“Tapi aku masih ragu, Wan. Bagaimana kalau bukan hanya dia wanita di sana? ‘kan aku gak tau dan gak melihat langsung” jelasnya dengan suara lirih yang dibuat-buat.
“Tak apa, ada aku di sini.” Rayunya.
Santi kembali di buat melayang di buat Wawan.
“San, bagaimana kalau kita bertemu lagi? Apa kau tak keberatan, hum?”
“Ketemu?”
“Iya, kalau ketemu, kau bisa bebas curhat tentang masalahmu.”
Santi pun setuju, dia segera bergegas mandi dang anti baju, lagi pula sekarang dia hanya sendiri di rumah bukan? Ke dua anaknya sedang sekolah, Mila mungkin nanti setelah dzuhur baru pulang, sedangkan Nadia sudah pasti sore, tetapi dia akan meminta Minah untuk menjemput Mila di sekolah. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu Mila lebih dulu pulang dari dirinya nanti.
Dalam benaknya, dia pasti akan di ajak beli baju-baju bagus lagi, seperti kemarin. Santi se akan lupa, lelaki berbuat baik berarti menginginkan sesuatu kecuali orang itu adalah suaminya, atau memang orang-orang yang memiliki hati tulus pada dasarnya.
Santi menaiki ojek pesanannya setelah berpesan kepada Minah si jada kembangg yang sampai sekarang masih setia dengan kesendiriannya.
Sedangkan Minah melihat Santi keluar dengan perasaan curiga.
“Rapi bener The Santi, hum—apa jangan-jangan …”
"Aku hanya cari angin, Mbak!" ucap Santi kesal.
Dia pun mendengus lalu pergi meninggalkan Minah yang menggelengkan kepala.
***
“Emak!?” lirih Nadia ketika membukakan pintu luar.
“Emak dari mana saja? Kok jam segini baru pulang?”
Santi nyelonong pergi tanpa menghiraukan pertanyaan putri sulungnya.
“Emak, tadi Ayah nelfon, nyariin Emak. Kata Ayah, Emak gak ngangkat telfon dari dia. Memangnya Emak—“
“Aduh, cukup!” bentak santi kepada Nadia yang dari tadi mengekor dirinya.
“Kau ini apa tidak lihat Emak baru pulang? Buta matamu?! Emak capek! Lebih baik kau balik kamar! Emak mau istirahat..”
Brak
Santi membanting pintu hingga membuat Nadia terlonjak kaget, bulir bening sudah menganak sungai di pelupuk matanya, hingga jika dia berkedip. Bulir-bulir bening itu akan lolos membasahi pipi mulusnya.
“Emak kenapa, Ya Allah? Semenjak ditinngal kerja sama Ayah kelakuannya semakin menjadi.”
Nadia berlalu pergi dari depan kamar sang Ibu.
“Ini sudah jam 3 dini hari, Emak kemana saja dari pagi sampek sekarang?”
“Ah sudahlah, mending aku bikin brownies saja.
Di dapur, Nadia menyibukkan dirinya, dia tak ingin berlarut-larut memikirkan tentang kemana perginya sang Ibu, toh, sekarang Ibunya sudah kembali ke rumah.
Sedangkan di kamarnya Santi tak jua bisa memejamkan mata.
Dia teringat kejadian siang tadi antara dirinya dan Wawan.
“Wan, ngapain kita ke hotel?” tanyanya bingung.
“Katanya mau cerita? Disni saja lebih privasi. Kalau di café atau di Maal, takut nanti ada tetangga atau malah kerabat kamu mergokin kita jalan berdua, itu akan menimbulkan salah paham, bukan?”
Santi mengangguk setuju.
“Disini saja, kau bebas berekspresi. Mau nangis, mau ngamuk terserah.” Selorohnya.
“Atau mau istirahat? Biar aku ke depan hotel dulu beli cemilan dan minuman, disana ada Mini Market.”
Wawan berlalu pergi meninggalkan Santi yang termenung sendiri di kamar, pikirannya tak menentu, dan kepalanya pusing. Dia memutuskan tiduran sambil menunggu Wawan, tetapi lima belas menit berlalu, Wawan tak kunjung muncul, Santi pun ketiduran.
