Sepi, itu gambaran yang nampak pada jalan yang dilalui dua orang anak laki-laki yang masih duduk di bangku kelas sebelas SMK. Kanan kiri jalan hanya nampak pepohonan di antara gelapnya malam. Lampu jalan menyinari terlihat temaram seolah kabur bersama pantulan cahaya sang rembulan. Hari sudah menjelang malam ketika dua orang pemuda yang berboncengan motor butut itu lewat. Keduanya baru pulang dari nongkrong. Semilir angin terasa semakin dingin menusuk tulang, suara binatang malam menambah ngeri.
"Adrian, gue kebelet kencing," desis seorang pemuda yang membonceng.
Andrian nama pemuda yang menyetir, sedangkan temannya itu bernama Wandi. Sahabat sejak jaman sekolah dasar. "Asem lo, tahan dong, kita berhenti di pom bensin nanti," cicit Andrian.
"Gue udah nggak tahan," jelasnya.
Adrian menghentikan laju motor, tepat di pinggir jalan di bawah pohon beringin. Menyeramkan, membuat bulu kuduk merinding. Keduanya turun dari motor, Adrian berdiri seperti satpam di dekat motor, sedangkan Wandi hendak berlari ke balik pohon beringin yang terikat kain warna putih entah abu-abu, terlihat samar dalam sinar rembulan malam. Desir angin mengibaskan dedaunan hingga terlihat ranting pohon beringin itu bergoyang. Tidak berapa lama muncul seorang laki-laki tua, berjenggot dengan pakaian hitam, hampir menabrak Wandi.
"Demit!" teriak pemuda itu membuat Adrian menoleh ke arah sahabatnya.
"Sembarangan kalau ngomong!" bentak sang kakek.
Wandi yang sudah tidak dapat menahan kencing akhirnya kencing di tempat. Didera perasaan takut dan menahan tidak memperdulikan lagi jika tanah di bawahnya basah terkena kencingnya. Membuat Adrian tidak dapat menahan tertawanya. Keras suara mengakibatkan kakek yang baru saja muncul terlihat marah kepada mereka.
“Hai, kalian!” terdengar suara kakek memanggil. Kedua tangan sudah berada di pinggang dengan tatapan tajam kepada keduanya.
“Kakek panggil kami?” tanya Adrian menyenggol Wandi agar memberi isyarat supaya turun dari motornya.
“Siapa lagi yang ada di sini? Mau apa kalian malam-malam ribut di tempat ini? Pergi cepat ...!” lantang kalimatnya terdengar dengan suasana sepi di sekitar tempat itu.
Membuat Adrian kaget dengan perintah kakek. Mereka baru saja bertemu sudah main perintah, begitu yang ada di pikirannya. Seumur-umur bari kali ini ia diusir orang yang baru dikenalnya, apalagi melihat daerah ini tidak ada seorang pun yang berhak memiliki.
“Memangnya kakek siapa? Berani ngusir kami?” ucap Adrian lantang.
Wandi yang melihat keanehan dari kakek segera menyikut lengan Adrian supaya tidak terpengaruh dengan ucapan sang kakek. Tetapi semua tidak dihiraukan Adrian, dia mendekati pohon beringin. Niat awal hendak pergi diurungkannya. Rasa penasaran merihat keanehan yang terjadi di sana. Dari mana datangnya kakek itu padahal tidak ada gubuk dan kendaraan di sekitar tempat itu. Sedangkan Wandi yang masih berada di dekat motornya berusaha menarik tangan Adrian supaya tidak mendekati kakek yang berada di sana.
“Yan, lu jangan ke sana! Nggak liat wajahnya serem?” mendekati pohon dan terlihat semakin menyeramkan wajahnya. Wandi yang mempunyai sifat penakut memegang erat tangan Adrian.
“Diem lu!” ucapnya menatap Wandi, kemudian menatap ke arah kakek, “heh, Kakek! Apa maksudnya ngusir kami dari sini?” lantang suaranya keras terdengar.
