Teman-teman, mau lanjut gak cerita ininya? Soalnya kayaknya kok sedikit sekali yang mengikuti. Kalau gak mau lanjut, aku tamatkan saja ....
Part 22 POV Harno Saat hendak menikahi Resmi, tentu saja aku mencari silsilah dari gadis yang menurutku sudah perawan tua itu. Resmi, sosok perempuan tangguh yang kukenal saat bekerja merantau ke Jakarta dulu kala. Dia memiliki sikap yang dewasa dan penyabar. Dalam kamus hidupku, mencari istri sama dengan mencari pelayan untuk keluarga. Dia harus mau disuruh-suruh oleh saudara serta emak. Pun dalam hal harta, aku tentu saja berharap, sosok pendamping hidup harus rela berkorban apapun demi mereka yang sangat ku sayangi. Terlebih ketika mengenalkan perawan tua itu pada bapak. Ternyata, dia adalah perempuan yang berasal dari keluarga terpandang. Namun sayang, kenyataan tak seindah khayalan. Resmi tak lebih dari seorang anak yang terbuang. Harta ayahnya di bawah kuasa ibu tiri. Kakak-kakaknya hidup dengan keegoisan masing-masing. Mungkin karena ibu mereka telah tiada, sehingga ikatan batin antar saudara seperti hilang. Saat membawa Resmi berkunjung ke rumah orang tua, ia memang bisa m
Part 23 “Kenapa kamu mau pulang ke rumah Resmi?” tanya mbak Siti sangat keberatan. “Kamu sudah bahagia lho, Harno sama Marni. Dia juga benar-benar bisa menyatu dengan keluarga ini,” lanjutnya lagi. Bapak dan emak duduk berdampingan sambil terdiam. Marni sudah ku antar pulang sampai terminal kota tadi siang. “Marni tidak boleh membuat rumah di sini sebelum aku bercerai dari Resmi. Sementara bapak sudah terlanjur memberi uang muka tanah,” jawabku jujur. “Aku akan kesana untuk meminta Resmi menjual warisan.” “Kamu akan kembali pada Resmi dan melepaskan Marni?” tanya mbak Siti sangat tidak suka. “Harno hanya akan meminta tanah Resmi. Nanti bisa diatur. Kita di sini sudah sangat menyukai Marni. Emak juga tidak akan rela kalau Harno tidak jadi sama Marni,” jelas emak. Sejujurnya sangat berat melangkahkan kaki menuju tempat dimana orang-orang yang masih berstatus sebagai istri dan anakku tinggal. Akan tetapi, tidak ada cara lain untuk menyelamatkan keadaan. Sedangkan proyek baru akan di
Part 24 Saat disuguhkan dengan banyak hal yang menyakitkan, rasa sayang itu lenyap berganti dengan kebencian yang teramat dalam *Dinis* Aku terbangun kaget saat mendengar ibu berteriak. Hasbi yang menangis tidak ku pedulikan. Tubuh kecilku berlari menuju dapur yang ternyata di sana ada ibu dalam keadaan disiksa bapak. Posisi tubuh mereka membelakangiku. Tangan ini mengepal, mata memanas. Tidak pikir panjang, saat pandangan menatap sebuah kayu yang teronggok di pojok ruangan, pikiran langsung menuntun untuk mengambilnya. Bugh! Aku memukul punggung bapak dengan tenaga terbesar yang ku miliki. “Jangan jahat sama orang tua, itu dosa. Nanti kamu masuk neraka.” Ucapan pak Ustadz terngiang di kepala, tetapi ada nyawa ibu yang harus diselamatkan. Bapak terhuyung menahan sakit, lalu terjatuh. Ibu memeluk dan mengajakku keluar dari rumah. Di depan sana sudah banyak orang yang hanya menonton saja. Tak ketinggalan, musuh bebuyutanku mbak Fariha juga berdiri dan memandang kami bertiga. Mere
Part 25 Memeluk luka seorang diri, berkawan dengan air mata, bertempur dengan derita yang entah kapan akan enyah dari hidupku *Resmi* Bismillah, mulai menapaki kehidupan baru. Hati hanya berdoa semoga kedua majikan menerima dengan ikhlas keberadaan dua anak yang kubawa ke rumah ini, maka bagaimanapun caranya, aku harus memanjakan mereka sebagai balas budi atas kebaikan yang diberikan. Meski pak Harun mengatakan aku harus harus istirahat, tetapi hati tetap merasa tidak enak. Beginikah rasanya menumpang? Setelah memberikan pengarahan pada Dinis untuk mengajak Hasbi bermain di dalam kamar, aku gegas keluar untuk memeriksa keadaan dapur. Ada beberapa piring bekas yang belum dicuci, sisa makanan yang sedikit bau dan juga sampah yang belum dibersihkan. Sejak kecil aku sudah diharuskan mandiri, hanya membersihkan rumah di saat lelah, itu bukan hal yang memberatkan. Selesai merapikan dapur, menyapu, lalu aku mencoba mengetuk kamar pak Harun. Tak berapa lama lelaki itu keluar kamar. “Ada
