“Da-dari siapa? Maksud kamu apa sih, Nai? Kamu nuduh Mas macam-macam?!” Suara Mas Andra sedikit meninggi.
Aku menghembuskan dan menghirup napas panjang berkali-kali. Tenang Naira, tenang.
“Apa Mas pernah memakai jarum suntik sembarangan?” tanyaku, menatapnya lekat.
Ia menggeleng cepat. “Ngapain mainan jarum suntik! Pertanyaan aneh!” Mas Andra melipat tangan ke dadanya.
“Selama empat bulan di sana, Mas pernah terima transfusi darah tanpa sepengetahuanku?” Mataku menyelidik.
“Nggak, lah! Untuk apa juga? Mas kan, gak pernah sakit!” serunya dengan wajah keheranan.
Aku mengangguk takzim. “Berarti … kamu tidur dengan siapa, Mas? Kamu selingkuh?” Kali ini mataku tak berkedip. Setiap perubahan raut di wajahnya tampak jelas.
Mulai dari mata yang sedikit melebar, mulut yang terbuka, sampai tangan yang terus-terusan mengusap rambut. Suamiku sedang gugup. Aku yakin detak jantungnya tak karuan sekarang.
“Ka-kamu jangan asal tuduh, Nai! Bisa-bisanya kamu bicara gitu! Mas cari nafkah mati-matian di sana, tapi ini balasannya? Mas gak terima!” amuk Mas Andra.
“Aku bertanya, bukan menuduh, Mas!” timpalku sengit.
“Sama saja! Pertanyaan bodoh macam apa itu? Kamu pikir Mas lelaki seperti apa? Selingkuh? Tidur dengan wanita lain? Keterlaluan kamu, Nai!” Napas Mas Andra terengah-engah. Ia tampak kepayahan mengontrol emosi.
“Lantas aku harus bagaimana, Mas? Tak mungkin penyakit itu hinggap begitu saja di badanmu! Harus ada sebab yang pasti! Dari mana asalnya, dari mana?!” Aku mulai merasa frustrasi menghadapi Mas Andra.
“Mas … Mas betul-betul gak tau, Nai,” bisiknya, lalu menangkupnya kedua telapak tangan ke wajah.
“Bullsh*t,” sahutku datar.
“Percayalah, Nai! Mas gak mungkin seperti itu. Bukankah sudah terbukti enam tahun ini? Mas selalu setia!” Mas Andra mengangkat wajah. Matanya sudah basah, sementara bibirnya bergetar.
Aku sungguh ingin percaya dengan kata-katanya itu. Enam tahun yang sudah kami lalui bersama memanglah terasa manis dan damai. Terlepas dari perlakuan Mama yang kadang membuatku sakit hati, Mas Andra tak pernah mengecewakan. Ia adalah sumber ketenangan dan kekuatan terbesarku dalam menjalani mahligai pernikahan.
Ia tak pernah lupa dengan hal-hal kecil tapi penting dalam hubungan kami. Tanggal anniversary, tanggal ulang tahunku, tanggal ulang tahun Fadil, makanan kesukaan, dan hal-hal manis lainnya.
Bagiku, Mas Andra adalah sosok seorang suami dan ayah yang nyaris sempurna. Riak-riak kecil tentu ada dalam rumah tangga kami, tapi semuanya dapat teratasi dengan baik. Kepercayaanku padanya begitu besar, hingga aku rela berpisah jarak demi pekerjaan.
Empat bulan ia ditugaskan ke luar pulau, demi menyelesaikan proyek perusahaan. Selama empat bulan pula kami tak bersua. Hanya suara lewat telepon dan panggilan video saja yang menjadi penawar rindu sehari-hari. Aku terus bersabar dan bersabar. Nama Mas Andra tak pernah lalai terucap dalam do’a-do’a panjangku.
