"Emang Kakak tau apa?" Tanyaku kesal. Saat ini aku paling malas diganggu apalagi kak Ayu sampai terlalu jauh mencampuri urusanku."Nes ... Kakak ini bukan orang lain bagi kamu. Dan kita sudah tidak punya bapak lagi. Ibu pun sudah tua dan sering sakit-sakitan." "Lalu, apa hubungannya dengan Raka? Apa ada hubungan dengan sifat keingintahuan kakak?""Nes, kita cuma berdua loh. Ibu sudah tua.""Agnes tau, kak. Agnes tau ibu sudah tua. Terus, apa hubungannya dengan Raka?""Ibu dan Kakak gak bisa terus-terusan menjaga kamu. Carilah pendamping.""Kamu terima saja Raka untuk menjadi suamimu. Dia orangnya baik dan gak macam-macam. Kamu lihat sendiri, "kan? Begitu banyak wanita yang suka padanya tetapi dia tetap memilih kamu!" Kak Ayu menjadi tim sukses Raka nampaknya. Semua sisi baik dari Raka di eksposenya. Aku tahu Raka memang baik. Sangat baik malah. Tetapi aku belum siap untuk menerima lelaki lain, trauma itu masih saja aku rasakan. Aku belum bisa menghadapi suami macam mas Raka. Tidak s
Sebulan berlalu, setelah mengajak Niken bermain ke kolam renang, Raka benar-benar tidak pernah menghubungi aku lagi. Hati ini menjadi dilema. Satu sisi, tidak kupungkiri, bahwa sang mantan pacar, yang sudah berstatus duda itu, kian hari semakin menawan. Getar-getar cinta yang sempat padam, kini sudah kembali bergelora kembali. Akan tetapi, di sisi yang lain, aku masih takut untuk membangun kembali biduk rumah tangga. Aku takut peristiwa karamnya biduk rumah tanggaku dengan mas Rama, akan terulang kembali. Memang kami pernah saling mencintai, tapi itu 'kan dulu. Disaat kami berdua masih bau kencur, cinta monyet. Kalau sekarang, aku masih ragu, jika diri ini masih ada di hatinya. Saat ini aku serahkan semua kepada Tuhan sang Pemilik Kehidupan. Bila jodoh, pasti dia tidak akan lari kemana. Pun, sebaliknya. Sekuat apa pun usaha kami untuk bersatu, jika Tuhan tidak Berkehendak tidak akan terjadi pernikahan kami berdua. Lagian untuk saat ini aku lebih fokus ke karir dan juga m
"Om, minggu depan kita main kesini lagi, ya?" ajak Niken, polos. Lalu dia melirikku. "Papa gak pernah mengajak Niken jalan-jalan. Apa salahnya Niken ajak om Raka." Raka tersenyum mendengar celoteh anak semata wayang aku. "Minggu depan kita kemari lagi ya? Nanti kita mainkan semua permainan yang ada disini. Bagaimana?" Tanya Raka antusias. Lelaki itu terlihat sangat akrab dengan Niken, entah pribadinya yang sangat mudah dekat dengan anak-anak atau dia sedang mencari simpatiku. Kedua anak manusia beda generasi itu mengobrol begitu akrab. Sebenarnya tidak ada hal yang penting yang mereka bicarakan tetapi mereka sangat serius seperti sahabat akrab yang baru saja bertemu. "Ma, Minggu depan kita jalan-jalan sama om Raka ya?" Rengek Niken seraya menarik-narik ujung bajuku. Sebenarnya aku tidak suka melihat Niken terlalu dekat dengan Raka. Status janda yang aku sandang membuat diri ini harus berfikir seribu kali jika terlalu dekat dengan laki-laki manapun. Seperti ucapan bu Mur
Hari ini adalah hari ulang tahun Niken yang ke tujuh. Sudah lama dia merengek ingin dirayakan. Kebetulan aku juga ada sedikit rejeki, jadi apa salahnya menyenangi anak semata wayangku. Dari pagi sudah sibuk membuat persiapan ulang tahun. Beberapa tetangga sebelah rumah kuminta untuk membantu masak di rumah. Ibu hanya mengawasi saja karena semenjak bapak tidak ada, beliau sudah lemah dan banyak melamun. Beliau tidak lincah seperti dulu lagi. Menu ulang tahun seperti biasa, nasi tumpeng kuning lengkap dengan lauk pauk. Beberapa anak gadis sebelah rumah, aku mintai tolong untuk memasukkan aneka jajan ke dalam plastik, serta menata meja yang akan digunakan untuk acara potong kue. Kak Ayu sedang menghias ruangan. Kertas warna warni dihiasi dan di tempel di dinding. Berbagai macam ucapan selamat ulang tahun datang dari kerabat. Bang Imran bertugas memasang balon dan pernak pernik bagian atas ruangan. Acara akan dilaksanakan jam satu siang. Dengan dua badut yang aku sewakan unt
