Share

bab 6

Penulis: aksara-nisaa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sampai makanan dan minumannya datang, Nadia tak kunjung tenang memikirkan sang adik yang entah kemana, atau mungkin dia lupa, bahwa Minah selalu senantiasa menjaga mereka, jika sang Ayah atau Emak mereka keluar rumah.

Rasanya hambar, tetapi dia tetap berusaha menelan makanan yang di sajikan. Entah inisiatif dari mana, Nadia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, dia lansung memotret Emaknya dan orang asing yang harus dia hormati, itu pesan Emaknya.

Nadia membekap mulutnya sendiri, saat Wawan menyuapi Emaknya. Bahkan mereka sedang berpegangan tangan, air matanya sudah menganak sungai tetapi Nadia tahan sebisa mungkin.

Dia kepikiran saang Ayah, bagaimana jika Ayahnya tau kalau istrinya bermain api bersama laki-laki lain?

Nadia bergegas menghabiskan makanan yang terhidang di atas meja, dia tidak bisa berlama-lama di sana, dia khawatir adikknya sedang sendiri di rumah, terlebih lagi dia takut, Emaknya memergokinya  sedang selingkuh di sana.

“An .. aku—aku pulang dulu, ya?” ijiika sudah sampai dimeja sang sahabat.

“Hah! Kenapa?”

 “Emak, Emak tadi mengirim pesan, aku suruh jaga Mila—adikku, soalnya Emak katanya mau bantuin Mbak Minah bikin kue kering, pesanan  kue kering Mbak Minah banyak banget.” Dustanya.

“Yaudah, gak papa, Nad. Terima lasih sudah nganterin Ani kesini, pulangnya nanti, biar aku yang anter ke rumahnya.” Sela Roni.

Nadia tersenyum.

“Kalau pulang, jangan langsung anterin ke depan rumah, ya. Bisa-bisa digorok nanti aku sama Bapakku!” pinta Ani.

Nadia dan Roni terkekeh, mereka tahu, kalau kedua orang tua Ani sangat tegas sama anak-anaknya.

“Yauda, aku balik dulu, ya. Ron, terima kasih traktirannya.”

Roni mengacungkan jempol, Nadia langsung berlari kecil keluar dari café tersebut, dia tidak peduli tatapan aneh orang-orang saat melihatnya .

**

“Dek! Mila!” panggilnya saat baru turun dari motornya.

Nadia keliling rumahnya, tetapi tidak menemukan sang adik.

“Nad, cari Mila?”

“Astagfirullah, Mbak. Kaget Nadia.”

Bagaimana Nadia tidak terkejut, pasalnya hanya kepala Minah yang terlihat di ambang pintu. Minah tertawa terpingkal-pingkal melihat  ekspresi terkejut dari waajah Nadia.

“Adikmu, Mila sedang tidur di rumah Mbak.” Jelasnya setelah puas tertawa.

Nadia menghela nafas lega, dia langsung menutup pintu dan bersama-sama pergi ke rumah Minah.

“Kamu gak ganti baju dulu?”

Nadia meneepuk dahinya perlahan.

“Ganti baju dulu, sana. Besok mau di pakai lagi ‘kan? Takut kotor bajunya.”

Nadia menurut, dia berbalik arah kembali menuju rumahnya.

“Kasian kalian, Ayah kalian bekerja dengan keras samapi-sampai harus berpisah sama kalian, sedangkan Emak kalian sibuk memadu kasih dengan pria lain di luar.”  ucapnya prihatin.

“Loh, Mbak? Nungguin Nadia? ‘tak kira saudah masuk duluan.”

Minah tersenyum tulus. “Biar tidak tersesat kau.”  Selorohnya.

Nadia tertawa, lalu kemudian masuk ke dalam rumah Minah dan ikuti Minah dari belakang.

Nadia memperhatikan Mila yang terlelap tidur dengan seksama, damai, itu yang tertangkap dari raut wajah sang adik. Hatinya teriris, saat mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu.

