Share

6. Mencari Bukti

Penulis: Puspa Pebrianti
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Waktu itu, aku gak lihat jelas, Yang. Kayaknya dia sendirian tapi ada yang nungguin, jemput dia. Mungkin Mbak Naira, deh. Perempuan soalnya yang jemput. Aku kurang jelas lihat mukanya, dia pake kacamata hitam,” sambung Mas Alfi.

Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ya Tuhan, apakah benar yang dikatakan Mas Alfi? Lantas siapa perempuan yang menjemput Mas Andra di bandara? Aku sungguh tak habis pikir. Telapak tanganku makin lembab saja dengan keringat, selalu begitu saat jika sedang cemas atau gugup.

“Oh, gitu. Ya udah, deh. Mungkin Naira yang jemput. Udah dulu ya, Yang. Aku mau tidur siang. Kamu hati-hati di sana!” pesan Widya pada suaminya.

“Kamu juga hati-hati di rumah sama Sahara. Kalau ada apa-apa, cepet kabari. Love you.”

Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir. Widya mendesah, matanya memancarkan kekhawatiran melihatku terdiam. Sedangkan aku merasa cemas, malu, sakit, dan rapuh yang melebur menjadi satu.

Selama ini aku sungguh percaya pada Mas Andra. Namun, dengan keadaan sekarang, masih bisakah aku percaya padanya? Meskipun kabar dari Mas Alfi belum tentu benar, tapi untuk apa juga ia berbohong dan mengarang cerita?

“Nai, lo gak apa-apa?” tanya Widya hati-hati. Ia meletakkan ponsel di pangkuan.

Aku memegang dada, merasakan debaran jantung yang meningkat.

“Gue ga tau lagi, Wid. Rasanya nyesek banget denger kabar kayak gini. Gue belum siap kalau harus nerima kenyataan. Apa iya Mas Andra selingkuh, Wid? Ga banget, kan!” balasku dengan suara bergetar.

“Waktu itu Mas Alfi sempet cerita kalo ketemu Mas Andra. Cuma gue lupa mau menghubungi lo. Gue pikir dia sama lo, Nai!” imbuh Widya. Dia terlihat sungguh menyesal, padahal itu bukan salahnya.

Apa yang harus aku lakukan kalau Mas Andra benar-benar sudah berpaling? Ia tak menunjukkan gelagat aneh sama sekali di hadapanku. Ia masih bersikap seperti biasa, tak ada yang berubah. Hanya penyakitnya yang menjijikkan itu saja yang menunjukkan kalau sesuatu sudah terjadi. Namun, untuk mendapatkan pengakuan secara sukarela dari Mas Andra sepertinya mustahil. Ia selalu tutup mulut dan mengelak. Sungguh pintar dan licik.

“Gue harus apa, Wid?” tanyaku, nanar menatap Widya. Rasanya air mataku ingin keluar saat ini juga.

“Feeling lo sendiri gimana, Nai? Kira-kira ada yang salah atau beda ga sama tingkah Mas Andra sekarang?” Widya balik bertanya.

Aku berpikir sejenak. Betul, semuanya harus kembali pada diriku sendiri. Apa yang aku rasakan dan lihat. Toh, hanya aku yang tahu betul bagaimana Mas Andra. Otakku memutar ulang dan mencari-cari sesuatu yang sekiranya bisa dijadikan petunjuk.

“Gue belum yakin, Wid. Tapi kayaknya emang ada yang salah dan berbeda.”

Widya mengangguk. “Berarti lo harus cari bukti, Nai. Jangan sampai menuduh tanpa landasan, nanti bisa jadi bumerang. Kalau lo punya bukti valid, dia ga akan bisa mengelak. Kalau ada yang bisa gue bantu, lo tinggal ngomong aja,” ujar Widya panjang lebar.

“Lo betul, Wid. Gue bakal cari buktinya. Insya Allah gue bisa. Makasih udah support gue,” tandasku meyakinkan diri sendiri.

“Gue yakin, lo pasti bisa. Pokoknya jangan gegabah, Nai. Jangan terbawa emosi. Cuma itu pesan gue.”

