Keinginan yang besar kadang bisa menjadi boomerang tersendiri bagi mereka. Seperti yang mungkin akan dirasakan oleh pasangan yang baru saja memutuskan untuk mengadu nasib di kota, Azam yang berkeinginan besar mengubah keadaan ekonominya, tak tahu akan takdir yang akan terjadi kepadanya di kemudian hari, bahkan mungkin kita semua.Tugas kita hanya menjalani, selebihnya tangan Tuhan yang menentukan.Azam berjalan kembali ke kontrakan miliknya setelah membeli beberapa barang, seperti bantal, gayung dan perlengkapan memasak. ‘tak terlalu banyak, hanya sesuatu yang bener-benar dibutuhkan mereka. Pak Ali dan Ardi ikut membantu membawa barang-barang miliknya.Tok tok tokKalana yang mendengar pintu utama di ketuk dari luar bergegas membukanya.“Asslamu’alaikum ..”“Wa’alaikum salam ..”“Taruk saja di sini, Mas. Biar saya dan istri nanti yang menata semua barang-barang ini” ujarnya.“Baiklah kalau begitu, Bapak balik dulu, ya. Soalnya mau berangkat kerja shift malam” pamit Pak Ali.“Bener ga
Dasim, jin dengan tugas yang mengerikan tersebut sudah menentukan targetnya. Dia tersenyum senang saat mengetahui dia memilih target yang pas untuk saat ini. Hanya menunggu waktu sebentar lagi, dan boom .. dia akan hadir ditengah-tengah untuk mengacaukan hati pasangan yang baru menikah seumur jagung tersebut. Sangat menyenangkan baginya bukan? Dia akan diakui hebat oleh Bapak para jin, lalu dia bisa membanggakan pencapaiannya kepada golongan kaumnya.Rendi kembali setelah perjalanan yang cukup melelahkan. Rendi memilih untuk menetap lebih dulu di pesantren, rencananya dia akan pulang esok hari setelah sholat shubuh, kemudian langsung berangkat ke kantor memulai kerja kembali.Apalagi kemaren ‘Big Bos’ nya, panggilan untuk Pak Direktur Utama sempat menelfonnya dan bertanya mengenai sebuah tender yang sudah di menangkan oleh Rendi sebelumnya.Awalnya panggilan Big Bos itu hanya si Ardi yang membuat, lama kelamaan semua karyawan ikut-ikutan, dan Pak Direktur pun tak keberatan, malah dia
Sekian detik netra ketiganya bertemu, dari ekspresi wajah Azam dan Kalana tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, sedangkan Rendi mengalihkan pandangan kembali ke buku catatan miliknya, untungnya dia langsung bisa menguasai keadaan.“Duduk sini!” tawar Ziko sembari menggesr duduknya.Azam tersenyum kaku.“Nah ini Rendi, pria yang paling Alim dan paling cerdas di circle kita” puji Ziko.“Selain kerja di kantor, dia juga masih ngajar di pesantren. Bacaan kitabnya—beuh gak usah diragukan lagi!” timpal Ardi.“Jangan berlebihan!”Klana dan Azam duduk tepat di hadapan Rendi.“Oh iya Ren, ini kenalin. Si anak magang, namanya Azam dan itu istrinya namanya Kalana” Ziko memperkenalkan.“Eh, namanya seperti wanita yang kau cintai dengan hebat, Ren!” Ardi memberitahu.“Bukannya nama seperti itu jutaan?” jawab Rendi tak acuh.Kalana tersenyum kecut. Saat pertama bertemu tadi jantungnya berdegup kencang, sama seperti mereka berkenalan pertama kali dulu, sebelum takdir dengan tega memisahkan mereka
Rendi pergi ke pesantren setelah berpamitan kepada semua orang yang ada di sana.Setelah kepergiannya, Kalana juga izin pulang. Sedangkan Azam masih di sana untuk menghargai kedua seniornya.Kalana menghempaskan bobot tubuhnya ke kasur usang di kamarnya, dia menangis, meluapkan semua emosi yang selama ini dipendam dalam hatinya. Kini Rendinya telah berubah, kata urakan dan berandalan yang dulu tersemat dalam dirinya sudah hilang. Bahkan tutur katanya teramat lembut kepada wanita di seberang telfonnya.“Harusnya aku!”‘Iya, harusnya kamu! Lupakan semua kesalahan yang dulu, kau hanya perlu meminta maaf. Rendi masih mencintaimu, dia pasti akan senang melihatmu kembali kepadanya!’‘Bukankah ini kesempatan yang Tuhan berikan kepada kalian berdua? Jangan sia-siakan lagi!’Dasim terus saja menggoda dan menghasut Kalana yang hatinya tengah kalut. Entah rasa bersalah yang mengukungnya, atau rasa kecewa dan marah pada dirinya yang selama ini dia pendam sendiri, semuanya sama saja, tak ada jala