“Tetapi tadi aku mendengar suara wanita berbicara sama Wawan, ah, bodohnya aku. Kenapa tidak Tanya saja tadi sama Wawan, ya?”
“Atau tadi, mungkin pelayan hotel. Ah, sudahlah, lebih baik aku tidur saja. Lagi pula kenapa, toh aku dan Wawan Cuma teman lama, Mungkin.”
***
“Kenapa kau, Bro?” tanya salah satu teman kerja sekaligus teman kamarnya.
“Eh, Yud.”
“Kau kenapa? Dari tadi uring-uringan, kerja saja tadi gak fokus.”
“Ini, istriku gak ada kabar, kata anak sulungku, katanya Emaknya keluar tadi, tapi sampai malam gini belum pulang.”
“Anakmu gak tahu, Emaknya keluar kemana?”
Adi menggeleng lemah.
“Tetangganya, mungkin tahu.”
“Aku juga sudah tanya tadi sama Dek Minah, tetangga samping rumah kami, katanya istriku cuma ijin keluar tadi pagi setelah kedua anakku berangkat ke sekolah, dia juga nitip Mila sama Dek Minah, anak bungsu kami yang masih SD, Santi nyuruh Minah jemput Mila di sekolah, karena dia akan pulang sore.”
“Dan sampai sekarang, istrimu belum pulang?”
Adi mengangguk.
“Sabar, kalau sampai besik belum pulang. Kau ijin cuti, bilang sama Bang Jamal tentang apa yang terjadi sama kamu.” Nasehatnya bijak.
“Sekarang, ayok tidur. Tenang.”
Dengan langkah gontai Adi dan temannya yang bernama Yuda kembali ke Mess mereka. Adi mencoba berfikir positif dan memejamkan matanya, entah jam berapa dia mulai menjemput mimpi setelah bertarung habis-habisan dengan pikirannya sendiri.
“Istrimu sudah keterlaluan, dia pergi dan menelantarkan anakmu begitu saja. Untung ada Minah yang dengan telaten dan tulus menjaga putri-putrimu, bahkan saat istrimu pergi, dia belum masak apapun, akhirnya Minah lah yang memasak untuk makan siang dan malam kedua putrimu.” Bisiknya dari alam bawah sadar Adi.
Adi gelisah, bahkan dalam tidurpun dia masih khawatir tentang istri dan anak-anaknya.
***
Tring
Nadia membuka pesan masuk di ponselnya, keningnya mengernyit, lantaran nomer asing yang tiba-tiba meniriminya sebuah pesan singkat.
Nadia menimbang-nimbang, dia bingung antara ingin membuka atau membiarkannya saja.
Di sisi lain, Adi tertegun melihat pesan yang dikirimkan Minah kepadanya. Tidak hanya itu,Minah juga melampirkan sebuah foto, yang di mana Santi tersenyum leber kepada seorang laki-laki, yang Adi tidak tahu siapa orangnya.
Sakit hati? Tentu saja! Suami mana yang tak sakit hati melihat sang istri jalan bersama pria lain, bahkan sampai lupa waktu dan lupa anak-anak.
Dan yang menjadi pertanyaannya, jalan kemana saja, sampai hampir 24 jam?
Adi mencoba tetap tenang, dia tak ingin gegabah, apalagi sekarang dia sedang bekerja,
Sekelebat bayangan melintas di belakangnya, bulu kuduknya berdiri, tetapi ini sudah siang hari. Dan lagi pula, selama bekerja di pabrik tersebut, Adi tak pernah melihat atau mersakan hal ganjil, kenapa baru kali ini? Kemaren-kemarennya kemana saja, ‘mereka’?
Tidak mau memikirkan hal-hal aneh lainnya, Adi mencoba fokus bekerja kembali. Hingga akhirnya, dia berhasil melupakan masalahnya sesaat.
***
“Nad, pulang sekolah ikut aku bentar, ya.”
“Mau kemana?”
“Ikut saja, sebentar, kok.”
Nadia memandang sahabat sekaligus teman sekolahnya dengan tatapan curiga, yang di lihat jadi gelagapan dan salah tingkah.
“Aku .. aku mau ketemu sama Roni …”
“Tapi cuma mau ambil baju doang, kok. Serius!” potongnya cepat sebelum Nadia mengeluarkan suara.
