“Ini Abang hanya dikasih 150 ribu, itu pun buat uang makan Abang selama seminggu lagi disini, Di.”
“Hallah, ya jangan ngandalin penghasilan dari itu, dong Bang! Abang ‘kan bisa mijit. Hari libur gunain waktunya buat mijit, harus pinter-pinter putar otak biar penghasilannya cukup!” maki Santi dengan kasar.
Al-Dasim tertawa puas.
“Hahaha .. sifat alami manusia, selalu menganggap dirinya yang paling benar, dan ‘tak mau ngeakui kesalahan, jarang bersukur dan selalu kurang dengan pemberian Tuhannya, tetapi kenapa mereka justru menjadi ahli syurga?”
“Kau tidak perlu berpikir terlalu jauh, tugasmu hanya menghasut dan menggoda mereka, supaya mereka ingkar kepada Tuhannya!” ingat salah satu Jin yang kebetulan ada di rumah itu, “Hei—Al-Dasim, pergilah ke rumah-rumah, hasut wanitanya, berilah dia rasa lelah yang bertubi-tubi, hilangkan rasa syukurnya, buat dia merasa kalau bebannya di rumah terlalu berat. Dengan begitu dia akan selalu mengeluh tentang pekerjaannya yang tak habis-habis, maka dia kehilangan hormatnya pada suami-suaminya!”
Dasim tak peduli.
Dia menghilang dari kerajaannya dan pergi ke alam manusia.
Dia melihat terlalu banyak orang yang berhati iblis. Seperti orang-orang yang merasa derajatnya lebih tinggi, lalu dia dzalim dan sombong kepada orang-orang yang dia anggap dibawahnya, pencuri dan penipu yang berkeliaran, orang-orang yang memakan hak orang lain serta mereka yang tak dapat menjaga lisan, dengan menyakiti hati saudaranya sendiri.Tetapi apa pedulinya? Bukankah tugasnya memisahkan ibadah terpanjang dua insan?
“Teruslah berbuat kerusakan wahai anak cucu Adam, agar kelak kau mejadi teman kami di Kerak Jahannam!”
Dasim menghilang, misinya belum tuntas untuk mencerai beraikan sebuah keluarga.
Dia mengamati sebuah keluarga yang sudah menjadi incarannya, keluarga dengan wanita yang selalu mengeluh tentang ujian ekonomi yang mereka hadapi, dia sangat intens menghasut sang wanita, karena wanita lebih mengutamakan hati dan perasaanya ketika berfikir, mudah tersinggung, dan cepat mengeluh tentang sesuatu.
“Sebentar lagi, lebih baik aku mecari target baru!”
Dasim lalu menghilang dari keluarga tersebut, keluga yang dia yakini sebentar lagi bercerai berai, yang tak lain adalah keluarga Adi dan Santi.
Tinggal tambahkan bumbu sedikit dan rusaklah mereka!
Diperhatikannya Adi yang masih menelpon dan seorang perempuan yang akan masuk.
Sempurna!
Tok tok tok!
“Bang Adi, ayok makan dulu. Sarapannya sudah siap,” panggil istri Jamal mengetuk pintu kamar yang ditempati Adi.
“Siapa itu, Bang?”
“Itu, wanitanya Jamal. Aku disini, nginep di rumahnya Jamal.”
“Bukan wanita simpananmu!?” tuduh Santi langsung.
Deg!
“Astagfirullah, mana berani aku , dek? Jangan pernah berfikir seperti itu. Aku tak pernah berfikir untuk menduakanmu.”
“Jangan percaya! Apalagi dia bersama temannya yang suka bemain wanita. Tidak ada lelaki yang sanggup menahan nafsu biologisnya ,mungkin memang bukan selingkuhannya, tetapi bisa jadi dia wanita satu malamnya. Terlalu banyak kemungkinan jika seorang suami jauh dari istrinya.”
Santi terdiam, bisikan-bisan itu membuat hatinya memanas.
“Baru seminggu jauh dari keluarga, sudah berani main wanita lain di belakang! Dasar suami ‘tak setia! Istri di sini mengurus anak-anakmu! Pantas saja kau Cuma mengirimkan uang segitu. Rupanya untuk memenuhi nafsu setanmu!” maki Santi sambil berteiak.
“Dek!”
Tut.
Panggilan dimatikan. Adi meremas rambutnya frustasi, kini Santi salah paham. Dia jadi serba salah, jika tak keluar desa untuk kerja, dia tidak akan mendapatkan penghasilan yang lumayan dengan hanya kerja seminggu saja.
