Bugh!“Emang Anjing lo, Ti!”Khoiron kaget saat kepala istrinya dipukul. Ia tidak menyadari dari mana arah sahabat sang istri tiba, tiba-tiba saja laki-laki itu sudah berada disamping Tatiana, lalu mendaratkan pukulan.“Apa yang kamu lakukan ke istri saya, Brandon?!” Sentaknya, kasar. Tangannya yang semula memegang sendok bubur ayam menggebrak meja, menimbulkan suara keras dan beberapa botol yang terjatuh dari posisinya.Sebagai suami saja ia tidak pernah memukul sang istri. Mungkin hanya sekedar sentilan dan tepukan lemah, begitu pun dengan orang tua istrinya, Khoiron sangat yakin Tatiana tak pernah menerima tindak kekerasan. Papa dan mama mertuanya sangat menyayangi putri mereka.“Eh, Pak, Pak! Maaf! Saya reflek liat muka ngeselin istri, Pak.” Pekik Brandon, takut melihat kemarahan di wajah dosennya. “Ti bantuin dong, ini kan gara-gara lo juga,” ucapnya agar Tatiana mau membantunya. Ia sudah kepalang emosi karena dibully oleh sang sahabat.“Hihi, udah, Mas.” Pinta Tatiana menarik len
Tatiana mengaduk-aduk milkshake strawberry yang berada di hadapannya tanpa minat. Bahunya terkulai lesu, menyadari tingkah bodohnya. Kepanikannya tadi menyebabkan dirinya menjadi tontonan anak kelas lain. Khoiron sempat memintanya tenang sebelum secara lembut mengusirnya karena pria itu harus mengajar.Setelah itu Tatiana ingat jika dirinya memiliki kelas. Ia sudah mencoba mengejar keterlambatannya, tapi tetap saja diusir dan dirinya berakhir menjadi penghuni cafetaria fakultasnya.“Mending gue tidur nggak sih tadi di rumah?” gerutunya dengan tangan bergerak menusuk-nusukan sedotan di dalam gelasnya.Mendadak Tatiana menyesal karena tak menuruti saran suaminya. Percuma saja ia berangkat kalau ujung-ujungnya tidak bisa absen, lebih baik membolos dan menghabiskan waktunya dengan tidur panjang.“Karma gue ngelawan Mas Khoir, kali yak?!” gumamnya sebelum menyeruput sisa minumannya.Kesendirian Tatiana tidak berlangsung lama sebab seorang pemuda menghampirinya. “Hai, Ti. Gue boleh gabung?!
“PAK KHOIR?! BAPAK APAIN, TIANA?!”Thomas berteriak. Pria itu mengikuti langkah keduanya. Rasa sukanya terhadap Tatiana membuatnya mengkhawatirkan diri wanita itu. Ia dihantam kesadaran usai terdiam beberapa saat setelah serangan dosennya.Namun tampaknya kesadarannya yang timbul menghilangkan kesadarannya yang lain. Sepertinya Thomas lupa jika tangis Tatiana mungkin berasal dari tingkah sembrononya.“Ngapain lo teriakin suami gue?!” Garang, Tatiana menatap mantan kekasihnya dengan mata berkilat layaknya petir ditengah derasnya hujan.“Dia buat lo nangis, Titi.”“Lo yang bikin gue nangis, Tolol!” Sembur Tatiana, terengah-engah. Air matanya seketika berhenti mengalir.“Bahasanya, Dek.”Tatiana mengeram karena teguran Khoiron. Sempat-sempatnya sang suami menegurnya. Pada situasi sekarang ini halal hukumnya memaki si otak udang Thomas.“Udah nggak usah diurusin. Kita ke kelas Mas aja.”Tatiana sempat melayangkan jari tengahnya untuk Thomas. Awas saja pemuda itu. Dirinya akan mengadukan p
