Aaaaak, astaga.. Qey salah up lapak.. Masa ini tadinya yang buat Mbak Keyla huhu.. Mianhae pemirsa, kurang agua...
“PAK KHOIR?! BAPAK APAIN, TIANA?!”Thomas berteriak. Pria itu mengikuti langkah keduanya. Rasa sukanya terhadap Tatiana membuatnya mengkhawatirkan diri wanita itu. Ia dihantam kesadaran usai terdiam beberapa saat setelah serangan dosennya.Namun tampaknya kesadarannya yang timbul menghilangkan kesadarannya yang lain. Sepertinya Thomas lupa jika tangis Tatiana mungkin berasal dari tingkah sembrononya.“Ngapain lo teriakin suami gue?!” Garang, Tatiana menatap mantan kekasihnya dengan mata berkilat layaknya petir ditengah derasnya hujan.“Dia buat lo nangis, Titi.”“Lo yang bikin gue nangis, Tolol!” Sembur Tatiana, terengah-engah. Air matanya seketika berhenti mengalir.“Bahasanya, Dek.”Tatiana mengeram karena teguran Khoiron. Sempat-sempatnya sang suami menegurnya. Pada situasi sekarang ini halal hukumnya memaki si otak udang Thomas.“Udah nggak usah diurusin. Kita ke kelas Mas aja.”Tatiana sempat melayangkan jari tengahnya untuk Thomas. Awas saja pemuda itu. Dirinya akan mengadukan p
“Gue nggak mau ikut, Tiana!”“TIANA!”Brandon terus memberontak. Ia tidak ingin ikut pada agenda penjemputan adik ipar sahabatnya. Ia sadar diri, sebagai makhluk berbelalai, dirinya lemah akan gadis-gadis cantik.“Lo mau pengaruhin gue kan?!”“Apaan dah! Negative thinking mulu perasaan. Gue nggak segila itu buat ngajakin lo pindah agama keleus! Indonesia negara demokrasi,” sembari memutar bola matanya, Tatiana menyelipkan seringaian di wajahnya. Tangannya terus menarik kerah kemeja Brandon, setengah menyeret sang sahabat.Dibelakang mereka, Khoiron hanya bisa pasrah mengikuti keduanya. Ia cukup terkejut ketika sang istri berkata Zahra sudah hampir sampai di Jakarta. Setahunya adiknya akan sampai esok hari. Ia memang tak sempat membuka-buka ponsel sehingga tak mengetahui perubahan armada yang digunakan adiknya.“Gue kenal lo, ya! Lo manusia paling licik sedunia! Lepasin gue, Ti!”“Hais! Lebay! Gue percaya iman lo sekuat besi baja! Banyak cewek cantik bin yang nggak lo seriusin karena b
Holly Molly Shit!Orang tuanya sudah gila. Mereka tidak tertolong. Pertanyaan macam apa itu?Menjadi mualaf?!Pindah agama maksudnya kan?! Secara saat ini mereka bukan seorang muslim. Umumnya kata mualaf merujuk pada seseorang yang bukan beragama islam masuk ke dalam agama tersebut. Brandon bisa mencernanya begitu. Otaknya tidak bodoh-bodoh amat walau sering nge-hang.“Nggak usah bercanda, Mah. Sumpah bercandanya nggak lucu. Sini Brandon bantuin Mama minta maaf ke Tuhan!” Brandon membantu sang mama membuat tanda salib setelah mengucapkan permohonan maaf-nya.“Ih, kamu, mah!” Desah sang mama. “Mama cuman tanya ke kamu. Kalau kamu nggak sependapat jangan begitu dong, Brandon.”“Abisnya Mama aneh-aneh. Mama kena cuci otak siapa? Biar Brandon gebukin tuh orang. Sembarangan aja ngajak-ngajak Mama!”Mohon maaf— Mamanya ini merupakan kristiani yang taat sekali. Ia tidak memakan daging babi, tidak pula melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama yang mereka anut. Disaat sang mama ingin berubah
