Sementara Adrian yang sejak tadi bersama dengan gadis cantik itu, kini duduk di bawah pohon beringin. Tidak ada yang tahu dia sampai di sana dengan naik apa? Sedangkan tangannya masih membawa tisue untuk mengelap bibirnya yang kotor bekas soto di warung tadi. Terlihat dari rona wajahnya berseri melihat pohon beringin yang besar. Gadis yang bersamanya juga nampak makan soto di sana dengan lahap. Keringat terlihat menetes di dahi, dan bibirnya yang merah berkali-kali maju dan berdesis kepedesan sambal.
Adrian terlihat serius sambil tersenyum melihat ke arah gadis itu. Sering kali tangannya mencoba bergerak maju ke dekat gadis itu, tetapi selalu diurungkan saat gadis itu sudah mengelap keringat dengan tangannya. Berada berdua dengan angin sepoi yang mulai datang, daun pohon beringin yang berguguran tidak membuat Adrian tersadar. Dia terus saja melihat ke arah gadis cantik itu dengan sesekali mulutnya ikut berdesis.
“Kepedesan ya? Mau minum?” ucap Adrian tanpa kedip menatap gadis cantik.
“Eh enggak, nanti aja! Gue habiskan dulu, ini enak sekali sotonya! Mantap! Lu tadi dah makan sotonya kan?" ucap gadis itu tanpa melihat ke arah Adrian yang sedang asyik menatap ke arahnya seraya menganguk.
"Emm ... boleh kenalan nggak, Neng?"ucap Adrian sambil mengangkat tangan untuk minta jabat tangan.
Akan tetapi gadis itu tidak memperdulikan, bahkan dia terus saja makan dan menghabiskan satu mangkok soto ayam. Sesekali menyeka keringat dan mengelap dahi dengan tangannya, terkadang dengan baju yang dia kenakan. Membuat parasnya yang cantik terlihat polos tanpa riasan apa pun itu terlihat seksi di mata Adrian. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Adrian, bahkan keadaan sekeliling yang kotor tidak dia hiraukan sama sekali. Hingga beberapa menit berlalu, soto sudah habis ludes tak bersisa. Gadis itu kembali duduk berjejer dengan Adrian dengan tangan diremas di pangkuannya.
“Lu tadi nanya apa? Mo kenalan ama gue? Hehehe kenapa baru sekarang nanyanya? Enggak apa sih tapi ada syaratnya.”
“Apa?” Tatapan Adrian semakin tak berkedip. Perasaannya sudah tertarik dengan gadis yang sekarang duduk tepat di hadapannya.“Enggak sulit kog, hanya sayang saja ama gue. Jangan pikirkan gue itu siapa dan dari mana asalnya, itu saja. Lu tahu enggak, kalo daerah sini itu angker? Lu nggak takut gitu, berkenalan ama gue?” ucap gadis itu tanpa menoleh sedikit pun ke Adrian.
Sementara Adrian hanya tersenyum mendengarnya. Bahkan duduknya dia geser lebih mendekat ke arah gadis itu. Dia bahkan tidak perduli jika yang dipakai alas adalah tanah yang belum kering dan ada kotoran burung. Jauh berbeda saat dia bersama dengan Wandi, temannya yang justru masih duduk pada tanah yang tidak ada kotoran burungnya.
“Baiklah gue terima syaratnya. Tak apalah asalkan bisa kenalan ama elu udah cukup.Gue gak merasa apa-apa tuh, gimana? Boleh nggak kenalan? Nama gue Adrian setiap hari lewat sini.”
Adrian menoleh ke sekeliling, dan kembali menatap gadis cantik yang mulai menguap berkali-kali. Terlihat dia menahan kantuk dengan mengerjapkan mata dan menguceknya berkali-kali. Gadis dengan rambut panjang terurai itu kemudian memutar tubuhnya menghadap Adrian dengan jarak satu meter.
“Hehehe ... gue biasa di panggil dengan nama Hesta, setiap hari mainnya di sini, kagak punya temen sih. Itu rumah gue ada di belakang pohon ini,” jawabnya sambil matanya mulai mengerling manja ke arah Adrian yang tidak lepas melihat ke arahnya.