Setelah Fadil bangun, akhirnya aku memutuskan untuk pamit pulang. Lagi pula, hari sudah semakin siang. Tak enak rasanya kalau terlalu lama mengganggu Widya. Dia pasti butuh istirahat setelah menemani Sahara begadang semalaman.

*

Selama perjalanan pulang, otakku berpikir keras. Bagaimana caranya mencari bukti kalau Mas Andra sudah melakukan kesalahan? Dia terlalu sempurna menutupi segalanya. Masih terngiang di telingaku ucapan Mas Alfi tadi. Dua bulan yang lalu Mas Andra pernah terlihat di bandara. Ke mana ia pergi dan dengan siapa? Berkali-kali aku mendesah. Rasanya berat sekali harus memikirkan semuanya sendiri.

Celoteh Fadil terdengar, mengalihkan pikiranku yang seperti benang kusut. Bocah lelaki berumur 4 tahun itu bernyanyi riang dan sekali-kali mencoba mengeja tulisan yang ia lihat di sepanjang jalan. Anakku yang mulai tumbuh besar dan pintar, jangan sampai tahu tentang kegundahan hati bundanya.

Rasanya sedikit enggan untuk pulang ke rumah. Jika melihat wajah Mas Andra, emosiku jadi bercampur aduk. Antara sedih, marah, kesal, dan tanda tanya yang besar. Namun, cuaca yang mulai mendung dan hari yang semakin sore membuatku terpaksa pulang.

Terlihat sebuah mobil terparkir di depan rumah kami. Entah siapa yang bertamu. Saat turun, terlihat Mas Andra sedang berbincang dengan Pak Herman. Rupanya sang bos proyek datang berkunjung. Aku hanya mengangguk sopan dan bertegur sapa ala kadarnya dengan Pak Herman. Sementara Fadil, bersalaman dengan pria paruh baya itu.

“Nai, tolong buatkan minum untuk Pak Herman, ya,” pinta Mas Andra saat aku akan masuk rumah.

“Iya, Mas. Pak Herman mau minum apa? Teh atau kopi, Pak?” tawarku, menampilkan senyuman.

“Apa saja, Dik Naira. Saya tidak pilih-pilih,” jawabnya kemudian.

Tak menunggu lama aku berlalu, sambil bertanya-tanya dalam hati di mana keberadaan Mama? Mengapa tidak menyuguhkan minuman untuk tamu? Kalau tadi aku tidak pulang, apa mereka tidak akan menyuguhkan apapun untuk Pak Herman?

Kudapati Mama sedang bersantai di depan TV. Saat melihatku, wajahnya terlihat masam. Aku yang sedang tak enak hati, langsung saja ke dapur menyiapkan minuman. Dua gelas teh manis dan setoples biskuit aku suguhkan untuk Pak Herman dan Mas Andra.

“Ke mana aja kamu, Nai? Enak banget ya, jalan-jalan. Gak mikirin yang di rumah!” cetus Mama saat aku lewat akan ke kamar.

“Lho, tadi ‘kan Naira udah izin, Ma? Lagian ga jalan ke mana-mana juga, kok. Cuma jenguk temen yang baru melahirkan,” balasku dengan dahi berkerut.

Mama melengos, menunjukkan wajah tak percaya. Mulutnya komat-kamit, tapi tak ada ucapan yang keluar. Sudah pasti ia diam-diam mengomel.

“Ya udah, Naira mau mandi dulu, Ma,” pamitku, tak mau memperpanjang  masalah.

*

Di dalam kamar aku tak langsung mengambil handuk, melainkan duduk di pinggir ranjang untuk berpikir sejenak. Kutatap sekeliling kamar, mencari-cari inspirasi. Seingatku, koper pakaian Mas Andra sudah dibongkar begitu ia sampai seminggu yang lalu. Tak ada yang aneh dengan isinya. Hanya pakaian dan beberapa oleh-oleh kecil. Begitu juga dengan bawaan lainnya.

