Siang yang begitu panas, tidak menyurutkan rasa menggelora untuk saling memberi dan menerima. Peluh mengucur dari tubuh mereka, keduanya masih terlarut dalam samudra kenikmatan dunia. Memperdaya, menghanyutkan, ketika dua tubuh lelaki dan perempuan menyatu. Bergumul untuk menyelesaikan desakan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Secara naluri rasa yang memperdaya, rasa tidak pernah terpuaskan untuk melakukannya lagi dan lagi. Mencengkeram, dan tercekat terasa membelit sekujur tubuh.
Erangan bersahutan menggema di sebuah kamar kedap suara tersebut. Gerakan yang halus, penuh penghayatan terkadang menjadi brutal, cepat, menggelitik tubuh wanita di bawahnya. Membuat melayang terbang sampai langit ketujuh. Menginginkannya lagi dan lagi tanpa rasa malu. Kedua tangan lentik itu meraih punggung mencengkeram membuat sang lelaki mendekap, menekan. Gunung kembarnya terasa tertekan pada dada bidang maskulin si pria. Meresapi bagian bawah sana yang berkedut. Terisi bagian sensitif si pria, penuh sesak menelusup ke luar masuk dengan perkasa. Tanda merah bertebaran di leher dan dada si wanita, yang semakin mengerang terasa hampir gila di buatnya. Dicengkeram rambut pasangan bercintanya yang semakin tak terkendali.
"Ini menakjubkan!" erang keduanya bersaut-sautan, ketika klimaks. Kedutan dari sang jantan menyemburkan cairan kental hangat di dalam sana. Keduanya berteriak bersamaan dalam pelukan hangat, menikmati sensasi dari akhir lautan madu menggelora, memuaskan. Sang pria berguling telentang kesamping, keduanya mengatur kembali nafas yang terasa terputus-putus.
"Kamu memang selalu luar biasa, Sayang," ujar sang wanita mengecup dada bidang pria tersebut. Sebelum akhirnya bangkit dari ranjang berjalan menuju kamar mandi.
Senyum pria itu mengembang, ketampanan tidak mampu terlukiskan dengan kata, nyata terpampang di wajahnya itu, berkah dari bibit unggul. Menghanyutkan setiap wanita memandang. Perpaduan dari Arab, Jepang dan Indonesia menyatu dalam darah lelaki tersebut. Lelaki blasteran berbibir sexy, bertubuh tinggi seperti model, badannya kencang berotot, perutnya menonjolkan roti sobek, sixpack karena rajin olahraga setiap hari. Semakin membuat meleleh setiap wanita.
Dipejamkan mata indah itu, sesaat ia terlelap. Hingga sesuatu yang hangat menyentuh bagian kejantanannya. Ia membuka mata, menikmati sensasi seperti listrik menjalar sekujur tubuh. Namun, dering ponsel di meja lemari dekat ranjang berulang kali berbunyi seperti pengganggu.
"Tsek!" decak lelaki itu. Diraihnya ponsel tersebut. "Ha, halo," ujarnya terengah.
"Hey brengsek, alasan apa lagi yang sudah kamu lontarkan pada orang tuamu, untuk kabur dari perusahaan sampai menyeret namaku. Tau tidak, orang tua kamu menelepon orang tuaku berulang kali." Suara maskulin terdengar dari balik ponsel.
"Mampus!" pekik pria telanjang itu sembari menepuk jidatnya. Segera dia menepis tangan sang wanita memberi tanda untuk menghentikan aktivitasnya. Sang wanita tersenyum nakal, tetap melakukan dengan gencar gerakan bibir dan mulutnya. "Hah, sorry brow," ujar pria itu semakin terengah.
"Kalau kita tidak berstatus sahabat, sudah habis riwayat kamu sekarang," ucap lelaki dari balik ponsel lagi.
"Terus sekarang bagaimana?" tanya dia menggigit bibirnya sendiri, menahan sensasi perbuatan sang wanita.
"Datang ke taman kota sore ini, bantu aku membuat pemotretan adik tercintaku. Dia dan temannya sedang ikut kompetisi foto Kartini di kampusnya. Itu alasan yang aku ceritakan pada orang tuamu, dan ini yang terakhir kali, lain kali biarpun kamu sekarat di hukum aku tak peduli," pekik lelaki dari balik ponsel dengan suara dongkol.