“Gue nggak mau ikut, Tiana!”“TIANA!”Brandon terus memberontak. Ia tidak ingin ikut pada agenda penjemputan adik ipar sahabatnya. Ia sadar diri, sebagai makhluk berbelalai, dirinya lemah akan gadis-gadis cantik.“Lo mau pengaruhin gue kan?!”“Apaan dah! Negative thinking mulu perasaan. Gue nggak segila itu buat ngajakin lo pindah agama keleus! Indonesia negara demokrasi,” sembari memutar bola matanya, Tatiana menyelipkan seringaian di wajahnya. Tangannya terus menarik kerah kemeja Brandon, setengah menyeret sang sahabat.Dibelakang mereka, Khoiron hanya bisa pasrah mengikuti keduanya. Ia cukup terkejut ketika sang istri berkata Zahra sudah hampir sampai di Jakarta. Setahunya adiknya akan sampai esok hari. Ia memang tak sempat membuka-buka ponsel sehingga tak mengetahui perubahan armada yang digunakan adiknya.“Gue kenal lo, ya! Lo manusia paling licik sedunia! Lepasin gue, Ti!”“Hais! Lebay! Gue percaya iman lo sekuat besi baja! Banyak cewek cantik bin yang nggak lo seriusin karena b
Holly Molly Shit!Orang tuanya sudah gila. Mereka tidak tertolong. Pertanyaan macam apa itu?Menjadi mualaf?!Pindah agama maksudnya kan?! Secara saat ini mereka bukan seorang muslim. Umumnya kata mualaf merujuk pada seseorang yang bukan beragama islam masuk ke dalam agama tersebut. Brandon bisa mencernanya begitu. Otaknya tidak bodoh-bodoh amat walau sering nge-hang.“Nggak usah bercanda, Mah. Sumpah bercandanya nggak lucu. Sini Brandon bantuin Mama minta maaf ke Tuhan!” Brandon membantu sang mama membuat tanda salib setelah mengucapkan permohonan maaf-nya.“Ih, kamu, mah!” Desah sang mama. “Mama cuman tanya ke kamu. Kalau kamu nggak sependapat jangan begitu dong, Brandon.”“Abisnya Mama aneh-aneh. Mama kena cuci otak siapa? Biar Brandon gebukin tuh orang. Sembarangan aja ngajak-ngajak Mama!”Mohon maaf— Mamanya ini merupakan kristiani yang taat sekali. Ia tidak memakan daging babi, tidak pula melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama yang mereka anut. Disaat sang mama ingin berubah
Tatiana membuka matanya bahkan sebelum Khoiron membangunkan wanita itu. Alam bawah sadarnya bekerja tanpa perlu Tatiana setting terlebih dahulu.Perempuan itu mendudukan dirinya. Menggosok kedua matanya sebelum memanggil sang suami, “Mas.” Kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya, tapi samar-samar gendang telinganya menangkap suara Khoiron yang tengah melantunkan ayat suci.“Allahumarhamni bilquran. Waj'alhu lii imaaman wa nuuran wa huda wa rohmah1,” ucap Khoiron menutup sesi bacaannya dengan sebuah do’a yang biasa dirinya panjatkan seusai membaca Al Quran.Khoiron bangkit lalu menyimpan kitab sucinya ke dalam rak khusus yang dirinya beli.“MasyaAllah.. Mas nggak mimpi ini, Sayang?!” lontar Khoiron takjub dengan apa yang dirinya lihat. Laki-laki itu mendekati sang istri di ranjang dan memberikan ciuman di atas keningnya.“Kok udahan bacanya? Gara-Gara aku panggil?”Khoiron menggeleng pelan, “memang sudah selesai, Dek. Kebetulan pas Adek manggil sudah ketemu huruf ain,” jelas Khoiron ya
Fajar yang begitu indah. Khoiron sampai tak dapat berhenti mengucapkan kalimat syukur di dalam hati. Ia pulang dengan perasaan senang. Kepulangannya dari tempat peribadatan disambut hangat oleh sang istri tercinta. Secangkir kopi tersaji diatas meja ruang keluarga.Awalnya Khoiron hampir tidak percaya tatkala melihat Tatiana duduk di kursi pos penjagaan. Ketika membuka pintu gerbang dirinya dibuat terkejut, begitu pula dengan sang ayah mertua.Katanya istrinya itu sedang menunggu kepulangannya. Dia sedikit merajuk dikarenakan mereka pulang lebih lambat dari pagi-pagi sebelumnya. Setelah merajuk sang istri malu-malu, menyampaikan hal yang membuatnya berbunga-bunga.Ya— secangkir kopi yang kini berada ditangannya. Uap panas tidak lagi mengepul. Jika saja ia tahu istrinya sudah bersusah payah, ia pasti tidak berbincang dengan bapak-bapak di masjid. Bergegas pulang agar bisa menikmati hidangan dari tangan sang istri.“Jadi cuman Khoir aja yang kamu buatin, Ti? Papa nggak?!”“Kan itu tugas
