Prang! Di rumah itu, piring hancur berhamburan. Semua perabotan juga berantakan.Tampak sekali ada pertengkaran luar biasa sebelumnya. “Pergi kau dari sini! Laki-laki tidak tahu diri, masih untung aku dulu mau denganmu!” Mendengar ucapan sang istri, laki-laki itu sontak bergegas masuk ke dalam kamarnya dan mengemasi barang-barang pribadi miliknya. “Mulai sekarang, kau bukan siapa-siapaku lagi, detik ini juga ,aku mengatakan dengan lantang. Aku Talak kamu!” ucapnya lantang. Alih-alih takut, wanita itu berteriak tak kalah keras, “Baguslah, setidaknya mulai sekarang aku tak akan melihat wajahmu yang menjijikan itu!” Brak! Tanpa basa-basi, pintu rumah dibanting keras. Pria itu pun pergi meninggalkan sang istri.Hancur sudah pernikahan dua orang yang dulu saling mencinta--digantikan kemarahan yang meluap.“Mak …”Gadis kecil yang sedari bersembunyi tampak takut. Dia tak mengerti mengapa kedua orang tuanya yang penuh kasih sayang--terus-menerus bertengkar.Hanya saja, wanita itu just
“Bang, kamu gak kerja lagi hari ini?”Adi menggeleng lesu. “Enggak dek, masih belum ada yang butuh tenagaku.”“Kalau belum ada orang yang butuh tenaga Abang, ya Abang cari kerjaan lain dong! Jangan malah enak-enakan duduk ngopi aja. Tuh beras sama keperluan dapur lainnya udah mau habis! Apalagi sebentar lagi mau bayar uang SPP Nadia, mau dapat uang dari mana, kalau Abang gak kerja?”“Iya, nanti Abang tanya-tanya sama temen.”“Kok nanti? Sekarang, dong!” ucap Santi ketus. Dia pun kembali ke dalam rumah sambil cemberut. Baginya, sang suami tidak ada usaha sama sekali.Sudah dua bulan ini, kerjanya di rumah saja. Alasan sang suami adalah tidak ada yang membutuhkan pijat refleksi darinya.Padahal, kebutuhan rumah ‘kan semakin menumpuk!“Bun, minta uang. Aku ada kas hari ini.” Suara anak bungsunya menyadarkan Santi dari lamunan.Namun, wanita itu masih dikuasai emosi.Tanpa memedulikan gadis kecil yang masih mengadahkan tangannya ke depan, Santi pun berlalu.“Minta saja sana sama ayahmu,”
Seminggu berlalu setelah percakapan itu, tetapi sang suami belum juga mengirim uang.“Ck! Katanya gajinya mingguan, kok abang gak ngirim-ngirim sih!” gerutu Santi sebal.Entah mengapa, yang dipikirkan hanya uang saja.Dia seolah tak peduli apa pekerjaan suaminya dan kesulitannya.Tut!“Bang, ini sudah seminggu Abang kerja, kenapa belum mengirim uang? Katanya mingguan?” cerocosnya setelah sambungan telepon diangkat oleh suaminya.“Ya Allah dek, bentar, nanti sore Abang kirim kerekening Nadia, sekarang Abang lagi kerja.”“Ya sudah! Awas aja kalau nanti sore belum dikirim!” ucapnya ketus kemudian langsung memutuskan panggilan sepihak tanpa memberi salam.Adi hanya mengelus dada, dan langsung kembali bekerja.Sayangnya, Al-Dasim mulai bekerja. “Istrimu itu cerewet. Yang dipikirkannya hanya uang. Bahkan kemaren saat kau menepolnnya dan mengatakan kau tak enak badan, dia malah menghinamu. Apa kau ingat? Dia bilang belum seminggu kau kerja sudah mau sakit dan dia juga bilang kalau kau janga
“Emak dari mana?”“Jangan banyak Tanya! Sana bikin kopi buat Om Wawan!”Nadia tak membantah, dia berlalu ke dapur. Sedangkan Wawan menatap Nadia dengan pandangan berbeda, tanpa Santi sadari.“Aku ke dalam dulu ya, mau naruk ini di kamar.”ucapnya sambil memperlihatkan paper bag-paper bag kepada Wawan.“Mak, gak baik bawa temen laki-laki ke dalam rumah di saat Ayah gak ada di rumah.”“Heh, gak usah ceramah deh! Kau sama kayak bapakmu, sok Alim.”“Emakk … Mila mau minta uang, beli jajan.”“Ini lagi! Bisanya Cuma minta uang!” desisnya sambil mendorong Mila.Untung saja Nadia dengan sigap menangkap adiknya, jika tidak. Mungkin kepala Mila sudah terbentur sisi meja.“Mak!”“Apa?! Jangan melihatku seperti itu!”Santi pergi setelah menoyor kepala Nadia cukup keras.“Huhuhu .. Ayah.”“Sabar ya dik, Adik mau jajan ‘kan? Nanti kakak kasih uang, ya. Sekarang Adik jangan nangis lagi, ya.”Gadis kecil tersebut mengangguk cepat dan langsung mengusap air matanya dengan kasar, Nadia tersenyum.“Heh!
