Sayup-sayup angin berhembus membelai dengan mesra. Menerbangkan dedaunan kering, di antara sekian banyak orang berlalu lalang, terdapat dua lelaki tampan bak supermodel. Tubuh sixpacknya tertutup rapat di balik setelan jas yang mereka kenakan. Wajahnya mulus seperti perosotan tanpa noda. Hidung mereka mancung, mungkin bisa digunakan burung gereja bertengger. Banyak orang yang tidak tahu jika usia mereka sudah hampir menginjak kepala 3. Wajah memperdaya, yang menyamarkan usia terlihat lebih muda, menawan.
Kedua sahabat berbeda karakter tersebut, masih asik berucap, saling melempar kata pedas, menjatuhkan satu sama lain, mengorek kelemahan masing-masing dari lawan bicara. Tanpa mereka sadari dua bidadari cantik memakai set kebaya orange dan yang paling putih berseri menggenakan kebaya merah datang menghampiri. "Kalian berdua mirip homo, Bang, mataku terkontaminasi melihatnya," celetuk seorang gadis. "Nayla, please. Jangan berkhayal yang aneh-aneh tentang abang kamu, kejam," sungut Edzard menoleh ke arah suara berasal. "Kalian nggak sadar menjadi pusat perhatian dari orang-orang lewat lalu lalang?" keluh gadis bernama Nayla. Kompak Edzard dan Kenzo melihat sekeliling. Edzard mengembuskan napas panjang nan berat. Kenzo sendiri terlihat mengedikkan bahu kala Nayla menatap dengan mata tajamnya. "Mungkin mereka begitu karena takjub melihat ketampanan kami," kilah Kenzo merangkul Edzard membuat Nayla semakin bergidik, menatap geli. "Oh, iya perkenalkan, ini Rere sahabatnya Nay," ucap Nayla, memperkenalkan sahabatnya yang sedari tadi bersembunyi di belakang Nayla. Layaknya musim semi yang dinanti, Edzard begitu takjub melihat sosok cantik mendebarkan jantung. Tubuhnya mungil, ramping, sosoknya cantik, kulitnya putih berseri, serasi dengan setelan kebaya, berbaju warna merah cerah dan rok bawahan bermotif batik. Bukan hanya Edzard, Kenzo juga merasakan hal sama, seperti terhipnotis dalam sebuah gambaran bidadari. Rasa tidak asing, tapi jua tidak pernah terlihat. Menghanyutkan membuat terlena, seolah musik alam mengiringi pertemuan mereka. "Itu gadis manis yang tak sengaja aku foto tadi," bisiknya dalam hati. "Jauh lebih cantik ketika melihatnya lebih dekat," imbuh Kenzo masih bercengkrama oada hatinya, ia terpesona dengan kecantikan sang gadis. Kegaduhanpun terjadi, seperti masa puber terlambat dilalui. Ke dua lelaki tampan tersebut berebut untuk berkenalan. "Woy, ingat umur bang," pekik Nayla bersungut tapi tak didengarkan. "Saya Ed...." Tangan Edzard ditampik Kenzo sebelum ia melanjutkan ucapannya. "Hay manis namaku Kenzo," ujar lelaki tersebut meraih dan mencium tangan gadis bernama Rere itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup Kenzo terpana pada anak dibawah umur sembilan belas19 tahun. Kerlinangan nakalnya membuat Rere mengernyitkan kening, pipinya memerah, tersenyum malu. Nayla yang sedari tadi menahan malu dengan tingkah kedua lelaki tersebut, segera melayangkan pukulan di pundak Kenzo. "Aww! Sakit Nay," pekik Kenzo. "Memalukan, jangan tertipu dengan tampang polos mereka Re. Mereka sepuluh tahun lebih tua dari kita," cerocos Nayla mendelik. Rere hanya tersenyum menanggapi. "Maaf sebelumnya, saya Edzard abangnya Nayla," giliran Edzard memperkenalkan diri. "Saya Rere, Nayla banyak bercerita tentang bang Kenzo. Abang sosok yang sering dibanggakan Nayla pada teman-teman yang lain juga," jelas Rere, mereka melepas jabatan tangan. "Rere," ucap Nayla menutup wajahnya malu. "Wah senangnya yang punya adek," kelakar Kenzo. "Bisa kita mulai sekarang bang," pinta Rere membuat keduanya kompak mengiyakan. Rere tersenyum menampilkan gigi gingsulnya, menambah paras cantik gadis tersebut semakin mempesona. Mereka melakukan pemotretan dengan Kenzo sebagai fotografer. Edzard juga ikut membantu mengambil posisi dan tempat yang pas. Kedua lelaki yang sering bertentangan tersebut nampak menyatu dalam hal perasaan. Tanpa mereka sadari, perasaan mereka merekah menandai Rere dalam hati kecilnya masing-masing. *****Sejak pertemuan saat itu mereka menjadi dekat satu sama lain. Sering berkumpul setiap akhir pekan, seperti menjadi rutinitas tiap weekend. Berawal dari mengerjakan tugas kampus ataupun makan bersama. Canda tawa dengan mata berbinar tersungging dari wajah mereka. Tanpa ada tali pembatas usia yang menjadi penghalang. Dengan baik Edzard maupun Kenzo menyatu bercengkrama dengan Nayla dan Rere. Kebersamaan mereka menghadirkan benih-benih cinta. Rasa yang paling terasa indah, rasa yang memperdaya setiap hati.
