Jantung Rere berdetak tidak beraturan, rasa bahagia dan terkejut bercampur menjadi satu. Seperti tetesan air yang jatuh di tanah tandus nan gersang. Memberi sedikit air untuk tanah kering keronta. Menyejukkan.
"Rere juga mencintai Abang, tapi untuk menikah sekarang Rere belum bisa. Rere masih kuliah semester awal, kan," jawab Rere, bak gayung bersambut. Kapal cinta Rere dan Kenzopun berlayar, hati lelaki itu berbunga layaknya pemuda jatuh cinta di usia yang tidak lagi muda.
Tergesa Kenzo melajukan mobil kembali, keluar dari jalan tol, masuk ke dalam sebuah gang, tidak berapa lama mobilnya berhenti melaju, di sebuah rumah kecil asri. Kenzo membunyikan klakson, tidak berapa lama satpam membuka pintu gerbang. Rumah itu berlantai dua, cukup luas, tapi lebih kecil dari rumah yang pertama Rere kunjungi. "Bukannya Abang akan mengantar Rere pulang," tanya Rere, kala Kenzo membimbingnya ke luar dari mobil "Terlambat sedikit ngak apakan?" tanya Kenzo, menoleh ke arah Rere. Mereka masuk ke dalam rumah, Kenzo menggandeng Rere menaiki tangga. "Ini salah satu rumah yang aku beli dengan usahaku sendiri, dan rumah ini yang kadang aku tempati Re," terang Kenzo. "Sultan mah bebas ya, lebih aneh kenapa aku mau saja diajak ke rumah. Gandeng sana, gandeng sini mirip truk gandeng," pikir Rere di dalam hati merasa bingung dengan tindakannya sendiri.Rasa bahagia bergejolak di hati ke duanya, berbunga-bunga indah merekah. Kenzo membuka pintu sebuah ruangan. Rere mematung berdiri di ambang pintu tersebut. Terlihat kamar yang cukup luas. Nampak ranjang besar dan empuk diapit dua almari kecil. Tv led besar menempel di dinding seberang. Tirai berwarna putih berkelebatan, tertiup angin lantaran jendela terbuka. Yang menjadi pusat perhatian Rere adalah, sebuah foto besar terpampang di atas ranjang tersebut. Foto yang tidak asing, foto seorang gadis berpakaian kebaya merah. Foto itu foto dirinya.
"Aku membidiknya sebelum kita berkenalan. Saat itu aku berpikir melihat bidadari cantik yang tak bisa aku lupakan di kemudian hari," jelas Kenzo sebelum Rere bertanya. "Dengan egois aku menyimpan foto itu sendiri, maaf Re," imbuhnya. Rere tersenyum malu, wajah dan telinganya memerah, tanpa sadar dia berjalan keluar menuju balkon lewat jendela yang terbuka lebar. Udara malam berhembus menyapu wajahnya. "Aku mencintai kamu Rere," bisik Kenzo dari belakang, di telinga Rere. Sapuan napas hangatnya menggelitik leher Rere. "Rere juga mencintai abang," jawab gadis itu tertunduk, menyembunyikan wajah dan telinga yang bertambah panas, memerah seperti buah tomat siap di panen. Kenzo menarik pelan Rere untuk lebih masuk ke dalam kamar, tangannya merangkum wajah cantik tersebut. Di cium bibir Rere dengan pelan, keduanya saling membalas, saling melumat dan menjilat. Sensasi aneh menjalar kesekujur tubuh. Tangan berototnya dengan cekatan membuka sweater yang Rere gunakan. Resleting dress di punggungnya perlahan di tarik ke bawah. Mulutnya masih gencar mencubit mulut Rere. Dengan sekali tekanan pengait bra yang digunakan Rere terlepas. Dresnya mengendur, sedikit melorot ke bawah. Menampakkan bra bagian depan Rere. Kenzo semakin bringas, ciumannya mulai turun ke leher putih jenjang Rere. Menelusuri setiap inci, dengan satu gerakan tangan lincah Kenzo. Dres itu terlepas dari lengan Rere beserta bra yang dikenakan. Dres itu merosot hingga ke perut. Kenzo semakin menjadi melihat gundukan kenyal, tangannya