Angin yang berembus memaparkan rasa dingin menyentuh tulang. Langit gelap gulita namun, bintang dengan setia menemani sang rembulan. Angin seraya menyapa pepohonan yang berdiri kokoh menjulang. Terdengar dedaunan yang terseok, bergemerisik. Rere tertidur dengan pulas bersama Nayla. Belaian mimpi menghantarkan lelapnya hingga mereka tidak menyadari, derik pintu terbuka. Menyembullah sesosok lelaki dari balik pintu, mengendap-endap masuk. Mendekat ke arah Rere, lelaki tersebut berjongkok di samping ranjang. Netranya menatap dalam seorang gadis yang tertidur. Wajah mendamaikan yang terpejam itu membuat ingin membelai. Malu-malu tangan nakal tersebut membelai halus pipi Rere.
Tangan dingin yang menyentuh, membuat Rere mulai terusik. Mata Rere perlahan terbuka, dia terkejut, jantung berdebar seperti ingin melompat dari tempatnya. Rere hendak berteriak tapi sebuah tangan berotot membekapnya. Lebih mengejutkan lagi Rere seperti melihat Kenzo. Mata gadis tersebut melebar seketika. Antara rasa percaya dan tidak.
"Jangan berteriak, aku akan lepas," suara Kenzo berbisik terdengar nyata. Rere menjawab dengan anggukan.
"Bagaimana Abang bisa berada di sini," balas Rere ikut berbisik. Dia menyentuh dadanya, jantung masih cukup cepat berdetak.
"Edzard yang memberitahu aku, bisa geser sedikit ke tengah nggak? Aku ingin ikut tidur," ucap Kenzo.
"Abang gila ya?" pekik Rere beringsut bangkit dari tidur.
Dengan tergesa dan hati-hati Rere menarik tangan Kenzo ke luar kamar. Debaran jantungnya kembali berpacu cepat, bergemuruh meletup-letup. Rasa bahagia menggelora bersua dengan kekasih tercinta. Mereka berjalan beriringan ke ruang tengah. Tempat di mana Kenzo dan Edzard tadi berada. Ke duanya duduk berdampingan. Saling menatap, senyum mengembang di bibir mereka. Lukisan kebahagiaan nampak jelas terlihat.
"Sebenarnya aku tidak ingin membangunkan kamu tidur. Tapi aku ingin sekali melihat wajah kamu," ujar Kenzo membelai pipi Rere. "Bibir kamu," lanjut dia mengecup ringan bibir gadisnya. "Dan semua yang ada pada diri kamu," imbuhnya berbisik di telinga.
Rere memejamkan mata kala hembusan napas Kenzo menggelitik telinga. "Rere juga kangen Abang," jawab gadis itu manja. Keduanya berpelukan lama.
Kenzo lalu menarik tangan Rere, membimbingnya agar gadis tersebut duduk di pangkuan menghadap ke arah Kenzo. Rere yang tak keberatan mengikuti saja apa yang di lakukan sang pujaan hati. Keduanya berhadapan dan berpelukan kembali. Seperti tidak ada jarak di antara ke duanya. Rere mendekap kepala Kenzo tepat di tengah bukit kembarnya. Debaran jantung tak beraturan terdengar jelas oleh Kenzo.
Lelaki tersebut tidak dapat menahan gelora yang membuatnya gusar, di tarik kepala Rere agar mendekat ke arahnya, sebuah ciuman panas, yang lebih memikat dari pertama mereka lakukan. Saling menuntut, dan membelai. Tangan Ken dengan cekatan membuka kancing baju bagian atas milik Rere. Untuk kemudian menelusup ke dalam membelai, mencengkeram dengan lembut daging kenyal di dada Rere. Mereka berhenti berciuman, dengan napas terpotong-potong seperti habis berlari jauh. Rere mengulas senyum, membelai rambut Kenzo. Menikmati setiap sentuhan tangan berotot tersebut. Gadis itu menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan sensasi sejuta rasa.
Tubuh Kenzo semakin memanas, dia menekan tubuh Rere tepat di atas miliknya. Dengan garang bibirnya menjelajahi leher Rere hingga leher putih mulus itu basah akan saliva miliknya. Bibir dan lidah nakal lelaki itu bergerilya menciumi naik, turun dan sesekali mendarat pada gundukan kenyal bergantian. Menyesap ujung gundukan itu bergantian. Rere memejamkan mata, jemari lentiknya semakin mencengkeram kepala Kenzo. Tangannya masih menekan tubuh Rere, gadis manis itu sesekali tersenyum dalam lengguhan yang membuat Kenzo semakin membara. Sesuatu yang meledak di tubuh Rere terasa di bawah sana. Gadis itu melengkungkan tubuh ke belakang. Kenzo tersenyum menatap Rere.
