanganku masih gemetar saking gugupnya.Saat yakin kalau foto-foto itu sudah tersimpan dalam folder tersembunyi, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Ah, sungguh gila apa yang aku saksikan saat ini.Suara Mama dan Mbak Della yang terdengar di depan, menyadarkan aku. Setelah memastikan keadaan kamar Mbak Della sudah terlihat seperti sedia kala, aku segera keluar dengan tenan
Berminggu-minggu sudah aku pulang ke rumah. Semuanya terasa hampa. Untung saja di sana ada Fadil, yang jadi tempatku mencurahkan rasa sayang. Dia jugalah yang membuat aku bertahan di tengah-tengah Mama dan Mas Andra.Mas Andra terus mendiamkan aku sejak kejadian aku menolak tidur satu kamar. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sekali pun tidur dengannya lagi. Entah sampai kapan kami akan terus-terusan seperti ini. Aku pun enggan untuk memulai bicara dengannya.Hubungan pernikahan ini terasa sudah benar-benar tak sehat, tetapi aku masih mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Sembari memperhatikan perkembangan Fadil yang semakin sehat dan lincah seiring waktu.Hari ini rumah terasa lengang. Mas Andra sudah berangkat ke kantor, sementara Mbak Della menemani Mama berbelanja. Mertuaku itu ngotot mengajak Mbak Della yang dia nobatkan sebagai asisten pribadi.Aku tak protes sama sekali, malah bersyukur karena bisa menikmati waktu bersantai dengan Fadil di rumah. Saat dia sedang bermain di