Namun, kini rasa percaya yang sudah tertanam seakan perlahan dicabut paksa. Aku tak tahu lagi harus berpijak dan berpegangan di mana. Mas Andra tak pernah menggunakan jarum suntik sembarangan. Tak pula pernah menerima transfusi darah. Menyangkal saat aku mengatakan ia telah berselingkuh. Duhai … lantas di mana ia dapatkan penyakit itu? Tak mungkin hinggap begitu saja di badannya karena terbawa oleh angin.
Bahu Mas Andra terlihat naik turun. Ia masih menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Sekali-kali suara isakannya lolos, memenuhi rongga telingaku. Baru kali ini aku melihatnya menangis tersedu. Harusnya aku yang menangis, aku! Penantianku selama empat bulan ini, harus dirusak dengan kabar pahit. Suamiku malah pulang dengan membawa oleh-oleh penyakit yang menjijikkan. Hadiah yang tak pernah aku duga, pun harapkan pada tahun ke enam pernikahan kami.
“Bukankah aku yang harusnya menangis, Mas?” tanyaku sembari mendongak, agar air mata tak jatuh. “Maaf … sepertinya aku gak bisa tidur di sini malam ini. Selama belum ada jawaban pasti atas teka-teki asal penyakit itu, aku tak bisa dekat-dekat denganmu, Mas! Ku harap kamu mengerti!” Aku segera bangkit dari pinggir ranjang.
Tanpa menunggu jawaban darinya, ku ambil bantal dan selimut untuk dibawa ke kamar Fadil.
“Na-Nai … ka-kamu mau ke mana?” Wajah Mas Andra pias.
“Aku akan tidur dengan Fadil!” tukasku tanpa menoleh.
“Nai, tunggu Nai! Tidurlah di sini, biar Mas tidur di lantai, Nai!” cegahnya.
“Tak perlu, Mas. Istirahatlah. Selamat malam!” ujarku, terus berjalan menuju pintu kamar.
“Nai ….”
*
Sesampainya di ruang tengah, badanku merosot bersandar pada dinding. Air mata yang sedari tadi memaksa untuk jatuh, akhirnya lolos juga. Aku terisak, menyembunyikan wajah pada permukaan bantal yang lembut. Gumpalan-gumpalan tak kasat mata yang tadi bagaikan menekan dada, perlahan mencair seiring luruhnya tetes-tetes bening.
Foto pernikahan yang menjadi hiasan dinding, terpajang di sana bagaikan mengejekku yang tengah gundah gulana. Akankah rumahtangga ini baik-baik saja? Ya Tuhan, ampuni jika aku telah berdosa meninggalkan Mas Andra sendirian di bilik kami. Sungguh, aku tak sanggup harus terus berprasangka mengenai kondisinya.
Suara detik jam memenuhi seluruh ruangan. Benda bulat itu menunjukkan pukul sepuluh malam. Putra kesayanganku pasti sudah terlelap sekarang. Aku tak ingin membangunkannya dengan kondisi berurai air mata. Ia tak boleh tahu penderitaan dan permasalahan yang sedang menimpa ayah dan bundanya. Fadil masih terlalu kecil untuk mengerti.
Aku putuskan untuk menumpahkan segala emosi yang meluap sendirian di ruangan sepi ini. Namun, suara pintu yang dibuka berasal dari kamar Mama membuatku tersentak. Secepat kilat aku berdiri, lantas berlalu ke kamar Fadil. Rasanya tak siap jika harus berhadapan dengannya sekarang. Pasti akan banyak pertanyaan yang muncul jika ia melihatku tengah menangis seorang diri.
“Bu-bunda?” bisik Fadil dengan mata mengerjap saat aku naik ke ranjang dan memeluknya erat.
“Iya, Sayang. Malam ini Bunda bobok sama Fadil, ya,” balasku.
“Ayah?” tanyanya.
“Ayah lagi capek, lagi pengen sendiri katanya. Bunda ke sini biar ga ganggu Ayah,” ujarku beralasan.
