Wandi yang gelisah akhirnya teringat jika Adrian selalu menyiman dompetnya di dalam jok sepeda motor. Kemudian dia melihat ke arah meja saat dia makan, matanya bersinar melihat kunci motor Adrian tergeletak di sana. Pelan dia menerobos orang yang menghalangi untuk menjangkau tempat duduknya tadi dan mengambil kunci motor itu.
”Alhamdulillah akhirnya rejeki juga, dia lupa bawa kuncinya. Emang kalau anak baik pasti jodohnya juga orang baik.”
“Mas, ayo cepetan bayar!” ucap pemilik warung menatap tajam ke arah Wandi.
“Iyee ... dih gak sabar amat. Gue kagak bakalan kabur Bang, tenang saja. Gini gini, gue laki yee ... punya tanggung jawab,” ucap Wandi yang bertubuh kurus sambil keluar dari warung menuju ke arah motor yang terparkir di sisi warung.
“Hei, jangan kabur lu, bayar dulu!” teriakan pemilik warung sontak mengagetkan para pengunjung warung yang sedang makan saat itu. Muka Wandi terasa merah terbakar menahan malu mendengarnya. Hingga berhenti dan menoleh ke arah abang pemilik warung.
”Gue kagak kabur Bang, nih mo ambil duit di jok motor. Ayo ikutin kalo gue bohong!” Teriak Wandi tanpa memperdulikan orang-orang yang menatapnya curiga. Wajahnya sudah merah menahan malu dicurigai gak bisa bayar makanan. Apes benar nasib Wandi hari ini.
Dengan langkah lesu meskipun sudah makan semangkuk soto ayam, Wandi membuka jok motor. Entah mimpi apa yang dialami Wandi, hingga hari ini dia begitu sial. Bertemu kakek yang lebih mirip demit, kemudian ditinggalkan sahabatnya yang tergoda gadis molek.Perasaannya tidak karuan, tidak tahu apakah dompet Adrian ada di dalam atau tidak? Pikiran buruk mulai membayang jika tidak menemukan dompet Adrian di sana. Matanya menciut saat membuka jok motor, takut menerina kenyataan buruk. Wandi sering mendapat bom kejutan dari Adrian, jantungnya selalu berdetak setiap kali dia ditinggalkan teman baiknya itu sendirian.
Tetapi saat membuka jok motor.
“Yesss ... alhamdulillah, Tuhan masih berpihak pada gue, orang ganteng ini. Yesss ... awas lu Yan! Sekali lagi ngerjain gue, gak bakalan gue ....”
Belum selesai Wandi bicara sendiri, pemilik warung sudah memanggilnya untuk cepat membayar tagihan makanan. Dan terpaksa tanpa sepengetahuan temannya, Wandi mengambil dompet Adrian yang selalu di letakkan di dalam jok sepeda motor. Dompet warna hitam kulit yang berisi uang seratus ribu rupiah dan STNK sepeda motor milik Adrian. Segera Wandi mengambil uang dan memberikannya kepada pemilih warung yang terus mengawasinya sejak tadi.
“Nih Bang, gue gak bohong? Gue bayar lunas. Eh, tapi kog banyak amat nih tagihannya? Bukannya tadi cuma berdua? Jangan bilang gadis tadi juga mau dibayari?”
“Emang iya, lu nggak tahu kalo dia belum bayar? Tanya sono ama teman lu, yang udah kabur duluan sama dia!” ucap mas pemilik warung sambil memberikan uang kembalian.
“Bang, tadi tau kemana temen gue pergi? Gara-gara Abang gue ditinggal nih.”
Abang pemilik warung melihat ke arah Wandi sambil membereskan meja yang penuh dengan mangkuk kotor. Dia meletakkan mangkuk-mangkuk itu di tempat pencucian, kemudian berjalan mendekati Wandi yang masih menatap ke arahnya. Untung suasana warung agak sepi, para pengunjung sudah mulai pergi, sebagian yang ada di gubuk juga tinggal dua orang yang duduk di sana.
“Lu kagak tau, kalo temen lu tadi jalan ke arah sono? Gue juga heran napa dia ikut cewek itu? Tadi mo ngingetin tapi warung gue masih rame trus lupa.”
