"Tapi Dek, perbuatanmu bisa merusak generasi bangsa. Hancurnya akhlak anak manusia karena ulah manusia seperti kamu itu." geram aku."Mereka rusak bukan karena ulah Adek, Mas. Siapa suruh mereka beli. Kita kan hanya jual aja. Kalau masalah siapa yang beli mana bisa kita yang ngatur." elak Vita membela diri."Udah, Dek. Mas mohon tinggalkan perbuatan gila kamu itu.""Enak saja Mas menyuruh Adek berhenti. Tidak gampang untuk bisa berhasil seperti ini. Mas cuma melihat sekarang aja disaat Adek sukses. Apa Mas pernah tau bagaimana kehidupan Adek disaat susah? Apa Mas merasakan hidup yang sering dihina dan dicaci karena kemiskinan? Tidak Mas. Aku tidak akan meninggalkan bisnis yang telah membuat aku seperti sekarang ini." hardik Vita emosi."Kamu egois. Hanya memikirkan kebahagiaan sendiri tanpa memikirkan berapa juta anak-anak akan hancur masa depannya karena ulahmu. Jujur. Mas gak tega melihat anak-anak muda hancur karena segelintir orang yang tidak punya perasan sepertimu. Tolong hentik
"Jadi kamu sudah gak mau lagi membantu ibu? Sudah jadi anak durhaka kamu sekarang?" Begitulah ibu, jika keinginannya tidak dipenuhi ada saja sumpah serapah yang ditujukan untukku. Kadang aku berfikir, aku ini anak siapa sebenarnya. Kenapa ibu begitu tega membebani anaknya dengan beban yang tidak sanggup untuk dipikul. Gajiku tidak seberapa tetapi ibu malah main arisan diatas rata-rata gaji Pegawai Negeri Sipil."Bu ... Rama tidak mau dianggap benalu oleh Vita. Semua biaya rumah tangga sudah dia yang biayai semua. Dimana harga diri Rama sebagai kepala rumah tangga?" tanyaku. Ibu belum tahu bagaimana sikap Vita dibelakangnya. Meminjam uang dengan jumlah tidak seberapa tapi kata-kata hinaan yang keluar dari mulutnya bagaikan menghina pengemis yang paling hina di dunia ini. Aku bagaikan budak dia perlakukan."Harta suami juga harta istri. Begitu juga sebaliknya. Jadi yang bilang kamu benalu suruh menghadap Ibu." tantang wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Capek berdebat dengan ibu
"Maling ... maling. Dasar kau ya! Sudah tua tidak tau diri." Seorang lelaki berbadan tinggi dan hitam memukul seorang ibu yang dituduh sebagai pencopet itu tanpa ampun. Tubuhnya terduduk dan tidak berdaya di atas tanah denga menutup muka dengan kedua tangannya. BughBughBughBeberapa tendangan mengenai wajah ibu tersebut. Sebenarnya hati ini tidak tega melihat wanita yang sudah lemas itu dianiaya warga. Tapi aku bisa apa?"Ampun ... ampun." wanita paruh baya tersebut masih menutupi mukanya untuk menghindari dari pukulan warga.Tapi semua warga tidak memedulikannya meskipun dia sudah memohon dan menghiba."Jangan kasih ampun. Wanita tua tidak tau diri. Bukannya taubat malah mencuri. Penampilan sosialita ternyata maling." Seorang ibu muda tiba-tiba menjambak rambut wanita yang dituduh sebagai pencopet tersebut hingga beliau tersungkur ke tanah.Bugh.Seorang ibu muda sedang menggendong bayi ikut menendang tanpa ampun.Warna baju wanita yang dituduh pencopet tersebut sekilas terlihat
"Udah ... udah. Kita yang salah, Vit. Ayo kita pulang aja. Malu kita ini jadi bahan tontonan orang." Aku berbisik di telinga Vita dan berusaha melerai antara Vita dan wanita tadi. Karena apa pun yang terjadi, tetap kami yang salah karena ibu yang telah mencopet. Betul-betul sangat memalukan perbuatan ibu. Kepingin kelihatan keren tapi dari hasil tidak halal."Maafkan orang tua saya." ucapku seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada mengharap maaf dari warga."Enak saja kamu hanya minta maaf doang. Ibu kamu itu sudah sangat meresahkan warga komplek kami. Semenjak kalian pindah ke sini, kami sering kehilangan. Dan hari ini kami melihat langsung siapa pelaku pencurian tersebut." ucap ibu muda bertubuh gempal penuh emosi."Pak Kades, kita lapor polisi saja. Kalau kita biarkan dia bebas, nanti dia akan mengulangi lagi pekerjaan hina tersebut karena tidak ada efek jeranya." Entah kenapa wanita yang sedang menggendong anak kecil sangat dendam terhadap ibu. Dari tadi dia sibuk ingin mel
