Sina menjalani hidup yang bahagia hampir seumur hidupnya. Ia cantik, kaya dan pintar. Semua orang memujanya seperti dewi, terlalu banyak laki-laki yang menatapnya dengan kagum.
Ratusan tahun berlalu dan rasa halus dan ringan itu telah hilang. Entah sejak kapan ia berubah, ia tak pernah ingat hal itu. Ia benci dirinya sendiri sekarang, tapi ia tak bisa mengakhiri hidupnya dengan mudah.
Api abadi telah melahap kemanusiaannya, dan membuatnya berubah menjadi monster yang penuh kekejaman dan haus akan darah. Kekayaan, kecantikan dan kepintaran yang ia miliki seolah-olah tak berguna dan tak memiliki arti. Kekayaan hanya mampu memikat manusia yang haus akan harta. Kecantikan hanya menimbulkan rasa iri dan dengki untuk wanita di luar sana yang ditakdirkan memiliki wajah tak secantik dirinya.
Sina menghembuskan nafas pelan sambil melihat dinding-dinding atap kamarnya. Kayu jati mahal yang diukir dengan halus, terlihat mewah namun t
Pagi mulai menjelang, gadis dipelukannya masih terlelap tanpa ada tanda-tanda untuk bangun. Gadis itu seolah tak terusik dengan gerakan kecil yang dihasilkan Pieter. Matanya masih terpejam dan ada senyum tipis dibibirnya, seolah ia sedang bahagia dan bermimpi sangat indah. Ada rasa bangga dalam diri Pieter saat ia melihat hal itu. Bangga pada bahunya yang kokoh untuk gadisnya bersandar dengan nyaman. Mungkin ia akan berlatih lebih keras dimasa depan untuk membentuk tubuhnya agar tak mudah pegal saat gadis itu menggunakannya untuk bersandar.Pieter memeluk pelan Sina, lalu mengangkat kepala gadis itu untuk memindahkannya ke tempat yang lebih nyaman. Gerakan itu sangat lembut, namun Sina sedikit tegerak, seolah enggan terlepas dari bahunya. Pieter langsung menegang dan panik sesaat, ia segera menepuk pelan kepala Sina dengan tujuan menidurkannya kembali."tidur lagi."Suara Pieter sangat pelan, hanya terdiri dari dua kata perintah. Namun hal itu terdengar ss
Tangisan Isah semakin deras namun tak ada suara yang terdengar, hanya hembusan nafas memburu lebih cepat dari biasanya. Hal itu membuat dada Sina semakin sesak dan dingin. Ia menatap Isah dengan tajam, namun wanita itu terus menangis."Yang Mulia adalah orang terhormat, orang yang dipuja dan dikagumi semua orang. Tubuh suci yang mulia telah dinodai dan dilecehkan. Bagaimana saya bisa tahan untuk tidak menangis. Darah biru yang mengalir dalam tubuh Yang Mulia adalah darah leluhur agung."Sina langsung melempar asbak disampingnya. Ia muak, ia kesal dengan tingkah wanita itu. Lemparan itu sangat keras membuat dahi wanita itu sedikit berdarah. Sina terlihat sedikit berkaca-kaca saat melakukannya.Wanita itu segera pergi, berharap Sina tak terlalu marah dan membunuhnya. Ia hanya menangis untuk menarik simpati gadis itu. Tapi siapa yang menyangka bahwa Tuannya benar-benar berubah.Sebelumnya, Isah hanya menganggap Sina mengalami masa pemberontakan ekstrim
Sina menangis lebih keras. Ia menangis dengan nafas pendek yang terdengar sedikit meringkih. Rasa sedih yang ia alami selama ratusan tahun seolah meluap saat itu juga.Ia ingat bagaimana panas api di seluruh tubuhnya. Api itu merayap di hampir semua bagian dari dirinya, bahkan jiwanya pun terasa terbakar seperti bara api. Rasa itu bahkan menghantuinya hingga saat ini.Panas!Panas!Panas!Itu adalah adalah kata yang ia ulang setiap kali. Ia berteriak keras meminta ampunan. Ia memohon untuk langsung dibunuh saja. Tapi mereka enggan dan memilih untuk membakarnya hidup-hidup.Bahkan ketika tubuh itu telah berubah menjadi abu, api itu tetap menyala dan membakar jiwanya. Mereka yang rela mati untuk melangsungkan ritual pemenjaraan jiwa. Mencegah jiwanya bereinkarnasi dan terus merasakan rasa sakit Beratus ratus tahun.Jika neraka itu ada, apakah seperti ini ras