“Ke arah mana Bang? Naik apa dia tadi? Motornya juga masih ada di sini? Kagak mungkin jalan kaki lah? Dia gak suka jalan kaki.”
Abang pemilik warung menunjuk ke arah jalan raya, arah balik Wandi dan Adrian datang ke warungnya. Membuat Abang sedikit bingung karena melihat tidak ada sosok yang dia maksud, padahal baru beberapa menit yang lalu. Pandangannya masih lurus menatap ke arah jalan raya yang sudah banyak lalu lalang kendaraan. Kemudian dia melangkah diikuti Wandi yang masih menatap ke arahnya dengan mulut mengaga. Hampir saja menetes air liur dari bibirnya.
“Heh Mas, tadi gue liat temen lu jalan ke arah sono. Tapi kagak tahu kemana lagi? Kog gak ada? Hati-hati aja, karena daerah sini masih rawan makhluk beda alam. Jangan-jangan temen lu tadi kebawa sama makhluk itu.”
“Aduh Bang, jangan ngadi-ngadi deh. Gue merinding ini, oke gue susul dia tapi ... kog arahnya ke sono ya Bang? Bener ya?”
Wandi sedikit ragu, karena yang ditunjukkan
Tak ada jawaban dari pemilik warung, sekedar anggukan dan masuk ke dalam warung. Tinggal Wandi yang termenung di dekat sepeda motot Adrian. Antara bimbang untuk mencari temannya itu, atau pulang ke rumah bilang ke orang tua Adrian. Dia melihat lagi ke arah yang di tunjuk Abang pemilik warung tak ada orang yang berjalan ke arah dia dan Adrian tadi datang. Aran pohon beringin yang bergoyang, meskipun tidak ada angin yang datang.
Dengan langkah lunglai Wandi berjalan ke arah sepeda motor, dan menyalakan mesin motor. Meskipun dengan bimbang dan sesekali menatap ke arah warung memastikan ucapan pemilik warung tadi benar, akhirnya Wandi memutuskan menuju arah pohon beringin.
“Semoga Adrian tidak ada masalah. Ya Tuhan, tolong bantu gue, gak mau ditinggal kayak gini? Sumpah gue bingung gak punya SIM juga, nanti kalo ada polisi gimana? Dasar Adrian kampret lu napa ninggalin gue,” gumamnya menyalakan sepeda motor.
Kesialan Wandi bertambah, dilabrak seorang Ibu yang akan keluar dari area parkir dan terhalang oleh motornya. Gelap malam yang membuatnya semakin takut dan merinding segera pergi dari warung soto itu.
Pikiran Wandi masih masih tertuju dengan Adrian yang begitu mudahnya meninggalkan dirinya seorang diri. Apalagi semenjak kedatangan gadis cantik yang di warung tadi. Ada yang aneh dengan gadis itu. Senyum misterius di mata Wandi. Meskipun cantik gadis itu terlihat kuno dan wajah sedikit pucat. Memang tubuhnya mempesona dengan pakaian yang transparan memperlihatkan samar lingserinya. Semua orang yang melihatnya pasti akan tergoda. Apalagi dilihat dari wajahnya yang masih sangat muda seusia anak SMA.
Sepanjang perjalanan menuju pohon beringin hanya wajah gadis cantik dan Adrian yang ada di benak Wandi. Jalan raya yang masih sepi membuatnya leluasa menjalan sepeda motornya. Matanya jelalatan melihat sekeliling, berharap menemukan temannya sepanjang perjalanan. Bahkan ia tidak tahu di mana temannya saat ini berada. Semilir angin malam membuat bulu kuduknya berdiri. Jaket yang ia kenakanpun juga sudah terasa semakin dingin.
“Ya Tuhan, semoga kamu tidak ada kenapa-kenapa Brow, bisa dimarahi orang tua elu nih gue.”