Di kediaman Khoiron— tepatnya pada sebuah rumah joglo yang disebut sebagai ndalem, Kyai Dahlan tengah berseru senang. Ia memandangi layar ponselnya yang tengah menampilkan potret cucu menantu kesayangannya.“Assalamualaikum, Nduk,” sapa Kyai Dahlan, senang.‘Mbaaah..’Kyai Dahlan terkekeh. Pria paruh baya itu selalu menyukai keceriaan cucu menantunya. “Salamnya Mbah belum dijawab,” ucapnya mengingatkan. Ia yakin sedang tidak ada Khoiron di dekat Tatiana.‘Ya Allah, Tiana lupa, Mbah. Saking senengnya telepon, Mbah.’ Di kamarnya Tatiana menepuk keningnya. ‘Waalaikumsalam, Mbah. Maaf Tiana telat jawabnya, hehe..’ Cengiran lalu menghiasi layar ponsel tua milik Kyai Dahlan.“Ada apa, Nduk? Tumben telepon Mbahnya?”Anak nakal ini pasti memiliki kepentingan sehingga menghubunginya. Tatiana hampir tak pernah meneleponnya. Mereka bersinggungan ketika Khoiron tengah menelepon menantunya. Dari sanalah mereka bercengkrama untuk beberapa waktu.‘Tiana mau curhat, Mbah. Eh, maksudnya cerita. Iya..’
“Mas Adnan, emang Ibu salah ya?”Tatiana menyangga kepalanya menggunakan tangan. Ia tidur menyamping, menatap putranya kesayangannya.“Jawab dong, Mas. Ibu nggak salah kan, ya?”Khoiron mengulum bibirnya. Istrinya sedang mencari pembenaran, hanya saja kepada orang yang salah.Apa yang istrinya harapkan dari seorang bayi mungil tak berdosa? Pembelaan?! Jelas Adnan belum bisa melakukannya. Putranya mereka masih tak memiliki daya untuk hal itu. Tunggu usianya bertambah, nanti Adnan akan dapat diajak berkomunikasi.“Adnan, mah! Ibu hopeless nih. Ayah juga ngambek ke Ibu. Ibu jadi nggak ada temennya, Mas.”“Kok bawa-bawa Ayah, Bu? yang ngambek bukannya Ibu, ya?”“Mas diem!”Lucu sekali istrinya. Dia yang mogok bicara pada semua orang, tapi malah mengaku menjadi pihak tersakiti. Mana mengelabui anak sendiri. Sungguh nakal!“Mas dianggurin nih?! Mentang-mentang sudah punya Mas Adnan sekarang.”“Aduh! Ada yang ngomong, siapa sih! Ganggu quality time aku sama anakku aja deh!”Khoiron terkikik.
“Uh, gemesinnya anak Ibu. Ibu pengen gepengin kamu, Dek.”Khoiron yang baru saja memasuki kamar, kontan berlari mendekati ranjang. “Adek! Istighfar! Jangan gepengin Adnan!” Ucap, pria itu panik. Gemasnya sang istri sungguh membahayakan. Masa anak sendiri mau dibuat gepeng.“Bercanda, Mas Khoir!”“Huh!” Khoiron melepaskan napasnya. Ia pikir istrinya serius ingin menggepengkan anak mereka.“Umi gimana, Mas? Udah dipanggilin dokter belum?”“Udah sadar kok..” Khoiron mendudukan dirinya disamping Tatiana. Tangannya yang besar menggenggam telapak kecil anak lelakinya. “Nggak sampai harus manggil dokter. Umi cuman kaget aja, Dek.”Jangan kan uminya, abinya kalau berada di kamar, pasti juga akan ikut pingsan. Ia tidak mengira kalau kenakalan istrinya sampai bisa membuat heboh satu komplek.“Hehe.. Mama dulu juga pingsan, Mas.” Cengir Tatiana. Mamanya sampai dilarikan ke rumah sakit saat rumahnya di demo. Akhirnya masalah diselesaikan oleh orang tua Brandon. Mereka hanya perlu mengganti mobil