“Oh, Hesta nama elu? Cantik ....”
“Hahaha ... ada aja lu ini. Mana ada gadis hutan yang cantik, mata udah rabun kali hahaha ... atau ini hanya rayuan lu saja? Kagak bakal mempan, yang ada lu terpesona ama gue, ya kan?” ucapnya lirih dengan kerling mata menggoda."Kelihatannya tadi sepertinya ngantuk?"
"Hehehe ... enggak jadi, batal kantuknya."
Keduanya bercanda dengan obrolan gaya anak muda jaman sekarang, sesekali saling menepuk bahu atau tangan bahkan sesekali mencubit dan tertawa terpingkal-pingkal. Adrian tidak menyadari jika sudah berada lama sekali di bawah pohon beringin hingga bayangan pohon, sama persis di bawahnya. Kedua anak muda itu tidak menyadari jika pohon beringin sesekali bertiup dan merontokkan daunnya meskipun tidak ada angin. Jika orang lain yang melihat, pasti sudah berpikiran lain. Lalu lalang kendaran yang terlihat dari jauh lewat tidak mereka pedulikan.
“Lu sekolah di mana? Boleh dong besok gue jemput?”
“Kagak sekolah, mana ada gadis hutan sekolah.”Tiba-tiba terdengar suara serak memanggil nama gadis itu.
“Hesta, lu di mana?”
Hesta dan Adrian seketika menoleh. Nampak kakek tua yang tadi pagi menemui Adrian dan Wandi datang masih dengan mengenakan kaos singlet dan celana pendek selutut yang sudah sobek bagian bawah. Dia datang menghampiri kedua anak beda jenis dan menatap tajam ke arah Adrian. Kakek yang datang dengan membawa botol air, segera mendekat kearah Adrian yang baru saja berdiri bersama dengan Hesta.
“Lu lagi? Napa ke sini? Udah gue bilang jangan ke sini lagi! Tetap aja bandel, gue gak mau nanggung kalau terjadi sesuatu dengan elu,” lantang suara kakek sambil menatap tajam pada Adrian yang duduk tak jauh dari Hesta.
“Kakek ini kenapa ya? Ada masalah dengan Adrian? Dia teman Hesta yang baru Kek. Memangnya kalian sudah saling kenal? Kakek nggak asyik banget, nggak suka cucunya dapet teman main,” ucap Hesta dengan wajah cemberut dan bergerak maju di depan Adrian. Dia segera berdiri di hadapan Adrian menghalangi kakek yang mendekatinya. Nampaknya dia sudah nyaman berteman dengan cowok ganteng yang di temui di warung tadi.“Bukan begitu Hesta, lu tahu dia laki-laki? Nggak pantes teman ama elu, mending cari teman cewek itu aja. Lagian ini udah siang, kenapa kalian nggak pada pulang ke rumah? Kasihan Emak udah nunggu dari tadi.”
“Hesta udah pamit kog tadi, nggak mungkin dicariin. Kakek ngapain di sini? Ganggu aja,” ucap Hesta dengan nada kesal.
Adrian yang sejak tadi hanya jadi penonton akhirnya maju berdiri sejajar dengan Hesta dan memegang tangan gadis itu. Tetapi Hesta menolak dengan pelan dan menepisnya. Hal ini tentu saja membuat Adrian kaget, namun berusaha untuk tersenyum ke arah gadis yang sudah membelanya. Gadis cantik yang sudah menarik perhatian sejak di warung, hingga melupakan temannya. Bercanda cukup lama hingga tidak terasa waktu sudah beranjak malam. Hal yang aneh bagi Adrian yang tak pernah dekat dengan cewek pasti membuatnya berbeda.
Baru saja akan membuka mulut untuk bicara, tiba-tiba Adrian merasakan gelap dan tidak ingat apapun. Tubuhnya tergeletak di tanah yang sudah mulai basah dan penuh dengan kotoran burung dan daun. Adrian sendrian sementara kakek dan Hesta sudah menghilang dari tempat itu.