"Nes, aku mau bawa Niken." Tiba-tiba saja Mas Rama menginginkan Niken untuk tinggal bersamanya. Tentu saja permintaan mas Rama membuat hati ini bergejolak. Padahal selama ini dia tidak pernah menghiraukan anak kami."Kenapa kamu mau bawa Niken?" Protesku."Niken itu anakku, Nes. Jadi aku lebih berhak terhadap dia. Aku tidak mau anakku dirawat oleh orang yang tidak benar." Jawab mas Rama. "Maksud kamu apa? Tidak benar bagaimana? Jangan cari-cari masalah, deh!" Tidak ada angin dan tidak ada hujan mas Rama mengatakan aku tidak benar mengurus Niken. Kalau bukan mencari masalah apa juga namanya. Selama ini kami sudah bahagia walaupun hanya berdua. "Aku gak mencari-cari masalah. Kamu tahu kan? Aku paling tidak suka anak gadisku dekat dengan lelaki dewasa selain dengan ayah kandungnya sendiri. Apa kamu gak pernah nonton berita?" Kurasa mas Rama sakit hati karena Niken lebih memilih Raka dalam memberikan suapan pertama kue ulang tahun, dibandingkan dia yang jelas-jelas bapak kandungnya."B
Sampai di ambang pintu, seketika kaki ini tidak bisa melangkah. Ya Tuhan firasatku benar. Mereka memperlakukan anakku seperti seorang pembantu. Lebih tepatnya seorang budak. Niken dengan baju yang basah kuyup dan wajah lesu sedang menyeret kain lap basah di lantai. Seumur-umur anak itu belum pernah melakukan pekerjaan yang mereka suruh tersebut."Kerja yang benar. Kau lelet sekali, sama kayak ibumu." Hinaan demi hinaan terus saja mereka lakukan kepada gadis kecil berusia baru saja genap tujuh tahun itu.Tidak sanggup aku melihat putri semata wayang diperlakukan seperti itu. Betul-betul tidak manusiawi. Kak Ayu berdiri menatap sekitar ruangan. Begitu juga Raka, tanpa diberi aba-aba dia sudah masuk duluan dan mengambil Niken."Hentikan, Nak. Mengepel ruangan bukan tugas kamu. Biar mereka yang mengerjakannya." Raka hendak menggendong Niken."Begini rupanya akhlak seorang nenek kandung terhadap cucunya? Anda hebat bu Lastri." hardik aku dan juga ikutan masuk untuk menghampiri Niken yang
"Akan aku laporkan kalian semua, atas perbuatan penganiayaan terhadap anak di bawah umur." Ancam Agnes membuat hati ini meradang. Bagaimana tidak. Seorang wanita yang pernah menjadi wanita nomor satu di hati ini, tega mau menjebloskan aku dan ibuku ke penjara."Nes, jangan gegabah. Kamu tanya dulu sama Niken dari mana asal bekas lebam di tubuh dia. Bisa jadi 'kan dia jatuh dari kamar mandi. Kok malah menuduh Sinta sama ibu yang menganiaya dia?" Aku berusaha membela diri. Anak mana yang tega melihat orangtuanya yang sudah tua mendekam dalam penjara."Jadi kamu gak mengakui perbuatan ibu dan adikmu? Oke!! Biar pengadilan yang akan mengungkap siapa pelaku penganiayaan terhadap anakku. Ayo Raka. Kawani aku ke kantor polisi." Agnes begitu sombong sekarang mentang-mentang sudah mempunyai bodyguard.Ya lelaki yang selama ini diincar oleh Vita, ternyata lebih menyukai mantan istriku yang kampungan di bandingkan Vita wanita gaul dan selalu nampak modis. Tapi tidak apa-apa juga Raka menolak Vit
"Nes, tolong cabut laporan kamu." Pesan Mas Rama melalui pesan chat. Dan aku tidak membalas pesan itu.Ayah macam apa mas Rama? Anaknya disiksa dia diam saja.Setengah jam berlalu, akhirnya mas Rama menelpon aku."Nes, kenapa gak kamu balas pesan aku?" Tanyanya di seberang sana."Pesan apa?" Tanyaku pura-pura tidak tahu."Tolong cabut laporan kamu di kantor polisi. Kasian ibu dan Sinta malam ini mereka mendekam di penjara. Akibat laporan kamu. Gak nyangka kamu bisa setega itu." Bukannya sadar orang tuanya bersalah, malah aku yang dituduh tega menjebloskan ibu dan adiknya ke penjara. Manusia macam apalah si Rama itu."Oh jelas aku tega dong." Jawabku sekenanya. Enak saja main cabut laporan, sementara anakku masih trauma, entah bagaimana cara menyembuhkan traumanya itu."Gak nyangka kamu bisa sejahat itu terhadap keluargaku." Sekarang aku yang dituduh jahat, jadi ibu dan adiknya apa namanya? Manusia yang tidak pernah instropeksi diri."Hei kadal. Jahat mana adikmu yang sudah menganiaya
Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku