Rendi pergi ke pesantren setelah berpamitan kepada semua orang yang ada di sana.Setelah kepergiannya, Kalana juga izin pulang. Sedangkan Azam masih di sana untuk menghargai kedua seniornya.Kalana menghempaskan bobot tubuhnya ke kasur usang di kamarnya, dia menangis, meluapkan semua emosi yang selama ini dipendam dalam hatinya. Kini Rendinya telah berubah, kata urakan dan berandalan yang dulu tersemat dalam dirinya sudah hilang. Bahkan tutur katanya teramat lembut kepada wanita di seberang telfonnya.“Harusnya aku!”‘Iya, harusnya kamu! Lupakan semua kesalahan yang dulu, kau hanya perlu meminta maaf. Rendi masih mencintaimu, dia pasti akan senang melihatmu kembali kepadanya!’‘Bukankah ini kesempatan yang Tuhan berikan kepada kalian berdua? Jangan sia-siakan lagi!’Dasim terus saja menggoda dan menghasut Kalana yang hatinya tengah kalut. Entah rasa bersalah yang mengukungnya, atau rasa kecewa dan marah pada dirinya yang selama ini dia pendam sendiri, semuanya sama saja, tak ada jala
Di kantorMereka berempat tengah makan siang sambil mengobrol ria, sesekali Rendi maupun Azam menimpali pertanyaan yang kadang di ajukan kepada mereka. Rendi semakin sibuk dengan laptopnya, kadang Azam melirik ke arah Rendi dengan tatapan yang salit di artikan.“Ren, kemaren bonus masuk?” Tanya Ziko tiba-tiba.Rendi mengangguk, “Masuk” jawabnya dengan mata yang tak lepas mengarah kepada layar laptopnya.“Wih .. kalian dapat bonus ya?”“Rendi doang sih, ‘kan yang megang proyek dia”“Kamu dong Ren?”“Hu’um, makanya ini sekarang traktir kalian.”“Traktirnya kok di sini? Di café atau restoran mahal kek!”Pletak“Sudah di traktir bukannya bersyukur dan berterima kasih, ini malah ngelunjak!” omel Ziko.Ardi hanya mengusap kepalanya yang di jitak Ziko.“Iya, nanti. Setelah progresnya beres dan proyek yang aku garap berjalan lancar. Kalau belakangan ini gak bisa, tau sendiri aku sedang sibuk kayak gini!”“Gak, usah Ren. Ini anak di kasih hati malah minta empedu.”“Kau lama-lama kayak emak-em
“Astaghfirullah” Rendi mengusap wajahnya kasar.“Padahal baru juga niat untuk merelakan, tetapi hanya gelang saja yang hilang malah blingsatan” ujarnya terkekeh menertawakan diri sendiri.Rendi ingin kembali ke lantai atas, tetapi urung karena bel pagarnya berbunyi. Dia bergegas membuka pintu dan melihat siluet wanita berdiri membelakangi pagar rumahanya dari luar.“Mala”Kalana bernbalik arah, di melongo melihat penampilan Rendi yang memakai sarung dan baju koko putih bersih beserta kopiah yang masih bertengger di kepalanya.“Ehem” Rendi berdehem untuk menyadarkan Kalana yang malah melamun di luar pagar.“Kamu sendiri?” tanyanya sambil celingak-celinguk mencari seseorang yang mungkin bersama Kalana, tetapi sampai kepalanya pegal dia hanya melihat Kalana sendiri.“Aku sendiri.” Ucap Kalana sambiil menunduk.Rendi mengernyitkan dahinya bingung, untuk apa Kalana ke sini sendirian?“Azam kemana?”“Kelaur sama Mas Ardi”“Untuk apa kamu ke sini Mala? Eh maksudnya, Kalana”“Panggil Mala pun
Kalana kembali ke rumah dengan lesu, semuanya telah pupus. Memang benar dirinya telah menjadi milik Azam, dan dia sekarang tidak berhak atas hatinya sendiri.Rendi benar, kisah mereka sudah tidak ada lagi, sekarang hanya kisahnya bersama sang suami, Azam Danial Fikri.Azam membuka pintu rumah yang ‘tak terkunci. Wajahnya merah karena menahan amarah.Dia masuk ke kamar dan mendapati sang istri menatap bulan dari jendela kamar kecil mereka.“Dari mana saja kau Kalana?!”Azam menyentak tangan sang istri hingga Kalana meringis kesakitan.“A—aku” Kalana tergagap.“Kau ke sana tanpa sepengetahuanku? Apa yang kau lakukan ke sana? Apa kau masih mencintainya? Ha?! Jawab aku! Jangan diam saja!”“Aku hanya minta maaf” ucapnya lirih menahan tangis, sayangnya isakan kecil lolos dari mulutnya.Azam meyugai surainya kebelakang.“Kenapa kau menerimaku, kalau hatimu masih miliknya Kalana?” nada suaranya ia turunkan, karena tidak ingin tetangganya mendengar keibutan keduanya. Mengingat tempat tinggal me
