Naina semakin dihantui rasa bersalah yang sangat besar kepada David. Dia tidak ingin harta David. Jika dia diberi pilihan untuk David hidup kembali atau menerima uangnya, dia pasti akan memilih pilihan pertama.
Naina menghela napas. "Bolehkah ini saya sumbangkan saja?"
"Disumbangkan?"
Naina mengangguk. "Iya. Aku tidak ingin ada masalah dikemudian hari karena ini. Hubunganku dengan keluarganya tidak begitu dekat. Aku hanya akrab dengannya saja."
Rey berada di belakang Naina. Dia mendengarkan semua percakapan Naina dan pengacara itu. Rey merasa sangat tak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa ada orang berpikir seperti itu? Itulah yang dipikirkan Rey soal David.
Semua orang sudah tidur malam ini di rumah Rey. Terkecuali, Bibi Sri. Dia merasa begitu gelisah dengan kedatangan Sella. Dia sangat berharap semuanya akan baik-baik saja dan segala hal buruk yang sudah terjadi tidak akan pernah terulang kembali.Bibi Sri beranjak dari kasur untuk mengambil segelas air, karena merasa haus. Ketika dia hendak memasuki dapur, dia melihat ada seseorang di sana dalam kegelapan. Tidak tahu apa yang sedang dilakukan orang itu di sana."Sedang apa kamu di sana?" tanya Bibi Sri dengan suara sedikit keras.Hal itu membuat orang tersebut terkejut dan buru-buru pergi dari sana sambil membawa sesuatu."Hei, Berhenti!" Ketika hendak menghidupkan lampu, orang tersebut sudah lenyap dari sana. Bibi Sri semakin merasa aneh dan takut. Dia curiga itu adalah Sella. Tetapi, mengapa dirinya terlihat seperti ketakutan dan lari?***Keesokan paginya Bibi Sri berniat untuk bercerita tentang kejadian semal
Tidak tahu dari mana Joy harus memulainya. Dia bingung bagaimana dia harus menceritakan ini semua kepada Naina. Joy takut, jika Naina mengetahui hal ini, dia akan merasa ketakutan. Dia tidak ingin Naina merasa khawatir berlebihan. Joy menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. "Pertama-tama, Kakak harus janji kalau kakak nggak akan kasih tau soal ini sama siapapun. Janji?" "Janji." Naina dan Joy menautkan jari kelingking mereka. "Jadi, begini ceritanya." Joy menceritakan segala hal yang ia ketahui dari awal hingga akhir. Mendengar awal dari cerita Joy, Naina tidak merasa begitu terkejut. Namun, ketika cerita itu mulai sampai pada intinya Naina mulai merasa gelisah dan terkejut. Bahkan saking gelisahnya, sepanjang Joy bercerita dia terus memainkan kedua tangannya. Joy menceritakan semua hal yang ia ketahui tentang Sella. Bagaimana tujuannya ke sini, apa saja yang dia katakan, dan apa saja yang telah direncanak
Akhirnya, Ibu Diana sembuh dari penyakitnya setelah sekian lama berobat di Singapura. Ibu Diana adalah Ibu Bara, Rey, dan Joy. Akan tetapi, wajahnya sekarang tidak seceria dulu. Wajahnya terlihat sayu dan sedikit pucat. Saat ini dia sedang berada di Bandara bersama Pak Wijaya. Pak Wijaya mendorong kursi roda yang diduduki oleh Bu Diana. Bu Diana selalu menggunakan syalnya untuk menjaga kehangatan tubuhnya. Dia merasa sangat tidak sabar untuk bertemu dengan putra dan putrinya setelah sekian lama. Bu Diana terus bertanya tentang bagaimana kondisi anak-anaknya kepada Pak Wijaya sepanjang perjalanan. Apakah Pak Wijaya mengetahui soal bencana yang terjadi di rumah dan keluarganya? Tentu saja dia tahu. Dia mengetahui semua informasi dari tangan kanannya. Jika dia tidak memikirkan pengobatan sang istri, dia pasti sudah pulang ke Indonesia sejak lama. Sebelum semua masalah yang terjadi mereda, dia tidak bisa tidur dengan tenang. Di sisi lain ada ist
"Baiklah Pak Rangga. Terima kasih atas semua informasinya," ucap Pak Wijaya lewat telepon. Ya, dia berbicara dengan Ayah Rose di pagi hari ini. Setiap pagi, Bara selalu rajin berolahraga sama seperti Rey. Ketika dia sampai di depan gerbang rumahnya, dia melihat Papanya yang sedang berdiri di atas balkon. Wajahnya terlihat sangat sedih. Bara menghentikan langkahnya dan mengusap keringat yang ada di wajahnya dengan handuk. Tak berpikir panjang, Bara pun pergi menghampiri Papanya di balkon lantai dua. Sesampainya di atas balkon, Bara mendekati Pak Wijaya dan memberikannya sebuah sarung tangan. Bara berdiri sejajar dengan Pak Wijaya. "Ambillah ini," tawar Bara. Pak Wijaya menunduk menatap sarung tangan berwarna biru tua itu. Dia mengambil sarung tangan itu ragu-ragu dan mengusap pipinya yang basah akibat air mata. Pak Wijaya adalah orang yang sangat perasa. Dia dikenal seperti Bara, tegas dan disiplin. Akan teta
