Bara tak tahan memikirkan semua ini. Dia berjalan cepat menuruni anak tangga. Kancing bajunya ia biarkan tak terkancing penuh.
Kemudian, ia masuk ke dalam mobil dan melajukan dengan kecepatan tinggi.
Satpam yang membuka gerbang pun turut bingung atas sikap Bara.
"Ini sudah malam. Mau ke mana Tuan pergi semalam ini?" Satpam itu menguap dan kembali duduk di pos.
Tatapan Bara begitu serius. Tersadar dengan kancing bajunya yang tak terkancing sempurna, ia pun memberhentikan mobil di tepi jalan.
Dengan cepat ia mengancing baju dan segera memakai jubah berwarna hitam. Tak lupa, ia juga memakai topeng yang biasa dipakai untuk melakukan kejahatan. Bara pun kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Kini ia berada di tempat yang begitu sunyi nan sepi. Tak ada rasa takut sedikitpun yang menyelimuti Bara. Di tempat itu terdapat banyak sekali pepohonan dan gelap. Bara memakirkan mobilnya di pinggir jalan dan menyam
Linda mencoba untuk bertahan. Ia terus memohon sambil menangis kepada Bara, agar dia mau melepaskan dirinya."Ampunilah aku B-bara," pinta Linda. Ia mencoba sekuat tenaga untuk bisa berbicara. Namun semakin dia banyak bicara, semakin kuat pula cengkraman tangan Bara di lehernya."Apakah ini semua balasanku, karena telah berbuat jahat selama ini? Apakah balasannya akan sesakit dan sekejam ini?" batin Linda sebelum ia menarik napas terakhirnya.***Berbulan-bulan berada di dalam penjara, tidak membuat Alex menyesal sedikit pun atas perbuatannya sedikitpun. Ia justru menyalahkan orang lain atas apa yang menimpa dirinya saat ini.Tiada h
John berdiri dan membersihkan baju serta celananya yang kotor akibat debu dan pasir yang menempel.John mengembuskan napas berat sambil setengah tersenyum menatap Bara.Bara memberikan isyarat dengan tangan memerintahkan John untuk masuk ke dalam mobil.John merasa sedikit kesal, karena dipermainkan. "Aku sangat kesal dengan pria itu," gumam John sambil berjalan malas menuju mobil.John duduk dan menutup pintu. Kedua mata John mengelilingi isi mobil. Bahkan, matanya berkeliling sampai belakang. "Wow, sepertinya kamu orang kaya," ucap John takjub."Tentu saja. Kamu bisa lihat sendiri." Bara memamerkan jam tangan yang berharga ratusan
"Apakah kamu tau, aku dulu percaya bayi terbuat dari tepung," ucap Rey sembari mengaduk adonan kue dengan tangannya. Bajunya terlihat sangat kotor. Banyak sekali bekas tepung di sana. Naina terkekeh. "Yang benar saja. Siapa yang ngomong gitu? Hm?" Rey menatap Naina dan memberikan sedikit tepung di hidung Naina. "Namanya juga anak kecil." Rey kembali mengaduk adonan di samping Naina. Sedangkan Naina, ia menjaga kue agar tidak gosong di dalam oven. "Dulu waktu Joy lahir, aku penasaran banget. Kenapa bisa tiba-tiba ada Joy. Aku juga dulu bingung kenapa perut Mama membesar." Rey berhenti mengaduk "Aku juga nangis, ketika melihat perut mama yang membesar seperti diisi balon. Aku kira dia menelan
Naina berjinjit mengambil baju yang ada di dalam lemari. Letaknya cukup tinggi di dalam sana. Dengan susah payah ia mengambilnya, Rey justru merebut baju itu dan mempermainkan Naina."Sayang ... Balikin!" Naina melompat-lompat mencoba meraih bajunya yang diangkat tinggi oleh Rey."Dasar pendek! Ambil sini, ambil," goda Rey."Rey! Balikin!" gertak Naina."Ih, barusan aja manggil sayang. Masa udah ganti lagi jadi Rey." Rey menyerahkan baju Naina kepada sang pemilik yaitu, Naina. "Nih, aku balikin." Rey menjauhi Naina dan merebahkan tubuhnya di kasur sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut hingga tak terlihat."Huft, menyebalkan," gum
Jika saja membunuh orang itu tidak dosa, mungkin Rey sudah menghajar Alex sampai tidak bernyawa pada saat Alex sebelum dipenjara.Hati Rey terasa sakit dan sedih melihat istrinya yang selalu ceria dan selalu cerewet, mendadak menjadi seseorang yang pendiam dan menjadi sering melamun.Rey terus menatap wajah Naina yang sudah larut dalam tidurnya. Ia memandangi wajah Naina sampai ia puas sembari membelai rambutnya yang halus dan wangi. Kemudian, Naina terbangun dan buru-buru Rey mengusap matanya yang basah."Kenapa kamu belum tidur?" tanya Naina. Matanya menyipit, karena membuka mata saat ini sangat berat baginya."Belum ngantuk. Udah tidur lagi, ya."