“Mau, ya? Ayolah, please.”
Teman Nadia menangkupkan tangannya di depan dada dan memasang wajah memelas, agar sahabatnya ini bersedia untuk menemaninya bertemu sang pacar.
“Hallah, gaya-gayaan mau ambil baju, akhirnya berduaan di pojokan. Aku kau tinggal juga pastinya, terlalu kau Ani!” selorohnya sambil menirukan logat bahasa sang Raja Dangdut.
Ani hanya tersenyum kikuk dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Tapi .. kita gak akan ketemuan di alun-alun desa lagi.”
“Lalu?”
“Roni ngajak ke café dekat bengkelnya Pak Mahfud.”
“Wihh .. ada uang sekarang dia? Biasanya kalian kalau pacaran Cuma duduk-duduk aja membahas pemilu mendatang,” kelakarnya.
“Eh, mana ada? ‘tak pernah lah aku bahas pemilu!” sungut Ani.
“Lah? Bahas apa sampek berjam-jam ngobrol?”
Ani tersenyum malu-malu. “Bahas tentang masa depan dan nama anak-anak kita nanti.”
Nadia meluah mendengar penuturan Ani, sedangkan Ani cemberut melihat Nadia.
“An .. masa depanmu masih panjang, memangnya gak mau kuliah? Nuntut ilmu dulu, lanjut kerja, tingkatkan karir dulu sama bahagiain orang tua! Jangan terlalu berharap dan menaruh hati lebih sama pasangan sebelum sah jadi suami-istri, gak ada yang tau kepennya.”
Sebuah nasehat bijak, tetapi bukankah sudah pernah dikatakan, bahwa seseorang yang tengah jatuh cinta akan sulit menerima nasehat, seperti sekarang ini, Ani berfikir kalau Nadia tengah iri terhadapnya, karena Nadia tak pernah pacaran, atau mungkin juga tak pernah merasakan jatuh cinta.
****
“Nad, itu Roni!” tunjuknya ke arah seseorang yang duduk dan tengah melambai ke arah mereka berdua.
“Ayo!” ajak Ani sambil berusaha menarik tangan Nadia, tetapi Nadia tetap bergeming.
“Nad?”
“Kamu saja, yang nyamperin Roni. Aku duduk di sini saja.”
Ani pun bergegas menghampiri pacarnya, sedangkan Nadia memilih duduk di meja yang tak jauh dari mereka.
“Nad.”
“Loh, sudah? Tumben.”
“Enggak, tadi Roni bilang, kalau kamu pesan aja minuman sama makanan, entar dia yang bayar.”
“Pesan saja, Nad, mau makan seblak atau ayam geprek? Tenang, aku yang bayar,Kok.”
Nadia menoleh kebelakang dan menganggukkan kepala, pertanda terima kasih.
Ani kembali ke meja sang pacar, Nadia pun memesan jus jeruk beserta ayam geprek.
Tiba-tiba saja ekor matanya menangkap seseorang yang tidak asing lagi baginya.
“Em—Emak, sama Om Wawan? Berdua saja mereka? Loh, Mila kemana?” tanyanya panik sendiri.