Dia melihat kembali foto yang tadi di café, tanpa dia sadari, Minah juga melihat hasil jebretannya.

“Nih, Mbak Minah juga punya.”

Minah menyerahkan ponselnya, dimana foto sang Emak bersama laki-laki tersebut di depan rumah mereka.

“Loh, Mbak?”

“Foto ini, Mbak ambil waktu teteh gak pulang seharian. Jam 3 dini hari kayaknya, Mbak keluar rumah, buat jemur pakaian, lalu melihat Emakmu turun dari mobil laki-laki, ya balik lagi dong Mbak ke dalam rumah.” Jelasnya sambil terkekeh geli mengingat kejadian itu, kejadian di mana ia buru-buru masuk ke dalam rumah sampai saldalnya ketinggalan sebelah, karena tidak ingin Santi memergokinya .

“Kasian Ayah.”

Minah tertegun, hatinya mencelos. Dia tidak ingin merusak rumah tangga tetangga samping rumahnya, awalnya dia ingin pendam sendiri, entah ada bisikan dari mana dia kemudian mengirim gambar tersebut ke nomor telepon Adi, dia menjadi merasa bersalah kepada gadis polos di depannya ini.

“Mbak Minah, cerai gara-gara di selingkuhin juga, ya?”

“Eh, dapat berita dari mana, kalau Mbak cerai gara-gara selinguh?”

Nadia cengengesan.

“Dari Mpok Ipah.”

“Jangan percaya, dia itu ‘kan memang penyebar gossip, mana gosipnya gak bener lagi” sungutnya.

“Kalau kamu mau tahu cerita yang sebenarnya, ayok ke dapur. Di sana Mbak akan cerita, tenang saja. Ini real bukan hoax, karena dari sumbernya sendiri!”

Nadia membantu Minah mencetak kue kacang, sedangkan Minah mengolesi Loyang dengan sedikit margarin, supaya ketika kue kering di panggang, kue tersebut tidak lengket pada Loyang tersebut.

“Dulu, awal-awal nikah, Mbak  sama suami Mbak baik-baik saja, namanya juga pengantin baru, ye ‘kan!”

Nadia diam, tetapi dia menyimak semua kalimat yang keluar dari mulut Minah.

“Suami Mbak namanya Bang Ridwan.”

Minah menjeda kalimatnya, wajahnya mengadah ke langit-langit dapur mungkin dia tak ingin Nadia melihat setetes air mata yang mulai jatuh ke pipinya.

“Dia sangat menyayangiku dan Ibunya, tetapi dia tidak adil dalam membagi kasih sayangnya, yang selalu dia utamakan adalah Ibunya. Dulu, Mbak masih tinggal bareng sama mertua. Jadi, ketika Mbak ada sedikit masalah dengan mertua, Bang Ridwan selalu membela Ibunya, tanpa mau mendengarkan penjelasannya Mbak terlebih dulu.”

“Bahkan Mbak pernah ditampar di depan mertua, sedangkan saat itu Mbak dalam posisi membela diri.”

“Segitunya Mbak?”

Minah mengangguk.

“Jadi intinya, kau harus berpikir dua kali kalau mau menikah dengan laki-laki, yang apa-apa masih tergantung dengan keputusan orang tua, laki-laki yang gak berani ambil keputusan sendiri. Iya kalau Ibunya bijak, kalau tidak? ‘kan kita sendiri yang sengsara. Seumur hidup itu terlalu lama! Tidak papa di panggil janda asal batin tidak tersiksa. Toh, janda bukan aib.” Jelasnya.

“Kalau cerita versi Mpok Ipeh gimana?” Tanya Minah kepada Nadia sambil memsukkan kue-kue kedalam Loyang.

“Mpok Ipeh bilang, kalau Mbak di selingkuhi gara-gara, iya itu. Mbak perempuan gak berbakti sama suami dan mertua.”