Rey tak mempedulikan segala perkataan Sella. Rey tetap fokus dengan Naina. Ia pun menggendong Naina dan membawanya ke kamar.Sella terus mengekori Rey dari belakang sambil terus berbicara tanpa henti. Ia berbicara sambil menahan air matanya yang hendak tumpah membanjiri wajahnya."Rey apakah kamu mendengarku? Jawab aku Rey. Aku minta maaf. Bagaimana caranya agar kamu mau memaafkan diriku?" Sella terus mengulangi perkataan itu berkali-kali.Naina menjadi tidak tega melihat Sella yang terus memohon seperti itu. Ia menatap wajah Rey yang menggambarkan dirinya saat ini sedang marah besar. "Rey dengarkanlah Sella," ucap Naina.Rey seperti orang tuli. Ia tak mendengarkan segala perkataan Naina. Ia
Perusahaan Rey saat ini tengah mencapai puncak kejayaan. Dia bisa membuat Sakha Wijaya menjadi peringkat kedua perusahaan keluarga terkaya di Indonesia. Mengetahui hal itu, tentu saja Pak Wijaya merasa sangat bangga kepada putra keduanya itu. Pada pagi ini Pak Wijaya tengah membaca berita lewat ponsel di rumahnya. Dan ia merasa terkejut serta bangga, setelah mengetahui, bahwa keluarganya kini menjadi top dua terkaya di Indonesia.Hal itu membuat Pak Wijaya berencana ingin merayakannya bersama keluarga. ***Setelah Sella pergi dari rumah Rey, ia pun segera mencari seorang suster atau dokter yang mau merawat adiknya di rumahnya. Apalagi yang Joy tunggu? Bukankah Sella telah pergi dari sana? Kenapa dia tidak mengakhiri saja sandiwara ini. Naina masuk ke dalam kamar Joy dan membangunkan dirinya. "Joy ... Joy," panggil Naina sambil menggoyangkan tangan Joy. Joy membuka ke
Naina terus melangkah maju mencari Bara. Dan tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang menepuk pundaknya. Naina terperanjat kaget dan berbalik badan melihat siapa yang menyentuh pundaknya. Matanya membesar ketika melihat Bara yang sedang berdiri di hadapannya saat ini. Bara menarik tangan Naina dan memojokkan dirinya di tembok. Jantung Naina berdegup kencang. Ia merasa sangat takut. Baru pertama kalinya Bara menyentuh dan bersikap seperti itu kepada dirinya. Naina tak bisa mengucap satu patah kata pun. Yang bisa ia lakukan hanya diam membisu, karena merasa ketakutan."Apakah kamu mengikutiku?" tanya Bara. Naina menggeleng. "Nggak, Kak.""Jangan bohong. Ngaku aja."Naina masih tetap teguh pada jawaban pertamanya. "Nggak, Kak.""Semua yang kamu lihat dan kamu dengar itu tidak salah. Itu semua benar. Jadi, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Naina menjadi berkeringa