Bukan menjawab pertanyaan dari pemuda itu, kakek bergerak mendekati keduanya. Menatap dengan pandangan tajam ke arah Adrian dan Wandi kemudian berbalik. Adrian tidak merasakan takut sama sekali ia bahkan maju mendekati kakek yang duduk di atas batu besar di bawah pohon beringin.
Tubuhnya yang hanya berbalut kaos putih singlet dan celana kolor selutut, tampak sedikit membungkuk. Tidak ada yang istimewa darinya, hanya suaranya yang terdengar keras membuat dua anak terlihat saling memandang. Diantara perasaan takut dan rasa penasaran dengan sosok yang berada di depannya.
Pohon beringin yang terlihat tenang tiba-tiba bergerak pelan. Bahkan daun-daun jatuh berserakan semakin banyak. Suasana mendadak sepi meskipun ada beberapa kendaraan yang lewat. Malam yang gelap tanpa lampu di pinggir jalan cukup membuat sekeliling bertambah menyeramkan. Hanya bantuan sinar rembulan mereka dapat melihat sosok kakek yang ada di depannya.
“Pergilah dari sini! Ingat jangan kembali! Jika kalian melanggar akan ada musibah yang akan menimpa kalian atau keluarga kalian. Ngerti!”
Daerah Tawangmangu karanganyar memang terkenal dengan aura mistis. Apalagi dengan cerita pohon beringin yang konon menyimpan banyak misteri. Adrian dan Wandi sering mendengar cerita tentang hal ini. Tetapi keduanya tidak pernah mengalami kejadian aneh selama ini.
Dan sekarang mereka baru teringat, jika sekarang sedang berada di pinggir hutan perbatasan daerahnya. Tempat yang setiap hari mereka lalui saat pulang dan pergi ke sekolah. Jika suasana siang hari tidak seseram sekarang. Meskipun jalan besar yang dilalui kendaraan bus lintas propinsi tetapi sangat sepi. Bahkan daerah ini terkenal dengan kendaraan yang sering terkena musibah.
“Musibah? Kakek ini lucu, baru kali ini gue denger. Kami nggak ganggu kalian, apa kakek bukan manusia?” tanya Adrian lebih berani mendekat.
Kakek yang berdiri di hadan mereka dengan jarak beberapa meter terlihat bergerak ke arah mereka. Membuat kedua pemuda itu saling mengeratkan tangan. Adrian menahan bau pesing yang menyeruak ke dalam hidungnya berasal dari kencing Wandi yang berada di bawahnya. Ingin mengumpat Wandi tetapi suasana tidak mendukung. Akhirnya ia tahan meskipun ingin muntah karenanya.
“Bocah ngeyel! Mau jadi korban pohon ini? Pergi nggak! Cepat pergi, sebelum pohon ini marah dan mengganggu kalian!” teriak kakek lantang.
Keduanya terdiam dan saling memandang, hingga bentakan kakek yang lebih keras menyadarkan keduanya untuk segera pergi dari tempat itu. Sekilas terlihat beberapa bayangan yang melintas samar. Membuat bulu kuduk mereka berdiri.
“I- iya Kek, kami akan pergi. Jangan khawatir!” ucap Adrian sambil mencubit Wandi yang masih terdiam melihat kedatangan kakek yang tiba-tiba itu. Dan Akhirnya lari dengan kencang menuju motor CB milik Adrian yang diparkir agak jauh dari pohon beringin.
“Awas, jangan sampai kalian, jika datang lagi dan membuat keributan di tempat ini! Kalian bisa rasakan akibatnya kalo bandel!” ucap kakek dan tetap menatap tajam ke arah Adrian dan Wandi.
Akhirnya keduanya kembali naik sepeda motor milik Adrian dan bergegas menancapkan gas dengan cepat pergi dari tempa itu. Hawa pagi yang sangat dingin membuat keduanya menggigil dan saling memeluk di atas sepeda yang melaju kencang menembus jalan raya yang masih sepi.
“Kabur ...!”
Kekek yang sejak tadi berbicara dengan kedua pemuda itu perlahan berubah menjadi asap dan menghilang perlahan. Hanya suara binatang malam yang terdengar memenuhi sekitar tempat pohon beringin. Kembali pohon itu memperlihatkan aura mistisnya dengan bergerak meski tidak ada hembusan angin yang datang.
