Mata Bu Diana berkeliling mengamati seisi ruangan. Matanya berkeliling sambil melebar. "Apa ini?"
Seseorang dari balik lemari muncul. Dia mengenakan topeng. Apakah dia pria bertopeng yang selama ini mengganggu keluarga Wijaya?
Bu Diana memundurkan langkah perlahan. Dengan cepat pria itu menutup dan mengunci pintu dari dalam. Tubuh Bu Diana gemetar ketakutan. Dia berteriak meminta tolong. Akan tetapi, ruangan tersebut kedap suara.
"Teriaklah sepuasmu. Suaramu tidak akan pernah terdengar. Bahkan, mungkin ini adalah jeritan terakhirmu," ucap Pria bertopeng.
Bu Diana memundurkan langkahnya. "Siapa kamu?!"
Pria itu membuka topengnya. Dan mata Bu Diana kembali melebar. Pria itu adalah orang yang sangat ia kenal dan ia kasihi.
Bu Diana menggeleng. "Nggak. Ini semua nggak mungkin. Ini pasti cuma mimpi."
Pria itu melangkah mendekati Bu Diana. "Ini semua bukan mimpi, Ma."
Ma? Ya, pria itu adalah Bara.
Semua orang kembali mengerjakan pekerjaannya masing-masing seperti biasanya. Rey sudah berangkat ke kantor dan Naina sudah bersih, wangi, dan perut terisi.Naina berdiri menyandarkan kepalanya di pintu balkon kamarnya. Semuanya terjadi begitu cepat dan mengejutkan baginya. Tak ada lagi senyuman David dan kasih sayang Bu Diana.Rindu yang Naina rasa semakin menggebu-gebu. Dia rindu sekali dengan David. Ia pun memutuskan untuk membaca buku diary David untuk mengobati rasa rindunya. Ia juga memandangi foto David sampai puas. Beruntunglah ponsel Naina yang masuk ke dalam kolam bisa diperbaiki. Jika tidak, dia pasti sudah murka sekali kepada Sella. Bagaimana ia tidak murka. Semua foto-foto di ponselnya sangat berarti baginya.Naina mencari-cari keberadaan buku diary David. Ia biasanya meletakkannya di bawah tumpukan bajunya di lemari. Alangkah terkejutnya dia, ketika tidak menemukan benda itu di sana. Naina mengobrak-abrik lemarinya.
Naina dan Rey berciuman sekilas dan bergandengan menuju pintu kamar. Rey membuka pintu dan ia dikejutkan dengan kehadiran Sella yang sudah berdiri di depan pintunya sepagi ini. Begitu juga dengan Naina. Sella menunggu setidaknya selama tiga puluh menit di depan pintu. Sesekali dia duduk, ketika merasa lelah dan kembali berdiri."Happy birthday!" seru Sella. Ia bahkan tidak mengenakan pakaian suster hari ini. Dirinya justru memakai gaun panjang berwarna biru muda.Naina mengamati Sella dari bawah hingga atas merasa terheran-heran.Wajah Rey terlihat sangat merah bak udang rebus. Terlihat jelas wajahnya menggambarkan sebuah amarah. Bahkan urat di lehernya terlihat sangat jelas.Brak!Rey menjatuhkan kue yang dipegang Sella. Sella dan Naina pun merasa terkejut. Tapi, di sisi lain Naina merasa senang atas perlakuan Rey kepada Sella. Menurutnya, hal itu sudah benar."Beraninya kau. Apa yang kamu lakukan?!" gertak Rey.