Sementara Adrian yang sejak tadi bersama dengan gadis cantik itu, kini duduk di bawah pohon beringin. Tidak ada yang tahu dia sampai di sana dengan naik apa? Sedangkan tangannya masih membawa tisue untuk mengelap bibirnya yang kotor bekas soto di warung tadi. Terlihat dari rona wajahnya berseri melihat pohon beringin yang besar. Gadis yang bersamanya juga nampak makan soto di sana dengan lahap. Keringat terlihat menetes di dahi, dan bibirnya yang merah berkali-kali maju dan berdesis kepedesan sambal.Adrian terlihat serius sambil tersenyum melihat ke arah gadis itu. Sering kali tangannya mencoba bergerak maju ke dekat gadis itu, tetapi selalu diurungkan saat gadis itu sudah mengelap keringat dengan tangannya. Berada berdua dengan angin sepoi yang mulai datang, daun pohon beringin yang berguguran tidak membuat Adrian tersadar. Dia terus saja melihat ke arah gadis cantik itu dengan sesekali mulutnya ikut berdesis.“Kepedesan ya? Mau minum?” ucap Adrian tanpa kedip menatap gadis cantik.
Adrian terbangun karena mendengar suara berisik di dekat telinganya. Napasnya tersengal berkali-kali terasa sesak. Perutnya terasa mual mau muntah. Perlahan dia membuka mata. Dan di depannya ada Wandi yang sedang memencet hidung Adrian dengan mulut mengaga bau.“Anjir, lu ngapain mencet hidung gue? Kurang asem awas lu, gue tinggalin lu di sini tau rasa! Ngapain lu? Woiii ... sakit tau!”“Heh, lu yang ngapain tidur di sini?”keluh Wadi kesal. Dia sudah satu jam menyusuri jalan gelap mencari Adrian.Wandi berteriak kencang di telinga Adrian yang berusaha mendorongnya. Adrian yang sedang kesal dengan Wandi akhirnya berdiri, dan melihat sekeliling. Matanya membola seakan mau loncat dari sarangnya. Adrian berulangkali menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah Wandi yang asyik memainkan kunci motornya. Ingatannya kembali kepada kejadian pagi tadi yang membuatnya dapat berkenalan dengan Hesta. Gadis yang cantik dan menggoda di matanya.“Hesta ... Hesta ....!”Wandi memegang dahi Adrian yang
Kedua anak itu saling berpandangan. Dilema dengan benda yang mereka temukan saat ini. Bagaimana tidak, kain yang berwarna krem dengan noda darah yang terlihat masih baru. Mungkinkan itu miliknya Hesta? Hal itu yang ada dipikiran Adrian. Mengingat hanya dia dan Hesta yang ada di tempat itu. Mungkikah sudah terjadi sesuatu dengan gadis itu? Panik hati Adrian melihat kain yang ada di depannya. Rasa takut kehilangan gadis yang baru saja di kenalnya.“K-kain ini, ada darahnya? Takut Yan, buang jauh jauh sonoohh...!”“Helehh ... ini apa an sih! Masih serem rambut kriting elu, dari kain ini,” ucap Adrian sambil mendorong tubuh Wandi yang sejak tadi menempel dan memegang bajunya.Bruk ....“Asem, tega ama temen.”“Lu bau, kagak nyadar apa? Ambil gih! Kunci motornya, biar gue yang urus kain ini. Nggak usah deket-deket kalo takut. Pergi sonoo ....!”Wandi mengambil kunci motor yang ada di tangan Adrian. Dia langsung pergi dari tempat itu, dan duduk di atas sepeda motor . Rambutnya yang keriti