memeluk, menyangga tubuh Rere yang sedikit melengkun kebelakang. Lidah Kenzo menjilat memberikan sensasi rasa yang memperdaya. Gadis itu megerang sesekali kala mulut Kenzo melahap ujung bukit kembarnya secara bergantian dan memberikan banyak tanda merah di sekitarnya. Tubuhnya menegang, melemas, tak berdaya, pasrah dalam belaian Kenzo. Rere seperti terhipnotis, pikirannya kosong, pasrah tidak berdaya. Ingin Kenzo melanjutkan aktivitasnya, tapi ia segera tersadar. Melihat wajah merah gadis cantik dalam dekapannya itu. Rasa ingin menjaga, rasa ingin melindungi menyeruak tiba-tiba di sanubari yang hampir terbelit dengan nafsu. Mungkin ia bisa melakukannya dengan wanita lain namun, dengan Rere segalanya terasa berbeda. Rere terlihat seperti barang berharga yang mudah retak dan pecah di mata Kenzo. "Dia gadis di bawah umur Kenzo, sadarlah," pikir Kenzo dalam hati. Ia tersenyum ke arah Rere. Gadis itu masih nampak cantik meski rambutnya sedikit berantakan. Dia terlihat seperti habis bangun tidur. Lelaki tampan itu membimbing Rere duduk di sudut tempat tidur. Rere mulai tersadar dari gairah yang membuncah, menutupi bukit kembar ranumnya dengan tangan. Kenzo tersenyum, memungut bra, tergeletak di lantai. Tanpa rasa canggung dia memakaikan kembali bra dan membetulkan dress Rere. Seperti anak kecil Rere hanya menurut, begitu pula ketika Ken memakaikan kembali sweater. "Ayo sayang, aku antar kamu pulang," Kenzo dengan bahagia merangkul Rere. Meski ada hasrat yang belum ia tuntaskan tapi ia tak menyesalinya. Bagi Kenzo rasa yang indah itu ingin ia jaga. Mungkin tidak apa jika dengan para wanita yang mengejar-ngejar dirinya. Bersama Rere nampak berbeda, dia tidak sanggup merusak pagar ayu tersebut. Seperti bunga mawar merah merekah indah di pandang, dan berduri. Kenzo mengantar Rere dengan selamat sampai di kediamna sang nenek.*****Rere sendiri merasakan sensasi yang membuat melayang tadi, meski ia dan mantan pacarnya sering melakukan hal yang sama seperti tadi. Akan tetapi kali ini dia merasa benar-benar dihargai. Kenzo tidak menuntut, dia dengan bangga memberi. Belaian halus tangan berototnya masih terasa mengusik. Dia kemudian tersenyum malu memandang tubuhnya di cermin, dress yang ia kenakan telah jatuh ke lantai. Diraba dadanya sendiri, nampak bekas tanda merah di sana sini. Ia segera bergantian dengan menggenakan set piyama. Suara ketukan pintu terdengar nyaring, dan kemudian terbuka. Menyembullah Nayla dari balik pintu.
"Nayla, kok tumben ke sini nggak kasih kabar dahulu," Rere berjalan ke arah pintu. "Aku baru dari rumah sakit menjenguk nenek kamu. Katanya malam ini giliran simbok berjaga, jadi pasti kamu sendirian di rumah. Nenek menyuruh aku temani kamu. Aku datang bersama Abang Edzard, kita beli seafood buat dimakan bareng, mari keluar," cerocos Nayla dengan cepat menjelaskan. Dia kemudian menarik tangan Rere mengajaknya ke ruang makan. Terlihat di ruang makan, Edzard tengah menata piring dan menaruh makanan lainnya di atas meja. Ketiganya duduk di kursi yang tersedia. "Kamu sudah makan belum?" tanya Edzard. "Sebenarnya saya pulang di antar sama Bang Kenzo. Dan sempat diajak mampir ke rumah ketika menunggu hujan reda. Akhirnya saya makan dulu bersama orang tuanya Bang Ken," Rere menjelaskan.Mendengar kedekatan Rere dan Kenzo, dada Edzard sesak seketika. Terasa ada yang menyumbat pernapasan, seperti tali yang membelit kencang lehernya.
