"Akram memberi tahu?" tanya Evergreen memastikan.
"Ya, dia salah satu teman penaku. Um, seseorang yang memperkenalkannya padaku, dulu sekali," balas Gill terdengar polos. "Dia sempat mengirim surat kalau keluarganya hendak pindah ke Ezilis Utara sebulan sebelum keruntuhan."
Evergreen bergumam, suaranya malah terdengar gemetar. "Kenapa ... Dia tidak bilang?"
"Apa?"
Evergreen menarik napas. "Tidak ada. Hanya masalah pribadi."
Ia lanjutkan langkah. Kami ikuti dengan bingung. Aku tahu Evergreen pasti berhubungan dengan keluarga Wynter. Reaksinya tadi membuatku yakin ia bisa saja merasa dikhianati oleh mereka. Kendati selamat saat keruntuhan.
"Kamu kenal keluarga Wynter selain Akram?" tanyaku pada Gill.
"Aku kenal beberapa," jawabnya. "Tapi, hanya Akram yang paling dekat. Itu pun hanya sebatas teman pena."
"Dia sahabat masa kecilmu?"
Aku dilempar ke tempat yang jauh lebih aneh. Tanah luas namun begitu hitam dan lembab. Sekelilingku dipenuhi gundukan tanah dan tulang belulang, belum lagi di bawahnya penuh dengan cacing."Oh, ada Pangeran.""Atau makanan untuk kita berdua.""Ish, Delina! Kita tidak makan manusia.""Tapi, boleh, Delisa. Abi bilang tidak masalah.""Kepalamu! Kalau Abi keberatan, tidak wajib artinya."Aku melihat dua gadis kembali berdiri di depanku dari kejauhan. Keduanya menyeringai dengan wajah imut. Ya, aku berani bilang mereka manis kendati ucapan berbanding terbalik dengan penampilan.Mereka memiliki postur dan penampilan yang sangat mirip ; rambut sepinggang dikepang satu, dengan poni dijepit penjepit rambut berbentuk bulan sabit. Keduanya mengenakan pakaian sama, polos putih dengan rok pendek hitam serta celana panjang hingga menutupi seluruh kaki.
Gill refleks melempar sesuatu ke arahnya.Dur...!Ledakan kecil tadi membuat kepala itu hancur lebur dan menyebar mengotori sekitar. Gill melindungiku dari kekacauan tadi hingga jaketnya ikut kotor.Gill menatapku dengan sorot ngeri. "Gila! Apa itu?!""Apa-apaan?" tanyaku merujuk pada benda yang dilemparnya."Biasa, mainan anak-anak." Gill memamerkan bola-bola kecil mirip petasan. Seingatku, petasan tidak sampai menghancurkan sebuah kepala bahkan sampai bagiannya berpencar ke mana-mana."Kamu ini sebenarnya apa?" tanyaku."Aku Pengalih-Rupa," jelas Gill. "Yah, cukup lemah.""Ti-tidak masalah," balasku spontan. "Kamu baru saja melindungiku dari ... Kepala."Gill bergidik. "Aku benci kepala tanpa badan, atau badan tanpa kepala.""Aku juga," balasku, berniat menenangkannya."Kepala,"
"Setan!" Gill refleks menarikku ke sisinya dan melempar petasannya.Dur! Asap mengepul menutupi pandangan, kami terbatuk beberapa saat sebelum melihat sosok di balik kabut.Gadis cantik ... Mirip dengan si kembar, hanya saja rambutnya hitam dengan sorot mata biru. Dia seperti Akram, namun versi gadis. Berdiri di depan dengan tatapan tajam. Wajahnya kini dipenuhi abu hitam bekas petasan Gill. Aku bahkan ragu jika itu benar-benar petasan."Akram!" seru gadis itu dengan geram."Kamu sendiri yang ngagetin," balas Akram. "Nih, temanku."Gadis itu mendengkus. "Ganteng tapi penakut, percuma!"Kulirik Gill, pemuda itu menatapnya tajam. Dia arahkan telunjuk padanya. "Orang waras mana yang tidak kaget? Kamu yang main hantu dan wajar aku kaget!"Gadis itu memutar bola mata dan bersedekap."Gill, ini adikku, Nisma Ferant Elzalis Wynter," jelas Akram. "Dia seorang necromancer.""Tak heran." Gill mengalihkan pandangan.
Dalam beberapa saat, musuh kami tumbang. Aku dan Gill tercegang melihatnya dengan cepat membabat habis mayat-mayat itu. Tumpukan mayat tentaranya Nisma terkapar dalam keadaan termutilasi. Aroma anyir bercampur tanah tercium jelas. Bagian tubuh dan organ berceceran, belum lagi kotoran membanjiri tanah. Jelas menyakiti hidung. Pria itu hanya berdiri memandang kami di antara jasad musuh, menyarung pedang dengan tenang. Aku mendekat. Bagaimana bisa ia membantai mayat hidup secepat itu? Kulirik tangannya, sebuah pedang penuh daging busuk, tampak sederhana namun mematikan. Warna kulit pria itu sedikit lebih gelap dari kami, sawo matang. Rambut hitam pendek dengan mata merah menyala. Ia jelas pria tertinggi yang pernah kulihat. "Ka ..." Suara Gill bahkan terdengar seperti bisikan, seakan mengenal sosok itu tapi di saat yang sama juga ragu. Dia berdiri jauh di belakang, jela
Aku mengenalnya. Salah satu antek-antek Evergreen.Tangannya menjelma jadi benda tajam merah yang menusuk dahan tadi, dengan tatapan tajam. Seringainya seolah mencengkeram jantungku.Lucius.Ya, aku masih ingat namanya. Bukanya dia berjanji tidak akan menganggu?Lucius menyeringai. "Ia mencarimu!"Gill refleks menarik kami menjauh, melesat lebih tepatnya.DUR!Dentuman bersahutan berima di telinga. Aku sempat menoleh dan melihatnya berjuang menangkap kami. Segala rintangan dilompati Gill seperti permainan anak-anak. Hanya kami berdua yang tidak tahu harus berbuat apa sementara Gill terus menjerit entah menambah kekuatan atau memberi sinyal. Pastinya, itu jeritan jiwa yang terbelenggu oleh ketakutan nan nyata."Mampus aku!" serunya sambil melompati dahan demi dahan, masih kuat memegang baju kami. "Apa jadinya kalau kalian yang trauma?!"Kami diam saja, tidak tahu harus balas apa lagi.Aku terus mengamati Luci
Kami bergegas pulang ke rumah Evergreen dan menghubungi dokter Youngfeather. Butuh waktu beberapa jam menunggunya sementara aku duduk di luar dengan gelisah. Evergreen tampak dengan senang hati mengizinkan kami menginap di rumahnya.Evergreen duduk di samping sambil menepuk bahuku. "Ia akan baik-baik saja."Aku yang telanjur takut, beringsut memeluk Gill yang duduk di sampingku sambil terisak.Michelle hanya mengelus bahuku tanpa bisa berbuat banyak."Tidak apa, Nak." Evergreen berbisik dengan lembut disertai belaian. "Semua akan baik-baik saja. Aku janji.""Ada apa tadi?" tanya Michelle. "Dimana Nemesis?""Vampir itu menghilang," jelas Evergreen. "Begitulah kata Monsieur Perrier.""Bagaimana bisa?" heran Michelle. "Dia tidak akan hilang secepat itu!""Tahan dulu, Putri!" balas Evergreen. "Biar kami yang cari untukmu. Asal kautahu, aku punya banyak anak buah. Sayang, Lucius berkhi
Aku terbangun di kasur baru pada dini hari. Kulirik sekitar, tidak ada seorang pun menemani. Lantas, aku mencoba keluar dan mencari seseorang untuk diajak mengobrol. Kemarin malam, Evergreen menyuruhku tidur di sini, walaupun aku merasa tidak nyaman lantaran ini terlalu asing. Apalagi perihal malam itu. Aku seakan tidak percaya, namun tentu tidak bisa menolak ucapan Arsene. Pintu kamar kubuka. Lantas mencari kamar Arsene untuk menjenguk. Tok! Tok! Tok! Aku hendak memanggil, tapi– "Eh?" Baru saja mengetuk, keluar wajah Dokter yang ... Berantakan. Rambutnya acak-acakan serta mata yang tampak kelelahan. "Remi?" herannya. "Dimana Pa–" Terdengar suara batuk dari belakang. Bibirku bergetar. "Pa–" Ia memotong. "Kamu tidurlah, biarkan ayahmu istirahat." Klik Ia tutup pintunya. Aku yang tidak bisa berkata-kata, hanya duduk berharap cemas di luar sambil menyandarkan tu
"Bagaimana kabar Mister Perrier?" tanya vampir itu.Kabut hitam mengikis, menyisakan dirinya yang berdiri di tengah tangga ruang bawah tanah. Ia tampak seolah baru saja keluar dari lembah kematian. Tatapannya masih dingin, padahal kami sudah saling mengenal."Membaik," balasku."Nemesis, kamu dari mana saja?" tanya Michelle."Kemarin, kami berhasil kabur dari kumpulan vampir," jawab Nemesis. "Aku berpencar. Mister Perrier yang menyelamatkan kalian, bukan?"Aku mengiakan."Aku mendapat giliran mengirim kabar ke salah satu Guardian," ujarnya. "Sebelumnya, aku disuruh memberi kabar ke Wynter.""Untuk apa?" tanyaku."Kami menyakini sesuatu dan ia tahu itu." Nemesis berpaling menghadap ruang bawah tanah, meski tidak jelas seberapa jauh kami harus menuruni tangga. "Ayo, ikut aku!"Gill terkesiap saat kami menuruni tangga. Jelas takutnya kambuh. Aku tahu ia yang tidak mau ditinggal sendirian, terpaksa menyusul meski kuden
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.