Merasa buntu, aku berbaring sejenak dan memejamkan mata. Rasanya seperti ada yang kurang. Sesuatu yang selalu Mas Andra bawa ke mana-mana, tapi tak tampak wujudnya sampai sekarang. Tas kecil, tas hitam berbentuk persegi panjang tempat ia biasa menaruh dokumen-dokumen, tablet, dan benda-benda penting lainnya. Di mana ia menaruhnya?

Bab terkait

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   7. Mencari Bukti (2)

    Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju ke arah lemari. Selagi Mas Andra sedang bertamu, aku punya waktu untuk leluasa memeriksa seisi kamar. Dengan cepat aku membuka seluruh laci dan menyingkap setiap tumpukan lipatan pakaian. Tiap sudut kamar aku periksa dengan teliti.Di bawah kasur, di bawah ranjang, di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu di dalam tas kecil itu. Koper yang kemarin sudah dirapikan, aku bongkar kembali. Meraba-raba pada tiap sisi, untuk mencari kalau-kalau benda itu disembunyikan. Sayang, aku tak kunjung menemukan benda itu.Argh! Seperti orang gila aku hilir mudik di dalam kamar. Di mana Mas Andra menyembunyikan benda itu? Di mana? Kusandarkan badan ke pintu kamar untuk menenangkan diri. Mata masih mencari-cari keberadaan tas Mas Andra. Sampai akhirnya mataku tertuju pada bagian atas lemari. Lemari besar setinggi hampir dua meter yang memuat hampir semua pakaianku dan Mas Andra.Ada beberapa benda yang aku taruh di atas sana. Beb

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   8. Pertengkaran

    Mata Mas Andra mengerjap cepat. Ia menjilat bibir bawahnya dengan gugup. Ayolah, Mas, jawablah cepat. Jangan biarkan aku semakin curiga. Aku sudah sekuat tenaga menahan semua pertanyaan yang ingin keluar tanpa jeda.“Li-libur? Ng-nggak pernah, Nai! Mas selalu stand-by di lokasi proyek, kok. Kan, memang gak dapat jatah libur?” jelasnya, mencoba memasang tampang meyakinkan.“Oh, gitu. Kalau misal aku tanya Pak Herman gimana, Mas? Cuma untuk memastikan aja. Masa gak pernah dapat jatah libur,” lanjutku dengan tenang.Wajah Mas Andra berubah menjadi pias. Ia langsung berdiri dari duduknya.“Maksud kamu apa sih, Nai? Kok sampai melibatkan Pak Herman segala? Mas gak suka ya, kamu ikut campur masalah pekerjaan!” omelnya dengan wajah muram, suaranya meninggi.“Aku bukan ikut campur masalah pekerjaan, Mas! Hanya ingin memastikan hal itu saja. Gak kurang, gak lebih!” Aku tak mau kalah.“Kenapa? Kenapa emangnya? Kalau libur, Mas sudah pasti pulang, Nai!” Mas Andra berkata dengan ekspresi kesal. T

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   9. Penemuan Menjijikkan

    (Dua Bulan yang Lalu)Aku memandangi ponsel dengan perasaan tak menentu. Setelah semalam bertukar kabar dengan Mas Andra, sekarang ponselnya tidak aktif sejak tadi pagi. Padahal biasanya, Mas Andra tak pernah lupa menyapa lewat pesan WA saat ia bangun tidur. Tak jarang pula ia mengirimkan voice note, bahkan saat istirahat makan siang ia akan mengabari lagi.Memang salahku yang tidak terpikir untuk meminta nomor salah satu teman kerjanya di sana. Ah, benar-benar cemas rasanya. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan Mas Andra? Sehari semalam aku harus menanggung rasa gundah itu. Untunglah, saat aku terbangun subuh, beberapa pesan dari Mas Andra masuk. Katanya listrik di lokasi proyek tempat mess-nya berada sedang mengalami gangguan. Hal itulah yang menyebabkan ponselnya kehabisan daya.Perasaanku menjadi tenang lagi. amat bersukur karena keadaan Mas Andra baik-baik saja. Tak ada pikiran buruk kalau dia akan berani bermain api ataupun macam-macam. Sedikit pun tak pernah terlintas di dalam ke