Sampai makanan dan minumannya datang, Nadia tak kunjung tenang memikirkan sang adik yang entah kemana, atau mungkin dia lupa, bahwa Minah selalu senantiasa menjaga mereka, jika sang Ayah atau Emak mereka keluar rumah. Rasanya hambar, tetapi dia tetap berusaha menelan makanan yang di sajikan. Entah inisiatif dari mana, Nadia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, dia lansung memotret Emaknya dan orang asing yang harus dia hormati, itu pesan Emaknya. Nadia membekap mulutnya sendiri, saat Wawan menyuapi Emaknya. Bahkan mereka sedang berpegangan tangan, air matanya sudah menganak sungai tetapi Nadia tahan sebisa mungkin. Dia kepikiran saang Ayah, bagaimana jika Ayahnya tau kalau istrinya bermain api bersama laki-laki lain? Nadia bergegas menghabiskan makanan yang terhidang di atas meja, dia tidak bisa berlama-lama di sana, dia khawatir adikknya sedang sendiri di rumah, terlebih lagi dia takut, Emaknya memergokinya sedang selingkuh di sana. “An .. aku—aku pulang dulu, y
“Mau kerja di sini saja, sambil jaga anak-anak,”Adi melanjutkan langkahnya ke dalam kamar, dia meletakkan barang-barang yang dia bawa yang kebanyakan baju kototr yang tidak sempat ia cuci di sana.“Abang gak boleh begitu, kalau Abang berenti kerja mau makan apa kita? Jangan malas jadi laki-laki! Gak ada tanggung jawab sekali!”“Gak ada tanggung jawab? Apa selama nikah, aku ‘tak pernah bekerja? Apa selama ini aku ‘tak menafkahi kamu? Jawab!” geram Adi.Santi terhenyak, selama ini Adi tidak pernah sekalipun meninggikan suara kepadanya.“A—aku,”“Aku capek San! Selama aku kerja di luar apa yang kamu lakukan?”“Ma—maksudmu, Bang?”“Kenapa kau ‘tak mengantarkan anak-anak ke sekolah?”“Aku mengantarkan anak-anak ke sekolah, kok.”“Oh, iya?” Adi tersenyum sinis lalu membanting pintu cukup keras dan menguncinya dari dalam.“Bang!”“Aku capek, ingin istirahat. Kau pergilah bersama teman laki-lakimu itu! Tapi jangan sampai anak-anakku tahu, atau kau akan menyesal,” kecam Adi tanpa membuka pin
Brakk … Santi membanting tasnya ke atas meja dengan kesal. “Kenapa ‘tak jemput aku, Bang?” “Aku jalan kaki dari gang depan, sampek kesini.” gerutunya. “Kenapa ‘tak minta antarkan sampai depan rumah sama selingkuhanmu?” Santi merengut. “Selingkuhan apa lah, Bang? Dia itu temanku,” Adi menghela nafas “Mila, Nadia. Kalian makan di kamar ya?” pintanya. “Heh, apa-apaan makan di kamar. Nanti kotor!” ucap Santi dengan meninggikan suaranya. Entah lupa atau memang sengaja dia membentak anak-anak di depan Adi. Brak .. Adi menggeprak meja dengan keras, membuat Santi dan kedua anaknya terkesiap. Mereka sudah sering kali melihat Santi marah-marah, tetapi kali ini Ayahnya yang melakukan, bagaikan gunung yang siap meletuskan larvanya, seperti itu ketika dia lihat kilat amarah dimata sang Ayah. “Masuk kamar!” Tanpa membantah lagi, mereka pergi tanpa mempedulikan sang Emak yang sedang melotot. “Aku sudah cukup sabar sama semua sifatmu, San!” ucap Adi tegas setelah anak-anak berada di ka
Setelah kepergian Adi, Dasim tertawa terbahak-bahak, tawanya sangat kencang, mungkin jika tawanya di dengar manusia, gendang telinga orang itu akan pecah, atau mungkin karena mendengar tawanya, orang itu akan mati di tempat. Mengerikan memang! ‘Hahaha .. aku sudah melakukan perintah Tuhan, dengan memperlihatkan kecurangan pasangan terhadap pasangannya sendiri! Bukankah aku makhluk yang deratnya jauh lebih unggul? Haha .. itulah aku, aku adalah Al-Dasim’ Dasim meninggalkan tempat itu dengan memegang kemenangan yang Telak, tugasnya cukup mengerikan. Sekarang dia menemui manusia yang menjadi target selanjutnya. Apalagi ujian yang paling berat bagi rumah tangga,ekonomi atau yang lain? Hati-hati! Bisa saja Al-Dasim sedang mengincar keluargamu. Waspadalah dengan gondaan dan hasutannya! “Apa yang kau lakukan, San? Hingga suamimu lepas tangan?” “Aku .. aku tidak melakukan apapun, Pak,” “Jangan berbohong! Bapak tahu betul sifat suamimu, kalian menikah bukan hanya sekedar 5 atau 6 tahun!