Adrian terbangun karena mendengar suara berisik di dekat telinganya. Napasnya tersengal berkali-kali terasa sesak. Perutnya terasa mual mau muntah. Perlahan dia membuka mata. Dan di depannya ada Wandi yang sedang memencet hidung Adrian dengan mulut mengaga bau.“Anjir, lu ngapain mencet hidung gue? Kurang asem awas lu, gue tinggalin lu di sini tau rasa! Ngapain lu? Woiii ... sakit tau!”“Heh, lu yang ngapain tidur di sini?”keluh Wadi kesal. Dia sudah satu jam menyusuri jalan gelap mencari Adrian.Wandi berteriak kencang di telinga Adrian yang berusaha mendorongnya. Adrian yang sedang kesal dengan Wandi akhirnya berdiri, dan melihat sekeliling. Matanya membola seakan mau loncat dari sarangnya. Adrian berulangkali menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah Wandi yang asyik memainkan kunci motornya. Ingatannya kembali kepada kejadian pagi tadi yang membuatnya dapat berkenalan dengan Hesta. Gadis yang cantik dan menggoda di matanya.“Hesta ... Hesta ....!”Wandi memegang dahi Adrian yang
Kedua anak itu saling berpandangan. Dilema dengan benda yang mereka temukan saat ini. Bagaimana tidak, kain yang berwarna krem dengan noda darah yang terlihat masih baru. Mungkinkan itu miliknya Hesta? Hal itu yang ada dipikiran Adrian. Mengingat hanya dia dan Hesta yang ada di tempat itu. Mungkikah sudah terjadi sesuatu dengan gadis itu? Panik hati Adrian melihat kain yang ada di depannya. Rasa takut kehilangan gadis yang baru saja di kenalnya.“K-kain ini, ada darahnya? Takut Yan, buang jauh jauh sonoohh...!”“Helehh ... ini apa an sih! Masih serem rambut kriting elu, dari kain ini,” ucap Adrian sambil mendorong tubuh Wandi yang sejak tadi menempel dan memegang bajunya.Bruk ....“Asem, tega ama temen.”“Lu bau, kagak nyadar apa? Ambil gih! Kunci motornya, biar gue yang urus kain ini. Nggak usah deket-deket kalo takut. Pergi sonoo ....!”Wandi mengambil kunci motor yang ada di tangan Adrian. Dia langsung pergi dari tempat itu, dan duduk di atas sepeda motor . Rambutnya yang keriti
Wandi terus mengamati sikap Adrian yang sangat jauh berbeda dari hari biasanya. Emosinya suka meledak dan tidak perduli dengan siapa dia bicara. Tapi ada yang aneh, kenapa dia tidak ngerjain gadis tetangganya itu? Biasanya juga sampai mereka ketakutan, gak bakal godain Adrian lagi. Wajah dia memang tampan banyak menarik perhatian banyak orang. Para perempuan sering merasa gemas, ingin menggoda dan dekat dengannya. Kulit sawo matang, hidung mancung dan tubuh proposional. Idaman gadis jaman sekarang. Berbeda jauh dengan Wandi. Jangan berpikiran dia kembaran Adrian. Seratus delapan puluh derajat perbedaan fisik dan sifatnya, bisa ketawa ngakak jika mereka sudah berdampingan.Wandi mengikuti Adrian hingga teras rumah, matanya melotot melihat pemandangan yang ada di depannya. Entahlah, apakah Adrian melihat atau tidak. Ada makhluk hitam dengan sorot mata tajam bersinar menatap ke arahnya. Seketika bulu kuduk Wandi berdiri, jika dilihat pakai lup pasti sudah seperti duri yang berdiri tegak