Sella mengernyitkan dahi serta menyipitkan mata menatap Bibi Sri. Bibi Sri bisa membaca raut wajah Sella, bahwa dirinya tidak senang dengan pertanyaan yang diberikan kepadanya."Mengapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu? Jika aku memberitahumu apakah itu akan menguntungkan dirimu? Dan jika aku tidak memberitahu dirimu, apakah kamu akan merasa rugi?" tanya Sella."Tidak. Aku tidak akan rugi dan tidak akan beruntung. Aku hanya sekedar bertanya. Aku bisa melihat dirimu sedang lelah saat ini."Sella tersenyum tipis. Dia memejamkan mata sambil menghela napas lega."Aku tidak tertarik dengan semua itu. Lagipula, siapa aku hingga kamu bersenang hati akan mendengarkan segala keluh kesahku.""Aku hanya ingin mengetes dirimu saja. Aku juga tidak tertarik akan semua ceritamu," batin Bibi Sri.***Setelah selesai mengecek Joy, Sella pergi ke kamarnya. Tubuhnya terlihat lesu tak bersemangat.Sella mendongak dan melih
Bara tak tahan memikirkan semua ini. Dia berjalan cepat menuruni anak tangga. Kancing bajunya ia biarkan tak terkancing penuh.Kemudian, ia masuk ke dalam mobil dan melajukan dengan kecepatan tinggi.Satpam yang membuka gerbang pun turut bingung atas sikap Bara."Ini sudah malam. Mau ke mana Tuan pergi semalam ini?" Satpam itu menguap dan kembali duduk di pos.Tatapan Bara begitu serius. Tersadar dengan kancing bajunya yang tak terkancing sempurna, ia pun memberhentikan mobil di tepi jalan.Dengan cepat ia mengancing baju dan segera memakai jubah berwarna hitam. Tak lupa, ia juga memakai topeng yang biasa dipakai untuk melakukan kejahatan. Bara pun kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Kini ia berada di tempat yang begitu sunyi nan sepi. Tak ada rasa takut sedikitpun yang menyelimuti Bara. Di tempat itu terdapat banyak sekali pepohonan dan gelap. Bara memakirkan mobilnya di pinggir jalan dan menyam
Linda mencoba untuk bertahan. Ia terus memohon sambil menangis kepada Bara, agar dia mau melepaskan dirinya."Ampunilah aku B-bara," pinta Linda. Ia mencoba sekuat tenaga untuk bisa berbicara. Namun semakin dia banyak bicara, semakin kuat pula cengkraman tangan Bara di lehernya."Apakah ini semua balasanku, karena telah berbuat jahat selama ini? Apakah balasannya akan sesakit dan sekejam ini?" batin Linda sebelum ia menarik napas terakhirnya.***Berbulan-bulan berada di dalam penjara, tidak membuat Alex menyesal sedikit pun atas perbuatannya sedikitpun. Ia justru menyalahkan orang lain atas apa yang menimpa dirinya saat ini.Tiada h
John berdiri dan membersihkan baju serta celananya yang kotor akibat debu dan pasir yang menempel.John mengembuskan napas berat sambil setengah tersenyum menatap Bara.Bara memberikan isyarat dengan tangan memerintahkan John untuk masuk ke dalam mobil.John merasa sedikit kesal, karena dipermainkan. "Aku sangat kesal dengan pria itu," gumam John sambil berjalan malas menuju mobil.John duduk dan menutup pintu. Kedua mata John mengelilingi isi mobil. Bahkan, matanya berkeliling sampai belakang. "Wow, sepertinya kamu orang kaya," ucap John takjub."Tentu saja. Kamu bisa lihat sendiri." Bara memamerkan jam tangan yang berharga ratusan
"Apakah kamu tau, aku dulu percaya bayi terbuat dari tepung," ucap Rey sembari mengaduk adonan kue dengan tangannya. Bajunya terlihat sangat kotor. Banyak sekali bekas tepung di sana. Naina terkekeh. "Yang benar saja. Siapa yang ngomong gitu? Hm?" Rey menatap Naina dan memberikan sedikit tepung di hidung Naina. "Namanya juga anak kecil." Rey kembali mengaduk adonan di samping Naina. Sedangkan Naina, ia menjaga kue agar tidak gosong di dalam oven. "Dulu waktu Joy lahir, aku penasaran banget. Kenapa bisa tiba-tiba ada Joy. Aku juga dulu bingung kenapa perut Mama membesar." Rey berhenti mengaduk "Aku juga nangis, ketika melihat perut mama yang membesar seperti diisi balon. Aku kira dia menelan
Naina berjinjit mengambil baju yang ada di dalam lemari. Letaknya cukup tinggi di dalam sana. Dengan susah payah ia mengambilnya, Rey justru merebut baju itu dan mempermainkan Naina."Sayang ... Balikin!" Naina melompat-lompat mencoba meraih bajunya yang diangkat tinggi oleh Rey."Dasar pendek! Ambil sini, ambil," goda Rey."Rey! Balikin!" gertak Naina."Ih, barusan aja manggil sayang. Masa udah ganti lagi jadi Rey." Rey menyerahkan baju Naina kepada sang pemilik yaitu, Naina. "Nih, aku balikin." Rey menjauhi Naina dan merebahkan tubuhnya di kasur sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut hingga tak terlihat."Huft, menyebalkan," gum