Persiapan pernikahan telah dilakukan dengan sempurna. Hampir semuanya dipertanggungjawabkan ke tangan Jiwana. Laki-laki itu sangat giat dan rajin akhir-akhir ini. Peluh dan keringat tidak menyurutkan semangat laki-laki itu untuk terus membantu dalam persiapan pernikahan.Hingga sore menjelang, setiap orang masih sibuk mondar-mandir dengan tangan yang tak pernah kosong. Tak ada yang bermalas-malasan. Setiap orang bergotong royong mempersembahkan pernikahan yang sempurna untuk Lana.Setelah yakin semua persiapan rampung. Jiwana segera berdiri tegak dengan berkecak pinggang. ia terus menghitung dengan teliti dan teratur, apa saja persiapan yang masih belum disiapkan. Setelah lama menghitung senyum di wajah laki-laki itu akhirnya muncul kembali.Jiwana menghapus keringat dengan selendang usang, lalu mencuci wajahnya dengan air. Ia perlu bertemu dengan Sina, guna menginformasikan tahapan-tahapan yang akan dijalaninya nanti. Ia sebenarnya sedikit bersemangat. Ha
Matahari telah terbenam namun setiap orang masih sibuk menyiapkan pernikahan. Mereka terus memastikan tak ada kekurangan dalam pernikahan esok hari.Sina terus berada didalam kamarnya. Ia enggan untuk keluar, walau hanya untuk sekedar bertegur sapa dengan penghuni rumah lainnya. Tindakan Sina, bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak sopan. Namun melihat keadaan gadis itu, mereka pun perlahan memakluminya.Sina terus terdiam sambil terbaring di tempat tidur empuk miliknya. Hal itu ia lakukan selama beberapa hari terakhir.Ia akan menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang terus melayang. Ekspresinya kosong seolah tak ada raga didalamnya. Lana yang melihat hal itu, merasa sedikit khawatir. Lana pun mendekat dan bertanya dengan nada cemas."Gugup?"Sina pun menatap Lana dengan kaget, lalu tersenyum mengakui. "Ya."Sina tak ingin menutupi rasa gugup yang ia miliki. Besok
Matahari mulai menjelang. Kesibukan penghuni rumah semakin terlihat. Semua orang bergotong royong dan saling membantu. Taman di rumah besar Pieter semakin cantik dengan hiasan janur kuning.Buah-buahan ditata rapi dengan berbagai pola dan warna. Bunga indah menghias kedua ujung panggung kecil, yang ditengahnya terdapat singgasana pengantin berwarna emas.Jiwana telah bangun sejak pagi sekali. Walaupun ia harus sedikit begadang untuk menenangkan Pieter yang gelisah. Ia terlihat bersemangat dan tersenyum cerah. Hal itu membuat semua orang tak merasa canggung saat berbicara padanya.Jiwana akan mengatur semua hal dibawah tanggung jawabnya.Saat matahari mulai meninggi. Satu persatu tamu telah datang dan duduk ditempat yang telah disediakan. Jajanan tradisional yang ditata dengan rapi ditaruh di atas nampan sebagai bekal para tamu. Tak lupa kopi hitam pekat menemani mereka sambil menunggu pernikahan adat dilaksanakan.Semua orang sedikit takjub d
Pesta pernikahan telah usai. Semua orang pulang dengan wajah sumringah, mereka bersiap untuk menceritakan pengalaman menakjubkan mereka pada anak istrinya di rumah. Tak lupa nasi, lauk dan jajanan tradisional di bawa pulang.Tuan Pemusungan terus berjalan dengan bahu tegak dan dagu yang mendongak. Terlihat angkuh dan sombong, namun setiap orang memaklumi itu. Wajar saja, gadis semata wayangnya menikah dengan orang Kaya dan Bangsawan. Apalagi, anaknya diperlakukan dengan baik oleh suaminya.Saat Tuan Pemusungan dan Jiwana berhadapan, semua orang dibelakang Tuan Pemusungan saling melihat dengan mengerti. Tak lama mereka mundur beberapa langkah, lalu pergi meninggalkan kedua orang itu sendirian.Tuan Pemusungan menghela nafas berat, bahunya sedikit longgar dan dagunya sedikit menunduk. Laki-laki tua itu berusaha menurunkan wibawanya. Tak lama suara berat terdengar dengan pelan.