Adrian melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi meninggalkan pohon beringin yang terlihat bergoyang meskipun angin belum berhembus. Hari mulai gelap, sedangkan kakek misterius sudah kembali ke balik pohon dan menghilang. Suasana di sekitar tempat itu kembali sepi dan hanya beberapa kendaraan saja yang terlihat melintas.“Gile bener tuh si Kakek, edaann....!”“Diem lu ....!” bentak Adrian melihat situasi sekitar pohon yang terlihat seram.Motor Honda CB milik Adrian menyusuri tepi jalan raya hingga beberapa kilometer sampai di warung yang berada di tepi jalan raya. Suasana warung yang sepi, hanya segelintir orang makan di sana. Nampak sang pemilik seorang gadis ditemani pemuda yang berusia 20 tahunan. Mereka kompak melayani pembeli yang datang dengan ramah, meskipun masih sepi warungnya. “Kita makan di sini aja ya? Soto tuh, tulisannya! Lumayan buat ngisi perut,” ucap Adrian turun dari sepeda motornya diikuti Wandi dari belakang.“Selamat datang, mau pesan apa, Mas?”tanya se
Wandi yang gelisah akhirnya teringat jika Adrian selalu menyiman dompetnya di dalam jok sepeda motor. Kemudian dia melihat ke arah meja saat dia makan, matanya bersinar melihat kunci motor Adrian tergeletak di sana. Pelan dia menerobos orang yang menghalangi untuk menjangkau tempat duduknya tadi dan mengambil kunci motor itu.”Alhamdulillah akhirnya rejeki juga, dia lupa bawa kuncinya. Emang kalau anak baik pasti jodohnya juga orang baik.”“Mas, ayo cepetan bayar!” ucap pemilik warung menatap tajam ke arah Wandi. “Iyee ... dih gak sabar amat. Gue kagak bakalan kabur Bang, tenang saja. Gini gini, gue laki yee ... punya tanggung jawab,” ucap Wandi yang bertubuh kurus sambil keluar dari warung menuju ke arah motor yang terparkir di sisi warung.“Hei, jangan kabur lu, bayar dulu!” teriakan pemilik warung sontak mengagetkan para pengunjung warung yang sedang makan saat itu. Muka Wandi terasa merah terbakar menahan malu mendengarnya. Hingga berhenti dan menoleh ke arah abang pemilik warung
Sementara Adrian yang sejak tadi bersama dengan gadis cantik itu, kini duduk di bawah pohon beringin. Tidak ada yang tahu dia sampai di sana dengan naik apa? Sedangkan tangannya masih membawa tisue untuk mengelap bibirnya yang kotor bekas soto di warung tadi. Terlihat dari rona wajahnya berseri melihat pohon beringin yang besar. Gadis yang bersamanya juga nampak makan soto di sana dengan lahap. Keringat terlihat menetes di dahi, dan bibirnya yang merah berkali-kali maju dan berdesis kepedesan sambal.Adrian terlihat serius sambil tersenyum melihat ke arah gadis itu. Sering kali tangannya mencoba bergerak maju ke dekat gadis itu, tetapi selalu diurungkan saat gadis itu sudah mengelap keringat dengan tangannya. Berada berdua dengan angin sepoi yang mulai datang, daun pohon beringin yang berguguran tidak membuat Adrian tersadar. Dia terus saja melihat ke arah gadis cantik itu dengan sesekali mulutnya ikut berdesis.“Kepedesan ya? Mau minum?” ucap Adrian tanpa kedip menatap gadis cantik.