Aku bingung, bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu? Apa yang harus diri ini lakukan? Kalau menambah pinjaman di bank sepertinya tidak akan mencukupi."Mas, dari tadi Adek ngomong kenapa Mas gak nyahut? Mas marah?" Tiba-tiba saja suara Vita istriku membuyarkan lamunan."Marah? Kenapa harus marah? Mas lagi banyak pikiran aja, Mas malu dan juga kasian sama ibu. Mas gak nyangka ibu bisa senekat itu. Dulu ibu tidak begini. Apa yang telah terjadi dengan ibuku sehingga beliau sangat jauh berubah?""Oalah. Mas sedang mikirin ibu ya? Adek juga sih. Adek heran aja. Kenapa ibu sampai berbuat seperti itu? Padahal uang yang kita berikan buat beliau lebih dari cukup." tanya Vita.Jujur aku sangat malu karena ulah ibu. Beliau telah mencoreng nama baik keluarga. Apalagi jika sampai ke telinga keluarga Vita. Entah kemana mau ku taruh muka ini. Namun walau bagaimana pun beliau tetaplah ibuku yang melahirkan dan membesarkan sehingga aku bisa sesukses sekarang ini."Sekarang yang jadi masalah, d
Aku pun berambisi agar bisa menaikkan transaksi penjualan.Aku mencoba menawari ke beberapa teman untuk bisa menjadi partner kerjaku. Melihat keberhasilanku, mereka juga tergiur untuk terjun ke dunia yang sedang aku geluti.Semakin lama bisnisku semakin berkembang, aku membeli mobil baru, rumah mewah serta beberapa tanah untuk aset aku kelak jika sudah tua nantinya.Ibu sudah mulai lagi menampakkan taringnya. Beliau sudah mulai lagi main arisan berlian bersama geng sosialitanya. Arisan yang biasanya lima juta sekarang di naikkan menjadi 10 juta sebulan. Beliau sangat bahagia saat ini. Setiap hari ada saja tugas sosial yang beliau hadiri. Aku sangat puas karena sudah bisa membahagiakan orang yang telah bersusah payah melahirkan aku ke dunia ini.Ibu dan Sinta semakin bahagia. Kehidupannya sekarang serba mewah tanpa kekurangan.Kali ini aku betul-betul merasa beruntung karena aku menjadi orang yang sukses dalam waktu yang singkat. Namun ada yang kurang dalam hidup ini. Aku merasa sangat
"Agnes!" pekikku dalam hati.Agnes hanya diam menatap kami berdua yang sudah menunggunya sedari tadi. Mantanku semakin cantik saja dengan balutan dress syar'i yang menutup seluruh tubuhnya. Walaupun memakai baju yang menurut penglihatan mata ini terlalu kebesaran dan hanya menampakkan wajah saja, tetapi masih terlihat aura kecantikannya.Anak kecil berusia tujuh tahun itu, selalu setia berdiri di sebelah Agnes. Tangannya tidak lepas memegang jari jemari sang mama. Gadis kecil tersebut adalah anak semata wayang kami, bernama Niken. Bidadari kecil yang sudah lama aku abaikan sekarang sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan manis seperti ibunya."Matamu melotot melihat mantan! Awas aja kalau kamu macam-macam, Mas." Tiba-tiba Vita mengancam. Memang dia hanya berbisik di telingaku seraya satu tangan menyikut perut ini. Tapi bisa kulihat raut wajahnya begitu menyimpan kemarahan yang amat besar."Jangan aneh-aneh kamu, Dek. Mana mungkin aku akan mencintai dia lagi. Rasaku untuknya s
Setelah selesai dan mendapatkan kesepakatan harga akhirnya Agnes dan Niken permisi pulang. Hatiku kebat-kebit tidak menentu. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan Niken. Momen ini harus aku pergunakan sebaik mungkin. Tanpa berfikir panjang aku mengejar Niken dan sangat ingin memeluknya. Kerinduanku terhadap sang buah hati sangat menggebu-gebu.Bersama Vita, aku tidak bisa mempunyai anak karena istri mudaku tidak mau ada kehadiran anak dalam rumah tangga kami. Dia menganut budaya childfree. "Dek, kamu di sini dulu, ya? Mas mau ke toilet sebentar." pamitku dan langsung saja berdiri serta melangkahkan kaki menuju ke belakang cafe tanpa menunggu jawaban dari Vita.Kaki ini terus saja melangkah mencari keberadaan Agnes dan Niken.Mereka cepat sekali menghilang dari pandangan. Padahal tadi mereka masih berjalan bergandengan tangan menuju ke arah kasir. Apa mereka mau memesan makanan? Apa mungkin makanannya dibungkus. Coba cari saja dulu. Mana tau mereka sedang menunggu p
Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku