"Baiklah Pak Rangga. Terima kasih atas semua informasinya," ucap Pak Wijaya lewat telepon. Ya, dia berbicara dengan Ayah Rose di pagi hari ini.
Setiap pagi, Bara selalu rajin berolahraga sama seperti Rey. Ketika dia sampai di depan gerbang rumahnya, dia melihat Papanya yang sedang berdiri di atas balkon. Wajahnya terlihat sangat sedih.
Bara menghentikan langkahnya dan mengusap keringat yang ada di wajahnya dengan handuk. Tak berpikir panjang, Bara pun pergi menghampiri Papanya di balkon lantai dua.
Sesampainya di atas balkon, Bara mendekati Pak Wijaya dan memberikannya sebuah sarung tangan. Bara berdiri sejajar dengan Pak Wijaya.
"Ambillah ini," tawar Bara.
Pak Wijaya menunduk menatap sarung tangan berwarna biru tua itu. Dia mengambil sarung tangan itu ragu-ragu dan mengusap pipinya yang basah akibat air mata. Pak Wijaya adalah orang yang sangat perasa. Dia dikenal seperti Bara, tegas dan disiplin. Akan teta
Rey berdiri mematung di depan pintu. Dia terus menatap wanita yang sedang duduk di kursi roda. Kedua mata mereka beradu satu sama lain. Rey terlihat mencoba untuk menerbitkan sebuah senyuman manisnya. Ya, itu adalah Bu Diana, Ibu Rey."Mama ...," lirih Rey."Rey ... Awas kamu, ya! Terima ini!" Bara melempar sendal Rey yang digunakan untuk melemparnya. Lemparan Bara pun tepat sasaran dan mengenai kepala Rey."Aduh," Rey mengelus-elus kepalanya. Dia menoleh ke belakang dan dia melompat, karena terkejut melihat Kakaknya yang saat ini tepat berada di hadapannya. Jarak mereka hanya tiga langkah saja.Rey tersenyum. "Hehe, Kak.""Ha he ha he." Bara memungut sendal yang ada di lantai dan memaksanya masuk ke dalam mulut Rey tetapi tidak bisa. "Makan tu sendal."Rey menepis tangan Bara. "Ih, galak amat, sih, Kak." Rey mengelap bibirnya dengan ujung kaosnya. "Pantesan nggak punya pacar," lirih Rey.Bara mendelik. Dia mendengar
Rey, Bara, Pak Wijaya, dan Bu Diana saat ini sedang asyik minum teh bersama di taman belakang rumah. Menyadari ketidakhadiran sang putri, Bu Diana menanyakan tentang Joy kepada semua orang yang berada di sana."Di mana Joy? Mama belum lihat dia," celetuk Bu Diana.Semua orang tersedak dan meletakkan cangkirnya di atas meja.Bara, Rey, dan Pak Wijaya saling bertatapan satu sama lain seakan-akan menanyakan bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?"Kenapa kalian saling menatap seperti itu. Itu bukan pertanyaan yang sulit," ucap Bu Diana.Bara menyenggol bahu Rey dengan bahunya. "Kamu Rey yang cerita," bisik Bara.Rey menyenggol bahu Papanya yang berada di sampingnya. "Papa aja yang cerita. Aku takut," bisik Rey.Pak Wijaya menunjuk dirinya. Seakan-akan bertanya, apakah harus aku yang menceritakan semua ini? Kedua putranya mengangguk cepat.Pak Wijaya menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam dan membua
Hati Diana serasa ditusuk seribu duri melihat anaknya yang sedang terbaring lemah di kasur.Kedua mata Joy sedikit terbuka saat mendengar suara seseorang yang sangat tidak asing dan sangat dekat dengan dirinya. Dia mengintip. Joy hanya ingin tahu siapa yang datang di ruangan ini.Hatinya berdegup kencang, ketika melihat kedua orang tuanya. Rasanya dia ingin menjerit bahagia dan memeluk kedua orang tuanya. Tapi, sayang seribu sayang. Ia tak bisa melakukan hal itu. Jika dia melakukan hal itu, maka semua orang akan tahu, bahwa dirinya sedang bersandiwara kepada semua orang."Mama ... Papa ... Kalian ada di sini," batin Joy.Oh, Tuhan. Rasanya saat ini Joy ingin menangis dan menjerit. Dia merasa sangat bimbang. Sebisa mungkin dia menahan air matanya agar tidak keluar."Mama Papa sudah kembali. Mama juga sudah terlihat sehat," batin Joy."Sayang ...," lirih Bu Diana sambil mengusap kepala Joy. Bu Diana memeluknya san
Mata Bu Diana berkeliling mengamati seisi ruangan. Matanya berkeliling sambil melebar. "Apa ini?"Seseorang dari balik lemari muncul. Dia mengenakan topeng. Apakah dia pria bertopeng yang selama ini mengganggu keluarga Wijaya?Bu Diana memundurkan langkah perlahan. Dengan cepat pria itu menutup dan mengunci pintu dari dalam. Tubuh Bu Diana gemetar ketakutan. Dia berteriak meminta tolong. Akan tetapi, ruangan tersebut kedap suara."Teriaklah sepuasmu. Suaramu tidak akan pernah terdengar. Bahkan, mungkin ini adalah jeritan terakhirmu," ucap Pria bertopeng.Bu Diana memundurkan langkahnya. "Siapa kamu?!"Pria itu membuka topengnya. Dan mata Bu Diana kembali melebar. Pria itu adalah orang yang sangat ia kenal dan ia kasihi.Bu Diana menggeleng. "Nggak. Ini semua nggak mungkin. Ini pasti cuma mimpi."Pria itu melangkah mendekati Bu Diana. "Ini semua bukan mimpi, Ma."Ma? Ya, pria itu adalah Bara.