Adrian terbangun karena mendengar suara berisik di dekat telinganya. Napasnya tersengal berkali-kali terasa sesak. Perutnya terasa mual mau muntah. Perlahan dia membuka mata. Dan di depannya ada Wandi yang sedang memencet hidung Adrian dengan mulut mengaga bau.“Anjir, lu ngapain mencet hidung gue? Kurang asem awas lu, gue tinggalin lu di sini tau rasa! Ngapain lu? Woiii ... sakit tau!”“Heh, lu yang ngapain tidur di sini?”keluh Wadi kesal. Dia sudah satu jam menyusuri jalan gelap mencari Adrian.Wandi berteriak kencang di telinga Adrian yang berusaha mendorongnya. Adrian yang sedang kesal dengan Wandi akhirnya berdiri, dan melihat sekeliling. Matanya membola seakan mau loncat dari sarangnya. Adrian berulangkali menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah Wandi yang asyik memainkan kunci motornya. Ingatannya kembali kepada kejadian pagi tadi yang membuatnya dapat berkenalan dengan Hesta. Gadis yang cantik dan menggoda di matanya.“Hesta ... Hesta ....!”Wandi memegang dahi Adrian yang
Kedua anak itu saling berpandangan. Dilema dengan benda yang mereka temukan saat ini. Bagaimana tidak, kain yang berwarna krem dengan noda darah yang terlihat masih baru. Mungkinkan itu miliknya Hesta? Hal itu yang ada dipikiran Adrian. Mengingat hanya dia dan Hesta yang ada di tempat itu. Mungkikah sudah terjadi sesuatu dengan gadis itu? Panik hati Adrian melihat kain yang ada di depannya. Rasa takut kehilangan gadis yang baru saja di kenalnya.“K-kain ini, ada darahnya? Takut Yan, buang jauh jauh sonoohh...!”“Helehh ... ini apa an sih! Masih serem rambut kriting elu, dari kain ini,” ucap Adrian sambil mendorong tubuh Wandi yang sejak tadi menempel dan memegang bajunya.Bruk ....“Asem, tega ama temen.”“Lu bau, kagak nyadar apa? Ambil gih! Kunci motornya, biar gue yang urus kain ini. Nggak usah deket-deket kalo takut. Pergi sonoo ....!”Wandi mengambil kunci motor yang ada di tangan Adrian. Dia langsung pergi dari tempat itu, dan duduk di atas sepeda motor . Rambutnya yang keriti
Wandi terus mengamati sikap Adrian yang sangat jauh berbeda dari hari biasanya. Emosinya suka meledak dan tidak perduli dengan siapa dia bicara. Tapi ada yang aneh, kenapa dia tidak ngerjain gadis tetangganya itu? Biasanya juga sampai mereka ketakutan, gak bakal godain Adrian lagi. Wajah dia memang tampan banyak menarik perhatian banyak orang. Para perempuan sering merasa gemas, ingin menggoda dan dekat dengannya. Kulit sawo matang, hidung mancung dan tubuh proposional. Idaman gadis jaman sekarang. Berbeda jauh dengan Wandi. Jangan berpikiran dia kembaran Adrian. Seratus delapan puluh derajat perbedaan fisik dan sifatnya, bisa ketawa ngakak jika mereka sudah berdampingan.Wandi mengikuti Adrian hingga teras rumah, matanya melotot melihat pemandangan yang ada di depannya. Entahlah, apakah Adrian melihat atau tidak. Ada makhluk hitam dengan sorot mata tajam bersinar menatap ke arahnya. Seketika bulu kuduk Wandi berdiri, jika dilihat pakai lup pasti sudah seperti duri yang berdiri tegak