Minah tertawa kecut, mulut orang hanya tahu menilai orang dari luarnya saja, tanpa tahu bagaimana dalamnya.

“Mbak, sebagian sudah ada yang matang nih, mau taruk di mana?”

“Taruh saja di wadah besar itu, Nad.” Tunjuknya pada wadah besar yang tepat berada di belakang  Nadia.

Mereka kembali larut dengan pekerjaan masing-masing sampai Mila datang mengagetkan mereka.

“Sudah bangun?”

Mila hanya mengangguk lirih.

“Sudah adzan maghrib, kalau mau pulang gak papa. Kok.” Ucapnya Minah sambil menyerahkan dua toples kue kering kepada Nadia.

“Kita di sini saja, Mbak.”

“Mbak sebenarnya gak masalah kalian di sini, mau nginep sekalian gak papa, malahan Mbak seneng bisa ada temen ngobrol. Tapi, bagaimana dengan Emak kalian nanti? Dia bisa marah kalau maghrib-maghrib begini kalian tidak ada di rumah.”

“Emak aja maghrib-maghrib begini belum pulang.” Jawab Nadia tanpa melihat ke arah Minah.

“Tapi, benar juga apa kata Mbak Minah, meski terasa tidak adil bagi kami, yang merasa di telantarkan oleh Emak kandung sendiri.”

Nadia beranjak dari duduknya menggandeng tangan Mila yang tampak lesu karena masih mengantuk.

“Pulang dulu Mbak, Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Minah mengantar mereka sampai ke depan pintu rumahnya. Tiba-tiba saja dia tidak jadi menutup pintu karena mendengar seseorang melangkah.

“Dari mana Teh? Maghrib-maghrib begini baru pulang.”

“Dari rumah teman lama!”

Santi buru-buru menutup pintu sesaat setelah menjawab pertanyaan Minah.

“Tetangga kepo, pengen tahu saja urusan orang lain, urus diri saja belum mampu. Sampi sekarang masih menjanda!” gerutu Santi.

Bukankah tetangga itu saingan terberatmu untuk mendapatkan Wawan? Apalagi dia pernah memuji tetanggamu itu.

Santi menjedai surai panjangnya, hasutan-hasutan Dasim berhasil membuatnya lupa siapa dirinya, dia lupa bahwa dia masih memiliki seorang suami.

“Emak baru pulang? Dari mana, Mak?”

“Ini lagi, semakin hari kamu itu semakin mirip sama janda sebelah, mau tahu saja urusan orang!”

Santi melanjutkan niatnya pergi ked lam kamarnya, sedangkan Nadia masih tertegun, sekarang keputusannya sudah bulat. Ayahnya harus kembali berkerja di rumah,

“Semakin dibiarin, Emak semakin menjadi!”

Kekesalan sang anak sepertinya terasa hingga sang ayah.

Kini Adi gelisah. Dia membaca pesan dari anaknya berulang kali. Naluri seorang Ayah yang tidak ingin terjadi sesuatu kepada anak gadisnya.

“Kenapa, Di? Uring-uringan terus.”

“Begini, Bang …”

“Aku .. aku mau berhenti kerja.”

“Loh, kenapa?”

“Nadia, anakku kalau pulang dari sekolah selalu digoda sama preman-preman yang nongkrong di jembatan perbatasan kampung kita.”

“Memangnya, anakmu pergi-pulang sekolah sendiri? Emaknya ke mana?’

Adi bergeming.

“Kalau itu keputusanmu, aku gak bisa maksa. Besok biar ku antar pulang kembali ke rumahmu,”

Akhirnya Adi dan Jamal mencapai kesepakatan. Meskipun berat, Adi tetap memilih berhenti bekerja, karena dia tidak bisa menjamin keselamatan putrinya jika jauh dari keluarga. Dia juga tak habis pikir, kemana Santi sampai membiarkan anak-anaknya pergi dan pulang sekolah sendiri.

Apalagi Nadia, dia sekolah di luar kampungnya.

