Mbak Tatik kalau gemes ekstrim ya chinggu wkwkwk
“Mas Khoiron, kenapa malah diem aja? Adek tanya! Cepet Jawab!!”Khoiron semakin terperangah mendengar tutur kata istrinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan diri Tatiana, tapi istrinya tampak berbeda. Perempuan itu memanggilnya dengan sebutan lain, sebutan yang ia inginkan.“Tatiana ada apa?”“Tat-Tatia-na?” Beo Tatiana, tersendat. Air di kerongkongannya tak mau bergerak turun ke bawah. Napasnya tercekat. Mimik mukanya semakin keruh.“Apa yang lo lakuin berdua-duaan sama cewek lain disini, Khoiron?” Kepalang marah dan tidak bisa mengendalikan dirinya, Tatiana tidak lagi bermanis-ria. Tanduk di atas kepalanya terlanjur mencuat tinggi.“Lo kenapa dah? Gue sama Pak Khoiron lagi bahas tugas kuliah. Dateng-Dateng nggak jelas. Iya deh, yang bininya!” Sinis kakak senior Tatiana, menampar keras gadis itu hingga mengingatkan dimana tempat kakinya berpijak saat ini.Kepalanya yang keras lantas berputar, menyadari beberapa pasang mata tengah mengintai dirinya bak mangsa. Hanya satu manusia ya
Tatiana tidak pernah mengetahui jika pelukan tubuh Khoiron dapat sehangat ini. Setelah menjelaskan keadaannya— yang jelas baik-baik saja, Khoiron meminta izin untuk memeluknya. Sama seperti pria itu yang memiliki tanda tanya besar mengenai perilakunya, Tatiana pun demikian.“Jadi lo beneran cinta gue?”“Apa Mas salah mencintai istri sendiri, Dek?”Ish! Tatiana paling benci kalau pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan lain. Mengapa tidak langsung menjawabnya saja. Tidak sulit seharusnya karena tadi pria itu sudah mengatakan perasaannya.Melihat Tatiana terdiam Khoiron mengeratkan pelukannya. “Ana Uhibbuki, Ya Zaujati.” Tersenyum, Khoiron mengucapkan kembali kata cintanya kepada sang istri.“Artinya Apa, itu Bahasa Arab lagi, kan?”“Em,” Khoiron menggumam, “nanti Adek cari sendiri ya di internet. Sekarang yang Mas pengen cuman peluk Adek,” tuturnya lalu menunduk untuk mendaratkan sebuah kecupan dikening Tatiana.“Kok gitu, gue penasaran ya, Ir.”“Mas, Sayang,” tegur Khoiron membenahi c
Tatiana mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja. Mata memandang lurus sosok berkerudung biru tua yang saat ini tengah mengajar di kelasnya. Perempuan itu sedang mencari keributan dan Tatiana siap menyambut dengan tangan terbuka.“Tatiana, bisa coba jelaskan, apa yang saya baru saja terangkan?!”Tatiana melirik pada jam digital diponselnya. HTatiana berlalu dari lima menit dari pertTatianaan sebelumnya. Tatiana semakin yakin jika dosen bernama Mutia itu memang menargetkannya.“Apa di kelas ini cuma saya yang akan mendapatkan nilai A+, Bu Mutia?!” Sarkas Tatiana. “Ibu tidak memberikan kesempatan untuk teman-teman saya yang lain. Alangkah kasihannya mereka..” Tatiana memasang raut wajah tidak enak. “Maaf ya, Guys! Bu Mutia saking sayangnya sama gue, makTatiana dia pengen liat gue doang yang aktif di kelasnya.”“Kamu terlalu banyak omong, Tatiana! Katakan saja kalau kamu tidak bisa men..”Sayangnya Tatiana bukan gadis bodoh yang masuk menggunakan jalur pembelian kursi melalui orang dalam.
