"Agnes pun gak sanggup jika rumah tangga kami terlalu dicampuri sama mertua. Sinta pun ikut-ikutan." Aku mencurahkan segala isi hatiku pada kak Ayu dan beliau selalu memberi aku dukungan. Bertahun-tahun mereka memperlakukan aku bagaikan seorang babu dan herannya mas Rama malah mendukung perbuatan adik dan ibunya. Dia tidak pernah membela aku sebagai istrinya. Kalau bukan suami yang melindungi aku, siapa lagi? Malah dia mengijinkan adik dan ibunya menginjak-injak harga diri istrinya sendiri. Sudah lah. Sudah cukup aku menderita. Selama mendampinginya bukan kesenangan yang diberilan tetapi penderitaan."Dia itu belum merasakan tinggal di rumah mertuanya. Makanya begitu. Semoga saja, apa yang kamu rasakan, suatu saat Sinta juga akan merasakannya. Biar dia tahu bagaimana enaknya tinggal serumah dengan mertua dan ipar julid," ucap kak Ayu penuh emosi. "Iyalah, Kak. Semoga saja." Kali ini aku ikut mengiyakan ucapan kak Ayu. Memang aku akui tidak baik berdoa buruk untuk orang lain karena n
Pov Rama.Hari ini merupakan hari yang sangat aku nanti-nantikan selama ini. Hari yang sangat bersejarah dalam hidupku. Yaitu hari dimana aku akan menikah dengan sang pujaan hati. Kami sengaja mengadakan sebuah pesta mewah untuk membuat Agnes terbakar cemburu. Orang macam Agnes memang harus diberi pelajaran supaya dia sadar siapa sebenarnya dia.Seorang istri durhaka dan menantu suka melawan. Terlalu perhitungan dengan keluarga. Padahal apa salahnya sih aku memberikan uang untuk membayar utang-utang ibu dan biaya Sinta bulan madu. Adik aku itu 'kan, adik dia juga. Gak nyangka Agnes bisa berubah menjadi busuk hati seperti itu.Selama pulang dari rumah orang tuanya dia jadi susah diatur. Aku sangat yakin mertuaku sudah menghasut Agnes supaya melawan suami dan mertua.Sebagai lelaki aku tidak terima dengan perbuatan Agnes. Harga diriku diinjak-injak olehnya. Dikiranya aku tidak bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik dan menarik melebihi dia. Sekarang waktunya aku buktikan, aku bisa
"Ngg ... masih ngantuk, Mas," jawabnya malas. Vita menggeliat kemudian dia kembali memeluk bantal guling kesayangannya. Mungkin dia masih belum terbiasa menjadi seorang istri yang mempunyai kewajiban melayani suami dari masalah dapur bahkan di kasur. Ya sudah tidak masalah juga, biar saja dia tidur lagi karena jam pun masih menunjukkan diangka lima.Diri ini tidak bisa tidur lagi, karena sudah terbiasa dari kecil, kalau sudah waktunya salat subuh pasti akan terbangun sendiri.Akhirnya kubiarkan saja Vita tidur lagi. Mungkin juga dia kecapekan seharian pesta, apalagi tadi malam juga bergadang. Sebagai suami harus memakluminya.Setelah melaksanakan kewajiban sebagai hambaNya, seperti biasa untuk menjaga kesehatan aku berolaraga dengan berlari pagi mengelilingi komplek. Sungguh sangat melelahkan, yang penting keluar keringat.Sesampai di rumah kulihat suasana rumah masih sepi saja. Apakah Vita belum bangun juga? Padahal jam sudah menunjukkan diangka 7 dan sebentar lagi aku harus sudah s
Tiga bulan sudah berlalu, Vita semakin sibuk dengan bisnisnya. Semenjak bisnisnya semakin berkembang, dia tidak pernah menganggap aku sebagai suaminya. Seperti malam ini, perutku sangat lapar. Dari tadi siang aku belum makan sedikit pun. Setiap hari disuguhkan nasi warung. Bagiku begitu membosankan. Sangat berbeda jauh dengan Agnes, walaupun dia sibuk mengajar di sekolah tetapi kalau melayani suami tetap dinomor satukan. Aku tidak pernah dibiarkan makan nasi warung. Agnes selalu saja menyempatkan masak walau hanya sayur bayam dimasak bening dan sambal teri. Yang penting ada makanan yang selalu tersedia diatas meja makan. Bagi aku itu masakan yang lezat dibandingkan nasi bungkus, yang entah apa rasanya."Dek, Mas lapar. Buatin nasi goreng, gih." Aku memegang perut dengan wajah memelas, mengharap Vita iba dan bersedia membuatkan nasi goreng untukku. Sekian lama menikah belum pernah sekalipun merasakan masakan istri. Wajar dong, aku meminta perhatian darinya dengan dia masak nasi goreng