Jantungku terasa berhenti, ada rasa aneh menggelitik diri. Rasa sakit yang tiba-tiba hadir, aku berusaha tenang menyembunyikan segalanya. Ruang makan seolah bertambah dingin, sedingin rasa menyelimuti, aku melepas satu kancing kemeja bagian atas yang aku kenakan. Melonggarkan leher yang tercekat seketika. "Sepertinya kamu sangat dekat dengan dia akhir-akhir ini," telisik Nayla yang masih mengunyah makanannya. "Em, Re, Kenzo nggak ngapa-ngapain kamu, kan. Dia nggak melakukan hal yang aneh-aneh?" tanyaku sangsi. "Tidak Bang, Abang Ken orangnya baik kok, tapi tadi dia menyatakan perasaannya pada saya dan mengajak saya menikah," tutur Rere. "Nikah?!" pekikku dan Nayla bersamaan. Aku dan adikku langsug saling pandang dan terkekeh merasa lucu. Diri ini semakin remuk, terpuruk, dalam kubangan kesedihan yang tidak aku tahu sebelumnya. "Seorang Kenzo Julian, anak dari salah satu orang t
Angin yang berembus memaparkan rasa dingin menyentuh tulang. Langit gelap gulita namun, bintang dengan setia menemani sang rembulan. Angin seraya menyapa pepohonan yang berdiri kokoh menjulang. Terdengar dedaunan yang terseok, bergemerisik. Rere tertidur dengan pulas bersama Nayla. Belaian mimpi menghantarkan lelapnya hingga mereka tidak menyadari, derik pintu terbuka. Menyembullah sesosok lelaki dari balik pintu, mengendap-endap masuk. Mendekat ke arah Rere, lelaki tersebut berjongkok di samping ranjang. Netranya menatap dalam seorang gadis yang tertidur. Wajah mendamaikan yang terpejam itu membuat ingin membelai. Malu-malu tangan nakal tersebut membelai halus pipi Rere. Tangan dingin yang menyentuh, membuat Rere mulai terusik. Mata Rere perlahan terbuka, dia terkejut, jantung berdebar seperti ingin melompat dari tempatnya. Rere hendak berteriak tapi sebuah tangan berotot membekapnya. Lebih mengejutkan lagi Rere seperti melihat Kenzo. Mata gadis te
Perlahan aku membuka pintu kamar yang bukan milikku. Aku berencana ke dapur mengambil air minum. Akan tetapi niatku terhenti ketika aku melihat adegan yang seharusnya tidak aku lihat. Wajah dan telingaku memanas, rasanya aku malu, kudengar rintihan lirih bersautan dari keduanya. Saking paniknya aku langsung kembali lagi ke dalam kamar. "Kenapa mereka harus bermesraan di ruang tengah," keluhku. Rintihan Rere masih menggema di pikiran sampai membuat adik kecilku hampir terbangun. Aku berjalan menuju kamar mandi, melucuti semua paksian. Membasahi seluruh badanku, dengan air yang mengalir dari shower, berharap bayangan itu segera menghilang. Aku kemudian mengambil air wudhu. Bergegas keluar kamar mandi mengambil tas ransel di atas meja kecil dekat tempat tidur. Tas itu memang sengaja aku bawa untuk menaruh pakaian ganti milikku dan Nayla. Sekuat tenaga berusaha khusuk menjalankan sholat sunah tersebut. Kupejamkan mata ketika berdziki
Rapat kali ini membahas tentang pembangunan cabang hotel dan rumah makan di tempat yang sama. Di salah satu objek wisata pegunungan teh. Dimana konsep pilihan kami adalah happy holiday. Mengedepankan fasilitas itu sudah pasti, tapi juga mengutamakan keamanan, kenyaman dan menyenangkan bagi pengunjung. Akan ada taman bermain yang ramah untuk anak-anak. Rencananya akan dibangun gedung berlantai lima sebagai awal permulaan dan menunggu respon dari para pengunjung. Jika responnya baik kedepannya lagi, tidak menutup kemungkinan akan dibangun fasilitas yang lebih lengkap lagi. Respon dari para rekan kerja sangat baik. Aku sangat bersyukur dan beruntung. Pemilihan tempat yang tepat sangatlah tidak mudah. Aku dan para anak buahku langsung turun kelapangan melihat langsung lokasi. Yah, perjuangan yang benar-benar melelahkan namun juga berbuah manis. Aku tersenyum bangga pada ketiga anak buahku. Seorang wanita paruh baya dengan gaya rambut bob,