“Adek— Kenapa nangis? Masih sakit?”Tatiana menggelengkan kepalanya. Tidak ada lagi sakit yang dirinya rasakan. Semua rasa sakit itu telah terbayar kontan seluruhnya.“Kenopo, Nduk? Ngomong ke Mbah.”Tidak hanya Khoiron, Kyai Dahlan dan semua orang yang menjaga Tatiana ikut dibuat bertanya-tanya.“Huwaaaa!!”“Oeek!”Jeritan Tatiana lalu bersaing dengan tangis anak lelaki yang dirinya lahirkan satu jam lalu.“TIANA!” Hardik Soraya. Gara-gara suara melengking Tatiana, cucu lelakinya kaget dan terbangun.Tatiana yang dimarahi kontan saja tambah kejar. Tangisnya semakin keras lagi ketika pintu ruang perawatannya terbuka, menampilkan sosok Brandon dan Zahra.“Mas Khoir, hwaaa!!”“Adek, Ya Allah. Sebenernya Adek kenapa? Bilang ke Mas, Dek.” Pinta Khoiron. Anak mereka membutuhkan ibunya, tapi bagaimana bisa mendiamkan anak lelakinya kalau Tatiana saja histeris tanpa sebab.“Kenapa baby lahirnya lebih cepat, hiks! Harusnya waktu mereka nikahan!!” Tatiana terisak-isak sembari mencengkram kemej
“Bosen!” Berengut Tatiana.Semua orang berkegiatan di luar sedangkan dirinya menjadi makhluk mati segan, hidup tak mau. Selain tidur dan menonton drama-drama, ia tak melakukan apa pun di rumah.Mama dan papa yang biasanya menemani kesehariannya, hari ini mendadak memiliki acara bersama teman-teman mereka. Ia ditinggalkan tanpa perasaan.“Sebenernya, gue ini hamil apa lumpuh?! Masa mau ngapa-ngapain dilarang? Mau ikut juga nggak boleh! Parah mereka!”Tatiana bosan maksimal. Zahra dan Brandon masih kuliah. Sejak mempunyai hubungan signifikan dengan adik iparnya, sahabatnya itu berubah menjadi sangat rajin.Brandon hampir tidak menerima usulannya untuk membolos. Ajakannya tadi ditolak mentah-mentah, padahal ia sudah memohon agar Brandon skip kelas terakhirnya hari ini. Hasilnya malah dibalas dengan sebuah quote tidak nyambung.Inilah Jalan Kebenaran.Sedikit agak-agak memang Brandon sekarang. Perubahannya tak seasyik dulu, meski perubahaan tersebut Tiana anggap baik. Setidaknya Brandon t
Betapa senangnya Tiana. Di lingkungan pondok pesantren milik keluarga suaminya, orang-orang begitu ramah terhadapnya. Tidak hanya itu, mereka pun menghormatinya. Tak lagi memandangnya sebelah mata seperti dulu.“Sore Ning Tiana, Ning Zahra.” Sapa sekumpulan santriwati ketika melewatinya“Sore..” Tatiana melambai-lambaikan tangannya sebagai balasan. Saat ini dirinya sedang jalan-jalan sore ditemani oleh adik iparnya.“Coba aja di komplek hawanya seadem ini ya, Ra. Betah Mbak jalan kaki jauh.”“Mau disini aja Mbak, selama hamil? Umi pasti seneng loh bisa jagain Mbak Tiana.”“Nggak mau ah!” Ucap Tatiana. Ia ini tipe istri yang tidak bisa berjauhan dari suami tampannya. Ditinggal bekerja seharian saja sudah rindu, apalagi kalau harus tidak bertemu beberapa hari. Terkena mala rindu yang ada nantinya.“Pengen nggak pulang, tapi Mas Khoirnya harus kerja.”Kalau Tatiana pikir-pikir lagi, semenjak suaminya bergabung di perusahaan, intensitas mereka bertemu jadi berkurang. Di kampus mereka bisa