Part 26Rasa gundah, malas, cemas dan tidak nyaman manakala mereka hadir dalam hidupku, entah kenapa lambat laun berubah menjadi iba yang tak bertepi ....*Bu Normi*Bimbang, itu yang ada dalam hati tatkala calon pembantu baru itu datang dan mengatakan hendak membawa kedua anaknya tinggal di sini. Bagaimana mungkin, aku menampung tiga orang asing sekaligus di rumah ini? Di saat hati baru bisa ikhlas menerima takdir yang menimpa. Namun begitu, rasa iba sedikit singgah tatkala ia bersujud dan menceritakan alasan mengapa harus membawa serta dua anaknya kemari.“Suamiku menyimpan seorang wanita di rumah keluarga besarnya. Mereka semua mendukung untuk menceraikanku, Bu. Aku piatu sejak kecil. Bapakku di bawah kendali ibu tiri. Sementara saudara-saudaraku sudah menikah dan tidak peduli dengan nasibku. Aku membutuhkan tempat untuk menepi sejenak, tetapi aku tidak bisa meninggalkan anak-anakku sendirian di rumah. Berikan pekerjaan ini dan izinkan saya membawa mereka. Saya ikhlas meski nantiny
Part 27 “Jadi bagaimana, Bu? Jadi kah anak ini sekolah di sini? Berdasarkan nilai, dia sudah melampaui.” Ucapan kepala sekolah membuat aku tergagap dan mengalihkan pandang. Tadinya hanya berniat mengetes sejauh mana kemampuan Dinis, tetapi kenapa jadi terjebak seperti ini? Ah, sekolah yang sekarang kami kunjungi agak jauh dari rumah. Tidak mungkin Dinis akan jalan kaki setiap pagi dan siang. meminta sopirku mengantar jemput dia? Itu terlalu spesial. “Saya pikir-pikir dulu ya, Bu. Tadinya saya kira dia tidak mampu untuk mengerjakan soal yang diberikan.” Kepala sekolah menatap tidak suka. “Bu, kalau Ibu hanya mencoba-coba saja, seharusnya anak ini jangan dibawa kesini,” ucapnya. “Dinis, tunggu di luar,” perintahku pada Dinis. ANak itu menurut saja. “Begini, Bu, saya memang penasaran dengan otak anak pembantu saya ini, makanya saya bawa ke sekolahan Ibu. Tetapi bila dia diterima, apakah mampu berangkat dan pulang jalan kaki? Terus untuk biayanya, pasti besar ya, Bu?” “Seharusnya
Part 28POV ResmiBanyak orang mengatakan, hiduplah laksana air yang mengalir mengikuti kemana arah arus. Mungkin seperti itu juga perumpamaan yang menggambarkan kondisiku saat ini.Dinis sudah sekolah dan sepertinya ia mulai beradaptasi dengan kehidupan kami yang baru. Ada hal yang membuat hati ini sakit sebenarnya. Ia harus ikut bekerja demi bisa sekolah. Meski aku berkali-kali meminta pada bu Normi untuk menyekolahkan Dinis di tempat yang dekat dengan rumah mereka, tetapi majikan perempuan itu selalu menolak. Jadilah aku hanya bertemu Dinis beberapa jam saja dalam sehari.Ia harus berangkat pagi hari jam tujuh, dan akan pulang setelah jam empat.“Kamu capek ikut bekerja, Mbak?” tanyaku padanya setelah dua minggu berjalan rutinitas baru.“Aku senang, Ibu, daripada di rumah ini ibu melarang keluar kamar. Aku lebih baik ikut Nyonya di toko. Kadang-kadang mas Roni mengajak aku jalan-jalan saat ia disuruh mengantar barang ke toko-toko di perumahan. Aku jadi senang naik mobil terus,” jaw
Sebelum bercerita, sebuah napas panjang kutarik melalui hidup dan mulut secara bersamaan. Berharap bisa mengungkapkan semua tanpa harus menangis.“Apa yang ingin ibu tahu dari aku? Masa lalu, keluarga atau apa? Aku sudah menceritakan sebagian sama ibu ....”“Aku ingin tahu semuanya. Sudah kukatakan, aku ingin kamu menceritakan segalanya perjalanan hidupmu.”Dengan runtut, mulut ini mulai mengurai perjalanan hidup dari masih kecil hingga terdampar di kota yang letaknya sangat jauh dari rumah. Bu Normi sesekali memalingkan wajah dan mengusap mata. Aku tahu, dia menangis. Cerita kua akhiri dengan isakan.“Tidak ada yang membelamu saat difitnah?” tanya bu Normi.“Tidak ada sama sekali, Ibu. Hanya gurunya Dinis yang dari kota saja yang mau membantu memecahkan masalah itu, hingga akhirnya aku bisa bebas dari tuntutan.”“Kalau di sini, dia bisa dituntut balik dengan karena pencemaran nama baik.”“Aku tidak paham apapun, Bu. Aku hanya orang bodoh. Jika aku memperpanjang masalah, maka aku yang