Wandi akhirnya berdiri, dan berjalan ke tempat pencucian piring. Kasihan jika melihat anak kecil itu. Namun dia sangat penurut dengan Adrian. Semua perintahnya selulu dia turuti, meskipun dengan mulut ngedumel seperti kereta api panjangnya. Cucian piring se ember sudah beres, sekarang Wandi masuk ke kamar mandi, sementara Adrian pergi ke kamarnya.Suara guyuran air sangat berisik, pertanda Wandi membuang air sangat banyak. Entah cara mandi yang bagaimana sampai menghabiskan air satu tandon kamar mandi. Barangkali dia nyelam masuk ke dalam bak, habis itu dibuang semua airnya.“Seger banget ternyata, airnya lebih dingin dari rumah. Bisa seharian gue berendam dalam kamar mandi. Eh ... ups ... bisa berabe kalo kedengeran ama Adrian. Bisa diusir dari rumahnya ini, hahaha ... dasar nasib anak ganteng seperti gue, selalu dapat rejeki tak terduga. Puas banget mandinya hehehe ....” ocehnya sendiri di dalam kamar mandi.Wandi tersenyum sambil mengibaskan rambutnya yang keriting. Rambut yang ter
Adrian dan Wandi masih tergelak meski menyadari jika kondisi mereka tidak bersahabat. Beruntung kamar Adrian yang berlantai porselin berwarna gelap hingga masih terlihat tetesan air kencing tergenang di lantai. Namun posisi keduanya yang berada di pojok kamar lebih memudahkan air tidak melebar ke mana- mana. Dapat dibayangkan jika hal itu terjadi meski airnya tidak banyak namun bau pesing pasti menyebar penuh di dalam kamar.“Gila ... ini napa kita sampai ngompol gini? Kurang asem, gara-gara suara kagak bener nih!”Wandi menggerutu sambil memegang kolormya yang sudah basah. Demikian juga dengan Adrian. Keduanya masih tetap menempelkan telinga sesekali ke dinding kamar. Tentu suara dari sebelah kamar dapat mereka dengar dengan jelas, tidak ada plafon terpasang di dua kamar tersebut. Adrian yang biasanya galak dengan Wandi kini terlihat bengong seperti bukan sosok yang dikenal Wandi selama ini.“Lu kenapa jadi rada konslet sih. Biasanya juga gue yang eror, apa jangan-jangan ini bawaan d
Suara Wandi terdengar lumayan keras dari luar kamar. Adrian yang baru saja keluar dari kamar mandi merasa heran. Ini bukan yang peetama kali Wandi berteriak ketakutan. Bergegas dia berlajan ke kamarnya melupakan celana basah yang masih tergantung di pintu kamar mandi.Adrian tiba-tiba masuk dan memukul kepala Wandi dengan keras. Kalau dihitung, seharian tadi Wandi sudah menerima pukulan beberapa kali. Untungnya kepala Wandi seperti batu, hingga tidak mungkin bonyok meski dipukul berkali-kali. Pukulan Adrian juga tidak serius seperti preman atau jago silat. Hanya ingin membuat Wandi jera saja, tapi ternyata meleset. Wandi tidak pernah takut kepada Adrian yang sudah dianggapnya seperti saudara.“Astaga! Lu jangan kelewatan! Ini kepala ... bikan batu, enak aja main pukul.”“Hehh ... lu ngapain? Cepet ganti celana! Udah bau kemana-mana itu.”“Iyee ... gue juga udah risih, gara-gara elu sih ini. Jadi gue terus yang dia gangguin.”“Apa? Lu ngomong apa? Yang jelas! Jangan ambigu gitu, udah c
Semakin dekat mereka dari kamar kedua orang Adrian untuk mencari sumber suara, semakin ke arah kamar kedua orang tua Adrian. Keduanya berhenti dan saling memandang. Telunjuk jari tangan mereka masing-masing berada di bibir, saling memberi isyarat untuk diam. Sedangkan telinga mereka tempelkan di pintu kamar. Tidak sadar jika mereka terlalu keras menempelkan telinga ke pintu, hingga pintu terdorong. “Astaga ....! Lu gimana sih? Main dorong aja,” bentak Adrian mendorong tubuh Wandi lebih masuk ke dalam kamar.Keduanya melihat ke sekeliling ruangan kamar, tidak ada tanda-tanda orang melakukan aktifitas yang seperti mereka bayangkan. Ranjang juga rapi, sudut ruang juga terlihat bersih. Mata Adrian melihat benda hitam kecil yang ada di atas meja. Terdengar suara gemerisik dari sudut ruangan. Perlahan mendekat dengan tetap berjingkat ke sumber suara agar tidak ketahuan.Dua anak itu saling menatap, Adrian menggelengkan kepala memberi isyarat pada Wandi untuk mengikutinya. Suara yang mereka