Tatiana menggosok kedua matanya. Ia yakin jika indera penglihatannya tidak salah. Ia melihat Zahra menyunggingkan senyuman sesaat sebelum menundukkan kepalanya.Beberapa detik yang lalu, adik iparnya itu masih menangis sesenggukkan. Tatiana jelas tahu alasan mengapa Zahra menangis. Dia tidak ingin menikah dengan orang yang tak dicintai— kata lainnya, Zahra sudah memiliki seseorang di dalam hatinya.‘Tapi kok?’ bingung Tatiana, masih belum dapat mencerna perubahaan yang terjadi pada diri sang adik ipar.“Monggo-Monggo, masuk ke dalam.” Ajak Kyai Dahlan, mempersilahkan para tamunya. Pria paruh baya itu turut membawa serta cucu perempuannya. Hari ini Zahra merupakan bintang utama yang akan duduk disampingnya. Nanti setelah lamaran selesai, barulah dirinya menyambut hangat kedatangan cucu kesayangannya.Ruang tamu Ndalem yang tak luas, kini terpenuhi oleh kerabat-kerabat dekat yang Tatiana kenali. Perempuan itu duduk ditengah-tengah mama dan ibu mertuanya.Suaminya sendiri duduk tak jauh
Tepat satu minggu telah berlalu sejak pertemuan keduanya dengan Brandon di café. Brandon mengatakan jika pemuda itu akan secepatnya bertandang, membawa orang tuanya ke pondok pesantren.Selama tujuh hari itu pula, Khoiron sebagai kakak juga menyampaikan amanat kakeknya. Memberitahukan Zahra tentang niat baik seorang pemuda terhadapnya.Seperti apa yang sudah Khoiron terangkan kepada sang istri, Zahra menerimanya. Meski pun belum mengetahui siapa gerangan yang meminang dirinya, adik Khoiron itu memasrahkan seluruhnya pada kakeknya. Hal tersebut merupakan bentuk baktinya. Zahra yakin, pilihan kakeknya tidak mungkin salah.“Mas.. Mas Khoir ngerasa nggak sih, kalau akhir-akhir ini, Zahra tuh keliatan murung banget?”Jika Tatiana tak salah menilai, keceriaan Zahra meredup sejak suaminya memberitahukan khitbah atas diri sang adik ipar. Zahra memang pendiam, tapi diamnya kali ini terasa berbeda. Tatiana dapat merasakan kesedihan dalam
“Cantiknya Mas, masih ngambek ya?!”Khoiron melakukan toelan pada lengan Tatiana. Semalam dirinya diusir dari kamar. Istrinya itu tidak mau berbagi ranjang dengan orang menyebalkan seperti dirinya. Meski tak bertahan sampai pagi, tetap saja istrinya marah. Sekarang wanitanya sedang mogok bicara. Setiap kali diajak berinteraksi, dia akan mencari cara untuk membalas perilakunya tadi malam.“Ra, kayak ada yang ngomong! Siapa sih?!” Tatiana menjauhkan lengannya. Ia lalu membersihkan jejak sentuhan Khoiron, membuat Khoiron terkekeh dengan aksi yang Tatiana lakukan.“Kamu, Ti. Nggak boleh gitu kalau ngambek. Dosa loh, Ti.” Tegur Januar.“Buat hari ini, Tiana berani dosa!”Tatiana benar-benar kesal. Semalam sudah sampai tahap pengusiran pun, suaminya bertahan dengan kebungkamannya. Kekesalan Tatiana bertambah karena dirinya tak bisa tidur tanpa laki-laki itu.Alhasil, Tatiana harus sedikit me
“Mas Khoir..” Suara lembut Tatiana mengalun, membuat Khoiron menutup berkas yang tengah dirinya baca.“Dalem, Adek.” Sahut Khoiron tak kalah lembut. Kepalanya berputar, melihat sang istri yang duduk menghadapnya di atas ranjang mereka.“Pripun, Sayang? Adek butuh sesuatu?” tanya Khoiron.“Adek mau cerita.”Senyum Tatiana yang meneduhkan hati Khoiron, menjalar pada diri laki-laki itu. Sudut bibirnya melengkung dan kepalanya mengangguk. “Nggih.. Sebentar ya. Mas simpan berkasnya dulu.” Tuturnya sebelum menyimpan kembali berkas-berkas pekerjaannya ke dalam tas.Begini saja rasa cinta Tatiana bertambah menjadi berkali-kali lipat. Suaminya selalu menyediakan banyak waktu untuknya meski dalam keadaan sibuk sekali pun. Tatiana merasa begitu dicintai karena hal sekecil itu.“Sambil Mas pijitin kakinya ya, Dek. Adeknya rebahan aja.”“Nggak