Lelaki itu kembali melihat kertas yang berisi sebuah alamat yang diberikan kakek misterius tempo lalu, dia tampak ragu untuk turun dari mobilnya, pasalnya sepenjang mata memandang hanya ada kayu jati yang tumbuh menjulang tinggi dengan daunnya yang cukup rimbun, sampai mampu menghalangi sinar matahari disore hari itu.Setelah pertimbangan yang cuku matang, lelaki itu turun dari mobilnya, mencoba melihat sekitar, siapa tahu dia melihat orang, meski mungkin sangat mustahil, mengingat dia berada ditengah jalan yang kanan kiri diapit pohon jati. Sedangkan didepannya jalan buntu dengan semak belukar setinggi perut orang dewasa.Tak sengaja ekor matanya melihat seorang laki-laki duduk meneduh di bawah pohon jati, gegas ia menghampiri. Dia juga heran, padahal tadi dia sudah melihat sekitar, hanya hampa, tetapi tiba-tiba saja lelaki paruh baya duduk dibawah salah satu pohon tak jauh dari tempatnya berdiri. Cukup ganjil memang, tetapi demi misi dan ambisinya, dia tak menghiraukan keganjila
Bukankah iblis dan sebangsanya penuh tipu muslihat? lalu kenapa sampai kita terpikat? Padahal yang ditawarkan hanyalah indahnya duniawi, apa karena itu kita melupakan akhirat? Tidak! Nafsu, ya hanya karena nafsu, nafsu duniawi yang menuntut harus dipuaskan, tetapi kita juga lupa, bahwa nafsu duniawi tidak akan pernah puas, ia selalu kurang dan kurang. Serakah!Soal tipu muslihat, mungkin itu yang sekarang di rasakan Ridwan, rumah panggung yang ia lihat, tidak pernah ada! Kenyataanya, dia sedang duduk di dahan pohon jati yang tumbang, sedangkan dihadapannya sesosok makhlup besar bertanduk, dengan badan merah dan gigi runcing, jangan lupakan, rambut yang kasar seperti ijuk tetapi hanya 5 helai.Itulah ilusi, dan tipu muslihat setan!Ridwan menerima kotak hitam yang didalamnya terdapat pasak bumi, dan juga sebuah kertas yang berisi bacaan mantra yang harus dia baca saat menanam pasak tersebut.“Sekarang, pulanglah jangan sampai istrimu curiga!”“Satu lagi, setelah keluar dari sini, janga
Ridwan terbangun saat mendengar bunyi berisik di lantai satu rumahnya, gegas dia turun untuk mengecek ada apa gerangan. Tetepi kini suara berisik itu menghilang, diganti dengan suara seperti orang mengunyah dan mengecap, dia mengikuti sumber suara itu yang ternyata berasal dari dapur rumahnya.Di dapur, dia melihat seorang wanita yang dia yakini adalah istrinya, wanita itu berjongkok dan memegang sesuatu ditangannya. Ridwan menegur istrinya, ingin menenyakan apa yang sedang wanita itu lakukan, tetapi saat berbalik.DegDegup jantung Ridwan berpacu lebih cepat, dia melihat Wirda dengan wajah yang mengelupas dan mata yang menggantung keluar, yang tak kalah mengerikan lagi sesuatu ditangan Wirda, daging merah yang masih mengeluarkan darah segar.Ridwan melangkah mundur, Wirda mendekatinya dengan merangkak. Dia terpojok, punggungnya sudah mentok di meja makan.“Mau, Mas?”“Arghh ..”Ridwan terbangun dengan nafas ngos-ngosan, mimpinya sangat menakutkan. Ridwan segera meminum air di atas la
Ridwan ingin bertanya tentang keganjilan dan penampakan yang mengganggunya satu hari ini, tetapi Ridwan urung, saat dia melihat jika Wirda tampak biasa saja.“Mas, kenapa? Kok lihatin aku gitu?”Ridwan tersentak dari lamunannya, dia tersenyum kemudan menjawab “Mas hanya melihat kecantikan istri Mas yang sempurna ini,”Wirda tersenyum bangga, ia meninggikan dagunya. Dia sangat haus akan pujian, pujian-pujian baik akan dirinya, dan akan menganggap dirinya memang layak dengan semua pujian tersebut.“Aku ‘kan memang cantik, kalau gak canti, Mas Ridwan tidak akan mengejar-ngejarku sampai segitunya saat masih muda dulu.” KelakarnyaRidwan hanya tertawa, memang benar, dari muda dialah yang tergila-gila dengan sang istri, bahkan saat dari mereka kuliah. Dan konyolnya lagi, Ridwan tetap mengejar-ngejar meski ditolak belasan kali oleh Wirda. Namanya juga jodoh, sejauh apapun kamu berlari, kamu akan tetap kembali ketempat di mana kamu ditakdirkan.Ridwan dan Wirda tersenyum mengingat semua itu
“Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s
Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir
Arman bekerja dengan begitu keras, tidak peduli siang dan malam. Karena Vivi sendiri lepas tangan, padahal itu adaalah hutang orang tuanya juga. Vivi ‘tak mau ambil pusing akan hal itu. Sehingga Arman harus banting tulang sendiri untuk melunasi hutang Ayahnya, yang kini menjadi hutang di Bank.Arman berinisiatif meminjam uang di Bank dengan mengadai sertifikat rumah tersebut, awalnya Vivi menentang dengan keras karena takut rumah tersebut juga akan di sita oleh pihak Bank. Tetapi untungnya Arman bisa meyakinkan, sehingga hutang Ayahnya kepada rentenir lunas, tinggal hutang di Bank atas nama dirinya.Sehingga Vivi sangat membenci Nilam, karena baru beberapa hari menikah Bapak mereka meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang, begitu juga dengan Ibunya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu, yang pada akhirnya harus membuat mereka hidup berdua beserta pasangan masing-masing, di rumah peninggalan orang tuanya tersebut.“Aku kakak tertua, aku adalah pengganti Ibu sekarang, karena bel
Tetapi tiba-tiba Althaf menangis dengan kencangnya. Membuat Nilam terperanjat kaget ia langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari menuju kamarnya.Sesampainya di dalam kamar, Althaf tengan telentang seraya menangis dengan kencang, buru-buru menggendong sang buah hati, di telisiknya wajah Althaf dengan seksama, ternyata ada sedikit memar di dahinya.“Mbak, Althaf ini kenapa?” tanyanya kepada kakak Iparnya yang sedari tadi hanya diam melihat Althaf menangis tak henti-hentinya.“Ya, ini semua gara-gara kamu. Kalau punya anak di jaga! Masak di biarin di kamar sendirian!”“Aku lagi nyuci beras buat masak Mbak”“Hallah .. ya bawa saja si Althaf, kalau kamu bawa dia tadi, gak mungkin dia akan kejedot pintu saat aku mau masuk kamar kamu!”Althaf mulai tenang, anak kecil itu menyusu kepada Ibunya.“Mbak mau ngapain ke kamar aku?”“Ya terserah aku mau ngapai aja ke kamar kamu, toh ini masihh rumahku! Ya suka-suka aku lah!”Nilam menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar, percuma
“Nil, kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu!”Nilam hanya tertunduk lesu, pasalnya dirinya baru gagal bertunangan dengan pria pilihannya sendiri. Dulu dia sempat lolos dari perjodohan yang kedua orang tuanya tawarkan, karena menerima lamaran dari pria kenalan teman dekatnya. Tetapi siapa sangka, lelaki tersebut hanya mempermainkan perasaannya saja, padahal kedua orang tua masing-masing sudah mengetahui hubungan mereka.Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, Nilam harus menerima perjodohan tersebut, lelaki yang dulu masih orang tuanya jodohkan kepadanya.Hingga pernikahan tanpa cinta pun terjadi, semua berjalan lancar sesuai kehendak kedua orang tuanya.“Kamu cepat hamil ya, cepat punya anak. Ibu sama Bapak ingin menggendong cucu dari kamu.” Ibunya berkata seraya menyerahkan jamu subur kepada Nilam yang kebetulan bertandang ke rumah orang tuanya.Padahal pernikahan keduanya baru berjalan 3 bulan, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak sabar, dan memaksa Nilam untuk