“Mal!”
“Hum?”
“Istriku salah paham.”
“Hah!? Salah paham gimana?”
“Salah paham karena, karena mendengar suara istrimu. Dia nuduh aku bermain serong di belakang.”
“Hahaha …”
Adi menfernyitkan dahinya heran, melihat Jamal yang tertawa kencang.
“Bang, sudah! Kasian Bang Adi, lebih baik Abang bantu bicara sama istrinya, aku juga mau jelasin. Mungkin dengan begitu dia bisa percaya.”
“Tapi telfonku sudah dia tolak berkali-kali barusan, Mal.”
“Pesan suara saja, nanti juga didengar, sini Handpone mu.”
Adi langsung menyerahkan ponsel miliknya tanpa membantah.
“Sini, kau sarapan dulu, habis ini kita balik ke kota Asri.” Terangnya sambil menepuk kursi di sebelahnya.
Adi menurut, sedangakan suami-istri tersebut menjelaskan secara bergantian kepada istri Adi melalui pesan suara. Adi hanya berharap istrinya tidak salah paham lagi ketika nanti sudah meneengarkan pesan suara tersebut.
Adi kembali mengecek Handponenya, dia menghembuskan nafas lemah saat pesannya sudah terbaca tetapi tak dibalas oleh sang istri. Jamal hanya melirik sekilas dan kembali fokus menyetir, sekarang mereka akan kembali ke tempat di mana mereka bekerja.
****
DI sisi lain, Santi termenung.
“Suara seorang wanita? Bang Adi sama siapa? Bukannya dia bilang sedang mengirim barang bersama Jamal.”
“Jamal terkenal sebagai pemain wanita, mungkin saja suamimu terhasut dirinya. Mereka di kota, tanpa ada istri-istrinya yang menghangatkan ranjang mereka, tentu saja lelaki itu akan bermain serong. Bukannya di sana mereka bebas? Itu berarti uangnya ‘tak semua dikirim untukmu di sini!”
Santi terdiam, dia menerima semua pikiran buruk yang hinggap di kepalanya.
Dilempar ponselnya ke ranjang.
“Laki-laki sama saja!” ucapnya sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai dan berlalu pergi.
“Mak--, Ayah nelfon.”
Santi lansung merebut ponsel di tangan Nadia dengan paksa.
“Kok dimatikan sih, Mak?”
“Gak usah ikut campur urusan orang tua, sana pergi ke sekolah. Sekalian antar Mila dulu!” ucapnya ketus sambil berlalu.
“Nad, Emak mu kenapa?”
“Enggak tahu, Mbak.” Jawab Nadia sambil menghendikkan bahunya.
“Apa jangan-jangan, Ayahmu tahu soal tamu laki-laki emakmu kemaren? Karena itu mereka bertengkar.
Nadia berfikir sejenak.
“Ah sudahlah, jangan berfikir terlalu jauh, lebih bik kau cepat berranggkat ke sekolah, keburu telat. ‘kan juga masih nganterin si Mila, tuh dia sudah berdiri di samping motor.” Tunjuk Minah menggunakan dagunya kea rah Mila.
Nadia lanssung mengangguk dan mencium tangan Minah dengantakzim.
“Berangkat dulu,ya Mak.”
“Iya, Hati-hati. Pelan saja bawa motornya.”
Nadia mengangguk dan lansung tancap gas meninggalkan Minah yang berjalan menuju gerobak sayur langganannya.
***
“Jadi, kau mendengar suara wanita di sana? Bersama suamimu?” tanya Wawan dari seberang telepon.
“Iya, aku dengar jelas, kok. Tapi Jamal ngirim sama wanita tadi yang aku dengar suaranya mengirimkan pesan suara, mereka menjelaskan kalau Adi memang betul nginep di rumah mereka, dan si wanita bilang, kalau dia istri keduanya Jamal, bukan wanitanya Adi.”
“Lalu, apa yang kamu ragukan, San? Jelas-jelas mereka sudah menjelaskan kalau wanita itu bukan wanitanya Adi—suamimu,” tuduh Wawan.
Santi terdiam mendengar itu. 'Benarkah?'