Selama berumah tangga dengan Vita tidak pernah sekali pun dia memberi perhatian ke aku sebagai suaminya.Sekedar memilihkan atau mengambil baju dalam lemari saja, dia tidak pernah melakukannya. Semua aku kerjakan sendiri. Begitu juga masalah makanan sehari-hari. Dia aja tidak pernah tahu, apa makanan favorit suaminya.'Argh ... kenapa aku jadi teringat dengan Agnes terus, sih?' gerutuku. Kenapa semua tentang dia, kenapa bayangan dia menari-nari dalam ingatanku. Apakah aku telah disantet sehingga hanya memikirkan Agnes dan Agnes saja. 'Argh ... aku tidak mau begini terus. Aku gak mau di sangka belum move on dari mantan. Aku sudah bahagia dengan Vita, dia itu pilihan hatiku. Wanita muda, cantik dan mandiri. Lagian Vita merupakan menantu kesayangan ibuku. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisinya dalam keluargaku.***"Dek, Mas mau cari sampingan. Mas gak bisa hanya mengandalkan gaji saja. Sementara kebutuhan kita semakin banyak." ucapku suatu pagi saat kami sedang bersantai di h
"Tapi Dek, perbuatanmu bisa merusak generasi bangsa. Hancurnya akhlak anak manusia karena ulah manusia seperti kamu itu." geram aku."Mereka rusak bukan karena ulah Adek, Mas. Siapa suruh mereka beli. Kita kan hanya jual aja. Kalau masalah siapa yang beli mana bisa kita yang ngatur." elak Vita membela diri."Udah, Dek. Mas mohon tinggalkan perbuatan gila kamu itu.""Enak saja Mas menyuruh Adek berhenti. Tidak gampang untuk bisa berhasil seperti ini. Mas cuma melihat sekarang aja disaat Adek sukses. Apa Mas pernah tau bagaimana kehidupan Adek disaat susah? Apa Mas merasakan hidup yang sering dihina dan dicaci karena kemiskinan? Tidak Mas. Aku tidak akan meninggalkan bisnis yang telah membuat aku seperti sekarang ini." hardik Vita emosi."Kamu egois. Hanya memikirkan kebahagiaan sendiri tanpa memikirkan berapa juta anak-anak akan hancur masa depannya karena ulahmu. Jujur. Mas gak tega melihat anak-anak muda hancur karena segelintir orang yang tidak punya perasan sepertimu. Tolong hentik
"Jadi kamu sudah gak mau lagi membantu ibu? Sudah jadi anak durhaka kamu sekarang?" Begitulah ibu, jika keinginannya tidak dipenuhi ada saja sumpah serapah yang ditujukan untukku. Kadang aku berfikir, aku ini anak siapa sebenarnya. Kenapa ibu begitu tega membebani anaknya dengan beban yang tidak sanggup untuk dipikul. Gajiku tidak seberapa tetapi ibu malah main arisan diatas rata-rata gaji Pegawai Negeri Sipil."Bu ... Rama tidak mau dianggap benalu oleh Vita. Semua biaya rumah tangga sudah dia yang biayai semua. Dimana harga diri Rama sebagai kepala rumah tangga?" tanyaku. Ibu belum tahu bagaimana sikap Vita dibelakangnya. Meminjam uang dengan jumlah tidak seberapa tapi kata-kata hinaan yang keluar dari mulutnya bagaikan menghina pengemis yang paling hina di dunia ini. Aku bagaikan budak dia perlakukan."Harta suami juga harta istri. Begitu juga sebaliknya. Jadi yang bilang kamu benalu suruh menghadap Ibu." tantang wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Capek berdebat dengan ibu
"Maling ... maling. Dasar kau ya! Sudah tua tidak tau diri." Seorang lelaki berbadan tinggi dan hitam memukul seorang ibu yang dituduh sebagai pencopet itu tanpa ampun. Tubuhnya terduduk dan tidak berdaya di atas tanah denga menutup muka dengan kedua tangannya. BughBughBughBeberapa tendangan mengenai wajah ibu tersebut. Sebenarnya hati ini tidak tega melihat wanita yang sudah lemas itu dianiaya warga. Tapi aku bisa apa?"Ampun ... ampun." wanita paruh baya tersebut masih menutupi mukanya untuk menghindari dari pukulan warga.Tapi semua warga tidak memedulikannya meskipun dia sudah memohon dan menghiba."Jangan kasih ampun. Wanita tua tidak tau diri. Bukannya taubat malah mencuri. Penampilan sosialita ternyata maling." Seorang ibu muda tiba-tiba menjambak rambut wanita yang dituduh sebagai pencopet tersebut hingga beliau tersungkur ke tanah.Bugh.Seorang ibu muda sedang menggendong bayi ikut menendang tanpa ampun.Warna baju wanita yang dituduh pencopet tersebut sekilas terlihat