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   10. Mama Marah-marah

    Kembali aku periksa dengan teliti. Setiap folder yang berisi beragam aplikasi, aku buka satu per satu. Ternyata memang, Mas Andra memiliki nomor WA lain khusus di tabletnya.Di antara percakapan yang berkaitan dengan pekerjaan, tentu saja chat dari banyak perempuan ada di sana. Salah satunya yang paling mencuri perhatian adalah dari Chelly. Beberapa bukti transfer uang antar bank pun tertera dengan jelas. Jantungku bagaikan di remas kuat melihat setiap nominal yang dikirimkan Mas Andra untuk perempuan itu.Setiap bulan Mas Andra mengirimkan 4 sampai 5 juta ke rekeningku dan entah berapa juta ke rekening Mama. Itu pun, terkadang Mama masih merongrong dan mengaturku agar tidak boros. Berbagai macam petuah harus aku patuhi. Jika tidak, maka omelan pedas dari mulutnya akan meluncur bebas. Namun, untuk perempuan itu Mas Andra dengan entengnya mengirimkan 2 sampai 5 juta hanya untuk kenikmatan sesaat yang terlaknat. Belum lagi membayar perempuan-perempuan lainnya. Apa yang akan dikatakan Ma

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   11. Tuduhan Busuk

    Jadi itu yang membuat Mama marah? Ah, andai Mama tahu apa alasannya aku begitu. Namun, belum saatnya untuk memberitahu Mama sekarang. biarlah nanti akan aku ungkap di saat yang tepat saja. Saat ini Mama hanya termakan dengan asumsinya sendiri.Orang tua di mana pun pasti akan membela anaknya. Aku sangat paham akan hal itu. Apalagi Mas Andra adalah anak tunggal Mama. Pastilah ia akan dibela sedemikian rupa, tanpa tahu masalah yang sebenarnya. Harus bagaimana aku menjawab Mama sekarang? Aku mengusap pelan pelipis yang sedikit berkedut. Kepalaku agak pusing, mungkin karena pengaruh menangis tadi.“Maaf, Ma. Naira gak ada maksud seperti itu. Naira masih melayani dan merawat Mas Andra dengan sebaiknya, kok,” jawabku pelan, menekan emosi yang membuncah.“Merawat dan melayani sebaiknya, katamu? Cih! Kamu pikir Mama percaya? Mama lihat sendiri bagaimana kamu acuh tak acuh sama Andra. Apalagi semenjak kalian pulang dari rumah sakit! Jangan-jangan tahu suami sakit, kamu mulai mau membangkang!”

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   12. Mas Andra Mengamuk

    Entah sudah berapa jam aku tertidur di kamar Fadil. Sampai jam 11 tadi, Mas Andra belum juga pulang. Saat makan malam, Mama terus-terusan menunjukkan wajah sinis ke arahku. Kalau bukan menyabarkan diri, mungkin aku tak perlu masak untuknya. Namun, aku masih menahan diri untuk tidak memancing keributan karena ada Fadil yang melihat.Telingaku menangkap suara samar dari luar, entah dari mana asalnya. Perlahan aku bangkit, lalu keluar dari kamar. Suara itu makin jelas terdengar. Kukira berasal dari kamarku dan Mas Andra. Siapa di dalam sana? Apa Mas Andra sudah pulang? Atau Mama? Kulirik sekilas jam yang menunjukkan pukul 4 pagi.Sedikit berjingkat aku mendekati ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Terlihat Mas Andra berjalan mondar-mandir di dalam sana. Sesekali ia mengacak rambut, dan berdecak kesal. Kapan ia pulang? Mungkinkah Mama yang membukakan pintu?Terlihat Mas Andra membuka pintu lemari pakaian. Tangannya dengan cekatan mengangkat tumpukan-tumpukan baju. Laci-laci pun diperik