Kepalanya mengangguk. Tak lama kemudian, matanya terpejam lagi. Kembali aku eratkan pelukan pada tubuh Fadil sembari menghirup dalam-dalam aroma menenangkan dari ubun-ubunnya. Semenit dua menit berlalu, mataku pun terasa berat. Sampai akhirnya, aku menyerah pada rasa lelah yang mendera.
*
Kami berempat sudah duduk di mengelilingi meja makan. Sengaja aku memasak opor ayam kesukaan Fadil juga Mas Andra. Mama yang agak rewel masalah makanan, aku buatkan sop ayam. Mereka bertiga tampak lahap menyantap hidangan. Sementara aku, sedikit tak berselera. Sedari tadi, belum setengah dari isi piring masuk ke dalam perut.
Tak ada suara obrolan seperti biasa. Mas Andra beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Aku pura-pura tak tahu saja. Meskipun dalam hati terasa enggan, tapi aku masih melayaninya seperti biasa di hadapan Mama. Aku tak ingin mertuaku curiga kalau ada masalah di antara kami berdua.
“Jadi, kemarin gimana? Kata dokter kamu sakit apa, Ndra?” tanya Mama tiba-tiba. Rupanya ia sudah menyelesaikan sarapan.
Mas Andra sedikit terbatuk, sudah pasti terkejut dengan pertanyaan Mama.
“Ehm, ehm! I-itu, Ma … kata dokter cuma kecapekan aja, kok!” jawab Mas Andra cepat.
“Ohhh gitu … terus, itu merah-merah di dekat mulut kamu kenapa katanya?” tanya Mama lagi sambil memandangi wajah Mas Andra dengan teliti.
“I-ini, Ma? Kata dokter alergi aja, Ma.” Mas Andra meneguk minumnya dengan tangan sedikit bergetar.
“Hmm, ya udah kalau gitu. Obatnya diminum, biar cepat sembuh.”
Bohong, dasar pembohong. Kenapa kamu menyembunyikan penyakit itu dari Mama? Apakah kamu malu, Mas? Aku hanya diam saja, tak menanggapi mereka berdua.
“Ayah cepat sembuh, ya. Biar Bunda ga tidur sama Fadil lagi!” seru Fadil.
Mataku membulat mendengar seruannya. Gerakan mulutku yang sedang mengunyah terhenti. Sesuatu yang ingin aku sembunyikan dari Mama, akhirnya terbongkar juga. Aku tak bisa menyalahkan Fadil.
“Hah, kamu tidur sama Fadil, Nai? Ya ampun, suami lagi sakit bukannya dilayani, ditemani, malahan tidur di kamar anaknya! Dasar aneh!” cetus Mama sinis.
Aku baru saja hendak menjawab perkataan Mama saat suara Mas Andra terdengar.
“Itu, emang Andra yang sengaja nyuruh kok, Ma. Soalnya semalam Andra gak nyaman tidurnya, agak gelisah. Jadinya Naira, Andra suruh tidur di kamar Fadil,” jelas Mas Andra sembari memaksakan senyuman.
“Lah, kamu tuh juga lebih aneh! Lagi sakit itu, justru istri harus melayani biar cepat sehat! Bukannya malah susah sendiri!” sewot Mama sambil terus melirik ke arahku.
“Ya gak apa-apa, Ma. Udah, gak usah dipermasalahkan.”
Aku terus diam sembari mengaduk-aduk nasi di piring. Selera makanku hilang sudah, lenyap tak bersisa. Rasa lapar yang tadi melanda entah sekarang ada di mana. Fadil dengan cepat menghabiskan makanan, lantas berlalu ke kamarnya.
“Oh ya, Fadil ‘kan umurnya udah empat tahun. Nah … kalian kapan mau tambah momongan lagi? Mumpung masih sama-sama muda. Masa anak cuma satu aja? Minimal dua, biar sepasang gitu! Sukur-sukur kalau dapat bayi perempuan,” celoteh Mama tanpa beban.