"Kau memang yang terbaik brow, thanks. Satu jam lagi aku ke sana," katanya. Dilempar begitu saja ponsel ke samping tempat tidur. "Kau wanita nakal," kata lelaki itu lagi, senyumnya menyeringai. Dia menarik dan meraih wanita itu untuk menerima hukuman indah atas perbuatannya.
******
Di waktu yang sama, di tempat berbeda. Suara hiruk pikuk perkantoran menambah kebisingan.
"Dasar! Sudah aku duga dia memang parah," keluh lelaki yang mendengar suara erangan bersaut-sautan dari balik ponsel.
Dia menggelengkan kepala dan mematikan ponsel yang masih tersambung. Dirapikan dokumen yang ada di atas meja. Seorang pemuda masuk ke dalam ruangan.
"Pak Edzard, saya sudah menyiapkan mobil bapak, kita akan keluar sekarang atau nanti pak?" tanya pemuda itu.
"Kita undur setengah jam lagi, kamu boleh keluar sekarang!" perintahnya.
"Baik pak," jawab pemuda itu, menganggukan kepala, berjalan ke luar ruangan.
Suasana hening kembali, Edzard memandang bingkai foto di sudut meja. Di sana terpampang foto saat wisuda. Foto dia dan keluarganya dan satu lagi, pemuda tidak asing yang bukan keluarga ikut nempel.
"Kenzo, sampai kapan kamu akan menyebalkan seperti ini. Kita bukan pemuda lagi, usia kita sudah hampir kepala tiga," ujar Edzard dengan terkekeh.
******
Sore hari seperti waktu yang telah ditetapkan. Kenzo dan Edzard bersua di taman kota. Matahari mulai turun, namun cahayanya masih silau menyengat memancar. Banyak orang berlalu lalang di sepanjang taman.
Cekrek.
"Manis," bisik Kenzo mengamati bidikan fotonya. Nampak seorang gadis tersenyum manis, duduk di kursi bercat putih, di bawah pohon mangga.
"Ken, berhentilah jeprat jepret seenak jidat. Aku mengajakmu datang ke tempat ini bukan untuk memotret hal tidak penting," sungut Edzard.
"Bawel, lagi pula Nayla juga belum datang. Kamu tau gak waktuku itu berharga, jadwalku sangat padat," kilah Kenzo.
"Astaga! Ngak nyadar kamu ngomong begitu, siapa yang kabur tadi dan membuat rusuh?" sungut Edzard, memandang Kenzo dengan tatapan intimidasi.
Jleb! Terasa terkena pukulan telak Kenzo meringis nyengir menahan malu.
"Padat ya, aku tahu jadwal kamu memang padat. Padat kencan dengan wanita atau janda yang jumlahnya tak terhingga sepanjang masa," cibir Edzard.
"Jahatnya, memang kasih ibu tak terhingga sepanjang masa. Edzard kamu saja yang hidup terlalu lurus," kata Kenzo. "Tapi bukan berarti kamu juga harus jadi brengsek seperti aku juga," imbuhnya, Kenzo menundukan kepala. "Ngomong-ngomong apa kabar Helene? Terakhir kali kamu pacaran dengan dia. Dan sekarang kamu malah sendiri seperti begini. Kamu gagal move on dari Helene?" cerocos Kenzo.
"Bisa bahas yang lain?" tanya Edzard, wajah tenangnya mulai gusar.
"Maaf tapi, aku tidak tahu jika kalian akan saling jatuh cinta Zard. Jika tahu seperti ini jadinya, aku ngak akan mengenalkan kalian berdua," pinta Kenzo.
"Berhenti membahasnya, aku anggap itu semua sebagai pengalaman berharga. Aku tidak menyalahkan kalian. Dan aku juga berharap kamu lebih dulu menikah daripada aku. Berhentilah berbuat konyol, keluargamu menyayangi kamu Ken, hanya saja cara mereka berbeda," sanggah Edzard mencoba tegar.
"Dulu mereka membebaskan aku, tapi kini mengekangku. Lucu sekali," cibir Kenzo menertawakan kebodohannya. "Aku juga sebenarnya ingin Edzard, mencintai seseorang sampai membuatku menjadi lebih baik," lanjut Kenzo. Dia menatap langit luas di atas sana.
Bersambung... .
@lovely_karra
Bersambung….
