Kalana kembali ke rumah dengan lesu, semuanya telah pupus. Memang benar dirinya telah menjadi milik Azam, dan dia sekarang tidak berhak atas hatinya sendiri.Rendi benar, kisah mereka sudah tidak ada lagi, sekarang hanya kisahnya bersama sang suami, Azam Danial Fikri.Azam membuka pintu rumah yang ‘tak terkunci. Wajahnya merah karena menahan amarah.Dia masuk ke kamar dan mendapati sang istri menatap bulan dari jendela kamar kecil mereka.“Dari mana saja kau Kalana?!”Azam menyentak tangan sang istri hingga Kalana meringis kesakitan.“A—aku” Kalana tergagap.“Kau ke sana tanpa sepengetahuanku? Apa yang kau lakukan ke sana? Apa kau masih mencintainya? Ha?! Jawab aku! Jangan diam saja!”“Aku hanya minta maaf” ucapnya lirih menahan tangis, sayangnya isakan kecil lolos dari mulutnya.Azam meyugai surainya kebelakang.“Kenapa kau menerimaku, kalau hatimu masih miliknya Kalana?” nada suaranya ia turunkan, karena tidak ingin tetangganya mendengar keibutan keduanya. Mengingat tempat tinggal me
“Lalu apa yang kau lakukan sekarang?”“Mengejar karir, apalagi?!” jawabnya enteng.“Ck .. naïf sekali! Padahal tadi malam ketemu sama istri orang!” monolog Azam dalam hati.Memang tidak salah jika dia sangat kesal kepada Rendi dan juga istrinya Kalana, tanpa sepengetahuan dirinya mereka bertemu. Azam jadi curiga, jikalau istrinya dan Rendi main belakang, secara mereka masih saling mencintai. Semua pikiran-pikiran buruk itu bercokol di kepalanya, Azam meremas tangannya sampai buku jarinya memutih.Setelah basa-basi yang cukup panjang, mereka akhirnya kembali bekerja seperti biasanya. Ketika bekerja, tak ada lagi percakapan atau guyonan yang memecah tawa, mereka focus dengan pekerjaan masing-masing. Entah memang focus atau pikirannya saja yang berkelana tak tentu arah.Jam kerja telah usai, Azam yang biasanya bersemangat untuk pulang kembali ke rumah, karena sudah tidak sabar bertemu Kalana. Kini, seperti enggan untuk pulang. Azam kemudian melipir ke sebuah chofee shop hanya untuk mengh
Di malam yang dingin, karena di luar sedang gerimis. Seorang wanita menimang sayang Putra kecilnya, tak peduli rasa sakit yang mendera bahunya karena semalam terjaga sambil menggendong sang buah hatinya sendiri tanpa bantuan siapapun. Padahal badannya sudah sangat lelah karena seharian masih melakukan aktifitas ibu rumah tangga seperti biasanya.Sang suami pergi entah kemana, padahal sedang tidak bekerja. Pekerjaannya hanya waktu siang saja.“Bobok ya, sayang. Ibu capek. Kita tidur bareng di kasur,” bujuknya.Anaknya yang tengah terlelap ia letakkan perlahan di ranjang miliknya. Tetapi baru saja ingin memejamkan mata sang anak terbangun dan langsung duduk melihat Ibunya. Ibunya yang tampak sangat lelah tersenyum, sayangnya, anak tersebut kembali menangis kencang minta di timang seperti tadi.Meski lelah melanda, dia tetap menimang kembali putra gembulnya, lingkaran hitam sudah menghiasi bawah matanya, wanita itu terus saja menguap akibat ngantuk yang begitu hebat menyerangnya.Tepat j
“Dek, kenapa aku gak di bangunin? Ini sudah jam 8 lewat 10 menit, sudah telat aku gara-gara kamu!” yanto datang ke kamar mandi sambil mengomel kepada Arumi yang sedang membilas pakaian kotor terakhir mereka.“Aku ‘kan sudah bangunin Mas Yanto tadi tetapi Mas Yanto tetap gak bangun juga,” bela Arumi.“Kamu ngebangunninnya kurang kuat! Ngebangunin orang kok kayak gak makan 2 hari, gak ada tenaga!”Arumi terdiam, apapun yang dia lakukan selalu saja salah. Pernah dia membangunkan suaminya dengan mengguncang badannya dengan cukup kuat, tetapi berakhir dengan bentakan. Padahal suaminya sendiri awalnya yang menyuruhnya membangunkannya begitu.Yanto memang tipe orang yang sulit dibangunkan ketika pagi hari, karena setiap malam selalu begadang hingga larut bersama temannya, alasannya selalu saja karena tidak bisa tidur, lalu memilih berkumpul dengan teman-temannya dan tak mau ambil pusing dengan keadaan istrinya yang lelah menjaga anaknya setiap harinya.Arumi hanya mampu diam ketika Yanto ter