“Tapi aku masih ragu, Wan. Bagaimana kalau bukan hanya dia wanita di sana? ‘kan aku gak tau dan gak melihat langsung” jelasnya dengan suara lirih yang dibuat-buat.“Tak apa, ada aku di sini.” Rayunya.Santi kembali di buat melayang di buat Wawan.“San, bagaimana kalau kita bertemu lagi? Apa kau tak keberatan, hum?”“Ketemu?”“Iya, kalau ketemu, kau bisa bebas curhat tentang masalahmu.”Santi pun setuju, dia segera bergegas mandi dang anti baju, lagi pula sekarang dia hanya sendiri di rumah bukan? Ke dua anaknya sedang sekolah, Mila mungkin nanti setelah dzuhur baru pulang, sedangkan Nadia sudah pasti sore, tetapi dia akan meminta Minah untuk menjemput Mila di sekolah. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu Mila lebih dulu pulang dari dirinya nanti.Dalam benaknya, dia pasti akan di ajak beli baju-baju bagus lagi, seperti kemarin. Santi se akan lupa, lelaki berbuat baik berarti menginginkan sesuatu kecuali orang itu adalah suaminya, atau memang orang-orang yang memiliki hati tulus pada d
Sampai makanan dan minumannya datang, Nadia tak kunjung tenang memikirkan sang adik yang entah kemana, atau mungkin dia lupa, bahwa Minah selalu senantiasa menjaga mereka, jika sang Ayah atau Emak mereka keluar rumah. Rasanya hambar, tetapi dia tetap berusaha menelan makanan yang di sajikan. Entah inisiatif dari mana, Nadia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, dia lansung memotret Emaknya dan orang asing yang harus dia hormati, itu pesan Emaknya. Nadia membekap mulutnya sendiri, saat Wawan menyuapi Emaknya. Bahkan mereka sedang berpegangan tangan, air matanya sudah menganak sungai tetapi Nadia tahan sebisa mungkin. Dia kepikiran saang Ayah, bagaimana jika Ayahnya tau kalau istrinya bermain api bersama laki-laki lain? Nadia bergegas menghabiskan makanan yang terhidang di atas meja, dia tidak bisa berlama-lama di sana, dia khawatir adikknya sedang sendiri di rumah, terlebih lagi dia takut, Emaknya memergokinya sedang selingkuh di sana. “An .. aku—aku pulang dulu, y
“Mau kerja di sini saja, sambil jaga anak-anak,”Adi melanjutkan langkahnya ke dalam kamar, dia meletakkan barang-barang yang dia bawa yang kebanyakan baju kototr yang tidak sempat ia cuci di sana.“Abang gak boleh begitu, kalau Abang berenti kerja mau makan apa kita? Jangan malas jadi laki-laki! Gak ada tanggung jawab sekali!”“Gak ada tanggung jawab? Apa selama nikah, aku ‘tak pernah bekerja? Apa selama ini aku ‘tak menafkahi kamu? Jawab!” geram Adi.Santi terhenyak, selama ini Adi tidak pernah sekalipun meninggikan suara kepadanya.“A—aku,”“Aku capek San! Selama aku kerja di luar apa yang kamu lakukan?”“Ma—maksudmu, Bang?”“Kenapa kau ‘tak mengantarkan anak-anak ke sekolah?”“Aku mengantarkan anak-anak ke sekolah, kok.”“Oh, iya?” Adi tersenyum sinis lalu membanting pintu cukup keras dan menguncinya dari dalam.“Bang!”“Aku capek, ingin istirahat. Kau pergilah bersama teman laki-lakimu itu! Tapi jangan sampai anak-anakku tahu, atau kau akan menyesal,” kecam Adi tanpa membuka pin
Brakk … Santi membanting tasnya ke atas meja dengan kesal. “Kenapa ‘tak jemput aku, Bang?” “Aku jalan kaki dari gang depan, sampek kesini.” gerutunya. “Kenapa ‘tak minta antarkan sampai depan rumah sama selingkuhanmu?” Santi merengut. “Selingkuhan apa lah, Bang? Dia itu temanku,” Adi menghela nafas “Mila, Nadia. Kalian makan di kamar ya?” pintanya. “Heh, apa-apaan makan di kamar. Nanti kotor!” ucap Santi dengan meninggikan suaranya. Entah lupa atau memang sengaja dia membentak anak-anak di depan Adi. Brak .. Adi menggeprak meja dengan keras, membuat Santi dan kedua anaknya terkesiap. Mereka sudah sering kali melihat Santi marah-marah, tetapi kali ini Ayahnya yang melakukan, bagaikan gunung yang siap meletuskan larvanya, seperti itu ketika dia lihat kilat amarah dimata sang Ayah. “Masuk kamar!” Tanpa membantah lagi, mereka pergi tanpa mempedulikan sang Emak yang sedang melotot. “Aku sudah cukup sabar sama semua sifatmu, San!” ucap Adi tegas setelah anak-anak berada di ka