Rey berdiri mematung di depan pintu. Dia terus menatap wanita yang sedang duduk di kursi roda. Kedua mata mereka beradu satu sama lain. Rey terlihat mencoba untuk menerbitkan sebuah senyuman manisnya. Ya, itu adalah Bu Diana, Ibu Rey."Mama ...," lirih Rey."Rey ... Awas kamu, ya! Terima ini!" Bara melempar sendal Rey yang digunakan untuk melemparnya. Lemparan Bara pun tepat sasaran dan mengenai kepala Rey."Aduh," Rey mengelus-elus kepalanya. Dia menoleh ke belakang dan dia melompat, karena terkejut melihat Kakaknya yang saat ini tepat berada di hadapannya. Jarak mereka hanya tiga langkah saja.Rey tersenyum. "Hehe, Kak.""Ha he ha he." Bara memungut sendal yang ada di lantai dan memaksanya masuk ke dalam mulut Rey tetapi tidak bisa. "Makan tu sendal."Rey menepis tangan Bara. "Ih, galak amat, sih, Kak." Rey mengelap bibirnya dengan ujung kaosnya. "Pantesan nggak punya pacar," lirih Rey.Bara mendelik. Dia mendengar
Rey, Bara, Pak Wijaya, dan Bu Diana saat ini sedang asyik minum teh bersama di taman belakang rumah. Menyadari ketidakhadiran sang putri, Bu Diana menanyakan tentang Joy kepada semua orang yang berada di sana."Di mana Joy? Mama belum lihat dia," celetuk Bu Diana.Semua orang tersedak dan meletakkan cangkirnya di atas meja.Bara, Rey, dan Pak Wijaya saling bertatapan satu sama lain seakan-akan menanyakan bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?"Kenapa kalian saling menatap seperti itu. Itu bukan pertanyaan yang sulit," ucap Bu Diana.Bara menyenggol bahu Rey dengan bahunya. "Kamu Rey yang cerita," bisik Bara.Rey menyenggol bahu Papanya yang berada di sampingnya. "Papa aja yang cerita. Aku takut," bisik Rey.Pak Wijaya menunjuk dirinya. Seakan-akan bertanya, apakah harus aku yang menceritakan semua ini? Kedua putranya mengangguk cepat.Pak Wijaya menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam dan membua
Hati Diana serasa ditusuk seribu duri melihat anaknya yang sedang terbaring lemah di kasur.Kedua mata Joy sedikit terbuka saat mendengar suara seseorang yang sangat tidak asing dan sangat dekat dengan dirinya. Dia mengintip. Joy hanya ingin tahu siapa yang datang di ruangan ini.Hatinya berdegup kencang, ketika melihat kedua orang tuanya. Rasanya dia ingin menjerit bahagia dan memeluk kedua orang tuanya. Tapi, sayang seribu sayang. Ia tak bisa melakukan hal itu. Jika dia melakukan hal itu, maka semua orang akan tahu, bahwa dirinya sedang bersandiwara kepada semua orang."Mama ... Papa ... Kalian ada di sini," batin Joy.Oh, Tuhan. Rasanya saat ini Joy ingin menangis dan menjerit. Dia merasa sangat bimbang. Sebisa mungkin dia menahan air matanya agar tidak keluar."Mama Papa sudah kembali. Mama juga sudah terlihat sehat," batin Joy."Sayang ...," lirih Bu Diana sambil mengusap kepala Joy. Bu Diana memeluknya san
Mata Bu Diana berkeliling mengamati seisi ruangan. Matanya berkeliling sambil melebar. "Apa ini?"Seseorang dari balik lemari muncul. Dia mengenakan topeng. Apakah dia pria bertopeng yang selama ini mengganggu keluarga Wijaya?Bu Diana memundurkan langkah perlahan. Dengan cepat pria itu menutup dan mengunci pintu dari dalam. Tubuh Bu Diana gemetar ketakutan. Dia berteriak meminta tolong. Akan tetapi, ruangan tersebut kedap suara."Teriaklah sepuasmu. Suaramu tidak akan pernah terdengar. Bahkan, mungkin ini adalah jeritan terakhirmu," ucap Pria bertopeng.Bu Diana memundurkan langkahnya. "Siapa kamu?!"Pria itu membuka topengnya. Dan mata Bu Diana kembali melebar. Pria itu adalah orang yang sangat ia kenal dan ia kasihi.Bu Diana menggeleng. "Nggak. Ini semua nggak mungkin. Ini pasti cuma mimpi."Pria itu melangkah mendekati Bu Diana. "Ini semua bukan mimpi, Ma."Ma? Ya, pria itu adalah Bara.