Sayup-sayup angin berhembus membelai dengan mesra. Menerbangkan dedaunan kering, di antara sekian banyak orang berlalu lalang, terdapat dua lelaki tampan bak supermodel. Tubuh sixpacknya tertutup rapat di balik setelan jas yang mereka kenakan. Wajahnya mulus seperti perosotan tanpa noda. Hidung mereka mancung, mungkin bisa digunakan burung gereja bertengger. Banyak orang yang tidak tahu jika usia mereka sudah hampir menginjak kepala 3. Wajah memperdaya, yang menyamarkan usia terlihat lebih muda, menawan. Kedua sahabat berbeda karakter tersebut, masih asik berucap, saling melempar kata pedas, menjatuhkan satu sama lain, mengorek kelemahan masing-masing dari lawan bicara. Tanpa mereka sadari dua bidadari cantik memakai set kebaya orange dan yang paling putih berseri menggenakan kebaya merah datang menghampiri. "Kalian berdua mirip homo, Bang, mataku terkontaminasi melihatnya," celetuk seorang gadis. "Nayla, please.
Seperti pangeran yang membawa pulang putri ke istana. Semua mata hanya tertuju kepada mereka berdua. Seorang lelaki tampan menggandeng gadis manis di sampingnya. Para asisten rumah tangga dan tukang kebun terbengong. "Akhirnya tuan muda membawa seorang gadis pulang ke rumah," salah seorang wanita berteriak ketika, sang pangeran dan putri memasuki rumah mewah tersebut. Wanita itu berlari girang, mengabarkan kabar gembira pada para teman seperjuangannya. Di dalam rumah, dengan sopan Rere menyapa seorang wanita paruh baya cantik, duduk manis di sofa, yang dipanggil Kenzo dengan sebutan mama. Bukan kata sambutan yang Rere terima, akan tetapi. Wanita tersebut malah berteriak. "Papa?!" teriak wanita itu hampir membuat Rere melonjak karena kaget. Seorang lelaki paruh baya yang masih memperl
Jantung Rere berdetak tidak beraturan, rasa bahagia dan terkejut bercampur menjadi satu. Seperti tetesan air yang jatuh di tanah tandus nan gersang. Memberi sedikit air untuk tanah kering keronta. Menyejukkan. "Rere juga mencintai Abang, tapi untuk menikah sekarang Rere belum bisa. Rere masih kuliah semester awal, kan," jawab Rere, bak gayung bersambut. Kapal cinta Rere dan Kenzopun berlayar, hati lelaki itu berbunga layaknya pemuda jatuh cinta di usia yang tidak lagi muda. Tergesa Kenzo melajukan mobil kembali, keluar dari jalan tol, masuk ke dalam sebuah gang, tidak berapa lama mobilnya berhenti melaju, di sebuah rumah kecil asri. Kenzo membunyikan klakson, tidak berapa lama satpam membuka pintu gerbang. Rumah itu berlantai dua, cukup luas, tapi lebih kecil dari rumah yang pertama Rere kunjungi. "Bukannya Abang akan mengantar Rere pulang," tanya Rere, kala Kenzo membimbingnya ke luar dari mobil
Jantungku terasa berhenti, ada rasa aneh menggelitik diri. Rasa sakit yang tiba-tiba hadir, aku berusaha tenang menyembunyikan segalanya. Ruang makan seolah bertambah dingin, sedingin rasa menyelimuti, aku melepas satu kancing kemeja bagian atas yang aku kenakan. Melonggarkan leher yang tercekat seketika. "Sepertinya kamu sangat dekat dengan dia akhir-akhir ini," telisik Nayla yang masih mengunyah makanannya. "Em, Re, Kenzo nggak ngapa-ngapain kamu, kan. Dia nggak melakukan hal yang aneh-aneh?" tanyaku sangsi. "Tidak Bang, Abang Ken orangnya baik kok, tapi tadi dia menyatakan perasaannya pada saya dan mengajak saya menikah," tutur Rere. "Nikah?!" pekikku dan Nayla bersamaan. Aku dan adikku langsug saling pandang dan terkekeh merasa lucu. Diri ini semakin remuk, terpuruk, dalam kubangan kesedihan yang tidak aku tahu sebelumnya. "Seorang Kenzo Julian, anak dari salah satu orang t