Tatiana membuka matanya bahkan sebelum Khoiron membangunkan wanita itu. Alam bawah sadarnya bekerja tanpa perlu Tatiana setting terlebih dahulu.Perempuan itu mendudukan dirinya. Menggosok kedua matanya sebelum memanggil sang suami, “Mas.” Kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya, tapi samar-samar gendang telinganya menangkap suara Khoiron yang tengah melantunkan ayat suci.“Allahumarhamni bilquran. Waj'alhu lii imaaman wa nuuran wa huda wa rohmah1,” ucap Khoiron menutup sesi bacaannya dengan sebuah do’a yang biasa dirinya panjatkan seusai membaca Al Quran.Khoiron bangkit lalu menyimpan kitab sucinya ke dalam rak khusus yang dirinya beli.“MasyaAllah.. Mas nggak mimpi ini, Sayang?!” lontar Khoiron takjub dengan apa yang dirinya lihat. Laki-laki itu mendekati sang istri di ranjang dan memberikan ciuman di atas keningnya.“Kok udahan bacanya? Gara-Gara aku panggil?”Khoiron menggeleng pelan, “memang sudah selesai, Dek. Kebetulan pas Adek manggil sudah ketemu huruf ain,” jelas Khoiron ya
Fajar yang begitu indah. Khoiron sampai tak dapat berhenti mengucapkan kalimat syukur di dalam hati. Ia pulang dengan perasaan senang. Kepulangannya dari tempat peribadatan disambut hangat oleh sang istri tercinta. Secangkir kopi tersaji diatas meja ruang keluarga.Awalnya Khoiron hampir tidak percaya tatkala melihat Tatiana duduk di kursi pos penjagaan. Ketika membuka pintu gerbang dirinya dibuat terkejut, begitu pula dengan sang ayah mertua.Katanya istrinya itu sedang menunggu kepulangannya. Dia sedikit merajuk dikarenakan mereka pulang lebih lambat dari pagi-pagi sebelumnya. Setelah merajuk sang istri malu-malu, menyampaikan hal yang membuatnya berbunga-bunga.Ya— secangkir kopi yang kini berada ditangannya. Uap panas tidak lagi mengepul. Jika saja ia tahu istrinya sudah bersusah payah, ia pasti tidak berbincang dengan bapak-bapak di masjid. Bergegas pulang agar bisa menikmati hidangan dari tangan sang istri.“Jadi cuman Khoir aja yang kamu buatin, Ti? Papa nggak?!”“Kan itu tugas
Di kediaman Khoiron— tepatnya pada sebuah rumah joglo yang disebut sebagai ndalem, Kyai Dahlan tengah berseru senang. Ia memandangi layar ponselnya yang tengah menampilkan potret cucu menantu kesayangannya.“Assalamualaikum, Nduk,” sapa Kyai Dahlan, senang.‘Mbaaah..’Kyai Dahlan terkekeh. Pria paruh baya itu selalu menyukai keceriaan cucu menantunya. “Salamnya Mbah belum dijawab,” ucapnya mengingatkan. Ia yakin sedang tidak ada Khoiron di dekat Tatiana.‘Ya Allah, Tiana lupa, Mbah. Saking senengnya telepon, Mbah.’ Di kamarnya Tatiana menepuk keningnya. ‘Waalaikumsalam, Mbah. Maaf Tiana telat jawabnya, hehe..’ Cengiran lalu menghiasi layar ponsel tua milik Kyai Dahlan.“Ada apa, Nduk? Tumben telepon Mbahnya?”Anak nakal ini pasti memiliki kepentingan sehingga menghubunginya. Tatiana hampir tak pernah meneleponnya. Mereka bersinggungan ketika Khoiron tengah menelepon menantunya. Dari sanalah mereka bercengkrama untuk beberapa waktu.‘Tiana mau curhat, Mbah. Eh, maksudnya cerita. Iya..’