Akhir dari musim kemarau yang indah.Melantunkan bahasa kalbu dalam cinta yang belum terungkap. Indah merekah setiap teringat, cinta yang tidak mampu di tampik kehadirannya. Sangat manis, sanis rasa coklat.*****Hembusan angin membawa Kenzo kembali kealam nyata. Dihela napas yang terasa berant tercekat di tenggorokan. Tatapannya sayu di pandangi potret Rere, gadis nan cantik, demgan senyum manis di akhir kemarau kala itu, yang berhasil ia bidik sebelum berkenalan. Si lelaki brengsek nan angkuh, tertampar dengan perasaannya sendiri yang sangat mengusik. Di dalam kegalauan merasa frustrasi, permainannya dengan banyak wanita tidak pernah membuatnya semendebarkan seperti itu sebelumnya.
Kedua orang tua Rere tinggal di kota yang berbeda. Dia tinggal di kota tersebut untuk kuliah, di kediaman sang nenek. Sebuah rumah yang cukup besar dan asri. Dimana banyak tanaman berwana hijau tumbuh terawat di sekitar rumah, pohon rambutan tumbuh tinggi tak jauh dari pelataran. Ada lima orang pembantu yang di pekerjakan di rumah tersebut termasuk seorang supir. Sore pada akkhir musim kemarau yang indah, derasnya hujan datang menyambut pergantian musim. Bau tanah yang khas mulai naik tercium mengusik hingga kerongkongan. Rere masih terduduk di emperan toko dekat kampusnya berharap hujan segera mereda. Balutan kaos lengan tiga seperempat dan celana jeans tubuhnya terlihat begitu ramping. Rere tengah asik memainkan tetesan air hujan yang berjatuhan dari atap toko tersebut. "Kamu sedanga apa Re?" Suara maskulin pria tak asing mengagetkan. Badan ramping Rere sedikit melonjak saking terkejut. "Abang Kenzo," sapa Rere menoleh ke arah pria tersebut. "Saya sedang menunggu angkutan umum," Rere tersenyum menjelaskan. "Memangnya tidak dijemput sama supir kamu Re?" tanya Kenzo. "Pak sopir sedang mengantar nenek Rere cek up ke rumah sakit, Bang," jawab Rere tertunduk malu. "Abang anterin kamu saja ya," tawar Kenzo tapa basa-basi. "Ayo dong, jangan menolak, abang sudah bersusah payah turun dari mobil. Menghampiri karena lihat kamu sendirian di sini seperti orang hilang," cerocos Kenzo. "Iya bang," kata Rere memotong pembicaraan Kenzo. Ia menundukkan kepala, menyembunyikan wajah merah merona seperti apel. "Ya ampun manisnya," pikir Kenzo dalam hati tersenyum, ingin rasanya mencubit pipi mungil itu. Kenzo membimbing Rere menaiki mobil di samping pengemudi. Dengan peasaan senang tidak terkira pemuda tersebut melajukan mobil meninggalkan tempat tadi. "Sepertinya ada yang salah dengan jantungku, kenapa berdetak tak beraturan dan cepat seperti ini. Perasaan aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Nanti malam aku harus memanggil dokter ke rumah," pikir Kenzo, dihela napas panjang dan berat. Keduanya terdiam membisu, sibuk pada pikiran masing-masing. "Abang baru pulang dari kantor?" Rere berucap memecah keheningan, sembari memandang Kenzo yang masih menggenakan set jas kantor. Nampak gagah. "Iya," jawab Kenzo dengan senyum mengembang. "Re, sepertinya hujan semakin deras. Rumah abang di dekat sini, mampir ke rumah dulu saja ya, gimana?" lanjutnya. Rere terlihat berpikir keras. "Kenapa, kok diam? Sampai hujannya reda saja kok, setelah itu abang antarkan kamu pulang," terangnya meyakinkan. "Jalan juga mulai licin ya Bang. Ok, deh, ngak apa-apa tapi, janji ya Bang. Nanti antar Rere pulang ke rumah," pinta gadis manis tersebut. "Iya Re." Kenzo membelokkan mobilnya, masuk sebuah gang perumahan kawasan elite. Tak berapa lama mobil yang mereka naiki masuk ke dalam sebuah pelataran rumah mewah, melewati pintu gerbang dari besi yang cukup tinggi. Rumah bak istana terpampang jelas ketika mereka keluar dari mobil. Keduanya berlarian masuk ke dalam, sejauh mata memandang disuguhi ruang tamu