“Ini Abang hanya dikasih 150 ribu, itu pun buat uang makan Abang selama seminggu lagi disini, Di.”“Hallah, ya jangan ngandalin penghasilan dari itu, dong Bang! Abang ‘kan bisa mijit. Hari libur gunain waktunya buat mijit, harus pinter-pinter putar otak biar penghasilannya cukup!” maki Santi dengan kasar.Al-Dasim tertawa puas.“Hahaha .. sifat alami manusia, selalu menganggap dirinya yang paling benar, dan ‘tak mau ngeakui kesalahan, jarang bersukur dan selalu kurang dengan pemberian Tuhannya, tetapi kenapa mereka justru menjadi ahli syurga?”“Kau tidak perlu berpikir terlalu jauh, tugasmu hanya menghasut dan menggoda mereka, supaya mereka ingkar kepada Tuhannya!” ingat salah satu Jin yang kebetulan ada di rumah itu, “Hei—Al-Dasim, pergilah ke rumah-rumah, hasut wanitanya, berilah dia rasa lelah yang bertubi-tubi, hilangkan rasa syukurnya, buat dia merasa kalau bebannya di rumah terlalu berat. Dengan begitu dia akan selalu mengeluh tentang pekerjaannya yang tak habis-habis, maka dia
“Tapi aku masih ragu, Wan. Bagaimana kalau bukan hanya dia wanita di sana? ‘kan aku gak tau dan gak melihat langsung” jelasnya dengan suara lirih yang dibuat-buat.“Tak apa, ada aku di sini.” Rayunya.Santi kembali di buat melayang di buat Wawan.“San, bagaimana kalau kita bertemu lagi? Apa kau tak keberatan, hum?”“Ketemu?”“Iya, kalau ketemu, kau bisa bebas curhat tentang masalahmu.”Santi pun setuju, dia segera bergegas mandi dang anti baju, lagi pula sekarang dia hanya sendiri di rumah bukan? Ke dua anaknya sedang sekolah, Mila mungkin nanti setelah dzuhur baru pulang, sedangkan Nadia sudah pasti sore, tetapi dia akan meminta Minah untuk menjemput Mila di sekolah. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu Mila lebih dulu pulang dari dirinya nanti.Dalam benaknya, dia pasti akan di ajak beli baju-baju bagus lagi, seperti kemarin. Santi se akan lupa, lelaki berbuat baik berarti menginginkan sesuatu kecuali orang itu adalah suaminya, atau memang orang-orang yang memiliki hati tulus pada d
Sampai makanan dan minumannya datang, Nadia tak kunjung tenang memikirkan sang adik yang entah kemana, atau mungkin dia lupa, bahwa Minah selalu senantiasa menjaga mereka, jika sang Ayah atau Emak mereka keluar rumah. Rasanya hambar, tetapi dia tetap berusaha menelan makanan yang di sajikan. Entah inisiatif dari mana, Nadia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, dia lansung memotret Emaknya dan orang asing yang harus dia hormati, itu pesan Emaknya. Nadia membekap mulutnya sendiri, saat Wawan menyuapi Emaknya. Bahkan mereka sedang berpegangan tangan, air matanya sudah menganak sungai tetapi Nadia tahan sebisa mungkin. Dia kepikiran saang Ayah, bagaimana jika Ayahnya tau kalau istrinya bermain api bersama laki-laki lain? Nadia bergegas menghabiskan makanan yang terhidang di atas meja, dia tidak bisa berlama-lama di sana, dia khawatir adikknya sedang sendiri di rumah, terlebih lagi dia takut, Emaknya memergokinya sedang selingkuh di sana. “An .. aku—aku pulang dulu, y
“Mau kerja di sini saja, sambil jaga anak-anak,”Adi melanjutkan langkahnya ke dalam kamar, dia meletakkan barang-barang yang dia bawa yang kebanyakan baju kototr yang tidak sempat ia cuci di sana.“Abang gak boleh begitu, kalau Abang berenti kerja mau makan apa kita? Jangan malas jadi laki-laki! Gak ada tanggung jawab sekali!”“Gak ada tanggung jawab? Apa selama nikah, aku ‘tak pernah bekerja? Apa selama ini aku ‘tak menafkahi kamu? Jawab!” geram Adi.Santi terhenyak, selama ini Adi tidak pernah sekalipun meninggikan suara kepadanya.“A—aku,”“Aku capek San! Selama aku kerja di luar apa yang kamu lakukan?”“Ma—maksudmu, Bang?”“Kenapa kau ‘tak mengantarkan anak-anak ke sekolah?”“Aku mengantarkan anak-anak ke sekolah, kok.”“Oh, iya?” Adi tersenyum sinis lalu membanting pintu cukup keras dan menguncinya dari dalam.“Bang!”“Aku capek, ingin istirahat. Kau pergilah bersama teman laki-lakimu itu! Tapi jangan sampai anak-anakku tahu, atau kau akan menyesal,” kecam Adi tanpa membuka pin
“Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s
Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir
Arman bekerja dengan begitu keras, tidak peduli siang dan malam. Karena Vivi sendiri lepas tangan, padahal itu adaalah hutang orang tuanya juga. Vivi ‘tak mau ambil pusing akan hal itu. Sehingga Arman harus banting tulang sendiri untuk melunasi hutang Ayahnya, yang kini menjadi hutang di Bank.Arman berinisiatif meminjam uang di Bank dengan mengadai sertifikat rumah tersebut, awalnya Vivi menentang dengan keras karena takut rumah tersebut juga akan di sita oleh pihak Bank. Tetapi untungnya Arman bisa meyakinkan, sehingga hutang Ayahnya kepada rentenir lunas, tinggal hutang di Bank atas nama dirinya.Sehingga Vivi sangat membenci Nilam, karena baru beberapa hari menikah Bapak mereka meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang, begitu juga dengan Ibunya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu, yang pada akhirnya harus membuat mereka hidup berdua beserta pasangan masing-masing, di rumah peninggalan orang tuanya tersebut.“Aku kakak tertua, aku adalah pengganti Ibu sekarang, karena bel
Tetapi tiba-tiba Althaf menangis dengan kencangnya. Membuat Nilam terperanjat kaget ia langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari menuju kamarnya.Sesampainya di dalam kamar, Althaf tengan telentang seraya menangis dengan kencang, buru-buru menggendong sang buah hati, di telisiknya wajah Althaf dengan seksama, ternyata ada sedikit memar di dahinya.“Mbak, Althaf ini kenapa?” tanyanya kepada kakak Iparnya yang sedari tadi hanya diam melihat Althaf menangis tak henti-hentinya.“Ya, ini semua gara-gara kamu. Kalau punya anak di jaga! Masak di biarin di kamar sendirian!”“Aku lagi nyuci beras buat masak Mbak”“Hallah .. ya bawa saja si Althaf, kalau kamu bawa dia tadi, gak mungkin dia akan kejedot pintu saat aku mau masuk kamar kamu!”Althaf mulai tenang, anak kecil itu menyusu kepada Ibunya.“Mbak mau ngapain ke kamar aku?”“Ya terserah aku mau ngapai aja ke kamar kamu, toh ini masihh rumahku! Ya suka-suka aku lah!”Nilam menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar, percuma
“Nil, kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu!”Nilam hanya tertunduk lesu, pasalnya dirinya baru gagal bertunangan dengan pria pilihannya sendiri. Dulu dia sempat lolos dari perjodohan yang kedua orang tuanya tawarkan, karena menerima lamaran dari pria kenalan teman dekatnya. Tetapi siapa sangka, lelaki tersebut hanya mempermainkan perasaannya saja, padahal kedua orang tua masing-masing sudah mengetahui hubungan mereka.Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, Nilam harus menerima perjodohan tersebut, lelaki yang dulu masih orang tuanya jodohkan kepadanya.Hingga pernikahan tanpa cinta pun terjadi, semua berjalan lancar sesuai kehendak kedua orang tuanya.“Kamu cepat hamil ya, cepat punya anak. Ibu sama Bapak ingin menggendong cucu dari kamu.” Ibunya berkata seraya menyerahkan jamu subur kepada Nilam yang kebetulan bertandang ke rumah orang tuanya.Padahal pernikahan keduanya baru berjalan 3 bulan, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak sabar, dan memaksa Nilam untuk