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   13. Membawa Fadil Pergi

    “Jangan main-main, Naira! Kembalikan tas itu, sekarang juga!” bentak Mas Andra tepat di depan wajahku.“Begitu caramu meminta baik-baik, Mas? Begitu? Kamu pikir aku akan sudi mengembalikan benda itu? Jangan harap!” Aku mendorong dadanya kuat.Badan Mas Andra hampir terjengkang. Ada kilatan aneh di matanya yang berubah menjadi beku. Aku merasa sangat ketakutan dan terancam sekarang. Ya Tuhan, tolong aku!“Sejak kapan kamu berubah menjadi melawan, Naira? Kualat kamu! Cepat kembalikan tasnya! Kalau tidak—“ Ucapan Mas Andra terpotong.“Kalau tidak, apa, Mas?” tantangku.“Jangan sampai aku harus berbuat kasar, Naira!” Dadanya kembang kempis. Bukan, ini bukanlah sosok Mas Andra yang aku kenal.Mas Andra yang dulu dengan romantis melamarku di pinggir pantai dan selalu bertutur kata baik, tidak pernah mengancam seperti itu. Siapa kamu? Siapa? Badanku mulai gemetar.“Tak akan pernah aku kembalikan! Barang-barang dalam tas itu akan menjadi bukti kuat dari kebusukanmu selama ini!” teriakku tegas

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   14. Di Rumah Abah dan Umi

    Abah sudah pulang dari mesjid, sedang bermain dengan Fadil seperti biasa saja. Fadil yang sudah rindu dengan kakung dan utinya, tampak ceria dan gembira. Sekali-kali Abah melirik ke arahku. Sementara aku, diam sambil terus menyiapkan sarapan di meja makan.Perasaanku mulai tak karuan. Dalam kepala sedang menyusun kalimat-kalimat yang harus aku sampaikan pada Umi dan Abah nanti. Aku tahu, hal ini tak akan mudah. Lima belas menit kemudian, sajian sudah siap di meja. Aku segera memanggil Abah dan Fadil untuk bergabung makan bersama.“Makan dulu, Bah. Fadil juga, yuk!” ajakku, ketika semua makanan sudah siap di atas meja.Soto ayam kampung kesukaan Abah sudah tersaji. Wajah Abah tampak berseri memandangi meja makan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memasak untuk Umi dan Abah. Ah, aku benar-benar rindu suasana seperti ini.Tanpa basa-basi, kami segera menikmati hidangan. Sesekali Abah memuji cita rasa masakan. Tentu saja aku merasa senang. Setelah dua mangkok soto tandas, akhirnya

Bab terbaru

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   59. Tak Mau Disalahkan

    Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   58. Tepat di Depan Mata

    Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   57. Berduaan dengan Della

    (PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   56. Rekaman Menjijikkan

    Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Sekarang, Mama pasti sudah berangkat ke acara arisannya. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau Mbak Della tak ikut kali ini.Kalau perkiraanku tepat, berarti hanya ada Mas Andra dan perempuan itu saja di rumah. Apalagi tadi Mas Andra mengatakan kalau dia akan memberikan ongkos taksi pada Mama.Bayangan lingerie-lingerie milikku yang sudah berpindah tempat di bawah ranjang Mbak Della dalam keadaan tak karuan, kembali terlintas. Seketika mual kembali menyerang dan membuat mata berair.Apakah aku marah? Ataukah lebih ke merasa jijik? Mungkin gabungan dari keduanya. Marah karena dia sudah lancang, dan jijik karena paham akan perbuatan mereka.Mbak Della tidak mungkin memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah. Dia tak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Yang selama ini sudah bermain kucing-kucingan denganku, adalah Mas Andra.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, tak ingin terburu-buru ataupun terlalu santai. Takutnya,

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   55. Berpamitan

    “Kamu cuma berdua sama Fadil aja, Nai?” tanya Umi begitu aku sampai.“Iya, Mi. Suntuk aja di rumah, jadi main ke sini, deh!” ucapku sembari masuk.Fadil sudah sejak sampai tadi berpindah ke gendongan kakungnya. Mereka langsung berjalan ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang sedang berbuah begitu lebat.“Gimana di sana, Nai? Aman? Katanya udah ada pembantu baru, kan?”Sampai di dapur, aku langsung membuka tudung nasi Umi. Selera makan sontak timbul melihat sayur asem, gorengan tempe, dan sambal terasi. Tanpa ragu aku mengambil piring dan sendok.“Ya, gitulah, Mi. Mau dibilang aman, ya aman. Tapi, semenjak ada pembantu baru itu, suasana rumah jadi aneh,” ujarku, tangan sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring.Umi ikut duduk dan hanya menatapku saja. Dia sudah maklum dengan kebiasaanku yang langsung memeriksa tudung saji begitu sampai di rumah.“Aneh gimana, Nai? Perasaan kamu aja, kali. Sama Andra, udah baikan?” selidiknya.Aku yang sudah mulai mengunyah, terpaksa t