Malam kembali datang, menyapa mereka yang ingin ketenangan.Yesa kembali berkumpul dengan saudaranya yang lain, saling bersenda gurau seperti biasanya.Tiba-tiba saja Mertuanya datang bersama seseorang yang tidak terlalu bisa dia kenali, karena kedua orang tuanya dan juga saudaranya yang lain untuk menyuruhnya kembali masuk ke dalam kamar.Yesa mendengarkan semua pembicaraan dan perdebatan diantara mereaka, karena memang kamarnya berada tepat di samping ruang tamu.“Kami meminta maaf atas nama Agam putraku”“Kami sudah memaafkannya, besan. Tetapi maaf, untuk kembali menjadi istri Nak Agam putri bungsu saya sudah tidak bisa, dan kami berhak memberinya keputusan atas dirinya sendiri.” Jelas sang Ayah sembari menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon maaf.“Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?”Ayah dari Yesa menggeleng, “Tidak, maaf!” ucapnya tegas.Lelaki tersebut menghela nafas berat, dia harus terima jika keputusan yang diambil kali ini adalah memisahkan putranya dan sang
“Nelfon siapa?” Tanya Agam tiba-tiba.Agam kembali ke kamar dan mendapati istrinya mendekatkan posel ke telinganya, pertanda sedang menpon seseorang.“Mbak Tya”“Buat apa?”“Minta di jemput, ‘kan kamu sendiri yang ngusir tadi!” Tanpa banyak bicara Agam langsung mengambil ponsel istrinya dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan Yesa di kamar mereka sendirian.‘Pergilah dari sini, tinggalkan pria tak tahu diri seperti dirinya. Selagi kalian belum memiliki anak, kau harus hidup bebas Yesa. Jangan biarkan lelaki itu terus menindasmu!’Yesa menghela nafas, mau tidak mau dia harus pakai cara lain. Selama ini dia sudah cukup diam, toh mereka tidak memiliki anak untuk dipertahankan, lebih baik sendiri dari pada nelangsa dan makan hati tiap hari.Yesa membulatkan tekadnya untuk pergi dari kehidupan Agam. Dia akan pergi, dan harus pergi!Siang itu Yesa bersiap pergi dengan membawa beberapa helai bajunya yang ia sembunyikan di tas dagangannya.“Mau kemana kamu?” Tanya kakak Iparnya.“Mau ngan
“Dek, baju kamu kok begitu sih? Gak usah pake celana lah!”“Kenapa? setidaknya bajuku panjang sampai betis kok”“Iya aku gak suka! Ganti baju sana, nurut sama suami!”Yesa menurut, padahal sebentar lagi mereka akan berangkat kondangan ke rumah saudaranya. Sedari tadi malam Yesa sudah membantu di rumah saudaranya itu hingga larut, baru kembali pulang. Pagi-pagi juga begitu, hingga hari berganti siang, dan siang berganti sore, Yesa seharian itu membantu tanpa istirahat.Itu pun terkadang masih saja salah di mata orang-orang sekitarnya, entah karena sudah terhasut gunjingan Ipar atau mertuanya, atau memang orang-orang sana yang memang tidak suka atas apa yang dilakukan oleh Yesa. Padahal setahunya, dirinya tidak pernah berbuat masalah kepada orang lain.Yesa kembali menemui Agam dengan memakai gamis syar’I yang menurutnya terlalu kebesaran, tetapi begitulah. Apalagi dirinya di kenal dengan menantu dan Istri dari seorang Ustadz. Jadi dia harus bisa menjaga penampilannya sesantun mungkin
“Dia Lina, salah satu waninta yang ikut clup touring”“Harus ya, sampai meluk gitu?”“Memangnya kenapa? Toh hanya teman! Anak-anak di clup juga pada tahu kok kalau aku sudah menikah! Sudahlah jangan memperpanjang sesuatu yang tidak penting! Jangan berlebihan dalam menanggapi sesuatu!” ujarnya ketus.Agam melenggang pergi keluar dari kamarnya meninggalkan Yesa sendiri yang masih mematung di tempatnya.Apa katanya? Yesa berlebihan dalam menanggapi sesuatu? Lalu yang dilakukan selama ini kepada Yesa apa? Bukankah dia yang terlalu berlebihan? Sedangkan Yesa hanya bertanya saja! Yesa menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya perlahan, dirinya pergi ke dapur untuk membuatkan makan siang atau sekedar kopi untuk suaminya yang baru pulang ke rumah setelah bepergian jauh.Yesa melihat di luar suaminya menerima sebuah paket yang cukup mahal baginya, tanpa berlama-lama lagi Agam langsung memasang besi tambahan yang kurir berikan tadi.“Dimodif lagi?” Tanya Yesa kemudian meletakkan kopi yang