Sekolah Negri, sedangkan di desa mereka sekolah menengah atas belum ada.

'Apa aku perlu kasih tahu kalau aku pulang, ya?' Adi menggelengkan kepala. Lebih baik, dia langsung ke sana saja.

Toh, dia merasa sejak kerja di luar daerah, keluarganya malah hancur.

Adi harus menyelamatkannya!

***

“Assalamu’alaikum,” ucap Adi begitu di rumah.

“Waalaikumsalam," balas Santi, "Loh? Kok pulang Bang?”

“Aku berenti kerja, San.”

“Apa!? Kenapa Bang?!” Bukannya senang, Santi tampak marah, "Kok kamu gitu sih!"

Bab terkait

  • Godaan Jin Dasim   bab 7

    “Mau kerja di sini saja, sambil jaga anak-anak,”Adi melanjutkan langkahnya ke dalam kamar, dia meletakkan barang-barang yang dia bawa yang kebanyakan baju kototr yang tidak sempat ia cuci di sana.“Abang gak boleh begitu, kalau Abang berenti kerja mau makan apa kita? Jangan malas jadi laki-laki! Gak ada tanggung jawab sekali!”“Gak ada tanggung jawab? Apa selama nikah, aku ‘tak pernah bekerja? Apa selama ini aku ‘tak menafkahi kamu? Jawab!” geram Adi.Santi terhenyak, selama ini Adi tidak pernah sekalipun meninggikan suara kepadanya.“A—aku,”“Aku capek San! Selama aku kerja di luar apa yang kamu lakukan?”“Ma—maksudmu, Bang?”“Kenapa kau ‘tak mengantarkan anak-anak ke sekolah?”“Aku mengantarkan anak-anak ke sekolah, kok.”“Oh, iya?” Adi tersenyum sinis lalu membanting pintu cukup keras dan menguncinya dari dalam.“Bang!”“Aku capek, ingin istirahat. Kau pergilah bersama teman laki-lakimu itu! Tapi jangan sampai anak-anakku tahu, atau kau akan menyesal,” kecam Adi tanpa membuka pin

  • Godaan Jin Dasim   bab 8

    Brakk … Santi membanting tasnya ke atas meja dengan kesal. “Kenapa ‘tak jemput aku, Bang?” “Aku jalan kaki dari gang depan, sampek kesini.” gerutunya. “Kenapa ‘tak minta antarkan sampai depan rumah sama selingkuhanmu?” Santi merengut. “Selingkuhan apa lah, Bang? Dia itu temanku,” Adi menghela nafas “Mila, Nadia. Kalian makan di kamar ya?” pintanya. “Heh, apa-apaan makan di kamar. Nanti kotor!” ucap Santi dengan meninggikan suaranya. Entah lupa atau memang sengaja dia membentak anak-anak di depan Adi. Brak .. Adi menggeprak meja dengan keras, membuat Santi dan kedua anaknya terkesiap. Mereka sudah sering kali melihat Santi marah-marah, tetapi kali ini Ayahnya yang melakukan, bagaikan gunung yang siap meletuskan larvanya, seperti itu ketika dia lihat kilat amarah dimata sang Ayah. “Masuk kamar!” Tanpa membantah lagi, mereka pergi tanpa mempedulikan sang Emak yang sedang melotot. “Aku sudah cukup sabar sama semua sifatmu, San!” ucap Adi tegas setelah anak-anak berada di ka