Mahkota emas dengan manik-manik kecil yang terlihat berkilau. Sangat indah dipandang mata. Pieter tak henti-hentinya mengagumi kecantikan istrinya itu. Terlihat menawan dan sangat menggemaskan.Wanita itu sekarang telah sah menjadi istrinya. Wanita yang akan menemaninya hingga tua. Wanita yang akan berbagi suka duka bersamanya hingga akhir hayat.Tangan Pieter membelai Kris dibalik punggungnya, serta melonggarkan kain di pinggangnya untuk menghilangkan sesak. Namun saat ia melihat ke kaca, ia semakin menyadari betapa gagahnya ia saat memakai pakaian tradisional.Setelah lama mengagumi dirinya sendiri, kini ia beralih pada istrinya lagi. Saat ia memandang istrinya dengan seksama, ia merasa Sina adalah jodoh yang ditakdirkan surga.Sina terus duduk sambil melepas satu persatu perhiasan disekujur tubuhnya. Ia sebenarnya sedikit kesal karena tak ada yang membantu. Tentu saja ini terjadi karena ulah Pieter yang enggan membawa masuk pelayan kekamar mereka
Di lain pihak, Jiwana telah mendengar tentang invasi Nippon ke pulau ini yang berniat menggantikan kekuasaan Netherland. Hal tersebut membuat Jiwana tidak setuju, bukan hanya karena ia bekerja bersama para bangsawan Netherland, tapi juga karena Jiwana merasa bahwa bangsawan Netherland tidak terlalu kejam selama di pulau ini, mereka hanya sangat sombong dan pelit.Netherland memang memiliki riwayat buruk dengan para pribumi, akan tetapi itu hanya berlaku di pulau seberang. Di pulau ini, Jiwana lah yang mengaturnya. Ia menjilat para bangsawan Netherland untuk mendapatkan upah yang lebih baik. Ia juga membujuk para pribumi untuk mau bekerja tanpa sebuah paksaan. Sehingga keduanya tidak memiliki konflik yang berarti.Akan tetapi Nippon datang dan Jiwana tidak tau seperti apa strategi politik yang akan dilakukan Nippon di masa depan. Jiwana takut Nippon akan lebih sulit dibujuk dan akan menyengsarakan pribumi dan lebih kejam dari Netherland. Hal tersebut membuat Jiwana membentuk kelompok k
Saat peperangan meledak, hujan di Ziel tak henti-hentinya turun. Alam sepertinya mendukung para pribumi dengan menurunkan hujan deras agar mereka bisa memiliki lebih banyak waktu untuk lari, sedangkan tentara Nippon kesulitan karena cuaca dan Medan yang belum mereka kuasai.Disaat hujan terus mengguyur Ziel dan tentara Nippon memaksakan diri untuk masuk, Pieter bersembunyi di balik pohon sambil membawa pedang telah ia asah selama beberapa hari. Matanya telah terbiasa oleh hujan dan kabut, jadi Pieter mampu melihat dengan jelas gerakan lawan dibalik pohon itu.'hmm mereka terlihat familiar'Tentara Nippon memiliki perawakan yang hampir sama dengan pribumi, hanya saja kulitnya putih dan matanya agak sipit. Hampir mirip dengan keturunan Tionghoa yang biasa Pieter lihat. Mereka memiliki suara yang keras dan perawakan yang kaku, jadi wajar saja jika Pieter merasa wajah mereka terlihat familiar.Pieter bergerak dengan sangat hati-hati, ia tidak ingin meremehkan musuh. Walaupun tubuh Pieter