Semua orang kembali mengerjakan pekerjaannya masing-masing seperti biasanya. Rey sudah berangkat ke kantor dan Naina sudah bersih, wangi, dan perut terisi.Naina berdiri menyandarkan kepalanya di pintu balkon kamarnya. Semuanya terjadi begitu cepat dan mengejutkan baginya. Tak ada lagi senyuman David dan kasih sayang Bu Diana.Rindu yang Naina rasa semakin menggebu-gebu. Dia rindu sekali dengan David. Ia pun memutuskan untuk membaca buku diary David untuk mengobati rasa rindunya. Ia juga memandangi foto David sampai puas. Beruntunglah ponsel Naina yang masuk ke dalam kolam bisa diperbaiki. Jika tidak, dia pasti sudah murka sekali kepada Sella. Bagaimana ia tidak murka. Semua foto-foto di ponselnya sangat berarti baginya.Naina mencari-cari keberadaan buku diary David. Ia biasanya meletakkannya di bawah tumpukan bajunya di lemari. Alangkah terkejutnya dia, ketika tidak menemukan benda itu di sana. Naina mengobrak-abrik lemarinya.
Naina dan Rey berciuman sekilas dan bergandengan menuju pintu kamar. Rey membuka pintu dan ia dikejutkan dengan kehadiran Sella yang sudah berdiri di depan pintunya sepagi ini. Begitu juga dengan Naina. Sella menunggu setidaknya selama tiga puluh menit di depan pintu. Sesekali dia duduk, ketika merasa lelah dan kembali berdiri."Happy birthday!" seru Sella. Ia bahkan tidak mengenakan pakaian suster hari ini. Dirinya justru memakai gaun panjang berwarna biru muda.Naina mengamati Sella dari bawah hingga atas merasa terheran-heran.Wajah Rey terlihat sangat merah bak udang rebus. Terlihat jelas wajahnya menggambarkan sebuah amarah. Bahkan urat di lehernya terlihat sangat jelas.Brak!Rey menjatuhkan kue yang dipegang Sella. Sella dan Naina pun merasa terkejut. Tapi, di sisi lain Naina merasa senang atas perlakuan Rey kepada Sella. Menurutnya, hal itu sudah benar."Beraninya kau. Apa yang kamu lakukan?!" gertak Rey.
Sella mengernyitkan dahi serta menyipitkan mata menatap Bibi Sri. Bibi Sri bisa membaca raut wajah Sella, bahwa dirinya tidak senang dengan pertanyaan yang diberikan kepadanya."Mengapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu? Jika aku memberitahumu apakah itu akan menguntungkan dirimu? Dan jika aku tidak memberitahu dirimu, apakah kamu akan merasa rugi?" tanya Sella."Tidak. Aku tidak akan rugi dan tidak akan beruntung. Aku hanya sekedar bertanya. Aku bisa melihat dirimu sedang lelah saat ini."Sella tersenyum tipis. Dia memejamkan mata sambil menghela napas lega."Aku tidak tertarik dengan semua itu. Lagipula, siapa aku hingga kamu bersenang hati akan mendengarkan segala keluh kesahku.""Aku hanya ingin mengetes dirimu saja. Aku juga tidak tertarik akan semua ceritamu," batin Bibi Sri.***Setelah selesai mengecek Joy, Sella pergi ke kamarnya. Tubuhnya terlihat lesu tak bersemangat.Sella mendongak dan melih
Bara tak tahan memikirkan semua ini. Dia berjalan cepat menuruni anak tangga. Kancing bajunya ia biarkan tak terkancing penuh.Kemudian, ia masuk ke dalam mobil dan melajukan dengan kecepatan tinggi.Satpam yang membuka gerbang pun turut bingung atas sikap Bara."Ini sudah malam. Mau ke mana Tuan pergi semalam ini?" Satpam itu menguap dan kembali duduk di pos.Tatapan Bara begitu serius. Tersadar dengan kancing bajunya yang tak terkancing sempurna, ia pun memberhentikan mobil di tepi jalan.Dengan cepat ia mengancing baju dan segera memakai jubah berwarna hitam. Tak lupa, ia juga memakai topeng yang biasa dipakai untuk melakukan kejahatan. Bara pun kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Kini ia berada di tempat yang begitu sunyi nan sepi. Tak ada rasa takut sedikitpun yang menyelimuti Bara. Di tempat itu terdapat banyak sekali pepohonan dan gelap. Bara memakirkan mobilnya di pinggir jalan dan menyam