Wandi terus mengamati sikap Adrian yang sangat jauh berbeda dari hari biasanya. Emosinya suka meledak dan tidak perduli dengan siapa dia bicara. Tapi ada yang aneh, kenapa dia tidak ngerjain gadis tetangganya itu? Biasanya juga sampai mereka ketakutan, gak bakal godain Adrian lagi. Wajah dia memang tampan banyak menarik perhatian banyak orang. Para perempuan sering merasa gemas, ingin menggoda dan dekat dengannya. Kulit sawo matang, hidung mancung dan tubuh proposional. Idaman gadis jaman sekarang. Berbeda jauh dengan Wandi. Jangan berpikiran dia kembaran Adrian. Seratus delapan puluh derajat perbedaan fisik dan sifatnya, bisa ketawa ngakak jika mereka sudah berdampingan.Wandi mengikuti Adrian hingga teras rumah, matanya melotot melihat pemandangan yang ada di depannya. Entahlah, apakah Adrian melihat atau tidak. Ada makhluk hitam dengan sorot mata tajam bersinar menatap ke arahnya. Seketika bulu kuduk Wandi berdiri, jika dilihat pakai lup pasti sudah seperti duri yang berdiri tegak
Wandi akhirnya berdiri, dan berjalan ke tempat pencucian piring. Kasihan jika melihat anak kecil itu. Namun dia sangat penurut dengan Adrian. Semua perintahnya selulu dia turuti, meskipun dengan mulut ngedumel seperti kereta api panjangnya. Cucian piring se ember sudah beres, sekarang Wandi masuk ke kamar mandi, sementara Adrian pergi ke kamarnya.Suara guyuran air sangat berisik, pertanda Wandi membuang air sangat banyak. Entah cara mandi yang bagaimana sampai menghabiskan air satu tandon kamar mandi. Barangkali dia nyelam masuk ke dalam bak, habis itu dibuang semua airnya.“Seger banget ternyata, airnya lebih dingin dari rumah. Bisa seharian gue berendam dalam kamar mandi. Eh ... ups ... bisa berabe kalo kedengeran ama Adrian. Bisa diusir dari rumahnya ini, hahaha ... dasar nasib anak ganteng seperti gue, selalu dapat rejeki tak terduga. Puas banget mandinya hehehe ....” ocehnya sendiri di dalam kamar mandi.Wandi tersenyum sambil mengibaskan rambutnya yang keriting. Rambut yang ter
Adrian dan Wandi masih tergelak meski menyadari jika kondisi mereka tidak bersahabat. Beruntung kamar Adrian yang berlantai porselin berwarna gelap hingga masih terlihat tetesan air kencing tergenang di lantai. Namun posisi keduanya yang berada di pojok kamar lebih memudahkan air tidak melebar ke mana- mana. Dapat dibayangkan jika hal itu terjadi meski airnya tidak banyak namun bau pesing pasti menyebar penuh di dalam kamar.“Gila ... ini napa kita sampai ngompol gini? Kurang asem, gara-gara suara kagak bener nih!”Wandi menggerutu sambil memegang kolormya yang sudah basah. Demikian juga dengan Adrian. Keduanya masih tetap menempelkan telinga sesekali ke dinding kamar. Tentu suara dari sebelah kamar dapat mereka dengar dengan jelas, tidak ada plafon terpasang di dua kamar tersebut. Adrian yang biasanya galak dengan Wandi kini terlihat bengong seperti bukan sosok yang dikenal Wandi selama ini.“Lu kenapa jadi rada konslet sih. Biasanya juga gue yang eror, apa jangan-jangan ini bawaan d
Suara Wandi terdengar lumayan keras dari luar kamar. Adrian yang baru saja keluar dari kamar mandi merasa heran. Ini bukan yang peetama kali Wandi berteriak ketakutan. Bergegas dia berlajan ke kamarnya melupakan celana basah yang masih tergantung di pintu kamar mandi.Adrian tiba-tiba masuk dan memukul kepala Wandi dengan keras. Kalau dihitung, seharian tadi Wandi sudah menerima pukulan beberapa kali. Untungnya kepala Wandi seperti batu, hingga tidak mungkin bonyok meski dipukul berkali-kali. Pukulan Adrian juga tidak serius seperti preman atau jago silat. Hanya ingin membuat Wandi jera saja, tapi ternyata meleset. Wandi tidak pernah takut kepada Adrian yang sudah dianggapnya seperti saudara.“Astaga! Lu jangan kelewatan! Ini kepala ... bikan batu, enak aja main pukul.”“Hehh ... lu ngapain? Cepet ganti celana! Udah bau kemana-mana itu.”“Iyee ... gue juga udah risih, gara-gara elu sih ini. Jadi gue terus yang dia gangguin.”“Apa? Lu ngomong apa? Yang jelas! Jangan ambigu gitu, udah c