Beberapa tahun setelah kematian Sina, perang terjadi di pulau Mirah Adhi dan diprediksi Netherland akan segera kalah. Pasukan Nippon telah mulai melakukan aksi untuk menguasai, sehingga Pieter pun harus bersiap mengevakusi anggota keluarga agar bisa pergi ke tempat yang lebih aman. Pieter bahkan memecat semua pelayanannya agar mereka bisa pergi mengungsi dengan cepat. Pieter tidak ingin orang-orang dibunuh ataupun dibantai karena mereka bekerja pada Netherland. Karena bagaimanapun para pelayannya bukanlah penghianat negara melain orang biasa yang mengais rezeki dengan bekerja padanya. Walaupun begitu ada beberapa pelayan masih enggan untuk pergi karena merasa sayang pada Pieter."Tuan, kami masih ingin tetap bersamamu. Kami rela mati bersamamu jadi kami tidak akan pergi kemanapun. Atau kalau Tuan mau, ikutlah bersama kami ke kampung. Disana kami akan menyembunyikan Tuan agar aman dan tak akan tertangkap oleh tentara Nippon."Mereka bekerja bersama Pieter, akan tetapi mereka mendedika
Pieter menatap ke arah gundukan tanah yang tertulis nama Lana di atasnya. Pieter ingat ketika ia membuka mata untuk pertama kalinya tubuh Sina telah mendingin di dalam pelukannya. Tubuh yang cantik itu telah kehilangan jiwanya dan Pieter akhirnya ditinggalkan untuk yang kedua kalinya.Selama dua kehidupan ia harus ditinggalkan oleh kekasihnya. Akan tetapi walaupun rasa sedih menguasai hatinya, ia selalu ingat bahwa kematian Sina saat ini adalah untuk kebaikannya sendiri. Sina tak lagi merasakan kesakitan dan penderitaan seperti yang ia rasakan ratusan tahun yang lalu. Dia telah terbebas dan Pieter bahagia karenanya."Kamu bebas sekarang." ucap Pieter lirih.Saat pemakaman berlangsung, banyak orang yang datang untuk melayat. Mereka berdoa dengan penuh hikmat dan terkadang datang untuk bersalaman dengan Pieter sambil mengucapkan banyak kalimat menghibur. "Dia sekarang berada di lindungan Tuhan, jadi kamu jangan bersedih terlalu berlarut-larut.""Ya, Lana adalah gadis yang baik dan taat
Saka meninggal di hutan keramat saat berusia ia telah 97 tahun. Ia sangat tua dan tak pernah pergi dari tempat itu satu kali pun. Ia telah meninggalkan semua kemewahan dan kejayaan serta masa mudanya. Ia memilih untuk tinggal bersama Sina di hutan keramat. Ia ingin jiwa Sina tak merasa kesepian, setidaknya sampai ia meninggalkan dunia ini. Saka juga tak pernah berkomunikasi dengan orang lain sehingga ia tak pernah tau apa yang terjadi di luar hutan. Baginya tugas sebagai seorang Raja telah ia penuhi, ia telah berusaha untuk membuat rakyat sejahtera dan keluarga yang ia tinggalkan dapat dipastikan akan aman setelah ia pergi meninggalkan mereka.Jika orang lain melihat keseharian Saka di tempat itu maka mereka mungkin akan menyimpulkan bahwa Saka telah menjadi orang 'gila'. Saka akan berbicara pada sendiri dan setelah itu menangis, setelah itu tertawa keras. Hanya itu yang ia lakukan setiap hari.Saka telah tinggal di hutan keramat selama puluhan tahun, dan ia telah bertapa serta mening
Setelah kemenangan, semua orang di Mirah Adhi merasakan 'duka' yang dirasakan oleh Raja. Harga ternak telah turun drastis mengingat dilarangnya konsumsi daging selama setahun, hal tersebut membuat para peternak dan pemburu hewan tak memiliki mata pencaharian dan terpaksa beralih profesi. Para petani pun bersedih karena bahan pangan juga tak terlalu laku mengingat adanya pengadaan puasa selama 40 hari. Apalagi para bangsawan, mereka sekarang terlihat seperti rakyat biasa karena tak ada lagi pakaian mewah dan perhiasan yang bisa mereka gunakan selama lima tahun ke depan.Sekarang hutan keramat menjadi momok paling menakutkan bagi masyarakat. Mereka tidak berani ke sana karena takut akan dieksekusi mati oleh Raja. Apalagi saat melihat secara langsung bagaimana raja memberi hukuman pada orang-orang yang membuat Sina menderita. Pada hari itu semua orang tak berani keluar rumah karena mendengar suara jeritan orang-orang yang dibakar dengan kejam. Bahkan setelah kejadian itu, para orang tua