Wandi akhirnya berdiri, dan berjalan ke tempat pencucian piring. Kasihan jika melihat anak kecil itu. Namun dia sangat penurut dengan Adrian. Semua perintahnya selulu dia turuti, meskipun dengan mulut ngedumel seperti kereta api panjangnya. Cucian piring se ember sudah beres, sekarang Wandi masuk ke kamar mandi, sementara Adrian pergi ke kamarnya.Suara guyuran air sangat berisik, pertanda Wandi membuang air sangat banyak. Entah cara mandi yang bagaimana sampai menghabiskan air satu tandon kamar mandi. Barangkali dia nyelam masuk ke dalam bak, habis itu dibuang semua airnya.“Seger banget ternyata, airnya lebih dingin dari rumah. Bisa seharian gue berendam dalam kamar mandi. Eh ... ups ... bisa berabe kalo kedengeran ama Adrian. Bisa diusir dari rumahnya ini, hahaha ... dasar nasib anak ganteng seperti gue, selalu dapat rejeki tak terduga. Puas banget mandinya hehehe ....” ocehnya sendiri di dalam kamar mandi.Wandi tersenyum sambil mengibaskan rambutnya yang keriting. Rambut yang ter
Adrian dan Wandi masih tergelak meski menyadari jika kondisi mereka tidak bersahabat. Beruntung kamar Adrian yang berlantai porselin berwarna gelap hingga masih terlihat tetesan air kencing tergenang di lantai. Namun posisi keduanya yang berada di pojok kamar lebih memudahkan air tidak melebar ke mana- mana. Dapat dibayangkan jika hal itu terjadi meski airnya tidak banyak namun bau pesing pasti menyebar penuh di dalam kamar.“Gila ... ini napa kita sampai ngompol gini? Kurang asem, gara-gara suara kagak bener nih!”Wandi menggerutu sambil memegang kolormya yang sudah basah. Demikian juga dengan Adrian. Keduanya masih tetap menempelkan telinga sesekali ke dinding kamar. Tentu suara dari sebelah kamar dapat mereka dengar dengan jelas, tidak ada plafon terpasang di dua kamar tersebut. Adrian yang biasanya galak dengan Wandi kini terlihat bengong seperti bukan sosok yang dikenal Wandi selama ini.“Lu kenapa jadi rada konslet sih. Biasanya juga gue yang eror, apa jangan-jangan ini bawaan d
Perlahan-lahan Hesta menampakkan diri dengan wujud aslinya. Sontak kedua remaja tersebut berpelukan dan berteriak dengan keras. “HANTUUUUU ….” “HANTUUUUU ….” Semua penghuni rumah masuk ke kamar Adrian. Badrun yang baru sampai menyerobot lengan kedua orang tua Adrian yang berdiri di depan pintu. Mereka melongo melihat sosok Hesta yang menyeramkan dengan rambut terurai panjang. Tawa keras Hesta memenuhi kamar Adrian hingga orang -orang berlari keluar, tapi naas di depan pintu sudah ada kakek dan bapaknya Hesta yang menghadang mereka. Semua orang yang berada di dalam rumah berhenti dan saling berangkulan. Naluri Adrian merasa dekat dengan sosok menyeramkan yang ada di depannya. Indra penciuman yang tidak asing meski dengan penampakan yang berbeda. dengan hati berdebar, Adrian mendekati sosok yang tadi berada di kasur dan sudah mengikuti mereka hingga ke ruang tamu. “L-lo … lo Hesta bu-bu-kan?” tanya Adrian dengan gugup. “Ya Adrian, ternyata lo masih mengenali gue. Cinta memang inda
Kakek terus berusaha menenangkan Hesta yang gelisah melihat Adrian dan Wandi jatuh dari motor. Hesta terus meronta minta dilepaskan dari cengkeraman belenggu dunia lain dan tidak bisa keluar dari sana. Hingga kakek kewalahan dan memanggil penguasa alam ghaib untuk memberikan peringatan kepada Hesta. “Hesta, jika kamu tidak menurut apa kata kami. Maka dengan terpaksa kami akan mengeluarkan kamu dari dunia kita dan tidak bisa kembali lagi!” bentak penguasa alam ghaib yang sudah kesal dengan tingkah Hesta akhir-akhir ini. Hesta mengerutkan alisnya yang tebal dan hitam. Dia melihat ke arah kakek yang menatap tajam kepadanya. Hal yang tidak diinginkan ketika hati tidak sesuai dengan keadaan. Hesta terdiam tidak berani menatap penguasa alam dedemit yang tampak menyeramkan seolah ingin menghukumnya. Selama hidup di dunia dedemit baru kali ini Hesta membuat ulah dan merepotakan bangsanya sendiri. Dia hanya menuruti egonya untuk bisa bersatu dengan bangsa manusia yang sudah mencuri hatinya.