luas. Di mana lukisan mahal terpampang seolah mengucapkan sugeng rawoh (jawa : selamat datang), banyak sekali vas-vas bunga dan benda-benda antik berjajar menyilaukan mata.Seperti pangeran yang membawa pulang putri ke istana. Semua mata hanya tertuju kepada mereka berdua. Seorang lelaki tampan menggandeng gadis manis di sampingnya. Para asisten rumah tangga dan tukang kebun terbengong. "Akhirnya tuan muda membawa seorang gadis pulang ke rumah," salah seorang wanita berteriak ketika, sang pangeran dan putri memasuki rumah mewah tersebut. Wanita itu berlari girang, mengabarkan kabar gembira pada para teman seperjuangannya. Di dalam rumah, dengan sopan Rere menyapa seorang wanita paruh baya cantik, duduk manis di sofa, yang dipanggil Kenzo dengan sebutan mama. Bukan kata sambutan yang Rere terima, akan tetapi. Wanita tersebut malah berteriak. "Papa?!" teriak wanita itu hampir membuat Rere melonjak karena kaget. Seorang lelaki paruh baya yang masih memperl
Jantung Rere berdetak tidak beraturan, rasa bahagia dan terkejut bercampur menjadi satu. Seperti tetesan air yang jatuh di tanah tandus nan gersang. Memberi sedikit air untuk tanah kering keronta. Menyejukkan. "Rere juga mencintai Abang, tapi untuk menikah sekarang Rere belum bisa. Rere masih kuliah semester awal, kan," jawab Rere, bak gayung bersambut. Kapal cinta Rere dan Kenzopun berlayar, hati lelaki itu berbunga layaknya pemuda jatuh cinta di usia yang tidak lagi muda. Tergesa Kenzo melajukan mobil kembali, keluar dari jalan tol, masuk ke dalam sebuah gang, tidak berapa lama mobilnya berhenti melaju, di sebuah rumah kecil asri. Kenzo membunyikan klakson, tidak berapa lama satpam membuka pintu gerbang. Rumah itu berlantai dua, cukup luas, tapi lebih kecil dari rumah yang pertama Rere kunjungi. "Bukannya Abang akan mengantar Rere pulang," tanya Rere, kala Kenzo membimbingnya ke luar dari mobil
Jantungku terasa berhenti, ada rasa aneh menggelitik diri. Rasa sakit yang tiba-tiba hadir, aku berusaha tenang menyembunyikan segalanya. Ruang makan seolah bertambah dingin, sedingin rasa menyelimuti, aku melepas satu kancing kemeja bagian atas yang aku kenakan. Melonggarkan leher yang tercekat seketika. "Sepertinya kamu sangat dekat dengan dia akhir-akhir ini," telisik Nayla yang masih mengunyah makanannya. "Em, Re, Kenzo nggak ngapa-ngapain kamu, kan. Dia nggak melakukan hal yang aneh-aneh?" tanyaku sangsi. "Tidak Bang, Abang Ken orangnya baik kok, tapi tadi dia menyatakan perasaannya pada saya dan mengajak saya menikah," tutur Rere. "Nikah?!" pekikku dan Nayla bersamaan. Aku dan adikku langsug saling pandang dan terkekeh merasa lucu. Diri ini semakin remuk, terpuruk, dalam kubangan kesedihan yang tidak aku tahu sebelumnya. "Seorang Kenzo Julian, anak dari salah satu orang t
Angin yang berembus memaparkan rasa dingin menyentuh tulang. Langit gelap gulita namun, bintang dengan setia menemani sang rembulan. Angin seraya menyapa pepohonan yang berdiri kokoh menjulang. Terdengar dedaunan yang terseok, bergemerisik. Rere tertidur dengan pulas bersama Nayla. Belaian mimpi menghantarkan lelapnya hingga mereka tidak menyadari, derik pintu terbuka. Menyembullah sesosok lelaki dari balik pintu, mengendap-endap masuk. Mendekat ke arah Rere, lelaki tersebut berjongkok di samping ranjang. Netranya menatap dalam seorang gadis yang tertidur. Wajah mendamaikan yang terpejam itu membuat ingin membelai. Malu-malu tangan nakal tersebut membelai halus pipi Rere. Tangan dingin yang menyentuh, membuat Rere mulai terusik. Mata Rere perlahan terbuka, dia terkejut, jantung berdebar seperti ingin melompat dari tempatnya. Rere hendak berteriak tapi sebuah tangan berotot membekapnya. Lebih mengejutkan lagi Rere seperti melihat Kenzo. Mata gadis te