“Tatiana..”“Ya, Pak?!” Respon Tatiana, berdiri ketika dosen yang mengajarnya melambaikan tangan. Ia berjalan menghampiri sang dosen, menanyakan apa gerangan yang membuat pria paruh baya itu memanggilnya.“Mas Sahrul bilang, kamu katanya diminta buat hadap Bu Dekan.”“Ada apa ya, Pak?”Dosen terbaik yang pernah Tatiana kenal itu menggelengkan kepalanya, “Bapak kurang paham, Tatiana. Kamu pastikan dulu sana. Tenang saja, absensi kamu, Bapak akan tulis kehadirannya,” ucapnya memberikan kelonggaran. Pada nyatanya Tatiana memang hadir meski sepuluh menit harus keluar dari kelas.“Bawa tas kamu, Tatiana. Perintahnya begitu.”Psikologi 03 itu kembali ramai oleh bisikan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Tatiana sampai harus menghadap ke ruangan orang nomor satu di fakultas mereka. Jika mengenai absensi dimana satu minggu Tatiana tidak hadir, rasanya sangat tak mungkin. Mereka bukan lagi anak sekolahan yang diurusi sebegitu detailnya. Angka kumulatif perihal absensi baru dapat terlihat nanti se
“Adeknya cantik, Dek.”“Thanks, Mas. Aku emang secantik itu. Nggak perlu diomong!” Tatiana melakukan gerakan mengipas di depan wajahnya, tapi sedetik kemudian kepercayaan dirinya dibungkam, tergantikan pipi merah sebab rupanya bukan dirinya yang Khoiron maksud.“Adeknya yang itu, Sayang, yang pake bando telinga Hello Kitty,” tunjuk Khoiron pada sosok gadis kecil, mungkin kisaran usia lima tahunan, yang tengah memakan es krim diseberang meja milik mereka.‘Aaak!! Pengen renang ke laut selatan biar dimakan Nyi Roro sama anak buahnya!’ Jerit hati Tatiana, merasa malu berkat terlalu over confident. Ia tidak fokus karena sedari tadi banyak gadis-gadis memperhatikan Khoiron. Sepertinya ia harus minum air mineral yang banyak.Demi mengembalikan kerja otaknya, Tatiana menyambar botol di atas mejanya. Ia meneguknya secara tak sabaran. Hitung-Hitung mengalihkan rasa malu yang bersarang di dalam dirinya.“Kapan ya kita buat anak selucu itu, Dek?”Byur!!— Sakit sekali. Tatiana tersedak. Air di ker
“Assalamualaikum.”Suara dua laki-laki yang baru saja pulang dari masjid itu membuat Tatiana melompat menuruni sofa. Ia berteriak memanggil nama suaminya sembari berlari ngepot. “Mas Khoiiirrr!!”Buk!!Seperti mobil yang kehilangan fungsi rem, tanpa aba-aba Tatiana menabrakan tubuhnya pada Khoiron sampai sang suami terhuyung ke belakang.“Tiana ngagetin. Suami pulang langsung diseruduk gitu.”Gadis yang disebut melakukan kebiasaan seekor sapi itu, memutar kepalanya yang menempel di dada Khoiron. “Ssstt! Papa jangan cemburu. Tiana ngelakuin ini demi kemaslahatan pernikahan kita.”Mendengarnya Khoiron dan Januar menyerngitkan alis dengan mata saling menatap.“Mas ayo kita ke kamar. Adek mau kasih Mas jatah.”Khoiron terbelalak. Seluruh wajahnya merona dengan pipi dan daun telinga yang memerah. Istrinya mengatakan sesuatu yang vulgar di depan sang papa mertua.“Ya Allah, Tiana. Agresif banget. Masih sore ini, makan malam juga belum,” ucap Januar menggelengkan kepala. Ia mengerti jika hub
“Selamat pagi Adeknya Mas. Sudah bangun?!”Tatiana menarik naik selimut yang membungkus dirinya. Menyembunyikan wajah semerah darah miliknya.Tatiana malu karena teringat dengan percintaan mereka semalam. Karena demi apa pun, mereka telah melakukannya. Ia sudah tak lagi gadis ingusan“Kok ditutup selimut mukanya, Dek?!”“Mas..” rengek Tatiana semakin memerah di dalam selimut. Ia bisa mendengar tawa renyah Khoiron.‘Semalem gue malu-maluin banget astaga!’ rutuknya, setelah sadar.Sungguh kesadaran diri yang terlambat datang hadirnya. Mereka bahkan sempat membersihkan tubuh untuk shalat subuh sebelum sepenuhnya beristirahat di atas pembaringan. Seharusnya Tatiana menyadari tingkahnya mengajak Khoiron ena-ena tanpa sebuah basa-basi.“Tidur lagi, Sayang. Kamu baru bobok sekitar satu jam-an. Hari ini libur aja ya.. Sebelum berangkat nanti Mas siapin air anget buat Adek berendem.”Eh, loh! Kok mau ditinggal— pikir Tatiana. Cepat-Cepat kepalanya menyembul keluar. Khoiron sepertinya sudah man