Semakin dekat mereka dari kamar kedua orang Adrian untuk mencari sumber suara, semakin ke arah kamar kedua orang tua Adrian. Keduanya berhenti dan saling memandang. Telunjuk jari tangan mereka masing-masing berada di bibir, saling memberi isyarat untuk diam. Sedangkan telinga mereka tempelkan di pintu kamar. Tidak sadar jika mereka terlalu keras menempelkan telinga ke pintu, hingga pintu terdorong. “Astaga ....! Lu gimana sih? Main dorong aja,” bentak Adrian mendorong tubuh Wandi lebih masuk ke dalam kamar.Keduanya melihat ke sekeliling ruangan kamar, tidak ada tanda-tanda orang melakukan aktifitas yang seperti mereka bayangkan. Ranjang juga rapi, sudut ruang juga terlihat bersih. Mata Adrian melihat benda hitam kecil yang ada di atas meja. Terdengar suara gemerisik dari sudut ruangan. Perlahan mendekat dengan tetap berjingkat ke sumber suara agar tidak ketahuan.Dua anak itu saling menatap, Adrian menggelengkan kepala memberi isyarat pada Wandi untuk mengikutinya. Suara yang mereka
Perlahan-lahan Hesta menampakkan diri dengan wujud aslinya. Sontak kedua remaja tersebut berpelukan dan berteriak dengan keras. “HANTUUUUU ….” “HANTUUUUU ….” Semua penghuni rumah masuk ke kamar Adrian. Badrun yang baru sampai menyerobot lengan kedua orang tua Adrian yang berdiri di depan pintu. Mereka melongo melihat sosok Hesta yang menyeramkan dengan rambut terurai panjang. Tawa keras Hesta memenuhi kamar Adrian hingga orang -orang berlari keluar, tapi naas di depan pintu sudah ada kakek dan bapaknya Hesta yang menghadang mereka. Semua orang yang berada di dalam rumah berhenti dan saling berangkulan. Naluri Adrian merasa dekat dengan sosok menyeramkan yang ada di depannya. Indra penciuman yang tidak asing meski dengan penampakan yang berbeda. dengan hati berdebar, Adrian mendekati sosok yang tadi berada di kasur dan sudah mengikuti mereka hingga ke ruang tamu. “L-lo … lo Hesta bu-bu-kan?” tanya Adrian dengan gugup. “Ya Adrian, ternyata lo masih mengenali gue. Cinta memang inda
Kakek terus berusaha menenangkan Hesta yang gelisah melihat Adrian dan Wandi jatuh dari motor. Hesta terus meronta minta dilepaskan dari cengkeraman belenggu dunia lain dan tidak bisa keluar dari sana. Hingga kakek kewalahan dan memanggil penguasa alam ghaib untuk memberikan peringatan kepada Hesta. “Hesta, jika kamu tidak menurut apa kata kami. Maka dengan terpaksa kami akan mengeluarkan kamu dari dunia kita dan tidak bisa kembali lagi!” bentak penguasa alam ghaib yang sudah kesal dengan tingkah Hesta akhir-akhir ini. Hesta mengerutkan alisnya yang tebal dan hitam. Dia melihat ke arah kakek yang menatap tajam kepadanya. Hal yang tidak diinginkan ketika hati tidak sesuai dengan keadaan. Hesta terdiam tidak berani menatap penguasa alam dedemit yang tampak menyeramkan seolah ingin menghukumnya. Selama hidup di dunia dedemit baru kali ini Hesta membuat ulah dan merepotakan bangsanya sendiri. Dia hanya menuruti egonya untuk bisa bersatu dengan bangsa manusia yang sudah mencuri hatinya.