  • Godaan Jin Dasim   bab 9

    Setelah kepergian Adi, Dasim tertawa terbahak-bahak, tawanya sangat kencang, mungkin jika tawanya di dengar manusia, gendang telinga orang itu akan pecah, atau mungkin karena mendengar tawanya, orang itu akan mati di tempat. Mengerikan memang! ‘Hahaha .. aku sudah melakukan perintah Tuhan, dengan memperlihatkan kecurangan pasangan terhadap pasangannya sendiri! Bukankah aku makhluk yang deratnya jauh lebih unggul? Haha .. itulah aku, aku adalah Al-Dasim’ Dasim meninggalkan tempat itu dengan memegang kemenangan yang Telak, tugasnya cukup mengerikan. Sekarang dia menemui manusia yang menjadi target selanjutnya. Apalagi ujian yang paling berat bagi rumah tangga,ekonomi atau yang lain? Hati-hati! Bisa saja Al-Dasim sedang mengincar keluargamu. Waspadalah dengan gondaan dan hasutannya! “Apa yang kau lakukan, San? Hingga suamimu lepas tangan?” “Aku .. aku tidak melakukan apapun, Pak,” “Jangan berbohong! Bapak tahu betul sifat suamimu, kalian menikah bukan hanya sekedar 5 atau 6 tahun!

  • Godaan Jin Dasim   bab 10

    Lelaki itu kembali melihat kertas yang berisi sebuah alamat yang diberikan kakek misterius tempo lalu, dia tampak ragu untuk turun dari mobilnya, pasalnya sepenjang mata memandang hanya ada kayu jati yang tumbuh menjulang tinggi dengan daunnya yang cukup rimbun, sampai mampu menghalangi sinar matahari disore hari itu.Setelah pertimbangan yang cuku matang, lelaki itu turun dari mobilnya, mencoba melihat sekitar, siapa tahu dia melihat orang, meski mungkin sangat mustahil, mengingat dia berada ditengah jalan yang kanan kiri diapit pohon jati. Sedangkan didepannya jalan buntu dengan semak belukar setinggi perut orang dewasa.Tak sengaja ekor matanya melihat seorang laki-laki duduk meneduh di bawah pohon jati, gegas ia menghampiri. Dia juga heran, padahal tadi dia sudah melihat sekitar, hanya hampa, tetapi tiba-tiba saja lelaki paruh baya duduk dibawah salah satu pohon tak jauh dari tempatnya berdiri. Cukup ganjil memang, tetapi demi misi dan ambisinya, dia tak menghiraukan keganjila

  • Godaan Jin Dasim   bab 11

    Bukankah iblis dan sebangsanya penuh tipu muslihat? lalu kenapa sampai kita terpikat? Padahal yang ditawarkan hanyalah indahnya duniawi, apa karena itu kita melupakan akhirat? Tidak! Nafsu, ya hanya karena nafsu, nafsu duniawi yang menuntut harus dipuaskan, tetapi kita juga lupa, bahwa nafsu duniawi tidak akan pernah puas, ia selalu kurang dan kurang. Serakah!Soal tipu muslihat, mungkin itu yang sekarang di rasakan Ridwan, rumah panggung yang ia lihat, tidak pernah ada! Kenyataanya, dia sedang duduk di dahan pohon jati yang tumbang, sedangkan dihadapannya sesosok makhlup besar bertanduk, dengan badan merah dan gigi runcing, jangan lupakan, rambut yang kasar seperti ijuk tetapi hanya 5 helai.Itulah ilusi, dan tipu muslihat setan!Ridwan menerima kotak hitam yang didalamnya terdapat pasak bumi, dan juga sebuah kertas yang berisi bacaan mantra yang harus dia baca saat menanam pasak tersebut.“Sekarang, pulanglah jangan sampai istrimu curiga!”“Satu lagi, setelah keluar dari sini, janga