Kedua pemuda itu berdiri diam mematung di depan pintu, sambil menggigit jari. Untuk beberapa saat lamanya mereka terdiam. Melihat sosok yang sudah ada di depannya dengan perasaan yang tidak dapat digambarkan.“Ya-Yan, lu kagak t-takut?”Dengan berani Wandi berbicara sambil meraih tangan Adrian untuk digenggam. Kontan hal ini menimbulkan kejutan buat sahabatnya. Dia tidak pernah sembarangan dipegang oleh orang lain. Biasanya Wandi menjadi bulan-bulanan sikap jahilnya.“T-tidak, na-napa? Kagak ada apa-apa,” kilah Adrian berusaha untuk menepis tangan Wandi. Namun tidak dapat dia pungkiri jika persaan takut menyerang saat ini. Terlihat dari bahasa tubuhnya yanga gemetar.Wandi melotot melihat ke arah Adrian, tawa renyah mengembang dari bibir tebalnya.“Hahaha .... apa an, katanya gak takut. Tuh kali lu! Napa gemetaran kayak gitu?”Adrian menoleh ke arah Wandi, “Opo opo? Ngomong aja lu!”Segera melangkahkan kakinya duduk kembali di ruang tamu diikuti Wandi. Tawa renyah masih terdengat dari
Perlahan-lahan Hesta menampakkan diri dengan wujud aslinya. Sontak kedua remaja tersebut berpelukan dan berteriak dengan keras. “HANTUUUUU ….” “HANTUUUUU ….” Semua penghuni rumah masuk ke kamar Adrian. Badrun yang baru sampai menyerobot lengan kedua orang tua Adrian yang berdiri di depan pintu. Mereka melongo melihat sosok Hesta yang menyeramkan dengan rambut terurai panjang. Tawa keras Hesta memenuhi kamar Adrian hingga orang -orang berlari keluar, tapi naas di depan pintu sudah ada kakek dan bapaknya Hesta yang menghadang mereka. Semua orang yang berada di dalam rumah berhenti dan saling berangkulan. Naluri Adrian merasa dekat dengan sosok menyeramkan yang ada di depannya. Indra penciuman yang tidak asing meski dengan penampakan yang berbeda. dengan hati berdebar, Adrian mendekati sosok yang tadi berada di kasur dan sudah mengikuti mereka hingga ke ruang tamu. “L-lo … lo Hesta bu-bu-kan?” tanya Adrian dengan gugup. “Ya Adrian, ternyata lo masih mengenali gue. Cinta memang inda
Kakek terus berusaha menenangkan Hesta yang gelisah melihat Adrian dan Wandi jatuh dari motor. Hesta terus meronta minta dilepaskan dari cengkeraman belenggu dunia lain dan tidak bisa keluar dari sana. Hingga kakek kewalahan dan memanggil penguasa alam ghaib untuk memberikan peringatan kepada Hesta. “Hesta, jika kamu tidak menurut apa kata kami. Maka dengan terpaksa kami akan mengeluarkan kamu dari dunia kita dan tidak bisa kembali lagi!” bentak penguasa alam ghaib yang sudah kesal dengan tingkah Hesta akhir-akhir ini. Hesta mengerutkan alisnya yang tebal dan hitam. Dia melihat ke arah kakek yang menatap tajam kepadanya. Hal yang tidak diinginkan ketika hati tidak sesuai dengan keadaan. Hesta terdiam tidak berani menatap penguasa alam dedemit yang tampak menyeramkan seolah ingin menghukumnya. Selama hidup di dunia dedemit baru kali ini Hesta membuat ulah dan merepotakan bangsanya sendiri. Dia hanya menuruti egonya untuk bisa bersatu dengan bangsa manusia yang sudah mencuri hatinya.