Bugh!“Emang Anjing lo, Ti!”Khoiron kaget saat kepala istrinya dipukul. Ia tidak menyadari dari mana arah sahabat sang istri tiba, tiba-tiba saja laki-laki itu sudah berada disamping Tatiana, lalu mendaratkan pukulan.“Apa yang kamu lakukan ke istri saya, Brandon?!” Sentaknya, kasar. Tangannya yang semula memegang sendok bubur ayam menggebrak meja, menimbulkan suara keras dan beberapa botol yang terjatuh dari posisinya.Sebagai suami saja ia tidak pernah memukul sang istri. Mungkin hanya sekedar sentilan dan tepukan lemah, begitu pun dengan orang tua istrinya, Khoiron sangat yakin Tatiana tak pernah menerima tindak kekerasan. Papa dan mama mertuanya sangat menyayangi putri mereka.“Eh, Pak, Pak! Maaf! Saya reflek liat muka ngeselin istri, Pak.” Pekik Brandon, takut melihat kemarahan di wajah dosennya. “Ti bantuin dong, ini kan gara-gara lo juga,” ucapnya agar Tatiana mau membantunya. Ia sudah kepalang emosi karena dibully oleh sang sahabat.“Hihi, udah, Mas.” Pinta Tatiana menarik len
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil
“Adek— Kenapa nangis? Masih sakit?”Tatiana menggelengkan kepalanya. Tidak ada lagi sakit yang dirinya rasakan. Semua rasa sakit itu telah terbayar kontan seluruhnya.“Kenopo, Nduk? Ngomong ke Mbah.”Tidak hanya Khoiron, Kyai Dahlan dan semua orang yang menjaga Tatiana ikut dibuat bertanya-tanya.“Huwaaaa!!”“Oeek!”Jeritan Tatiana lalu bersaing dengan tangis anak lelaki yang dirinya lahirkan satu jam lalu.“TIANA!” Hardik Soraya. Gara-gara suara melengking Tatiana, cucu lelakinya kaget dan terbangun.Tatiana yang dimarahi kontan saja tambah kejar. Tangisnya semakin keras lagi ketika pintu ruang perawatannya terbuka, menampilkan sosok Brandon dan Zahra.“Mas Khoir, hwaaa!!”“Adek, Ya Allah. Sebenernya Adek kenapa? Bilang ke Mas, Dek.” Pinta Khoiron. Anak mereka membutuhkan ibunya, tapi bagaimana bisa mendiamkan anak lelakinya kalau Tatiana saja histeris tanpa sebab.“Kenapa baby lahirnya lebih cepat, hiks! Harusnya waktu mereka nikahan!!” Tatiana terisak-isak sembari mencengkram kemej
“Bosen!” Berengut Tatiana.Semua orang berkegiatan di luar sedangkan dirinya menjadi makhluk mati segan, hidup tak mau. Selain tidur dan menonton drama-drama, ia tak melakukan apa pun di rumah.Mama dan papa yang biasanya menemani kesehariannya, hari ini mendadak memiliki acara bersama teman-teman mereka. Ia ditinggalkan tanpa perasaan.“Sebenernya, gue ini hamil apa lumpuh?! Masa mau ngapa-ngapain dilarang? Mau ikut juga nggak boleh! Parah mereka!”Tatiana bosan maksimal. Zahra dan Brandon masih kuliah. Sejak mempunyai hubungan signifikan dengan adik iparnya, sahabatnya itu berubah menjadi sangat rajin.Brandon hampir tidak menerima usulannya untuk membolos. Ajakannya tadi ditolak mentah-mentah, padahal ia sudah memohon agar Brandon skip kelas terakhirnya hari ini. Hasilnya malah dibalas dengan sebuah quote tidak nyambung.Inilah Jalan Kebenaran.Sedikit agak-agak memang Brandon sekarang. Perubahannya tak seasyik dulu, meski perubahaan tersebut Tiana anggap baik. Setidaknya Brandon t
Betapa senangnya Tiana. Di lingkungan pondok pesantren milik keluarga suaminya, orang-orang begitu ramah terhadapnya. Tidak hanya itu, mereka pun menghormatinya. Tak lagi memandangnya sebelah mata seperti dulu.“Sore Ning Tiana, Ning Zahra.” Sapa sekumpulan santriwati ketika melewatinya“Sore..” Tatiana melambai-lambaikan tangannya sebagai balasan. Saat ini dirinya sedang jalan-jalan sore ditemani oleh adik iparnya.“Coba aja di komplek hawanya seadem ini ya, Ra. Betah Mbak jalan kaki jauh.”“Mau disini aja Mbak, selama hamil? Umi pasti seneng loh bisa jagain Mbak Tiana.”“Nggak mau ah!” Ucap Tatiana. Ia ini tipe istri yang tidak bisa berjauhan dari suami tampannya. Ditinggal bekerja seharian saja sudah rindu, apalagi kalau harus tidak bertemu beberapa hari. Terkena mala rindu yang ada nantinya.“Pengen nggak pulang, tapi Mas Khoirnya harus kerja.”Kalau Tatiana pikir-pikir lagi, semenjak suaminya bergabung di perusahaan, intensitas mereka bertemu jadi berkurang. Di kampus mereka bisa