  • Godaan Jin Dasim   bab 12

    Ridwan terbangun saat mendengar bunyi berisik di lantai satu rumahnya, gegas dia turun untuk mengecek ada apa gerangan. Tetepi kini suara berisik itu menghilang, diganti dengan suara seperti orang mengunyah dan mengecap, dia mengikuti sumber suara itu yang ternyata berasal dari dapur rumahnya.Di dapur, dia melihat seorang wanita yang dia yakini adalah istrinya, wanita itu berjongkok dan memegang sesuatu ditangannya. Ridwan menegur istrinya, ingin menenyakan apa yang sedang wanita itu lakukan, tetapi saat berbalik.DegDegup jantung Ridwan berpacu lebih cepat, dia melihat Wirda dengan wajah yang mengelupas dan mata yang menggantung keluar, yang tak kalah mengerikan lagi sesuatu ditangan Wirda, daging merah yang masih mengeluarkan darah segar.Ridwan melangkah mundur, Wirda mendekatinya dengan merangkak. Dia terpojok, punggungnya sudah mentok di meja makan.“Mau, Mas?”“Arghh ..”Ridwan terbangun dengan nafas ngos-ngosan, mimpinya sangat menakutkan. Ridwan segera meminum air di atas la

  • Godaan Jin Dasim   bab 13

    Ridwan ingin bertanya tentang keganjilan dan penampakan yang mengganggunya satu hari ini, tetapi Ridwan urung, saat dia melihat jika Wirda tampak biasa saja.“Mas, kenapa? Kok lihatin aku gitu?”Ridwan tersentak dari lamunannya, dia tersenyum kemudan menjawab “Mas hanya melihat kecantikan istri Mas yang sempurna ini,”Wirda tersenyum bangga, ia meninggikan dagunya. Dia sangat haus akan pujian, pujian-pujian baik akan dirinya, dan akan menganggap dirinya memang layak dengan semua pujian tersebut.“Aku ‘kan memang cantik, kalau gak canti, Mas Ridwan tidak akan mengejar-ngejarku sampai segitunya saat masih muda dulu.” KelakarnyaRidwan hanya tertawa, memang benar, dari muda dialah yang tergila-gila dengan sang istri, bahkan saat dari mereka kuliah. Dan konyolnya lagi, Ridwan tetap mengejar-ngejar meski ditolak belasan kali oleh Wirda. Namanya juga jodoh, sejauh apapun kamu berlari, kamu akan tetap kembali ketempat di mana kamu ditakdirkan.Ridwan dan Wirda tersenyum mengingat semua itu

  • Godaan Jin Dasim   bab 14

    Setelah mengantar Arum, Roy pulang dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya.Apa yang terjadi dengan resto tempat dia kerja hari ini, rasanya ada yang aneh, apa lagi saat berada di depan tempat penyimpanan bahan makanan, rasanya atmosfer disana berbeda, rasanya jauh lebih dingin dari ruanga yang lainnya, padahal biasanya tidak seperti itu. Roy yakin udara dingin itu bukan dari AC ataupun kipas angina tetapi entahlah, dia tidak bisa mendeskripsikannya.Tiba-tiba saja dia kepikiran dengan percakapan teman Arum dan yang lain.“Benarkah gadis itu indigo? Dan dia tak sadarkan diri karena melihat penampakan? Kalau begitu kenapa baru sekarang? Bukannya dia telah kerja di resto dan selama ini aman-aman saja?” tanyanya pada diri sendiri.Ah .. memikirkan hal itu membuatnya semakin pusing, toh resto itu bukan miliknya, dia hanya bekerja di temapt itu. Jadi, apapun yang dilihat, didengar ataupun dirasakannya, dia hanya tutup mata dan telinga, selagi bayarannya tetap seperti kesepa

Bab terbaru

  • Godaan Jin Dasim   bab 90

    “Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s

  • Godaan Jin Dasim   bab 89

    Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir

  • Godaan Jin Dasim   bab 88

    Arman bekerja dengan begitu keras, tidak peduli siang dan malam. Karena Vivi sendiri lepas tangan, padahal itu adaalah hutang orang tuanya juga. Vivi ‘tak mau ambil pusing akan hal itu. Sehingga Arman harus banting tulang sendiri untuk melunasi hutang Ayahnya, yang kini menjadi hutang di Bank.Arman berinisiatif meminjam uang di Bank dengan mengadai sertifikat rumah tersebut, awalnya Vivi menentang dengan keras karena takut rumah tersebut juga akan di sita oleh pihak Bank. Tetapi untungnya Arman bisa meyakinkan, sehingga hutang Ayahnya kepada rentenir lunas, tinggal hutang di Bank atas nama dirinya.Sehingga Vivi sangat membenci Nilam, karena baru beberapa hari menikah Bapak mereka meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang, begitu juga dengan Ibunya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu, yang pada akhirnya harus membuat mereka hidup berdua beserta pasangan masing-masing, di rumah peninggalan orang tuanya tersebut.“Aku kakak tertua, aku adalah pengganti Ibu sekarang, karena bel