Dadaku berdenyut nyeri mendengar pertanyaan Mama barusan. Kalimat-kalimat balasan terasa sudah di ujung lidah, ingin terucap. Tak tahan lagi, kuhempaskan kasar sendok di piring. Tanpa berkata-kata, aku berlalu meninggalkan Mas Andra dan Mama di meja makan.
***
“Nai, Naira! Heh, apa-apaan sih dia? Ndra, istri kamu kenapa sih? Ya ampun, gak sopan banget!” rutuk Mama terdengar samar di telingaku.Aku hiraukan saja ocehannya yang tak lagi terdengar setelah pintu kamar kututup. Momongan lagi katanya? Ya Tuhan, andai keadaan sekarang baik-baik saja seperti dulu, sudah pasti aku akan dengan senang hati menjawab permintaan Mama. Hanya saja, dengan kondisi Mas Andra yang mencurigakan seperti itu … aku menjadi mawas diri. Bahkan, rasa rindu padanya yang tadinya begitu besar di dalam dada, harus aku bunuh dengan tega.Nyatanya aku masihlah seorang wanita dewasa yang normal. Selama empat bulan sudah tak merasakan sentuhan cinta dari Mas Andra, rasanya seperti ada yang hilang. Aku haus, aku rindu, aku ingin, memuaskan hasrat yang lama terpendam.Meskipun dokter Budi mengatakan kalau penyakitnya takkan menular lewat keringat, sentuhan kulit, ataupun air liur, aku tetap saja enggan dan takut menyentuh Mas Andra. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan tenta
Widya menyambut kedatanganku dan Fadil dengan senang. Ia tampak bahagia setelah melewati tiga tahun menanti kehadiran sang buah hati. Tak lupa aku serahkan cake dan juga hampers bayi yang tadi aku beli di mall. Fadil terlihat senang melihat adik bayi yang imut dan juga montok. Putri kecil yang sehat dan cantik itu, diberi nama Sahara. “Maaf ya Wid, baru sempat jenguk sekarang. Soalnya kemarin-kemarin gak enak tinggalin Mama di rumah sendirian. Kalau sekarang Mas Andra udah pulang,” ucapku seraya memandangi wajah bayi mungil yang sangat mirip dengan Widya. “Santai aja, Beb. Gue juga paham kok. Alhamdulillah ni baby dah keluar dari perut gue. Kemarin mulesnya ya ampun, ampe sehari semalam!” ujar Widya sambil tertawa-tawa. Aku ikutan tertawa mendengar candaannya. Widya adalah teman dekatku semasa di SMA. Saat lulus kami terpisah karena Widya diterima sebagai mahasiswa kedokteran sedangkan aku mengambil jurusan akuntansi. Selama itu kami masih menjalin komunikasi walaupun jarang bertemu
“Waktu itu, aku gak lihat jelas, Yang. Kayaknya dia sendirian tapi ada yang nungguin, jemput dia. Mungkin Mbak Naira, deh. Perempuan soalnya yang jemput. Aku kurang jelas lihat mukanya, dia pake kacamata hitam,” sambung Mas Alfi.Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ya Tuhan, apakah benar yang dikatakan Mas Alfi? Lantas siapa perempuan yang menjemput Mas Andra di bandara? Aku sungguh tak habis pikir. Telapak tanganku makin lembab saja dengan keringat, selalu begitu saat jika sedang cemas atau gugup.“Oh, gitu. Ya udah, deh. Mungkin Naira yang jemput. Udah dulu ya, Yang. Aku mau tidur siang. Kamu hati-hati di sana!” pesan Widya pada suaminya.“Kamu juga hati-hati di rumah sama Sahara. Kalau ada apa-apa, cepet kabari. Love you.”Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir. Widya mendesah, matanya memancarkan kekhawatiran melihatku terdiam. Sedangkan aku merasa cemas, malu, sakit, dan rapuh yang melebur menjadi satu.Selama ini aku sungguh percaya pada Mas Andra. Namun, dengan keadaan
Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju ke arah lemari. Selagi Mas Andra sedang bertamu, aku punya waktu untuk leluasa memeriksa seisi kamar. Dengan cepat aku membuka seluruh laci dan menyingkap setiap tumpukan lipatan pakaian. Tiap sudut kamar aku periksa dengan teliti.Di bawah kasur, di bawah ranjang, di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu di dalam tas kecil itu. Koper yang kemarin sudah dirapikan, aku bongkar kembali. Meraba-raba pada tiap sisi, untuk mencari kalau-kalau benda itu disembunyikan. Sayang, aku tak kunjung menemukan benda itu.Argh! Seperti orang gila aku hilir mudik di dalam kamar. Di mana Mas Andra menyembunyikan benda itu? Di mana? Kusandarkan badan ke pintu kamar untuk menenangkan diri. Mata masih mencari-cari keberadaan tas Mas Andra. Sampai akhirnya mataku tertuju pada bagian atas lemari. Lemari besar setinggi hampir dua meter yang memuat hampir semua pakaianku dan Mas Andra.Ada beberapa benda yang aku taruh di atas sana. Beb
Mata Mas Andra mengerjap cepat. Ia menjilat bibir bawahnya dengan gugup. Ayolah, Mas, jawablah cepat. Jangan biarkan aku semakin curiga. Aku sudah sekuat tenaga menahan semua pertanyaan yang ingin keluar tanpa jeda.“Li-libur? Ng-nggak pernah, Nai! Mas selalu stand-by di lokasi proyek, kok. Kan, memang gak dapat jatah libur?” jelasnya, mencoba memasang tampang meyakinkan.“Oh, gitu. Kalau misal aku tanya Pak Herman gimana, Mas? Cuma untuk memastikan aja. Masa gak pernah dapat jatah libur,” lanjutku dengan tenang.Wajah Mas Andra berubah menjadi pias. Ia langsung berdiri dari duduknya.“Maksud kamu apa sih, Nai? Kok sampai melibatkan Pak Herman segala? Mas gak suka ya, kamu ikut campur masalah pekerjaan!” omelnya dengan wajah muram, suaranya meninggi.“Aku bukan ikut campur masalah pekerjaan, Mas! Hanya ingin memastikan hal itu saja. Gak kurang, gak lebih!” Aku tak mau kalah.“Kenapa? Kenapa emangnya? Kalau libur, Mas sudah pasti pulang, Nai!” Mas Andra berkata dengan ekspresi kesal. T
(Dua Bulan yang Lalu)Aku memandangi ponsel dengan perasaan tak menentu. Setelah semalam bertukar kabar dengan Mas Andra, sekarang ponselnya tidak aktif sejak tadi pagi. Padahal biasanya, Mas Andra tak pernah lupa menyapa lewat pesan WA saat ia bangun tidur. Tak jarang pula ia mengirimkan voice note, bahkan saat istirahat makan siang ia akan mengabari lagi.Memang salahku yang tidak terpikir untuk meminta nomor salah satu teman kerjanya di sana. Ah, benar-benar cemas rasanya. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan Mas Andra? Sehari semalam aku harus menanggung rasa gundah itu. Untunglah, saat aku terbangun subuh, beberapa pesan dari Mas Andra masuk. Katanya listrik di lokasi proyek tempat mess-nya berada sedang mengalami gangguan. Hal itulah yang menyebabkan ponselnya kehabisan daya.Perasaanku menjadi tenang lagi. amat bersukur karena keadaan Mas Andra baik-baik saja. Tak ada pikiran buruk kalau dia akan berani bermain api ataupun macam-macam. Sedikit pun tak pernah terlintas di dalam ke
Kembali aku periksa dengan teliti. Setiap folder yang berisi beragam aplikasi, aku buka satu per satu. Ternyata memang, Mas Andra memiliki nomor WA lain khusus di tabletnya.Di antara percakapan yang berkaitan dengan pekerjaan, tentu saja chat dari banyak perempuan ada di sana. Salah satunya yang paling mencuri perhatian adalah dari Chelly. Beberapa bukti transfer uang antar bank pun tertera dengan jelas. Jantungku bagaikan di remas kuat melihat setiap nominal yang dikirimkan Mas Andra untuk perempuan itu.Setiap bulan Mas Andra mengirimkan 4 sampai 5 juta ke rekeningku dan entah berapa juta ke rekening Mama. Itu pun, terkadang Mama masih merongrong dan mengaturku agar tidak boros. Berbagai macam petuah harus aku patuhi. Jika tidak, maka omelan pedas dari mulutnya akan meluncur bebas. Namun, untuk perempuan itu Mas Andra dengan entengnya mengirimkan 2 sampai 5 juta hanya untuk kenikmatan sesaat yang terlaknat. Belum lagi membayar perempuan-perempuan lainnya. Apa yang akan dikatakan Ma