Jika saja saat ini Kenzo tengah bersama wanita lain. Dia pasti telah membenamkan dirinya. Menikmati lautan cinta surga dunia. Kenzo merangkum wajah Rere yang masih terasa panas. Dirinya semakin mulai besar, sesuatu yang mendesak di bawah sana meminta di tuntaskan. Tangan berotot Kenzo menekan tubuh Rere.
"Rere," bisik Kenzo. Tidak berapa lama terasa kedutan dari milik Kenzo yang Rere duduki. Tangan Kenzo mulai mengendur, napasnya terasa berat, badannya memanas. Lelaki itu kembali mencium bibir Rere dengan lembut.
"Maaf Re," ujar Kenzo tertunduk. "Hampir saja kebablasan," keluhnya dalam hati.
Rere merangkum wajah Kenzo, dia tersenyum. "Rere cinta sama Abang Kenzo," ujarnya.
"Kau menyukainya?" tanya Kenzo menekankan keningnya pada kening Rere.
"Iya, ini sangat menakjubkan," jawab Rere jujur. Keduanya kembali berpangutan bibir, di sisa-sisa tubuh yang mulai melemas.
"Sebaiknya kamu kembali ke kamar, aku takut Nayla mencari kamu," saran Kenzo tersenyum. Rere menjawab dengan anggukkan. Keduanya terkekeh, kala netra mereka saling menatap, padahal tidak ada yang lucu sama sekali.
Kenzo mengangkat tubuh sang gadis, membopongnya menaiki tangga, dan menurunkan tepat di depan pintu kamar.
"Selamat malam Abang," suara Rere terdengar lembut.
"Selamat malam, jangan lupa kunci pintu, jangan sampai aku menerobos masuk lagi," ucap Kenzo membuat keduanya terkekeh. Rere menganggukan kepala. Dia berjalan masuk dan bergegas menutup pintu.
Debaran rasa yang benar-benar membuatnya bahagia. Rasa indah, layaknya bunga mawar yang merekah. Tiada kata yang mampu melukiskan gambaran keindahannya. Dapat di rasa tapi tidak berwujud. Rere masih berdiri, menyandarkan punggung pada pintu. Rasa jatuh cinta membuatnya menginginkan segala keindahan yang baru saja ia rasa. Dia merapa lehernya sendiri, senyum tersingging kala tangannya menyentuh dada. Jantung yang tidak dapat berbohong itu masih berdebar tidak beraturan. Rere menyentuh bibirnya sendiri yang sedikit perih. Lumatan yang ia dapat berulang kali tidak membuat Rere bosan. Rasa ingin lagi dan lagi mengulanginya. Bibir sexy Kenzo begitu membuainya. Rere masih ingat benar benjolan di bawah sana yang ia duduki. Milik Kenzo yang menegang dan berkedut beberapa kali, terasa begitu nyata meski terhalang pakaian masing-masing. Gadis itu menghela napas panjang berulang kali, memegangi pipinya yang memerah.
"Astaga, apa yang aku pikirkan? Kenapa aku menjadi semesum ini," keluh Rere menepuk-nepuk kepalanya sendiri.
Dia berjalan ke arah ranjang dan membaringkan tubuh lemasnya. Debaran yang memperdaya memaksa Rere mengingat Kenzo kembali. Rere membalikkan badan ke arah samping. Dia mengingat Kenzo yang berjongkok di lantai, menatap dirinya tadi. Gadis cantik itu tertawa tertahan. Dia lalu menarik selimut dan menyembunyikan diri di baliknya. Berharap kegelapan itu mampu membawanya bermimpi indah.
Di rumah yang sama, di ruang tengah. Kenzo masih terlihat berdiri memandang jendela. Di luar sana nampak gelap. Lelaki itu tersenyum dan sesekali tertawa kecil. Rasa yang begitu membuatnya seperti orang gila. Kenzo sendiri tidak pernah menyangka akan tergila-gila seperti ini kepada seorang gadis dengan usia terpaut jauh di bawahnya. Sikap dingin yang membuatnya terlihat berkarisma tuntuh sudah. Kini yang tertinggal seorang Kenzo dengan kebodohannya.