  • Godaan Jin Dasim   bab 87

    Tetapi tiba-tiba Althaf menangis dengan kencangnya. Membuat Nilam terperanjat kaget ia langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari menuju kamarnya.Sesampainya di dalam kamar, Althaf tengan telentang seraya menangis dengan kencang, buru-buru menggendong sang buah hati, di telisiknya wajah Althaf dengan seksama, ternyata ada sedikit memar di dahinya.“Mbak, Althaf ini kenapa?” tanyanya kepada kakak Iparnya yang sedari tadi hanya diam melihat Althaf menangis tak henti-hentinya.“Ya, ini semua gara-gara kamu. Kalau punya anak di jaga! Masak di biarin di kamar sendirian!”“Aku lagi nyuci beras buat masak Mbak”“Hallah .. ya bawa saja si Althaf, kalau kamu bawa dia tadi, gak mungkin dia akan kejedot pintu saat aku mau masuk kamar kamu!”Althaf mulai tenang, anak kecil itu menyusu kepada Ibunya.“Mbak mau ngapain ke kamar aku?”“Ya terserah aku mau ngapai aja ke kamar kamu, toh ini masihh rumahku! Ya suka-suka aku lah!”Nilam menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar, percuma

  • Godaan Jin Dasim   bab 86

    “Nil, kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu!”Nilam hanya tertunduk lesu, pasalnya dirinya baru gagal bertunangan dengan pria pilihannya sendiri. Dulu dia sempat lolos dari perjodohan yang kedua orang tuanya tawarkan, karena menerima lamaran dari pria kenalan teman dekatnya. Tetapi siapa sangka, lelaki tersebut hanya mempermainkan perasaannya saja, padahal kedua orang tua masing-masing sudah mengetahui hubungan mereka.Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, Nilam harus menerima perjodohan tersebut, lelaki yang dulu masih orang tuanya jodohkan kepadanya.Hingga pernikahan tanpa cinta pun terjadi, semua berjalan lancar sesuai kehendak kedua orang tuanya.“Kamu cepat hamil ya, cepat punya anak. Ibu sama Bapak ingin menggendong cucu dari kamu.” Ibunya berkata seraya menyerahkan jamu subur kepada Nilam yang kebetulan bertandang ke rumah orang tuanya.Padahal pernikahan keduanya baru berjalan 3 bulan, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak sabar, dan memaksa Nilam untuk

  • Godaan Jin Dasim   bab 85

    Malam kembali datang, menyapa mereka yang ingin ketenangan.Yesa kembali berkumpul dengan saudaranya yang lain, saling bersenda gurau seperti biasanya.Tiba-tiba saja Mertuanya datang bersama seseorang yang tidak terlalu bisa dia kenali, karena kedua orang tuanya dan juga saudaranya yang lain untuk menyuruhnya kembali masuk ke dalam kamar.Yesa mendengarkan semua pembicaraan dan perdebatan diantara mereaka, karena memang kamarnya berada tepat di samping ruang tamu.“Kami meminta maaf atas nama Agam putraku”“Kami sudah memaafkannya, besan. Tetapi maaf, untuk kembali menjadi istri Nak Agam putri bungsu saya sudah tidak bisa, dan kami berhak memberinya keputusan atas dirinya sendiri.” Jelas sang Ayah sembari menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon maaf.“Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?”Ayah dari Yesa menggeleng, “Tidak, maaf!” ucapnya tegas.Lelaki tersebut menghela nafas berat, dia harus terima jika keputusan yang diambil kali ini adalah memisahkan putranya dan sang