Wandi menatap Adrian dengan tajam. Tidak percaya jika sahabatnya tetap berhubungan dengan makluk astral tersebut. Janjinya dengan orang tua Adrian tidak akan diingkari, dia akan tetap menjaga Adrian dari makhluk Astral yang selama ini menganggu hidupnya. Balapan motor tetap berlangsung. Sementara Kakek yang yang berada di belakang penonton tetap berdiri mengawasi Adrian dan Wandi yang berada bersebrangan. Remaja itu hanya diam, dia sudah salah tidak bisa menghindar dari Hesta. “Wan, kira-kira jika aku kembali bertemu dengan Hesta, Kakeknya marah tidak?” tanya Adrian. “Lo udah kedanan bener sama Demit itu. Susah ngomong ama, lo. Di mana-mana, bukan hanya kakeknya Demit itu yang marah, tapi orang tua lo juga pasti marah. Lo masih waras, nggak sih?” “Ya … mo gimana lagi … Hestanya yang nemui gue. Masak gue tolak. Adan lo tahu, hawa saat ketemu dia sangat ehem …” kata Adrian sembari memejamkan mata. Pletak “Udah kena guna-guna anak ini. Tidak bisa dibiarkan.” Wandi kemudian menyeret
Selagi Ardi berteriak dari atas tangga, Wandi yang ada di bawah terkejut. Tangan yang memegang tangga menyenggol dan mengakibatkan tangga oleng dan ambruk. Beruntung Ardi memegang tembok bagian atas. Dia tidak terjatuh tapi bergantung di dinding dan celana pendek yang melorot hingga terlihat pantat. “Woii!! Lu malah ketawa, buruan tangan gue udah pegel!” teriak Ardi melihat Wandi tidak segera menolongnya. Dengan menahan tawa, Wandi segera mengambil tangga besi dan menempatkan tepat di sebelah Ardi yang menggantung. Setelah kaki Ardi menginjak tangga, buru-buru memberitahu jika Adrian dalam keadaan seperti orang tidur. Tapi naas belum sempat Ardi melihat kondisi di dalam kamar mandi, pintu terbuka mengarah keluar an menghantam tangga. Otomatis tangga yang menjadi injakan Ardi ambruk lagi dan Adri menggantung di dinding. “Astagahh …! Wandi!! Kalian tega ama guee!!” teriaknya dari atas. Adrian yang baru keluar dari dalam, tidak menghiraukan kehadiran kedua temannya. Membuat Ardi dan W
Adrian membuka mata dan marah karena tubuhnya sudah basah. Dia menatap nanar ke arah Wandi yang berdiri tepat di sebelah kasurnya. Dengan cepat pemuda itu berdiri dan mencengkeram krah bajunya. Tapi belum sempat menarik baju Wandi, seseorang menariknya ke belakang. Jumari dengan cepat menarik tubuh anaknya menjauh dari Wandi.“Kamu ini apa-apa an? Mau berkelahi? Udah ditolongin masih masih tidak sadar,” kata Jumari dari samping anaknya dengan menahan tangan Adrian.“Bapak! Dia sudah menyiram aku dengan air. Kurang ajar benget, tidak sopan. Nih lihat, kasurku basah baju juga basah!” kata Adrian dengan dengan napas memburu.“Duduk!” perintah Jumari menarik Adrian duduk di tepi ranjang yang basah karena air. “Sekarang kamu liat, tuh jam berapa?” tangan Jumari menunjuk ke arah jam yang ada di meja.“Astagahh … itu bener jamnya?”Adrian melongo melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.00. Itu artinya dia sudah melewatkan waktu untuk bermain balap motor pagi itu. Padahal acara lomb