Kemenangan Senggrala atas Malaka telah dipastikan, akan tetapi tak ada satupun orang yang merayakannya. Semuanya menunduk dan bersedih, kala mengetahui panglima perang mereka telah mati karena bunuh diri. Awalnya semua orang meributkan siapa yang disalahkan atas kejadian ini, akan tetapi saat melihat Saka yang masih diam, semua orang pun langsung ikut diam.Saka adalah orang yang paling terpukul pada kejadian ini. Ia kehilangan satu orang kepercayaannya, dan satu orang yang paling cintai serta kasihi. Akan tetapi Saka masih tetap diam dan memandang jasad Jarka yang dikebumikan dengan tatapan yang sangat datar.Hati Saka sangat hancur dan sedih, akan tetapi yang paling menyakitkan dari semua itu adalah tak ada satu tetes pun air mata yang jatuh di pelupuk matanya. Seolah ia telah dikutuk untuk tidak bisa melampiaskan kesedihan yang ia miliki seumur hidupnya.Setelah Jarka dimakamkan, Saka masuk ke dalam kamarnya sambil melihat kendi yang berlapis emas di atas kasurnya. Kendi itu berisi
Seperti jantung yang ditusuk dengan pisau, setiap langkah kaki kuda yang ia tunggangi membuat Jarka semakin sulit bernafas. Ia tidak tau apa yang terjadi pada Sina nya tapi satu hal yang ia tau Sina nya pasti sedang tak baik-baik saja.Jarka mencoba menghibur dirinya sendiri dengan berfikir sesuatu yang indah, tapi ia tetap tidak bisa. Seolah otaknya telah dipenuhi oleh bau daging yang terbakar dari perhiasan yang pernah ia berikan pada Sina."Tidak mungkin terjadi bukan..."Jarka menatap ke arah burung elang yang terbang di atasnya, lalu menatap ke arah depan sambil menghapal jalan. Tak lama mata Jarka memerah dan air matanya jatuh."Ini bukan jalan menuju istana, ini bukan jalan menuju rumah..."Semakin panjang perjalanan Jarka, semakin jauh ia dari istana. Ia semakin masuk ke dalam sebuah hutan yang tak pernah ia masuki sebelumnya. Hutan yang mungkin tidak pernah dikunjungi manusia. Tapi, kenapa perhiasan Sina ada di tempat yang seperti ini?Semakin banyak Jarka menebak dalam otakn
Beberapa hari setelah datangnya Saka ke medan perang, Jarka sudah tak menerima surat balasan lagi dari Sina. Bahkan Jarka telah menyempatkan diri untuk meluangkan waktu membuat puisi untuk Sina, akan tetapi surat yang datang hanya ditujukan pada Saka. Hal tersebut membuat Jarka sedikit cemburu pada calon kakak iparnya itu."Semenjak Saka ada di medan perang, Sina tak lagi memperhatikan ku." Wajah cemberutnya yang terkesan kekanakan sangat jauh berbeda dengan citranya di tentara sebagai orang yang ganas."Bersabarlah Tuan, setelah kita menang nanti Tuan dapat membawa Putri Sina pulang tanpa hambatan dari siapapun."Beberapa prajurit mencoba menghibur Jarka, mengingat perasaan Jarka sangatlah penting bagi peperangan ini. Jika Jarka dalam keadaan kurang bahagia atau bersemangat, maka habislah sudah karena Jarka adalah penentu menang atau tidaknya Senggrala dalam peperangan ini."Ya, kamu benar. Kita akan pulang dengan kemenangan dan membawa Putri Sina ke rumahku sebagai hadiah."Semuany