Wandi menatap Adrian dengan tajam. Tidak percaya jika sahabatnya tetap berhubungan dengan makluk astral tersebut. Janjinya dengan orang tua Adrian tidak akan diingkari, dia akan tetap menjaga Adrian dari makhluk Astral yang selama ini menganggu hidupnya. Balapan motor tetap berlangsung. Sementara Kakek yang yang berada di belakang penonton tetap berdiri mengawasi Adrian dan Wandi yang berada bersebrangan. Remaja itu hanya diam, dia sudah salah tidak bisa menghindar dari Hesta. “Wan, kira-kira jika aku kembali bertemu dengan Hesta, Kakeknya marah tidak?” tanya Adrian. “Lo udah kedanan bener sama Demit itu. Susah ngomong ama, lo. Di mana-mana, bukan hanya kakeknya Demit itu yang marah, tapi orang tua lo juga pasti marah. Lo masih waras, nggak sih?” “Ya … mo gimana lagi … Hestanya yang nemui gue. Masak gue tolak. Adan lo tahu, hawa saat ketemu dia sangat ehem …” kata Adrian sembari memejamkan mata. Pletak “Udah kena guna-guna anak ini. Tidak bisa dibiarkan.” Wandi kemudian menyeret
Selagi Ardi berteriak dari atas tangga, Wandi yang ada di bawah terkejut. Tangan yang memegang tangga menyenggol dan mengakibatkan tangga oleng dan ambruk. Beruntung Ardi memegang tembok bagian atas. Dia tidak terjatuh tapi bergantung di dinding dan celana pendek yang melorot hingga terlihat pantat. “Woii!! Lu malah ketawa, buruan tangan gue udah pegel!” teriak Ardi melihat Wandi tidak segera menolongnya. Dengan menahan tawa, Wandi segera mengambil tangga besi dan menempatkan tepat di sebelah Ardi yang menggantung. Setelah kaki Ardi menginjak tangga, buru-buru memberitahu jika Adrian dalam keadaan seperti orang tidur. Tapi naas belum sempat Ardi melihat kondisi di dalam kamar mandi, pintu terbuka mengarah keluar an menghantam tangga. Otomatis tangga yang menjadi injakan Ardi ambruk lagi dan Adri menggantung di dinding. “Astagahh …! Wandi!! Kalian tega ama guee!!” teriaknya dari atas. Adrian yang baru keluar dari dalam, tidak menghiraukan kehadiran kedua temannya. Membuat Ardi dan W
Adrian membuka mata dan marah karena tubuhnya sudah basah. Dia menatap nanar ke arah Wandi yang berdiri tepat di sebelah kasurnya. Dengan cepat pemuda itu berdiri dan mencengkeram krah bajunya. Tapi belum sempat menarik baju Wandi, seseorang menariknya ke belakang. Jumari dengan cepat menarik tubuh anaknya menjauh dari Wandi.“Kamu ini apa-apa an? Mau berkelahi? Udah ditolongin masih masih tidak sadar,” kata Jumari dari samping anaknya dengan menahan tangan Adrian.“Bapak! Dia sudah menyiram aku dengan air. Kurang ajar benget, tidak sopan. Nih lihat, kasurku basah baju juga basah!” kata Adrian dengan dengan napas memburu.“Duduk!” perintah Jumari menarik Adrian duduk di tepi ranjang yang basah karena air. “Sekarang kamu liat, tuh jam berapa?” tangan Jumari menunjuk ke arah jam yang ada di meja.“Astagahh … itu bener jamnya?”Adrian melongo melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.00. Itu artinya dia sudah melewatkan waktu untuk bermain balap motor pagi itu. Padahal acara lomb