Di kantorMereka berempat tengah makan siang sambil mengobrol ria, sesekali Rendi maupun Azam menimpali pertanyaan yang kadang di ajukan kepada mereka. Rendi semakin sibuk dengan laptopnya, kadang Azam melirik ke arah Rendi dengan tatapan yang salit di artikan.“Ren, kemaren bonus masuk?” Tanya Ziko tiba-tiba.Rendi mengangguk, “Masuk” jawabnya dengan mata yang tak lepas mengarah kepada layar laptopnya.“Wih .. kalian dapat bonus ya?”“Rendi doang sih, ‘kan yang megang proyek dia”“Kamu dong Ren?”“Hu’um, makanya ini sekarang traktir kalian.”“Traktirnya kok di sini? Di café atau restoran mahal kek!”Pletak“Sudah di traktir bukannya bersyukur dan berterima kasih, ini malah ngelunjak!” omel Ziko.Ardi hanya mengusap kepalanya yang di jitak Ziko.“Iya, nanti. Setelah progresnya beres dan proyek yang aku garap berjalan lancar. Kalau belakangan ini gak bisa, tau sendiri aku sedang sibuk kayak gini!”“Gak, usah Ren. Ini anak di kasih hati malah minta empedu.”“Kau lama-lama kayak emak-em
“Astaghfirullah” Rendi mengusap wajahnya kasar.“Padahal baru juga niat untuk merelakan, tetapi hanya gelang saja yang hilang malah blingsatan” ujarnya terkekeh menertawakan diri sendiri.Rendi ingin kembali ke lantai atas, tetapi urung karena bel pagarnya berbunyi. Dia bergegas membuka pintu dan melihat siluet wanita berdiri membelakangi pagar rumahanya dari luar.“Mala”Kalana bernbalik arah, di melongo melihat penampilan Rendi yang memakai sarung dan baju koko putih bersih beserta kopiah yang masih bertengger di kepalanya.“Ehem” Rendi berdehem untuk menyadarkan Kalana yang malah melamun di luar pagar.“Kamu sendiri?” tanyanya sambil celingak-celinguk mencari seseorang yang mungkin bersama Kalana, tetapi sampai kepalanya pegal dia hanya melihat Kalana sendiri.“Aku sendiri.” Ucap Kalana sambiil menunduk.Rendi mengernyitkan dahinya bingung, untuk apa Kalana ke sini sendirian?“Azam kemana?”“Kelaur sama Mas Ardi”“Untuk apa kamu ke sini Mala? Eh maksudnya, Kalana”“Panggil Mala pun
Kalana kembali ke rumah dengan lesu, semuanya telah pupus. Memang benar dirinya telah menjadi milik Azam, dan dia sekarang tidak berhak atas hatinya sendiri.Rendi benar, kisah mereka sudah tidak ada lagi, sekarang hanya kisahnya bersama sang suami, Azam Danial Fikri.Azam membuka pintu rumah yang ‘tak terkunci. Wajahnya merah karena menahan amarah.Dia masuk ke kamar dan mendapati sang istri menatap bulan dari jendela kamar kecil mereka.“Dari mana saja kau Kalana?!”Azam menyentak tangan sang istri hingga Kalana meringis kesakitan.“A—aku” Kalana tergagap.“Kau ke sana tanpa sepengetahuanku? Apa yang kau lakukan ke sana? Apa kau masih mencintainya? Ha?! Jawab aku! Jangan diam saja!”“Aku hanya minta maaf” ucapnya lirih menahan tangis, sayangnya isakan kecil lolos dari mulutnya.Azam meyugai surainya kebelakang.“Kenapa kau menerimaku, kalau hatimu masih miliknya Kalana?” nada suaranya ia turunkan, karena tidak ingin tetangganya mendengar keibutan keduanya. Mengingat tempat tinggal me
“Lalu apa yang kau lakukan sekarang?”“Mengejar karir, apalagi?!” jawabnya enteng.“Ck .. naïf sekali! Padahal tadi malam ketemu sama istri orang!” monolog Azam dalam hati.Memang tidak salah jika dia sangat kesal kepada Rendi dan juga istrinya Kalana, tanpa sepengetahuan dirinya mereka bertemu. Azam jadi curiga, jikalau istrinya dan Rendi main belakang, secara mereka masih saling mencintai. Semua pikiran-pikiran buruk itu bercokol di kepalanya, Azam meremas tangannya sampai buku jarinya memutih.Setelah basa-basi yang cukup panjang, mereka akhirnya kembali bekerja seperti biasanya. Ketika bekerja, tak ada lagi percakapan atau guyonan yang memecah tawa, mereka focus dengan pekerjaan masing-masing. Entah memang focus atau pikirannya saja yang berkelana tak tentu arah.Jam kerja telah usai, Azam yang biasanya bersemangat untuk pulang kembali ke rumah, karena sudah tidak sabar bertemu Kalana. Kini, seperti enggan untuk pulang. Azam kemudian melipir ke sebuah chofee shop hanya untuk mengh