  • Godaan Jin Dasim   bab 84

    “Nelfon siapa?” Tanya Agam tiba-tiba.Agam kembali ke kamar dan mendapati istrinya mendekatkan posel ke telinganya, pertanda sedang menpon seseorang.“Mbak Tya”“Buat apa?”“Minta di jemput, ‘kan kamu sendiri yang ngusir tadi!” Tanpa banyak bicara Agam langsung mengambil ponsel istrinya dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan Yesa di kamar mereka sendirian.‘Pergilah dari sini, tinggalkan pria tak tahu diri seperti dirinya. Selagi kalian belum memiliki anak, kau harus hidup bebas Yesa. Jangan biarkan lelaki itu terus menindasmu!’Yesa menghela nafas, mau tidak mau dia harus pakai cara lain. Selama ini dia sudah cukup diam, toh mereka tidak memiliki anak untuk dipertahankan, lebih baik sendiri dari pada nelangsa dan makan hati tiap hari.Yesa membulatkan tekadnya untuk pergi dari kehidupan Agam. Dia akan pergi, dan harus pergi!Siang itu Yesa bersiap pergi dengan membawa beberapa helai bajunya yang ia sembunyikan di tas dagangannya.“Mau kemana kamu?” Tanya kakak Iparnya.“Mau ngan

  • Godaan Jin Dasim   bab 83

    “Dek, baju kamu kok begitu sih? Gak usah pake celana lah!”“Kenapa? setidaknya bajuku panjang sampai betis kok”“Iya aku gak suka! Ganti baju sana, nurut sama suami!”Yesa menurut, padahal sebentar lagi mereka akan berangkat kondangan ke rumah saudaranya. Sedari tadi malam Yesa sudah membantu di rumah saudaranya itu hingga larut, baru kembali pulang. Pagi-pagi juga begitu, hingga hari berganti siang, dan siang berganti sore, Yesa seharian itu membantu tanpa istirahat.Itu pun terkadang masih saja salah di mata orang-orang sekitarnya, entah karena sudah terhasut gunjingan Ipar atau mertuanya, atau memang orang-orang sana yang memang tidak suka atas apa yang dilakukan oleh Yesa. Padahal setahunya, dirinya tidak pernah berbuat masalah kepada orang lain.Yesa kembali menemui Agam dengan memakai gamis syar’I yang menurutnya terlalu kebesaran, tetapi begitulah. Apalagi dirinya di kenal dengan menantu dan Istri dari seorang Ustadz. Jadi dia harus bisa menjaga penampilannya sesantun mungkin

  • Godaan Jin Dasim   bab 82

    “Dia Lina, salah satu waninta yang ikut clup touring”“Harus ya, sampai meluk gitu?”“Memangnya kenapa? Toh hanya teman! Anak-anak di clup juga pada tahu kok kalau aku sudah menikah! Sudahlah jangan memperpanjang sesuatu yang tidak penting! Jangan berlebihan dalam menanggapi sesuatu!” ujarnya ketus.Agam melenggang pergi keluar dari kamarnya meninggalkan Yesa sendiri yang masih mematung di tempatnya.Apa katanya? Yesa berlebihan dalam menanggapi sesuatu? Lalu yang dilakukan selama ini kepada Yesa apa? Bukankah dia yang terlalu berlebihan? Sedangkan Yesa hanya bertanya saja! Yesa menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya perlahan, dirinya pergi ke dapur untuk membuatkan makan siang atau sekedar kopi untuk suaminya yang baru pulang ke rumah setelah bepergian jauh.Yesa melihat di luar suaminya menerima sebuah paket yang cukup mahal baginya, tanpa berlama-lama lagi Agam langsung memasang besi tambahan yang kurir berikan tadi.“Dimodif lagi?” Tanya Yesa kemudian meletakkan kopi yang

DMCA.com Protection Status