Setelah kepergian Adi, Dasim tertawa terbahak-bahak, tawanya sangat kencang, mungkin jika tawanya di dengar manusia, gendang telinga orang itu akan pecah, atau mungkin karena mendengar tawanya, orang itu akan mati di tempat. Mengerikan memang! ‘Hahaha .. aku sudah melakukan perintah Tuhan, dengan memperlihatkan kecurangan pasangan terhadap pasangannya sendiri! Bukankah aku makhluk yang deratnya jauh lebih unggul? Haha .. itulah aku, aku adalah Al-Dasim’ Dasim meninggalkan tempat itu dengan memegang kemenangan yang Telak, tugasnya cukup mengerikan. Sekarang dia menemui manusia yang menjadi target selanjutnya. Apalagi ujian yang paling berat bagi rumah tangga,ekonomi atau yang lain? Hati-hati! Bisa saja Al-Dasim sedang mengincar keluargamu. Waspadalah dengan gondaan dan hasutannya! “Apa yang kau lakukan, San? Hingga suamimu lepas tangan?” “Aku .. aku tidak melakukan apapun, Pak,” “Jangan berbohong! Bapak tahu betul sifat suamimu, kalian menikah bukan hanya sekedar 5 atau 6 tahun!
Lelaki itu kembali melihat kertas yang berisi sebuah alamat yang diberikan kakek misterius tempo lalu, dia tampak ragu untuk turun dari mobilnya, pasalnya sepenjang mata memandang hanya ada kayu jati yang tumbuh menjulang tinggi dengan daunnya yang cukup rimbun, sampai mampu menghalangi sinar matahari disore hari itu.Setelah pertimbangan yang cuku matang, lelaki itu turun dari mobilnya, mencoba melihat sekitar, siapa tahu dia melihat orang, meski mungkin sangat mustahil, mengingat dia berada ditengah jalan yang kanan kiri diapit pohon jati. Sedangkan didepannya jalan buntu dengan semak belukar setinggi perut orang dewasa.Tak sengaja ekor matanya melihat seorang laki-laki duduk meneduh di bawah pohon jati, gegas ia menghampiri. Dia juga heran, padahal tadi dia sudah melihat sekitar, hanya hampa, tetapi tiba-tiba saja lelaki paruh baya duduk dibawah salah satu pohon tak jauh dari tempatnya berdiri. Cukup ganjil memang, tetapi demi misi dan ambisinya, dia tak menghiraukan keganjila
Bukankah iblis dan sebangsanya penuh tipu muslihat? lalu kenapa sampai kita terpikat? Padahal yang ditawarkan hanyalah indahnya duniawi, apa karena itu kita melupakan akhirat? Tidak! Nafsu, ya hanya karena nafsu, nafsu duniawi yang menuntut harus dipuaskan, tetapi kita juga lupa, bahwa nafsu duniawi tidak akan pernah puas, ia selalu kurang dan kurang. Serakah!Soal tipu muslihat, mungkin itu yang sekarang di rasakan Ridwan, rumah panggung yang ia lihat, tidak pernah ada! Kenyataanya, dia sedang duduk di dahan pohon jati yang tumbang, sedangkan dihadapannya sesosok makhlup besar bertanduk, dengan badan merah dan gigi runcing, jangan lupakan, rambut yang kasar seperti ijuk tetapi hanya 5 helai.Itulah ilusi, dan tipu muslihat setan!Ridwan menerima kotak hitam yang didalamnya terdapat pasak bumi, dan juga sebuah kertas yang berisi bacaan mantra yang harus dia baca saat menanam pasak tersebut.“Sekarang, pulanglah jangan sampai istrimu curiga!”“Satu lagi, setelah keluar dari sini, janga
Ridwan terbangun saat mendengar bunyi berisik di lantai satu rumahnya, gegas dia turun untuk mengecek ada apa gerangan. Tetepi kini suara berisik itu menghilang, diganti dengan suara seperti orang mengunyah dan mengecap, dia mengikuti sumber suara itu yang ternyata berasal dari dapur rumahnya.Di dapur, dia melihat seorang wanita yang dia yakini adalah istrinya, wanita itu berjongkok dan memegang sesuatu ditangannya. Ridwan menegur istrinya, ingin menenyakan apa yang sedang wanita itu lakukan, tetapi saat berbalik.DegDegup jantung Ridwan berpacu lebih cepat, dia melihat Wirda dengan wajah yang mengelupas dan mata yang menggantung keluar, yang tak kalah mengerikan lagi sesuatu ditangan Wirda, daging merah yang masih mengeluarkan darah segar.Ridwan melangkah mundur, Wirda mendekatinya dengan merangkak. Dia terpojok, punggungnya sudah mentok di meja makan.“Mau, Mas?”“Arghh ..”Ridwan terbangun dengan nafas ngos-ngosan, mimpinya sangat menakutkan. Ridwan segera meminum air di atas la
“Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s
Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir
Arman bekerja dengan begitu keras, tidak peduli siang dan malam. Karena Vivi sendiri lepas tangan, padahal itu adaalah hutang orang tuanya juga. Vivi ‘tak mau ambil pusing akan hal itu. Sehingga Arman harus banting tulang sendiri untuk melunasi hutang Ayahnya, yang kini menjadi hutang di Bank.Arman berinisiatif meminjam uang di Bank dengan mengadai sertifikat rumah tersebut, awalnya Vivi menentang dengan keras karena takut rumah tersebut juga akan di sita oleh pihak Bank. Tetapi untungnya Arman bisa meyakinkan, sehingga hutang Ayahnya kepada rentenir lunas, tinggal hutang di Bank atas nama dirinya.Sehingga Vivi sangat membenci Nilam, karena baru beberapa hari menikah Bapak mereka meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang, begitu juga dengan Ibunya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu, yang pada akhirnya harus membuat mereka hidup berdua beserta pasangan masing-masing, di rumah peninggalan orang tuanya tersebut.“Aku kakak tertua, aku adalah pengganti Ibu sekarang, karena bel
Tetapi tiba-tiba Althaf menangis dengan kencangnya. Membuat Nilam terperanjat kaget ia langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari menuju kamarnya.Sesampainya di dalam kamar, Althaf tengan telentang seraya menangis dengan kencang, buru-buru menggendong sang buah hati, di telisiknya wajah Althaf dengan seksama, ternyata ada sedikit memar di dahinya.“Mbak, Althaf ini kenapa?” tanyanya kepada kakak Iparnya yang sedari tadi hanya diam melihat Althaf menangis tak henti-hentinya.“Ya, ini semua gara-gara kamu. Kalau punya anak di jaga! Masak di biarin di kamar sendirian!”“Aku lagi nyuci beras buat masak Mbak”“Hallah .. ya bawa saja si Althaf, kalau kamu bawa dia tadi, gak mungkin dia akan kejedot pintu saat aku mau masuk kamar kamu!”Althaf mulai tenang, anak kecil itu menyusu kepada Ibunya.“Mbak mau ngapain ke kamar aku?”“Ya terserah aku mau ngapai aja ke kamar kamu, toh ini masihh rumahku! Ya suka-suka aku lah!”Nilam menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar, percuma
“Nil, kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu!”Nilam hanya tertunduk lesu, pasalnya dirinya baru gagal bertunangan dengan pria pilihannya sendiri. Dulu dia sempat lolos dari perjodohan yang kedua orang tuanya tawarkan, karena menerima lamaran dari pria kenalan teman dekatnya. Tetapi siapa sangka, lelaki tersebut hanya mempermainkan perasaannya saja, padahal kedua orang tua masing-masing sudah mengetahui hubungan mereka.Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, Nilam harus menerima perjodohan tersebut, lelaki yang dulu masih orang tuanya jodohkan kepadanya.Hingga pernikahan tanpa cinta pun terjadi, semua berjalan lancar sesuai kehendak kedua orang tuanya.“Kamu cepat hamil ya, cepat punya anak. Ibu sama Bapak ingin menggendong cucu dari kamu.” Ibunya berkata seraya menyerahkan jamu subur kepada Nilam yang kebetulan bertandang ke rumah orang tuanya.Padahal pernikahan keduanya baru berjalan 3 bulan, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak sabar, dan memaksa Nilam untuk