Perlahan aku membuka pintu kamar yang bukan milikku. Aku berencana ke dapur mengambil air minum. Akan tetapi niatku terhenti ketika aku melihat adegan yang seharusnya tidak aku lihat. Wajah dan telingaku memanas, rasanya aku malu, kudengar rintihan lirih bersautan dari keduanya. Saking paniknya aku langsung kembali lagi ke dalam kamar. "Kenapa mereka harus bermesraan di ruang tengah," keluhku. Rintihan Rere masih menggema di pikiran sampai membuat adik kecilku hampir terbangun. Aku berjalan menuju kamar mandi, melucuti semua paksian. Membasahi seluruh badanku, dengan air yang mengalir dari shower, berharap bayangan itu segera menghilang. Aku kemudian mengambil air wudhu. Bergegas keluar kamar mandi mengambil tas ransel di atas meja kecil dekat tempat tidur. Tas itu memang sengaja aku bawa untuk menaruh pakaian ganti milikku dan Nayla. Sekuat tenaga berusaha khusuk menjalankan sholat sunah tersebut. Kupejamkan mata ketika berdziki
Rapat kali ini membahas tentang pembangunan cabang hotel dan rumah makan di tempat yang sama. Di salah satu objek wisata pegunungan teh. Dimana konsep pilihan kami adalah happy holiday. Mengedepankan fasilitas itu sudah pasti, tapi juga mengutamakan keamanan, kenyaman dan menyenangkan bagi pengunjung. Akan ada taman bermain yang ramah untuk anak-anak. Rencananya akan dibangun gedung berlantai lima sebagai awal permulaan dan menunggu respon dari para pengunjung. Jika responnya baik kedepannya lagi, tidak menutup kemungkinan akan dibangun fasilitas yang lebih lengkap lagi. Respon dari para rekan kerja sangat baik. Aku sangat bersyukur dan beruntung. Pemilihan tempat yang tepat sangatlah tidak mudah. Aku dan para anak buahku langsung turun kelapangan melihat langsung lokasi. Yah, perjuangan yang benar-benar melelahkan namun juga berbuah manis. Aku tersenyum bangga pada ketiga anak buahku. Seorang wanita paruh baya dengan gaya rambut bob,
Alunan musik terdengar indah, dengan suara merdu seorang penyanyi wanita yang menyanyikan lagu Tentang Rasa by Astrid. Suaranya indah menggema di dalam sebuah kafe yang berada di lantai bawah gedung perusahaan berlantai tiga milik keluarga Edzard tersebut. Lelaki itu duduk bersenda gurau menikmati makanan yang mereka pesan. "Setelah ini, anda mau kemana?" tanya Edzard menatap wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang itu. "Jangan panggil anda, panggil saya Angel saja," kata sang wanita yang duduk di hadapannya. Dia mengelap mulut dengan tisue. Mengambil gelas jus melon dan menyeruput lewat sedotan. "Aku akan pergi ke kantor saja, anda mau mengantar saya?" tanyanya. "Baiklah," jawab Edzard terkekeh. Dia berdiri untuk kudian mengulurkan tangan ke arah Angel. Wanita itu dengan senang hati meraih tangan tersebut da
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, yang pasti keduanya kini saling berciuman. Edzard ibarat binatang kelaparan, dia terlihat bringas memangut bibir sensual Angel dengan penuh gairah. Melumat habis, lidahnya menari-nari, menyeruak masuk ke dalam mulut Angel. Saling bertukar saliva masing-masing. Angel membalas dengan tidak kalah panas, menyambut dan ikut membalut bibir lawannya. Kecapan demi kecapan menggema, mereka dengan rakus membalas, menyesap bibir. Hingga kadar oksigen yang mereka hirup menipis. Keduanya menarik kepala, saling melempar senyum. Gurat kebahagiaan nampak tersungging di senyuman manis Angel. Mereka kemudian berpelukan cukup lama. Lelaki itu merasa bimbang dengan hatinya kini. Dalam hatinya masih tertulis nama Rere. Nama gadis yang tidak seharusnya bersemayan. "Mungkinkah dengan aku membuka hati untuk Angel. Semua akan baik-baik saja. Aku telah menciumnya, astaga. Aku
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A