Tatiana menggosok kedua matanya. Ia yakin jika indera penglihatannya tidak salah. Ia melihat Zahra menyunggingkan senyuman sesaat sebelum menundukkan kepalanya.Beberapa detik yang lalu, adik iparnya itu masih menangis sesenggukkan. Tatiana jelas tahu alasan mengapa Zahra menangis. Dia tidak ingin menikah dengan orang yang tak dicintai— kata lainnya, Zahra sudah memiliki seseorang di dalam hatinya.‘Tapi kok?’ bingung Tatiana, masih belum dapat mencerna perubahaan yang terjadi pada diri sang adik ipar.“Monggo-Monggo, masuk ke dalam.” Ajak Kyai Dahlan, mempersilahkan para tamunya. Pria paruh baya itu turut membawa serta cucu perempuannya. Hari ini Zahra merupakan bintang utama yang akan duduk disampingnya. Nanti setelah lamaran selesai, barulah dirinya menyambut hangat kedatangan cucu kesayangannya.Ruang tamu Ndalem yang tak luas, kini terpenuhi oleh kerabat-kerabat dekat yang Tatiana kenali. Perempuan itu duduk ditengah-tengah mama dan ibu mertuanya.Suaminya sendiri duduk tak jauh
Tepat satu minggu telah berlalu sejak pertemuan keduanya dengan Brandon di café. Brandon mengatakan jika pemuda itu akan secepatnya bertandang, membawa orang tuanya ke pondok pesantren.Selama tujuh hari itu pula, Khoiron sebagai kakak juga menyampaikan amanat kakeknya. Memberitahukan Zahra tentang niat baik seorang pemuda terhadapnya.Seperti apa yang sudah Khoiron terangkan kepada sang istri, Zahra menerimanya. Meski pun belum mengetahui siapa gerangan yang meminang dirinya, adik Khoiron itu memasrahkan seluruhnya pada kakeknya. Hal tersebut merupakan bentuk baktinya. Zahra yakin, pilihan kakeknya tidak mungkin salah.“Mas.. Mas Khoir ngerasa nggak sih, kalau akhir-akhir ini, Zahra tuh keliatan murung banget?”Jika Tatiana tak salah menilai, keceriaan Zahra meredup sejak suaminya memberitahukan khitbah atas diri sang adik ipar. Zahra memang pendiam, tapi diamnya kali ini terasa berbeda. Tatiana dapat merasakan kesedihan dalam
“Cantiknya Mas, masih ngambek ya?!”Khoiron melakukan toelan pada lengan Tatiana. Semalam dirinya diusir dari kamar. Istrinya itu tidak mau berbagi ranjang dengan orang menyebalkan seperti dirinya. Meski tak bertahan sampai pagi, tetap saja istrinya marah. Sekarang wanitanya sedang mogok bicara. Setiap kali diajak berinteraksi, dia akan mencari cara untuk membalas perilakunya tadi malam.“Ra, kayak ada yang ngomong! Siapa sih?!” Tatiana menjauhkan lengannya. Ia lalu membersihkan jejak sentuhan Khoiron, membuat Khoiron terkekeh dengan aksi yang Tatiana lakukan.“Kamu, Ti. Nggak boleh gitu kalau ngambek. Dosa loh, Ti.” Tegur Januar.“Buat hari ini, Tiana berani dosa!”Tatiana benar-benar kesal. Semalam sudah sampai tahap pengusiran pun, suaminya bertahan dengan kebungkamannya. Kekesalan Tatiana bertambah karena dirinya tak bisa tidur tanpa laki-laki itu.Alhasil, Tatiana harus sedikit me
“Mas Khoir..” Suara lembut Tatiana mengalun, membuat Khoiron menutup berkas yang tengah dirinya baca.“Dalem, Adek.” Sahut Khoiron tak kalah lembut. Kepalanya berputar, melihat sang istri yang duduk menghadapnya di atas ranjang mereka.“Pripun, Sayang? Adek butuh sesuatu?” tanya Khoiron.“Adek mau cerita.”Senyum Tatiana yang meneduhkan hati Khoiron, menjalar pada diri laki-laki itu. Sudut bibirnya melengkung dan kepalanya mengangguk. “Nggih.. Sebentar ya. Mas simpan berkasnya dulu.” Tuturnya sebelum menyimpan kembali berkas-berkas pekerjaannya ke dalam tas.Begini saja rasa cinta Tatiana bertambah menjadi berkali-kali lipat. Suaminya selalu menyediakan banyak waktu untuknya meski dalam keadaan sibuk sekali pun. Tatiana merasa begitu dicintai karena hal sekecil itu.“Sambil Mas pijitin kakinya ya, Dek. Adeknya rebahan aja.”“Nggak