Tatiana, Khoiron dan Zahra— ketiga anak Adam itu saat ini tengah menunggu kedatangan Brandon. Sudah setengah jam Brandon izin pulang untuk membersihkan diri, tapi anak itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.“Mas kita samper ke rumahnya aja, apa?! Pasti dia kabur, Mas!”Khoiron terkekeh. Tatiana benar-benar menggemaskan. Sejak kapan ada orang kaburnya ke rumah sendiri. Itu sih jelas definisi pulang, bukan melarikan diri.“Brandon harus ikut jalan-jalannya kita, Dek?” tanya Khoiron. Istrinya berencana mengajak sang adik berbelanja di pusat perbelanjaan. Mumpung Zahra sedang di Ibu Kota katanya. Jadi sekali-kali adiknya itu harus merasakan menjadi seorang anak metropolitan.Khoiron tentu tak bisa menolak. Istrinya yang cantik dan baik hati memiliki niat untuk menyenangkan sang adik. Kebaikan tersebut menjelaskan kepadanya, tentang seberapa dalam Tatiana ikut menyayangi adiknya.“Harus dong! Sahabat aku itu. Udah lama kita nggak jalan bareng. Kan kalau Mas ngajar, nggak boleh hang
“Adek, happy?”Senyum lebar Tatiana terpatri. Bagaimana dirinya tidak senang, kalau ia berhasil membawa paksa Brandon ikut serta. Setelah berbagai drama, sahabatnya itu kalah suara. Mana mungkin dia bisa melawan dua wanita superior, terlebih yang satu sudah bertaruh nyawa untuk melahirkannya ke dunia.“Happy, Happy, Happy. Finally kita jalan-jalan berempat, Mas.”“Mau kemana sih, emang?! Maksa banget lo, Ti! Hari libur tuh jatahnya gue molor!” Disamping Khoiron, Brandon masih setia dengan emosinya.“Belanja, nonton, keliling Jakarta, makan enak. Dek,” Tatiana menggeser tubuhnya, “kamu mau kemana lagi? Hari ini kita semua mau nyenengin kamu.”“Kemana ya, Mbak. Zahra nggak tau. Niatnya ke Jakarta kan mau liat-liat kampusnya Mbak sama Mas Khoir.”“Yah, itu sih bisa besok, Dek.” Ujar Tatiana. “Tanggal merah kampusnya juga tutup! Nggak ada apa-apanya,” timpalnya memberi tahu.“Mas, kamu ada rekomendasi nggak?” tanya Tatiana sembari memajukan tubuhnya pada sela-sela jok yang Khoiron dan Bran
“Biar gue aja yang ngomong ke Nando. Lo tau beres aja, Ti.”“Ashiaap!” jawab Tatiana, melengkingkan nadanya. Ia akan menyiapkan gendang telinganya baik-baik, memastikan jika otak cerdiknya dapat memahami setiap kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya.Mari kita lihat, bagaimana cara Brandon menjaga Zahra. Apa yang akan sahabatnya katakan pada Nando— Kakak tingkat sekaligus Ketua BEM Universitas mereka. Setahu Tatiana keduanya memang saling mengenal. Beberapa kali Brandon terlihat mengobrol dengan anak teknik itu saat mereka berada di kelab malam.“Gue mau ketemu Nando. Lima menit.” Ucap Brandon pada sekelompok anak BEM yang menjadi panitia ospek. “Masih di sini kan dia?”“Siapa yang nyariin gue?”Suara maskulin Brandon rupanya terdengar sampai ke dalam ruangan. Keduanya tak perlu bersusah payah melobi para kakak tingkat yang pastinya menyulitkan pergerakan.“What&r
Tragedi ngidam bakso homemade menjadi pelajaran tersendiri untuk Brandon. Pemuda itu tidak akan pernah menerima kebaikan hati suami sahabatnya. Selelah apa pun dirinya, keinginan ia harus melakukan sesuai dengan keinginan Lord Tatiana.Gara-Gara Tatiana, saldo rekening Brandon menjadi sangat mengenaskan.Pemuda itu dihukum tak mendapatkan santunan dari orang tuanya selama satu bulan penuh. Belum lagi ceramahan di setiap sisi yang merusak gendang telinganya. Brandon kapok! Benar-benar kapok.Tatiana adalah sebenar-benarnya trouble maker. Kehamilan perempuan itu mendukung untuk melakukan penindasan terhadap pria-pria lemah. Terutama Brandon dan Khoiron. Sekarang keduanya bagaikan pengikut setia Tatiana. Macam-Macam sedikit, para pelindung Tatiana yang akan turun tangan.Bayangkan saja, sikap un-rasional Tatiana didukung oleh dua generasi sebelumnya. Tiga pasang orang tua dan generasi lainnya adalah Kyai Dahlan&mdash