Jadi itu yang membuat Mama marah? Ah, andai Mama tahu apa alasannya aku begitu. Namun, belum saatnya untuk memberitahu Mama sekarang. biarlah nanti akan aku ungkap di saat yang tepat saja. Saat ini Mama hanya termakan dengan asumsinya sendiri.Orang tua di mana pun pasti akan membela anaknya. Aku sangat paham akan hal itu. Apalagi Mas Andra adalah anak tunggal Mama. Pastilah ia akan dibela sedemikian rupa, tanpa tahu masalah yang sebenarnya. Harus bagaimana aku menjawab Mama sekarang? Aku mengusap pelan pelipis yang sedikit berkedut. Kepalaku agak pusing, mungkin karena pengaruh menangis tadi.“Maaf, Ma. Naira gak ada maksud seperti itu. Naira masih melayani dan merawat Mas Andra dengan sebaiknya, kok,” jawabku pelan, menekan emosi yang membuncah.“Merawat dan melayani sebaiknya, katamu? Cih! Kamu pikir Mama percaya? Mama lihat sendiri bagaimana kamu acuh tak acuh sama Andra. Apalagi semenjak kalian pulang dari rumah sakit! Jangan-jangan tahu suami sakit, kamu mulai mau membangkang!”
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole
Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]
(PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m
Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Sekarang, Mama pasti sudah berangkat ke acara arisannya. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau Mbak Della tak ikut kali ini.Kalau perkiraanku tepat, berarti hanya ada Mas Andra dan perempuan itu saja di rumah. Apalagi tadi Mas Andra mengatakan kalau dia akan memberikan ongkos taksi pada Mama.Bayangan lingerie-lingerie milikku yang sudah berpindah tempat di bawah ranjang Mbak Della dalam keadaan tak karuan, kembali terlintas. Seketika mual kembali menyerang dan membuat mata berair.Apakah aku marah? Ataukah lebih ke merasa jijik? Mungkin gabungan dari keduanya. Marah karena dia sudah lancang, dan jijik karena paham akan perbuatan mereka.Mbak Della tidak mungkin memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah. Dia tak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Yang selama ini sudah bermain kucing-kucingan denganku, adalah Mas Andra.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, tak ingin terburu-buru ataupun terlalu santai. Takutnya,
“Kamu cuma berdua sama Fadil aja, Nai?” tanya Umi begitu aku sampai.“Iya, Mi. Suntuk aja di rumah, jadi main ke sini, deh!” ucapku sembari masuk.Fadil sudah sejak sampai tadi berpindah ke gendongan kakungnya. Mereka langsung berjalan ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang sedang berbuah begitu lebat.“Gimana di sana, Nai? Aman? Katanya udah ada pembantu baru, kan?”Sampai di dapur, aku langsung membuka tudung nasi Umi. Selera makan sontak timbul melihat sayur asem, gorengan tempe, dan sambal terasi. Tanpa ragu aku mengambil piring dan sendok.“Ya, gitulah, Mi. Mau dibilang aman, ya aman. Tapi, semenjak ada pembantu baru itu, suasana rumah jadi aneh,” ujarku, tangan sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring.Umi ikut duduk dan hanya menatapku saja. Dia sudah maklum dengan kebiasaanku yang langsung memeriksa tudung saji begitu sampai di rumah.“Aneh gimana, Nai? Perasaan kamu aja, kali. Sama Andra, udah baikan?” selidiknya.Aku yang sudah mulai mengunyah, terpaksa t
Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.