“Lalu apa yang kau lakukan sekarang?”“Mengejar karir, apalagi?!” jawabnya enteng.“Ck .. naïf sekali! Padahal tadi malam ketemu sama istri orang!” monolog Azam dalam hati.Memang tidak salah jika dia sangat kesal kepada Rendi dan juga istrinya Kalana, tanpa sepengetahuan dirinya mereka bertemu. Azam jadi curiga, jikalau istrinya dan Rendi main belakang, secara mereka masih saling mencintai. Semua pikiran-pikiran buruk itu bercokol di kepalanya, Azam meremas tangannya sampai buku jarinya memutih.Setelah basa-basi yang cukup panjang, mereka akhirnya kembali bekerja seperti biasanya. Ketika bekerja, tak ada lagi percakapan atau guyonan yang memecah tawa, mereka focus dengan pekerjaan masing-masing. Entah memang focus atau pikirannya saja yang berkelana tak tentu arah.Jam kerja telah usai, Azam yang biasanya bersemangat untuk pulang kembali ke rumah, karena sudah tidak sabar bertemu Kalana. Kini, seperti enggan untuk pulang. Azam kemudian melipir ke sebuah chofee shop hanya untuk mengh
Di malam yang dingin, karena di luar sedang gerimis. Seorang wanita menimang sayang Putra kecilnya, tak peduli rasa sakit yang mendera bahunya karena semalam terjaga sambil menggendong sang buah hatinya sendiri tanpa bantuan siapapun. Padahal badannya sudah sangat lelah karena seharian masih melakukan aktifitas ibu rumah tangga seperti biasanya.Sang suami pergi entah kemana, padahal sedang tidak bekerja. Pekerjaannya hanya waktu siang saja.“Bobok ya, sayang. Ibu capek. Kita tidur bareng di kasur,” bujuknya.Anaknya yang tengah terlelap ia letakkan perlahan di ranjang miliknya. Tetapi baru saja ingin memejamkan mata sang anak terbangun dan langsung duduk melihat Ibunya. Ibunya yang tampak sangat lelah tersenyum, sayangnya, anak tersebut kembali menangis kencang minta di timang seperti tadi.Meski lelah melanda, dia tetap menimang kembali putra gembulnya, lingkaran hitam sudah menghiasi bawah matanya, wanita itu terus saja menguap akibat ngantuk yang begitu hebat menyerangnya.Tepat j
“Dek, kenapa aku gak di bangunin? Ini sudah jam 8 lewat 10 menit, sudah telat aku gara-gara kamu!” yanto datang ke kamar mandi sambil mengomel kepada Arumi yang sedang membilas pakaian kotor terakhir mereka.“Aku ‘kan sudah bangunin Mas Yanto tadi tetapi Mas Yanto tetap gak bangun juga,” bela Arumi.“Kamu ngebangunninnya kurang kuat! Ngebangunin orang kok kayak gak makan 2 hari, gak ada tenaga!”Arumi terdiam, apapun yang dia lakukan selalu saja salah. Pernah dia membangunkan suaminya dengan mengguncang badannya dengan cukup kuat, tetapi berakhir dengan bentakan. Padahal suaminya sendiri awalnya yang menyuruhnya membangunkannya begitu.Yanto memang tipe orang yang sulit dibangunkan ketika pagi hari, karena setiap malam selalu begadang hingga larut bersama temannya, alasannya selalu saja karena tidak bisa tidur, lalu memilih berkumpul dengan teman-temannya dan tak mau ambil pusing dengan keadaan istrinya yang lelah menjaga anaknya setiap harinya.Arumi hanya mampu diam ketika Yanto ter
“Dek, aku mau keluar dulu sebentar, sama Vino.” Ijinnya selepas adazan maghrib berkumadang.Arumi memangdang suaminya yang berdiri di sampingnya sesaat, lalu menghembuskan nafas berat.“Mau kemana, Mas?”Arumi sekedar bertanya, meski tahu jawabannya pasti sama.“Ngopi di warungnya Pak Sugeng,”“Ngopi di sini ‘kan bisa? Sambil jagain Faqih juga”“Jaga anak itu tugasnya seorang istri, suami itu capek kerja seharian. Lagian gak enak juga kalau nolak ajakan Vino, dia baik loh sama keluarga kita, sama Faqih juga!”Memang tidak bisa dipungkiri, Vino cukup baik kepada putranya—Faqih, kalau ke rumah mereka Vino tak pernah segan untuk memberi Faqih uang walau sekedar 20.000,sekedar untuk beli jajan dan cemilan Faqih. Kadang saat libur kerja, Yanto akan mengajak Faqih ke rumah temannya tersebut, dan pulangnya Faqih membawa jajan atau uang yang diberikan Vino.Tetapi apakah harus seperti ini? setiap malam sehabis maghrib atau isya’ keluar, pulangnya larut malam.kadang ketika Yanto sudah beristir