Sementara di tempat lain, Adrian dan kedua temannya yang kesal akibat ulah Wandi segera pergi dari stan penjual martabak. Mereka menuju ke arah parkiran yang jaraknya agak jauh dari tempat asal berteduh. Niat mereka bertiga hendak meninggalkan Wandi dan Tina, yang sudah curang dan tidak lagi memikirkan teman. Setelah mendapatkan motor dari tukang parrkir, ketiganya bergegas melajukan kendaraan menuju desa tempat tinggal mereka. Sepanjang jalan, baik Adrian dan kedua temannya memaki Wandi yang tidak setia kawan ucapan kotor. Tidak sadar, jika dari arah belakang ada bayangan hitam mengikutinya. Bayangan perempuan dengan rambut panjang menyeringai menatap Adrian dan kedua teman yang melajukan sepeda motor dengan kencang. Hujan gerimis di tengah malam tidak mereka perdulikan, hingga laju kotor berhenti di perbatasan desa. “Yan, gue kog merasa ada yang membuntuti kita,” kata Ardi sambil bersedekap. “Kagak usah mikir yang aneh-aneh. Gue bingung, entar gimana ngomong sama Emaknya Wandi dan
Tiang Stan martabak yang terbuat dari besi, seketika bergoyang. Dua muda-mudi mendadak panik dan saling memeluk. Hidung Tina merasakan bau tidak enak dari Wandi, matanya menunduk melihat celana Wandi yang basah. Seketika Tina mendorong pemuda itu hingga jatuh ke tanah yang basah akibat terkena air hujan. Wandi bersungut, mau marah tidak mungkin dengan ceweknya. Memang dia merasa pantas untuk didorong karena sudah membuat Tina jijik dengannya. Bibir tebal Wandi mengurai senyum sambil meringis menahan ngilu di pantat. Dengan menarahn berat badan dia berusaha berdiri dan mendekat ke Tina yang gemetar melihat sosok di di depan yang menyeramkan. “Sabar, Tin! Gue pasti akan lindungi, Elo. Sory, i-ini celana ….” “U-udah, Wan! Buruan, kita pergi dari sini! Kayaknya emang ….” Wandi segera menarik tangan Tina untuk diajak keluar dari stan penjual martabak. Suasana di luar terlihat sepi, bahkan tidak ada orang yang lalu lalang seperti saat masuk ke stan martabak. Bulu kuduk Wandi dan Tina seke
Adrian yang keluar dari warung soto, merasakan hal yang terasa aneh di sekitarnya. Suasana malam yang ramai terasa sunyi bagi Adrian. Hujan rintik mulai turun membuat ketiga pemuda itu berteduh di bawah stan penjual martabak, yang ada di dekat parkir sepeda motor. Mereka mulai bosan karena Wandi dan Tina tidak juga muncul sementara waktu malam semakin bergulir hingga lebih dari pukul 22.00. Bukan bertambah sepi alun-alun kota, tetapi semaki ramai karena besuk adalah Minggu. Hal ini tentu tidak seperti yang dirasakan ketiga pemuda yang sekarang mulai menghisap rokok untuk menghilangkan kantuk dan jenuh menunggu Wandi yang tidak juga muncul. Sesekali tertawa dengan celoteh murahan gaya anak muda. “Yan, Lo kalau punya cewek lagi tipenya kayak apa?” tanya Ardi menepuk bahu Andrian. Dia ingat betul, jika temannya ini dulu alergi sekali dengan yang namanya cewek, apalagi yang manja seperti Tina. “Lo seperti kagak ngerti gue aja. Lo sendiri mau tipe kayak siapa? Pasti sama kalian berdua,
“Wandi, lo kagak apel ke rumah Tina?” ucap Adrian sambil mengunyah roti jawa rasa singkong di teras rumah.Semenjak kejadian hilangnya Adrian, Wandi semakin dekat dengan Tina. Gadis yang awalnya menyukai Adrian kini berbalik arah, nengok ke temannya karean merasa diabaikan oleh Adrian. Meskipun wajah Wandi pas-pasan, tetapi Tina nyaman jalan bersama dengan Wandi. Keduanya sangat kompak dan sering jalan bersama, hingga melupakan Adrian yang belum punya pasangan.“Lo tadi kayaknya bilang mo pergi ama Emak. Emang mau ke mana? Udah punya gebetan baru, kayaknya?” tanya Wandi mengunyah roti yang rasa singkong dengan lahap.“Suntuk di rumah, apa-apa diawasin terus. Udah kayak satpam 24 jam tuh Emak sama Bapak. Yuk kita ke mana gitu? Ada pasar malem kagak? Mumpung malam minggu, sepi di rumah. Emak ama Bapak, lagi sibuk di kamar.”Wandi tertawa,”Lo makanya cari cewek! Jangan inget demit itu lagi. Yuk, cabut!”Sementara di rumah Adrian terlihat sangat tenang. Kedua orang tuanya membiarkan anak