Alunan musik terdengar indah, dengan suara merdu seorang penyanyi wanita yang menyanyikan lagu Tentang Rasa by Astrid. Suaranya indah menggema di dalam sebuah kafe yang berada di lantai bawah gedung perusahaan berlantai tiga milik keluarga Edzard tersebut. Lelaki itu duduk bersenda gurau menikmati makanan yang mereka pesan. "Setelah ini, anda mau kemana?" tanya Edzard menatap wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang itu. "Jangan panggil anda, panggil saya Angel saja," kata sang wanita yang duduk di hadapannya. Dia mengelap mulut dengan tisue. Mengambil gelas jus melon dan menyeruput lewat sedotan. "Aku akan pergi ke kantor saja, anda mau mengantar saya?" tanyanya. "Baiklah," jawab Edzard terkekeh. Dia berdiri untuk kudian mengulurkan tangan ke arah Angel. Wanita itu dengan senang hati meraih tangan tersebut da
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, yang pasti keduanya kini saling berciuman. Edzard ibarat binatang kelaparan, dia terlihat bringas memangut bibir sensual Angel dengan penuh gairah. Melumat habis, lidahnya menari-nari, menyeruak masuk ke dalam mulut Angel. Saling bertukar saliva masing-masing. Angel membalas dengan tidak kalah panas, menyambut dan ikut membalut bibir lawannya. Kecapan demi kecapan menggema, mereka dengan rakus membalas, menyesap bibir. Hingga kadar oksigen yang mereka hirup menipis. Keduanya menarik kepala, saling melempar senyum. Gurat kebahagiaan nampak tersungging di senyuman manis Angel. Mereka kemudian berpelukan cukup lama. Lelaki itu merasa bimbang dengan hatinya kini. Dalam hatinya masih tertulis nama Rere. Nama gadis yang tidak seharusnya bersemayan. "Mungkinkah dengan aku membuka hati untuk Angel. Semua akan baik-baik saja. Aku telah menciumnya, astaga. Aku
Tatapan penuh intimidasi membuat mereka berdua hilang nyali, serempak menundukkan kepala. Edzard memejamkan mata, menghela napas menahan emosi. Cukup lama mereka saling diam tiada kata. Angel, wanita tersebut lebih memilih mengamati dari jauh. Dia ragu untuk mendekat, meski sebenarnya ada rasa penasaran. "Katakanlah," ujar Edzard memecah kebekuan. Dia membuka mata, menatap sayu sang adik. Dia tahu benar Nayla tidak akan pernah menyukai Kenzo, gadis cantik itu telah dijodohkan kedua orang tuanya dengan salah seorang rekan bisnis. Seorang lelaki yang berkepribadian baik nan santun. Sesuai selera Nayla, tanggapan baik juga telah diutarakan Nayla, yang menerima rencana keluarga dengan tangan terbuka dan sumringah. Pertunangan keduanya telah di depan mata. Akan diselenggarakan beberapa bulan saat libur kuliah. Namun, melihat apa yang terlihat di depan mata membuatnya sangsi. Pikiran negatif menyergap di benak Edzar
Mengingat masa lalu, kala untuk pertama kalinya Kenzo bertemu Nayla. Si brengsek yang hobi mengoleksi perempuan sebagai pajangan dan pelipur kesepiannya. Dia akan selalu terpikat dengan wanita cantik, tak jauh berbeda ketika Kenzo bersua Nayla. Dasar playboy, dia terpikat akan pesona gadis tersebut. Berparas ayu, manis, berkulit putih mulus, hidung mancung, rambutnya panjang terurai, dengan poni menyamping rapi. Versi wanita dari sosok Edzard, hanya saja gadis muda itu lebih pendek sedikit. Rayuan demi rayuan tidak pernah mempan pada gadis bermata tajam tersebut. Jika Edzard membangun dinding besi menyelimuti hati bagi para wanita penggoda. Maka Nayla adalah mawar indah merekah nan berduri yang tidak mampu Kenzo sentuh meski dengan sejuta pesonanya. Yang tidak mudah digapai meaki banyak uluran tangan meraihnya. Edzard ikut menjaga bunga mawar indah itu agar tetap indah merekah. Balutan kasih sayang yang tidak terkira dari
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A