Sementara di tempat lain, Adrian dan kedua temannya yang kesal akibat ulah Wandi segera pergi dari stan penjual martabak. Mereka menuju ke arah parkiran yang jaraknya agak jauh dari tempat asal berteduh. Niat mereka bertiga hendak meninggalkan Wandi dan Tina, yang sudah curang dan tidak lagi memikirkan teman. Setelah mendapatkan motor dari tukang parrkir, ketiganya bergegas melajukan kendaraan menuju desa tempat tinggal mereka. Sepanjang jalan, baik Adrian dan kedua temannya memaki Wandi yang tidak setia kawan ucapan kotor. Tidak sadar, jika dari arah belakang ada bayangan hitam mengikutinya. Bayangan perempuan dengan rambut panjang menyeringai menatap Adrian dan kedua teman yang melajukan sepeda motor dengan kencang. Hujan gerimis di tengah malam tidak mereka perdulikan, hingga laju kotor berhenti di perbatasan desa. “Yan, gue kog merasa ada yang membuntuti kita,” kata Ardi sambil bersedekap. “Kagak usah mikir yang aneh-aneh. Gue bingung, entar gimana ngomong sama Emaknya Wandi dan
Tiang Stan martabak yang terbuat dari besi, seketika bergoyang. Dua muda-mudi mendadak panik dan saling memeluk. Hidung Tina merasakan bau tidak enak dari Wandi, matanya menunduk melihat celana Wandi yang basah. Seketika Tina mendorong pemuda itu hingga jatuh ke tanah yang basah akibat terkena air hujan. Wandi bersungut, mau marah tidak mungkin dengan ceweknya. Memang dia merasa pantas untuk didorong karena sudah membuat Tina jijik dengannya. Bibir tebal Wandi mengurai senyum sambil meringis menahan ngilu di pantat. Dengan menarahn berat badan dia berusaha berdiri dan mendekat ke Tina yang gemetar melihat sosok di di depan yang menyeramkan. “Sabar, Tin! Gue pasti akan lindungi, Elo. Sory, i-ini celana ….” “U-udah, Wan! Buruan, kita pergi dari sini! Kayaknya emang ….” Wandi segera menarik tangan Tina untuk diajak keluar dari stan penjual martabak. Suasana di luar terlihat sepi, bahkan tidak ada orang yang lalu lalang seperti saat masuk ke stan martabak. Bulu kuduk Wandi dan Tina seke
Adrian yang keluar dari warung soto, merasakan hal yang terasa aneh di sekitarnya. Suasana malam yang ramai terasa sunyi bagi Adrian. Hujan rintik mulai turun membuat ketiga pemuda itu berteduh di bawah stan penjual martabak, yang ada di dekat parkir sepeda motor. Mereka mulai bosan karena Wandi dan Tina tidak juga muncul sementara waktu malam semakin bergulir hingga lebih dari pukul 22.00. Bukan bertambah sepi alun-alun kota, tetapi semaki ramai karena besuk adalah Minggu. Hal ini tentu tidak seperti yang dirasakan ketiga pemuda yang sekarang mulai menghisap rokok untuk menghilangkan kantuk dan jenuh menunggu Wandi yang tidak juga muncul. Sesekali tertawa dengan celoteh murahan gaya anak muda. “Yan, Lo kalau punya cewek lagi tipenya kayak apa?” tanya Ardi menepuk bahu Andrian. Dia ingat betul, jika temannya ini dulu alergi sekali dengan yang namanya cewek, apalagi yang manja seperti Tina. “Lo seperti kagak ngerti gue aja. Lo sendiri mau tipe kayak siapa? Pasti sama kalian berdua,
“Wandi, lo kagak apel ke rumah Tina?” ucap Adrian sambil mengunyah roti jawa rasa singkong di teras rumah.Semenjak kejadian hilangnya Adrian, Wandi semakin dekat dengan Tina. Gadis yang awalnya menyukai Adrian kini berbalik arah, nengok ke temannya karean merasa diabaikan oleh Adrian. Meskipun wajah Wandi pas-pasan, tetapi Tina nyaman jalan bersama dengan Wandi. Keduanya sangat kompak dan sering jalan bersama, hingga melupakan Adrian yang belum punya pasangan.“Lo tadi kayaknya bilang mo pergi ama Emak. Emang mau ke mana? Udah punya gebetan baru, kayaknya?” tanya Wandi mengunyah roti yang rasa singkong dengan lahap.“Suntuk di rumah, apa-apa diawasin terus. Udah kayak satpam 24 jam tuh Emak sama Bapak. Yuk kita ke mana gitu? Ada pasar malem kagak? Mumpung malam minggu, sepi di rumah. Emak ama Bapak, lagi sibuk di kamar.”Wandi tertawa,”Lo makanya cari cewek! Jangan inget demit itu lagi. Yuk, cabut!”Sementara di rumah Adrian terlihat sangat tenang. Kedua orang tuanya membiarkan anak