Angin yang berembus memaparkan rasa dingin menyentuh tulang. Langit gelap gulita namun, bintang dengan setia menemani sang rembulan. Angin seraya menyapa pepohonan yang berdiri kokoh menjulang. Terdengar dedaunan yang terseok, bergemerisik. Rere tertidur dengan pulas bersama Nayla. Belaian mimpi menghantarkan lelapnya hingga mereka tidak menyadari, derik pintu terbuka. Menyembullah sesosok lelaki dari balik pintu, mengendap-endap masuk. Mendekat ke arah Rere, lelaki tersebut berjongkok di samping ranjang. Netranya menatap dalam seorang gadis yang tertidur. Wajah mendamaikan yang terpejam itu membuat ingin membelai. Malu-malu tangan nakal tersebut membelai halus pipi Rere. Tangan dingin yang menyentuh, membuat Rere mulai terusik. Mata Rere perlahan terbuka, dia terkejut, jantung berdebar seperti ingin melompat dari tempatnya. Rere hendak berteriak tapi sebuah tangan berotot membekapnya. Lebih mengejutkan lagi Rere seperti melihat Kenzo. Mata gadis te
Perlahan aku membuka pintu kamar yang bukan milikku. Aku berencana ke dapur mengambil air minum. Akan tetapi niatku terhenti ketika aku melihat adegan yang seharusnya tidak aku lihat. Wajah dan telingaku memanas, rasanya aku malu, kudengar rintihan lirih bersautan dari keduanya. Saking paniknya aku langsung kembali lagi ke dalam kamar. "Kenapa mereka harus bermesraan di ruang tengah," keluhku. Rintihan Rere masih menggema di pikiran sampai membuat adik kecilku hampir terbangun. Aku berjalan menuju kamar mandi, melucuti semua paksian. Membasahi seluruh badanku, dengan air yang mengalir dari shower, berharap bayangan itu segera menghilang. Aku kemudian mengambil air wudhu. Bergegas keluar kamar mandi mengambil tas ransel di atas meja kecil dekat tempat tidur. Tas itu memang sengaja aku bawa untuk menaruh pakaian ganti milikku dan Nayla. Sekuat tenaga berusaha khusuk menjalankan sholat sunah tersebut. Kupejamkan mata ketika berdziki
Rapat kali ini membahas tentang pembangunan cabang hotel dan rumah makan di tempat yang sama. Di salah satu objek wisata pegunungan teh. Dimana konsep pilihan kami adalah happy holiday. Mengedepankan fasilitas itu sudah pasti, tapi juga mengutamakan keamanan, kenyaman dan menyenangkan bagi pengunjung. Akan ada taman bermain yang ramah untuk anak-anak. Rencananya akan dibangun gedung berlantai lima sebagai awal permulaan dan menunggu respon dari para pengunjung. Jika responnya baik kedepannya lagi, tidak menutup kemungkinan akan dibangun fasilitas yang lebih lengkap lagi. Respon dari para rekan kerja sangat baik. Aku sangat bersyukur dan beruntung. Pemilihan tempat yang tepat sangatlah tidak mudah. Aku dan para anak buahku langsung turun kelapangan melihat langsung lokasi. Yah, perjuangan yang benar-benar melelahkan namun juga berbuah manis. Aku tersenyum bangga pada ketiga anak buahku. Seorang wanita paruh baya dengan gaya rambut bob,
Alunan musik terdengar indah, dengan suara merdu seorang penyanyi wanita yang menyanyikan lagu Tentang Rasa by Astrid. Suaranya indah menggema di dalam sebuah kafe yang berada di lantai bawah gedung perusahaan berlantai tiga milik keluarga Edzard tersebut. Lelaki itu duduk bersenda gurau menikmati makanan yang mereka pesan. "Setelah ini, anda mau kemana?" tanya Edzard menatap wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang itu. "Jangan panggil anda, panggil saya Angel saja," kata sang wanita yang duduk di hadapannya. Dia mengelap mulut dengan tisue. Mengambil gelas jus melon dan menyeruput lewat sedotan. "Aku akan pergi ke kantor saja, anda mau mengantar saya?" tanyanya. "Baiklah," jawab Edzard terkekeh. Dia berdiri untuk kudian mengulurkan tangan ke arah Angel. Wanita itu dengan senang hati meraih tangan tersebut da
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A