Malam kembali datang, menyapa mereka yang ingin ketenangan.Yesa kembali berkumpul dengan saudaranya yang lain, saling bersenda gurau seperti biasanya.Tiba-tiba saja Mertuanya datang bersama seseorang yang tidak terlalu bisa dia kenali, karena kedua orang tuanya dan juga saudaranya yang lain untuk menyuruhnya kembali masuk ke dalam kamar.Yesa mendengarkan semua pembicaraan dan perdebatan diantara mereaka, karena memang kamarnya berada tepat di samping ruang tamu.“Kami meminta maaf atas nama Agam putraku”“Kami sudah memaafkannya, besan. Tetapi maaf, untuk kembali menjadi istri Nak Agam putri bungsu saya sudah tidak bisa, dan kami berhak memberinya keputusan atas dirinya sendiri.” Jelas sang Ayah sembari menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon maaf.“Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?”Ayah dari Yesa menggeleng, “Tidak, maaf!” ucapnya tegas.Lelaki tersebut menghela nafas berat, dia harus terima jika keputusan yang diambil kali ini adalah memisahkan putranya dan sang
“Nelfon siapa?” Tanya Agam tiba-tiba.Agam kembali ke kamar dan mendapati istrinya mendekatkan posel ke telinganya, pertanda sedang menpon seseorang.“Mbak Tya”“Buat apa?”“Minta di jemput, ‘kan kamu sendiri yang ngusir tadi!” Tanpa banyak bicara Agam langsung mengambil ponsel istrinya dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan Yesa di kamar mereka sendirian.‘Pergilah dari sini, tinggalkan pria tak tahu diri seperti dirinya. Selagi kalian belum memiliki anak, kau harus hidup bebas Yesa. Jangan biarkan lelaki itu terus menindasmu!’Yesa menghela nafas, mau tidak mau dia harus pakai cara lain. Selama ini dia sudah cukup diam, toh mereka tidak memiliki anak untuk dipertahankan, lebih baik sendiri dari pada nelangsa dan makan hati tiap hari.Yesa membulatkan tekadnya untuk pergi dari kehidupan Agam. Dia akan pergi, dan harus pergi!Siang itu Yesa bersiap pergi dengan membawa beberapa helai bajunya yang ia sembunyikan di tas dagangannya.“Mau kemana kamu?” Tanya kakak Iparnya.“Mau ngan
“Dek, baju kamu kok begitu sih? Gak usah pake celana lah!”“Kenapa? setidaknya bajuku panjang sampai betis kok”“Iya aku gak suka! Ganti baju sana, nurut sama suami!”Yesa menurut, padahal sebentar lagi mereka akan berangkat kondangan ke rumah saudaranya. Sedari tadi malam Yesa sudah membantu di rumah saudaranya itu hingga larut, baru kembali pulang. Pagi-pagi juga begitu, hingga hari berganti siang, dan siang berganti sore, Yesa seharian itu membantu tanpa istirahat.Itu pun terkadang masih saja salah di mata orang-orang sekitarnya, entah karena sudah terhasut gunjingan Ipar atau mertuanya, atau memang orang-orang sana yang memang tidak suka atas apa yang dilakukan oleh Yesa. Padahal setahunya, dirinya tidak pernah berbuat masalah kepada orang lain.Yesa kembali menemui Agam dengan memakai gamis syar’I yang menurutnya terlalu kebesaran, tetapi begitulah. Apalagi dirinya di kenal dengan menantu dan Istri dari seorang Ustadz. Jadi dia harus bisa menjaga penampilannya sesantun mungkin
“Dia Lina, salah satu waninta yang ikut clup touring”“Harus ya, sampai meluk gitu?”“Memangnya kenapa? Toh hanya teman! Anak-anak di clup juga pada tahu kok kalau aku sudah menikah! Sudahlah jangan memperpanjang sesuatu yang tidak penting! Jangan berlebihan dalam menanggapi sesuatu!” ujarnya ketus.Agam melenggang pergi keluar dari kamarnya meninggalkan Yesa sendiri yang masih mematung di tempatnya.Apa katanya? Yesa berlebihan dalam menanggapi sesuatu? Lalu yang dilakukan selama ini kepada Yesa apa? Bukankah dia yang terlalu berlebihan? Sedangkan Yesa hanya bertanya saja! Yesa menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya perlahan, dirinya pergi ke dapur untuk membuatkan makan siang atau sekedar kopi untuk suaminya yang baru pulang ke rumah setelah bepergian jauh.Yesa melihat di luar suaminya menerima sebuah paket yang cukup mahal baginya, tanpa berlama-lama lagi Agam langsung memasang besi tambahan yang kurir berikan tadi.“Dimodif lagi?” Tanya Yesa kemudian meletakkan kopi yang