Menemani Khoiron memasak bakso?Zzz…Air liur Tatiana menjadi saksi dari ucapannya saat melepas kepergian sang suami.Tiga puluh menit wanita itu bergulat dengan antusiasmenya sendiri. Terus berceloteh tentang betapa gentle-nya Khoiron pada adik iparnya. Namun tak berselang tiga puluh menit dari kepergian Khoiron, matanya terpejam untuk mengarungi indahnya alam mimpi.Hal tersebut sampai membuat Zahra terperangah. Pasalnya suara kakak iparnya perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh dengkuran halus.Ternyata, oh, ternyata— wanita cantik yang memiliki usia satu tahun di atasnya itu terlelap.Memastikan jika sang kakak tidak akan asal-asalan dalam memenuhi permintaan ngidam keponakannya, Zahra pun memberitahukan kondisi Tatiana saat ini. Kakaknya memiliki banyak waktu untuk berbelanja sehingga tak perlu terburu-buru.“Selamat bobok, Mbak Tiana, ponakannya Tante. Nanti kalau Papa Khoir udah pulang,
Rasa nyaman Tatiana rasakan saat Khoiron membelai perutnya. Pria itu sedang membacakan sebuah surat dikala Tatiana sibuk menggulirkan layar ponselnya.“Adem banget liatnya ya, Pah. Dulu waktu Mama hamil Tiana, Papa nggak pernah kayak Khoiron.” Ucap Soraya membuat Januar menatap istrinya dengan tatapan bersalah.Januar jelas berbeda dengan menantunya. Pemuda itu diasuh dan diberikan asupan pendidikan agama sedari kecil, sedangkan dirinya hanyalah pemuda salah gaul yang hanya mengerti cara mempertahankan bisnis orang tuanya.“Maaf ya, Mah. Dulu waktu kita baru-baru nikah, Papa masih anak begajulan kayak Brandon.”“Loh! Om! Kok Brandon dibawa-bawa sih!” Potong Brandon cepat, masuk ke dalam pembicaraan. Sedari tadi dirinya anteng membaca buku. Tahu akan diseret pada hal-hal keji dirinya tidak akan menetap usai belajar mengaji bersama abangnya.“Kamu contoh paling deket, Bran.. Masa Papamu?! Papamu mudanya anak
“Mas.. Adek pinjem HP-nya dong.”Selayaknya remaja kebanyakan yang memang suka sekali menunjukkan hasil kemenangannya, Tatiana ingin membuat memberikan hadiah terakhir untuk Mutia. Meski tidak bisa melihat ekspresi dosennya secara langsung, setidaknya ia bisa menambah kekesalan yang ada pada dirinya.“Boleh buat story IG kan, Mas?”Sejak mereka terbang, segelintir ide-ide jahil berhamburan di otaknya. Berhubung mereka masih ada di bandara, Tatiana akan menyematkan lokasi mereka.“Boleh.. Tapi nggak boleh muka Adek, ya.. Takut ain, Sayang.”Tatiana mengangguk. Itulah sebab mengapa media sosial suaminya tidak pernah mengunggah potret siapa pun. Meski memiliki banyak pengikut, media sosial suaminya terkesan seperti akun tanpa awak. Tidak ada postingan selama beberapa waktu ini. Terakhir suaminya mengunggah kata-kata, meminta doa restu atas pernikahan mereka.“Foto bandaranya kok, Mas.”Brandon yang mengerti akal bulus Tatiana menggelengkan kepalanya. Sahabatnya itu pasti ingin mencari ke