Malam kembali datang, menyapa mereka yang ingin ketenangan.Yesa kembali berkumpul dengan saudaranya yang lain, saling bersenda gurau seperti biasanya.Tiba-tiba saja Mertuanya datang bersama seseorang yang tidak terlalu bisa dia kenali, karena kedua orang tuanya dan juga saudaranya yang lain untuk menyuruhnya kembali masuk ke dalam kamar.Yesa mendengarkan semua pembicaraan dan perdebatan diantara mereaka, karena memang kamarnya berada tepat di samping ruang tamu.“Kami meminta maaf atas nama Agam putraku”“Kami sudah memaafkannya, besan. Tetapi maaf, untuk kembali menjadi istri Nak Agam putri bungsu saya sudah tidak bisa, dan kami berhak memberinya keputusan atas dirinya sendiri.” Jelas sang Ayah sembari menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon maaf.“Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?”Ayah dari Yesa menggeleng, “Tidak, maaf!” ucapnya tegas.Lelaki tersebut menghela nafas berat, dia harus terima jika keputusan yang diambil kali ini adalah memisahkan putranya dan sang
“Nelfon siapa?” Tanya Agam tiba-tiba.Agam kembali ke kamar dan mendapati istrinya mendekatkan posel ke telinganya, pertanda sedang menpon seseorang.“Mbak Tya”“Buat apa?”“Minta di jemput, ‘kan kamu sendiri yang ngusir tadi!” Tanpa banyak bicara Agam langsung mengambil ponsel istrinya dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan Yesa di kamar mereka sendirian.‘Pergilah dari sini, tinggalkan pria tak tahu diri seperti dirinya. Selagi kalian belum memiliki anak, kau harus hidup bebas Yesa. Jangan biarkan lelaki itu terus menindasmu!’Yesa menghela nafas, mau tidak mau dia harus pakai cara lain. Selama ini dia sudah cukup diam, toh mereka tidak memiliki anak untuk dipertahankan, lebih baik sendiri dari pada nelangsa dan makan hati tiap hari.Yesa membulatkan tekadnya untuk pergi dari kehidupan Agam. Dia akan pergi, dan harus pergi!Siang itu Yesa bersiap pergi dengan membawa beberapa helai bajunya yang ia sembunyikan di tas dagangannya.“Mau kemana kamu?” Tanya kakak Iparnya.“Mau ngan
“Dek, baju kamu kok begitu sih? Gak usah pake celana lah!”“Kenapa? setidaknya bajuku panjang sampai betis kok”“Iya aku gak suka! Ganti baju sana, nurut sama suami!”Yesa menurut, padahal sebentar lagi mereka akan berangkat kondangan ke rumah saudaranya. Sedari tadi malam Yesa sudah membantu di rumah saudaranya itu hingga larut, baru kembali pulang. Pagi-pagi juga begitu, hingga hari berganti siang, dan siang berganti sore, Yesa seharian itu membantu tanpa istirahat.Itu pun terkadang masih saja salah di mata orang-orang sekitarnya, entah karena sudah terhasut gunjingan Ipar atau mertuanya, atau memang orang-orang sana yang memang tidak suka atas apa yang dilakukan oleh Yesa. Padahal setahunya, dirinya tidak pernah berbuat masalah kepada orang lain.Yesa kembali menemui Agam dengan memakai gamis syar’I yang menurutnya terlalu kebesaran, tetapi begitulah. Apalagi dirinya di kenal dengan menantu dan Istri dari seorang Ustadz. Jadi dia harus bisa menjaga penampilannya sesantun mungkin
“Dia Lina, salah satu waninta yang ikut clup touring”“Harus ya, sampai meluk gitu?”“Memangnya kenapa? Toh hanya teman! Anak-anak di clup juga pada tahu kok kalau aku sudah menikah! Sudahlah jangan memperpanjang sesuatu yang tidak penting! Jangan berlebihan dalam menanggapi sesuatu!” ujarnya ketus.Agam melenggang pergi keluar dari kamarnya meninggalkan Yesa sendiri yang masih mematung di tempatnya.Apa katanya? Yesa berlebihan dalam menanggapi sesuatu? Lalu yang dilakukan selama ini kepada Yesa apa? Bukankah dia yang terlalu berlebihan? Sedangkan Yesa hanya bertanya saja! Yesa menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya perlahan, dirinya pergi ke dapur untuk membuatkan makan siang atau sekedar kopi untuk suaminya yang baru pulang ke rumah setelah bepergian jauh.Yesa melihat di luar suaminya menerima sebuah paket yang cukup mahal baginya, tanpa berlama-lama lagi Agam langsung memasang besi tambahan yang kurir berikan tadi.“Dimodif lagi?” Tanya Yesa kemudian meletakkan kopi yang