Perlahan aku membuka pintu kamar yang bukan milikku. Aku berencana ke dapur mengambil air minum. Akan tetapi niatku terhenti ketika aku melihat adegan yang seharusnya tidak aku lihat. Wajah dan telingaku memanas, rasanya aku malu, kudengar rintihan lirih bersautan dari keduanya. Saking paniknya aku langsung kembali lagi ke dalam kamar. "Kenapa mereka harus bermesraan di ruang tengah," keluhku. Rintihan Rere masih menggema di pikiran sampai membuat adik kecilku hampir terbangun. Aku berjalan menuju kamar mandi, melucuti semua paksian. Membasahi seluruh badanku, dengan air yang mengalir dari shower, berharap bayangan itu segera menghilang. Aku kemudian mengambil air wudhu. Bergegas keluar kamar mandi mengambil tas ransel di atas meja kecil dekat tempat tidur. Tas itu memang sengaja aku bawa untuk menaruh pakaian ganti milikku dan Nayla. Sekuat tenaga berusaha khusuk menjalankan sholat sunah tersebut. Kupejamkan mata ketika berdziki
Rapat kali ini membahas tentang pembangunan cabang hotel dan rumah makan di tempat yang sama. Di salah satu objek wisata pegunungan teh. Dimana konsep pilihan kami adalah happy holiday. Mengedepankan fasilitas itu sudah pasti, tapi juga mengutamakan keamanan, kenyaman dan menyenangkan bagi pengunjung. Akan ada taman bermain yang ramah untuk anak-anak. Rencananya akan dibangun gedung berlantai lima sebagai awal permulaan dan menunggu respon dari para pengunjung. Jika responnya baik kedepannya lagi, tidak menutup kemungkinan akan dibangun fasilitas yang lebih lengkap lagi. Respon dari para rekan kerja sangat baik. Aku sangat bersyukur dan beruntung. Pemilihan tempat yang tepat sangatlah tidak mudah. Aku dan para anak buahku langsung turun kelapangan melihat langsung lokasi. Yah, perjuangan yang benar-benar melelahkan namun juga berbuah manis. Aku tersenyum bangga pada ketiga anak buahku. Seorang wanita paruh baya dengan gaya rambut bob,
Alunan musik terdengar indah, dengan suara merdu seorang penyanyi wanita yang menyanyikan lagu Tentang Rasa by Astrid. Suaranya indah menggema di dalam sebuah kafe yang berada di lantai bawah gedung perusahaan berlantai tiga milik keluarga Edzard tersebut. Lelaki itu duduk bersenda gurau menikmati makanan yang mereka pesan. "Setelah ini, anda mau kemana?" tanya Edzard menatap wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang itu. "Jangan panggil anda, panggil saya Angel saja," kata sang wanita yang duduk di hadapannya. Dia mengelap mulut dengan tisue. Mengambil gelas jus melon dan menyeruput lewat sedotan. "Aku akan pergi ke kantor saja, anda mau mengantar saya?" tanyanya. "Baiklah," jawab Edzard terkekeh. Dia berdiri untuk kudian mengulurkan tangan ke arah Angel. Wanita itu dengan senang hati meraih tangan tersebut da
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, yang pasti keduanya kini saling berciuman. Edzard ibarat binatang kelaparan, dia terlihat bringas memangut bibir sensual Angel dengan penuh gairah. Melumat habis, lidahnya menari-nari, menyeruak masuk ke dalam mulut Angel. Saling bertukar saliva masing-masing. Angel membalas dengan tidak kalah panas, menyambut dan ikut membalut bibir lawannya. Kecapan demi kecapan menggema, mereka dengan rakus membalas, menyesap bibir. Hingga kadar oksigen yang mereka hirup menipis. Keduanya menarik kepala, saling melempar senyum. Gurat kebahagiaan nampak tersungging di senyuman manis Angel. Mereka kemudian berpelukan cukup lama. Lelaki itu merasa bimbang dengan hatinya kini. Dalam hatinya masih tertulis nama Rere. Nama gadis yang tidak seharusnya bersemayan. "Mungkinkah dengan aku membuka hati untuk Angel. Semua akan baik-baik saja. Aku telah menciumnya, astaga. Aku