Wandi menatap Adrian dengan tajam. Tidak percaya jika sahabatnya tetap berhubungan dengan makluk astral tersebut. Janjinya dengan orang tua Adrian tidak akan diingkari, dia akan tetap menjaga Adrian dari makhluk Astral yang selama ini menganggu hidupnya. Balapan motor tetap berlangsung. Sementara Kakek yang yang berada di belakang penonton tetap berdiri mengawasi Adrian dan Wandi yang berada bersebrangan. Remaja itu hanya diam, dia sudah salah tidak bisa menghindar dari Hesta. “Wan, kira-kira jika aku kembali bertemu dengan Hesta, Kakeknya marah tidak?” tanya Adrian. “Lo udah kedanan bener sama Demit itu. Susah ngomong ama, lo. Di mana-mana, bukan hanya kakeknya Demit itu yang marah, tapi orang tua lo juga pasti marah. Lo masih waras, nggak sih?” “Ya … mo gimana lagi … Hestanya yang nemui gue. Masak gue tolak. Adan lo tahu, hawa saat ketemu dia sangat ehem …” kata Adrian sembari memejamkan mata. Pletak “Udah kena guna-guna anak ini. Tidak bisa dibiarkan.” Wandi kemudian menyeret
Selagi Ardi berteriak dari atas tangga, Wandi yang ada di bawah terkejut. Tangan yang memegang tangga menyenggol dan mengakibatkan tangga oleng dan ambruk. Beruntung Ardi memegang tembok bagian atas. Dia tidak terjatuh tapi bergantung di dinding dan celana pendek yang melorot hingga terlihat pantat. “Woii!! Lu malah ketawa, buruan tangan gue udah pegel!” teriak Ardi melihat Wandi tidak segera menolongnya. Dengan menahan tawa, Wandi segera mengambil tangga besi dan menempatkan tepat di sebelah Ardi yang menggantung. Setelah kaki Ardi menginjak tangga, buru-buru memberitahu jika Adrian dalam keadaan seperti orang tidur. Tapi naas belum sempat Ardi melihat kondisi di dalam kamar mandi, pintu terbuka mengarah keluar an menghantam tangga. Otomatis tangga yang menjadi injakan Ardi ambruk lagi dan Adri menggantung di dinding. “Astagahh …! Wandi!! Kalian tega ama guee!!” teriaknya dari atas. Adrian yang baru keluar dari dalam, tidak menghiraukan kehadiran kedua temannya. Membuat Ardi dan W
Adrian membuka mata dan marah karena tubuhnya sudah basah. Dia menatap nanar ke arah Wandi yang berdiri tepat di sebelah kasurnya. Dengan cepat pemuda itu berdiri dan mencengkeram krah bajunya. Tapi belum sempat menarik baju Wandi, seseorang menariknya ke belakang. Jumari dengan cepat menarik tubuh anaknya menjauh dari Wandi.“Kamu ini apa-apa an? Mau berkelahi? Udah ditolongin masih masih tidak sadar,” kata Jumari dari samping anaknya dengan menahan tangan Adrian.“Bapak! Dia sudah menyiram aku dengan air. Kurang ajar benget, tidak sopan. Nih lihat, kasurku basah baju juga basah!” kata Adrian dengan dengan napas memburu.“Duduk!” perintah Jumari menarik Adrian duduk di tepi ranjang yang basah karena air. “Sekarang kamu liat, tuh jam berapa?” tangan Jumari menunjuk ke arah jam yang ada di meja.“Astagahh … itu bener jamnya?”Adrian melongo melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.00. Itu artinya dia sudah melewatkan waktu untuk bermain balap motor pagi itu. Padahal acara lomb