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   54. Mengantur Rencana

    Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   53. Mengintai

    Sudah beberapa malam ini aku selalu terbangun dari jam 1 dini hari hingga subuh. Mungkin karena belum beruntung, aku tak menemukan hal-hal aneh. Setiap kali aku memeriksa ke kamar di jam-jam acak, Mas Andra tampak sedang tertidur pulas.Namun, aku tak putus asa. Bisa jadi saat ini Mbak Della dan Mas Andra sedang menjaga jarak karena insiden baju tidur kemarin. Kurasa mereka menganggap keadaan sedang tak aman sehingga harus berhati-hati. Jika mereka berdua licik, maka aku harus selangkah lebih maju.Pagi ini, saat kami semua sedang berkumpul, Mas Andra menyerahkan amplop berwarna cokelat. Satu untukku, satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Mbak Della.“Ini uang belanja kamu, ini untuk Mama, dan yang ini gaji Mbak Della,” ucap Mas Andra yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat ke kantor.“Makasih,” jawabku singkat. Paling tidak, dia masih sadar untuk menafkahiku meskipun kami sedang perang dingin.“Makasih, Pak Andra. Makasih.” Mbak Della mendekap amplop itu dengan wajah berbinar

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   52. Coba Bertanya

    Merasa pusing, aku terduduk lemas di pinggir ranjang berukuran kecil tempat pembaringan Mbak Della. Membayangkan kalau benda empuk itu mungkin saja menjadi saksi bisu perbuatan terlarang, lagi-lagi aku meradang.Aku yakin kalau ini adalah salah satu petunjuk yang sengaja Tuhan berikan untukku. Jika tidak, mungkin sampai sekarang aku tak akan pernah tahu ke mana larinya pakaian-pakaian dinas malam itu.Setelah berpikir sejenak, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto pakaian yang penuh najis dan noda. Dalam kepalaku terus terpikir kalau hal ini nanti akan berguna di masa yang akan datang. Tanganku masih gemetar saking gugupnya.Saat yakin kalau foto-foto itu sudah tersimpan dalam folder tersembunyi, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Ah, sungguh gila apa yang aku saksikan saat ini.Suara Mama dan Mbak Della yang terdengar di depan, menyadarkan aku. Setelah memastikan keadaan kamar Mbak Della sudah terlihat seperti sedia kala, aku segera keluar dengan tenan

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   51. Di Bawah Ranjang Mbak Della

    Berminggu-minggu sudah aku pulang ke rumah. Semuanya terasa hampa. Untung saja di sana ada Fadil, yang jadi tempatku mencurahkan rasa sayang. Dia jugalah yang membuat aku bertahan di tengah-tengah Mama dan Mas Andra.Mas Andra terus mendiamkan aku sejak kejadian aku menolak tidur satu kamar. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sekali pun tidur dengannya lagi. Entah sampai kapan kami akan terus-terusan seperti ini. Aku pun enggan untuk memulai bicara dengannya.Hubungan pernikahan ini terasa sudah benar-benar tak sehat, tetapi aku masih mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Sembari memperhatikan perkembangan Fadil yang semakin sehat dan lincah seiring waktu.Hari ini rumah terasa lengang. Mas Andra sudah berangkat ke kantor, sementara Mbak Della menemani Mama berbelanja. Mertuaku itu ngotot mengajak Mbak Della yang dia nobatkan sebagai asisten pribadi.Aku tak protes sama sekali, malah bersyukur karena bisa menikmati waktu bersantai dengan Fadil di rumah. Saat dia sedang bermain di

DMCA.com Protection Status