Sudah beberapa malam ini aku selalu terbangun dari jam 1 dini hari hingga subuh. Mungkin karena belum beruntung, aku tak menemukan hal-hal aneh. Setiap kali aku memeriksa ke kamar di jam-jam acak, Mas Andra tampak sedang tertidur pulas.Namun, aku tak putus asa. Bisa jadi saat ini Mbak Della dan Mas Andra sedang menjaga jarak karena insiden baju tidur kemarin. Kurasa mereka menganggap keadaan sedang tak aman sehingga harus berhati-hati. Jika mereka berdua licik, maka aku harus selangkah lebih maju.Pagi ini, saat kami semua sedang berkumpul, Mas Andra menyerahkan amplop berwarna cokelat. Satu untukku, satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Mbak Della.“Ini uang belanja kamu, ini untuk Mama, dan yang ini gaji Mbak Della,” ucap Mas Andra yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat ke kantor.“Makasih,” jawabku singkat. Paling tidak, dia masih sadar untuk menafkahiku meskipun kami sedang perang dingin.“Makasih, Pak Andra. Makasih.” Mbak Della mendekap amplop itu dengan wajah berbinar
Merasa pusing, aku terduduk lemas di pinggir ranjang berukuran kecil tempat pembaringan Mbak Della. Membayangkan kalau benda empuk itu mungkin saja menjadi saksi bisu perbuatan terlarang, lagi-lagi aku meradang.Aku yakin kalau ini adalah salah satu petunjuk yang sengaja Tuhan berikan untukku. Jika tidak, mungkin sampai sekarang aku tak akan pernah tahu ke mana larinya pakaian-pakaian dinas malam itu.Setelah berpikir sejenak, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto pakaian yang penuh najis dan noda. Dalam kepalaku terus terpikir kalau hal ini nanti akan berguna di masa yang akan datang. Tanganku masih gemetar saking gugupnya.Saat yakin kalau foto-foto itu sudah tersimpan dalam folder tersembunyi, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Ah, sungguh gila apa yang aku saksikan saat ini.Suara Mama dan Mbak Della yang terdengar di depan, menyadarkan aku. Setelah memastikan keadaan kamar Mbak Della sudah terlihat seperti sedia kala, aku segera keluar dengan tenan
Berminggu-minggu sudah aku pulang ke rumah. Semuanya terasa hampa. Untung saja di sana ada Fadil, yang jadi tempatku mencurahkan rasa sayang. Dia jugalah yang membuat aku bertahan di tengah-tengah Mama dan Mas Andra.Mas Andra terus mendiamkan aku sejak kejadian aku menolak tidur satu kamar. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sekali pun tidur dengannya lagi. Entah sampai kapan kami akan terus-terusan seperti ini. Aku pun enggan untuk memulai bicara dengannya.Hubungan pernikahan ini terasa sudah benar-benar tak sehat, tetapi aku masih mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Sembari memperhatikan perkembangan Fadil yang semakin sehat dan lincah seiring waktu.Hari ini rumah terasa lengang. Mas Andra sudah berangkat ke kantor, sementara Mbak Della menemani Mama berbelanja. Mertuaku itu ngotot mengajak Mbak Della yang dia nobatkan sebagai asisten pribadi.Aku tak protes sama sekali, malah bersyukur karena bisa menikmati waktu bersantai dengan Fadil di rumah. Saat dia sedang bermain di