Tatapan penuh intimidasi membuat mereka berdua hilang nyali, serempak menundukkan kepala. Edzard memejamkan mata, menghela napas menahan emosi. Cukup lama mereka saling diam tiada kata. Angel, wanita tersebut lebih memilih mengamati dari jauh. Dia ragu untuk mendekat, meski sebenarnya ada rasa penasaran. "Katakanlah," ujar Edzard memecah kebekuan. Dia membuka mata, menatap sayu sang adik. Dia tahu benar Nayla tidak akan pernah menyukai Kenzo, gadis cantik itu telah dijodohkan kedua orang tuanya dengan salah seorang rekan bisnis. Seorang lelaki yang berkepribadian baik nan santun. Sesuai selera Nayla, tanggapan baik juga telah diutarakan Nayla, yang menerima rencana keluarga dengan tangan terbuka dan sumringah. Pertunangan keduanya telah di depan mata. Akan diselenggarakan beberapa bulan saat libur kuliah. Namun, melihat apa yang terlihat di depan mata membuatnya sangsi. Pikiran negatif menyergap di benak Edzar
Mengingat masa lalu, kala untuk pertama kalinya Kenzo bertemu Nayla. Si brengsek yang hobi mengoleksi perempuan sebagai pajangan dan pelipur kesepiannya. Dia akan selalu terpikat dengan wanita cantik, tak jauh berbeda ketika Kenzo bersua Nayla. Dasar playboy, dia terpikat akan pesona gadis tersebut. Berparas ayu, manis, berkulit putih mulus, hidung mancung, rambutnya panjang terurai, dengan poni menyamping rapi. Versi wanita dari sosok Edzard, hanya saja gadis muda itu lebih pendek sedikit. Rayuan demi rayuan tidak pernah mempan pada gadis bermata tajam tersebut. Jika Edzard membangun dinding besi menyelimuti hati bagi para wanita penggoda. Maka Nayla adalah mawar indah merekah nan berduri yang tidak mampu Kenzo sentuh meski dengan sejuta pesonanya. Yang tidak mudah digapai meaki banyak uluran tangan meraihnya. Edzard ikut menjaga bunga mawar indah itu agar tetap indah merekah. Balutan kasih sayang yang tidak terkira dari
Kenzo menghentikan laju mobil tepat di pelataran rumah sederhana keluarga Devan. Lelaki itu menoleh ke arah Nayla yang tengah terlelap dalam buaian mimpi. Wajah mulus itu nampak cantik dengan make up tipisnya. Bibir yang selalu mengucap kata pedas tersebut mengatup rapat dan terlihat menggiurkan bagi Kenzo. Tanpa sadar wajah lelaki itu mendekat, ciuman ringan mendarat di bibir sang gadis. Kenzo yang segera tersadar segera menarik wajahnya. Dia menghela napas panjang dan mengembuskan berat."Astaga, apa yang telah aku lakukan, dasar gila," umpat Kenzo dalam benaknya. Lelaki itu kemudian menepuk pelan pipi Nayla. "Nay bangun, sudah sampai," ujarnya. Nayla tidak menjawab. Ia masih terlelap. Karena kasihan, Kenzo akhirnya memutuskan untuk membopong tubuhnya. Lelaki itu keluar mobil berjalan mengitari menuju seberang. Ia membuka pintu mobil pelan, melepas sabuk pengaman yang dikenakan Nayla. Kenzo mengan
Rambut panjang Rere terbang terbawa angin masuk lewat jendela yang terbuka. Tatapan sang gadis itu masih melekat dua pasang sejoli yang tengah mengadakan lamaran tersebut. Senyumnya tersungging selalu, Kenzo menatap gadisnya dengan perasaan kesal, merasa terabaikan. Ia cemburu, padahal bukan pada sesuatu yang harus dicemburui namun, Kenzo tidak rela sang gadis fokus terhadap sesuatu selain dirinya. "Romantis bagaimana? Menurutku itu terlalu murahan untuk di sebut romantis, Sayang," ujar Kenzo kesal. "Abang tidak akan pernah tahu, kebahagiaan itu akan tetap ada meski sesuatu itu bersifat sederhana. Tinggal bagaimana kita menyikapi dan menerima," tutur Rere memandang wajah ketus Kenzo. Ia mengernyitkan kening menatap bingung, tidak mau ambil pusing, Rere kembali menyantap hidangannya. Ia kemudian
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A