“Lifah, kamu liat sendiri kan?! Dua anak itu pinter banget bersilat lidah. Mereka bener-bener manipulatif, Lif.”Khalifa geram— bahkan menggunakan mata telanjang sekali pun, orang lain akan mengetahui siapa sosok yang ciri-cirinya sedang Mutia sebutkan.Plak!“Sadar, Mut! Sing eling jadi manusia!”Tidak pernah Mutia bayangkan sahabatnya akan menampar dirinya. “Fah.. Jangan bilang kamu percaya sama kata-kata mereka?!” Memegangi bekas tamparan Khalifa, Mutia bertanya dengan wajah sarat akan kesedihan.“Kalau aku nggak percaya, bisa kamu sebutin alasan apa yang membuat kamu ngerengek minta diantar ke sini?!”“Penelitian, Fah.. Apa itu nggak cukup?!”“Seperti kataku, Mut. Penelitianmu bahkan nggak menguntungkan pihak yayasan kamu.” Sepertinya disini dirinyalah yang bodoh. Khalifa merasa menjadi manusia dengan otak yang dangkal sekarang. “Kampusmu yayasan katolik, Mutia. Untuk apa mereka menyetujui penelitian tentang perilaku santri?! Ada banyak penelitian yang lebih berkaitan dengan dunia
“Umi, Tiana mau tunggu Mas Khoir.”“Kamu ini, Nduk. Ya wis.. Zahra temenin Mbak Mu. Umi, Mbah, sama Abi pulang dulu.” Pesan Umi Aisyah sebelum meninggalkan kedua anak perempuannya di pelataran masjid.Abinya sempat mengatakan jika Khoiron sedang berbincang dengan pengurus ponpes di dalam. Tatiana tidak ingin meninggalkan suaminya, seperti Khoiron yang selalu menunggu saat dirinya keluar terlambat.“Duduk aja ya, Mbak. Jangan berdiri terus.” Ujar Zahra. Gadis itu membimbing kakak ipar kesayangannya untuk menduduki kursi tak jauh dari mereka.Kapala Tatiana menangkap sosok yang membantunya. “Kamu sini...” panggilnya membuat segerombolan santriwati menghampirinya.“Dalem, Ning.”“Kamu ke Ndalem ya... Bilang aja ke Umi disuruh saya. Minta di ambilin 5 kotak cake. Terserah Umi yang mana aja gitu.” Ia ingat janjinya, tapi tak bisa segera pulang karena suaminya belum terlihat.“Nggih, Ning Tiana. Ning mari..” Pamit mereka sebelum berlalu.Sepuluh menit Tatiana menunggu dan Khoiron beserta Br
“Mbak Lia, hati-hati. Kata temen ku yang tadi tugas di Ndalem, Mbak yang itu pelakor.”“Pelakor?”“Iya, Mbak.. Dia kesini mau godain Gus Khoir katanya.”“Hus,” Lia menyentuh punggung tangan juniornya di pondok, “ndak boleh suudzon,” ucapnya, memperingati agar tidak berpikiran buruk. Bagaimanapun juga, mereka merupakan tamu sang guru.“Serius, Mbak. Dia denger sendiri waktu tamunya ngobrol. Sampai nggak habis pikir loh temen ku.”“Wis-Wis.. Ayo kita ke masjid. Sebentar lagi adzan magrib.” Ajak Lia. Tidak ada yang perlu dirisaukan dari para tamu tersebut. Ia yang pernah mencoba peruntungan dengan tanpa malunya saja tidak berhasil. Gus mereka bukan laki-laki yang mudah digoda. Beliau begitu mencintai Ning Tatiana.Melewati Khalifa dan Mutia, Lia beserta santri lainnya menundukkan kepala. “Amit, Mbak.” Ucap mereka sopan sedikit membungkuk.“Kalian mau shalat di masjid ya?”“Betul, Mbak.” Jawab Lia mewakili adik-adiknya.“Kami boleh bareng?”“Monggo silahkan.”Di depan pagar masjid yang me
Mutia— Dosen yang mengampu salah satu mata kuliah Tatiana itu dengan percaya dirinya memperkenalkan diri. “Saya rekan mengajar Pak Khoiron di Jakarta, Pak Kyai, Bu Nyai.”“Oh, begitu.” Umi Aisyah menjadi orang pertama yang menanggapi perkenalan terlambat Mutia. “Dosennya menantu saya juga kan ya?” Beliau mempertanyakan apa yang terlewat untuk diperkenalkan wanita yang menjadi tamunya.“Ben-Benar..”“Wah, kebetulan sekali ini.” Menyematkan senyuman, Umi Aisyah lantas menanyakan bagaimana Tatiana ketika di kampus. Dan sebuah hal tidak terduga justru menjadi jawaban dari mulut Mutia.“Sebelumnya saya ingin meminta maaf, Bu Nyai. Bukan maksud saya menjelek-jelekkan. Saya hanya ingin berterus terang tanpa kebohongan. Kalau ditanyakan bagaimana Tatiana, menantu Bu Nyai cukup bermasalah di kampus. Dia anak nakal.”Tatiana mengepalkan jari-jarinya. Brandon ternganga dan Khoiron sendiri terdiam dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Sedang anggota keluar lain yang mendengar