Sementara di tempat lain, Adrian dan kedua temannya yang kesal akibat ulah Wandi segera pergi dari stan penjual martabak. Mereka menuju ke arah parkiran yang jaraknya agak jauh dari tempat asal berteduh. Niat mereka bertiga hendak meninggalkan Wandi dan Tina, yang sudah curang dan tidak lagi memikirkan teman. Setelah mendapatkan motor dari tukang parrkir, ketiganya bergegas melajukan kendaraan menuju desa tempat tinggal mereka. Sepanjang jalan, baik Adrian dan kedua temannya memaki Wandi yang tidak setia kawan ucapan kotor. Tidak sadar, jika dari arah belakang ada bayangan hitam mengikutinya. Bayangan perempuan dengan rambut panjang menyeringai menatap Adrian dan kedua teman yang melajukan sepeda motor dengan kencang. Hujan gerimis di tengah malam tidak mereka perdulikan, hingga laju kotor berhenti di perbatasan desa. “Yan, gue kog merasa ada yang membuntuti kita,” kata Ardi sambil bersedekap. “Kagak usah mikir yang aneh-aneh. Gue bingung, entar gimana ngomong sama Emaknya Wandi dan
Tiang Stan martabak yang terbuat dari besi, seketika bergoyang. Dua muda-mudi mendadak panik dan saling memeluk. Hidung Tina merasakan bau tidak enak dari Wandi, matanya menunduk melihat celana Wandi yang basah. Seketika Tina mendorong pemuda itu hingga jatuh ke tanah yang basah akibat terkena air hujan. Wandi bersungut, mau marah tidak mungkin dengan ceweknya. Memang dia merasa pantas untuk didorong karena sudah membuat Tina jijik dengannya. Bibir tebal Wandi mengurai senyum sambil meringis menahan ngilu di pantat. Dengan menarahn berat badan dia berusaha berdiri dan mendekat ke Tina yang gemetar melihat sosok di di depan yang menyeramkan. “Sabar, Tin! Gue pasti akan lindungi, Elo. Sory, i-ini celana ….” “U-udah, Wan! Buruan, kita pergi dari sini! Kayaknya emang ….” Wandi segera menarik tangan Tina untuk diajak keluar dari stan penjual martabak. Suasana di luar terlihat sepi, bahkan tidak ada orang yang lalu lalang seperti saat masuk ke stan martabak. Bulu kuduk Wandi dan Tina seke
Adrian yang keluar dari warung soto, merasakan hal yang terasa aneh di sekitarnya. Suasana malam yang ramai terasa sunyi bagi Adrian. Hujan rintik mulai turun membuat ketiga pemuda itu berteduh di bawah stan penjual martabak, yang ada di dekat parkir sepeda motor. Mereka mulai bosan karena Wandi dan Tina tidak juga muncul sementara waktu malam semakin bergulir hingga lebih dari pukul 22.00. Bukan bertambah sepi alun-alun kota, tetapi semaki ramai karena besuk adalah Minggu. Hal ini tentu tidak seperti yang dirasakan ketiga pemuda yang sekarang mulai menghisap rokok untuk menghilangkan kantuk dan jenuh menunggu Wandi yang tidak juga muncul. Sesekali tertawa dengan celoteh murahan gaya anak muda. “Yan, Lo kalau punya cewek lagi tipenya kayak apa?” tanya Ardi menepuk bahu Andrian. Dia ingat betul, jika temannya ini dulu alergi sekali dengan yang namanya cewek, apalagi yang manja seperti Tina. “Lo seperti kagak ngerti gue aja. Lo sendiri mau tipe kayak siapa? Pasti sama kalian berdua,
“Wandi, lo kagak apel ke rumah Tina?” ucap Adrian sambil mengunyah roti jawa rasa singkong di teras rumah.Semenjak kejadian hilangnya Adrian, Wandi semakin dekat dengan Tina. Gadis yang awalnya menyukai Adrian kini berbalik arah, nengok ke temannya karean merasa diabaikan oleh Adrian. Meskipun wajah Wandi pas-pasan, tetapi Tina nyaman jalan bersama dengan Wandi. Keduanya sangat kompak dan sering jalan bersama, hingga melupakan Adrian yang belum punya pasangan.“Lo tadi kayaknya bilang mo pergi ama Emak. Emang mau ke mana? Udah punya gebetan baru, kayaknya?” tanya Wandi mengunyah roti yang rasa singkong dengan lahap.“Suntuk di rumah, apa-apa diawasin terus. Udah kayak satpam 24 jam tuh Emak sama Bapak. Yuk kita ke mana gitu? Ada pasar malem kagak? Mumpung malam minggu, sepi di rumah. Emak ama Bapak, lagi sibuk di kamar.”Wandi tertawa,”Lo makanya cari cewek! Jangan inget demit itu lagi. Yuk, cabut!”Sementara di rumah Adrian terlihat sangat tenang. Kedua orang tuanya membiarkan anak