“Dek, aku mau keluar dulu sebentar, sama Vino.” Ijinnya selepas adazan maghrib berkumadang.Arumi memangdang suaminya yang berdiri di sampingnya sesaat, lalu menghembuskan nafas berat.“Mau kemana, Mas?”Arumi sekedar bertanya, meski tahu jawabannya pasti sama.“Ngopi di warungnya Pak Sugeng,”“Ngopi di sini ‘kan bisa? Sambil jagain Faqih juga”“Jaga anak itu tugasnya seorang istri, suami itu capek kerja seharian. Lagian gak enak juga kalau nolak ajakan Vino, dia baik loh sama keluarga kita, sama Faqih juga!”Memang tidak bisa dipungkiri, Vino cukup baik kepada putranya—Faqih, kalau ke rumah mereka Vino tak pernah segan untuk memberi Faqih uang walau sekedar 20.000,sekedar untuk beli jajan dan cemilan Faqih. Kadang saat libur kerja, Yanto akan mengajak Faqih ke rumah temannya tersebut, dan pulangnya Faqih membawa jajan atau uang yang diberikan Vino.Tetapi apakah harus seperti ini? setiap malam sehabis maghrib atau isya’ keluar, pulangnya larut malam.kadang ketika Yanto sudah beristir
Arumi ikut membantu di hajatan tetangganya, kebanyakan tetangga dekat yang ikut bantu memasak di sana.“He’em, rumahnya kayak kandang kambing, mainan di mana-mana gak di bersihkan, kalau pagi anaknya masih kotor belepotan gitu! Jangankan dimandikan, orang Ibunya saja bangunnya selalu siang!”Sundari kembali menyindir Arumi di depan orang banyak.Sakit hati? Tentu saja! Mau membela diri pun percuma, malah ujung-ujungnya nanti ribut di rumah orang.Apakah di desa suami kalian ada orang seperti Sundari? Pertanyaan ini untuk kalian yang ikut tinggal di rumah suami atau mertua setelah nikah.Arumi mencoba menulikan telinganya, meski ingin sekali dia mencakar dan merobek mulut wanita tersebut, tetapi sebisanya ia tahan.Kenapa di dunia ini banyak orang yang malah sibuk dan suka ngurusin hidup orang lain, mengomentari yang terlihat tanpa tahu proses yang sebenarnya, sekarang aku ingin bertanya. Manusia seperti itu halalkah untuk di santet atau di bunuh?Arumi pergi menjauh, agar hatinya tak
“Ini nih Ibunya, bukannya jaga anaknya malah asik-asikan ngegosip sama gadis-gadis yang belum nikah di kamar.” Ujar Sundari sinis.Arumi tak menghiraukannya, dia langsung mengambil alih Faqih dari gendongan Ayahnya.“Apa anda sedang menyindir diri sendiri Buk Sundari?” Tanya Dila tiba-tiba.Dila memang gadis yang berani dan tidak diam saja ketika ditindas orang lain, dia akan berani melawan kalau dirinya memang benar.Dila dan yang lain menyusul keluar saat Arumi berlari meninggalkan kamar mereka.“Apasih?”“Lebih baik anda diam, jangan membuat panas suasanya yang memang sudah panas!” tangan Dila di cekal oleh Ibunya agar diam.Arumi sibuk menenangkan Faqih yang terus saja menangis, pelipisnya berdarah, entah terjatuh dari mana.“Seharusnya kau jaga Faqih, Dek!” Yanto menyalahkan Arumi.Arumi mendongak, dia mengepal tangannya sampai buku jarinya memutih. Arumi geram karena disalahkan oleh Yanto, padahal jelas-jelas Faqih di sampingnya dari tadi.“Aku ‘kan nyuruh Mas buat ngawasin Faqi
“Uang dapur sama keperluannya itu beda, seperti Ayah yang memberikan uang jajan kepada Ibumu. Uang jajan bukan berarti uang untuk keperluan dapur, ya!”“Uang jajan, khusus untuknya. Terserah mau dielikan apapun. Karena memang haknya, mau di buat perawatan, mau di belikan skincare atau parfum dan makeup. Istri disbanding-bandingklan dengan wanita lain, atau bertanya kenapa gak secantik yang dulu? Mau cantik gimana uang jajan aja gak pernah di kasih” canda Pak Leek Samsul untuk mencairkan suasa yang tadi terlalu kaku.“Nah, kalau uang nafkah atau uang dapur, itu kewajiban. Masak mau menyenangkan istri saja pehitungan? Menyenangkan keluarga gak mikir-mikir. Padahal setelah menikah yang merawat kita saat sakit dan setiap harinya adalah istri, seharusnya istri yang diutamakan bukan orang lain!” ucapnya menutup nasihat-nasihat bijaknya malam itu.***Yanto kembali ke rumahnya dengan bersungut-sungut, rupanya semua nasihat Pak Lek Samsul masuk ketelinga kanan kemudian di keluarkan lagi melal
“Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s
Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir
Arman bekerja dengan begitu keras, tidak peduli siang dan malam. Karena Vivi sendiri lepas tangan, padahal itu adaalah hutang orang tuanya juga. Vivi ‘tak mau ambil pusing akan hal itu. Sehingga Arman harus banting tulang sendiri untuk melunasi hutang Ayahnya, yang kini menjadi hutang di Bank.Arman berinisiatif meminjam uang di Bank dengan mengadai sertifikat rumah tersebut, awalnya Vivi menentang dengan keras karena takut rumah tersebut juga akan di sita oleh pihak Bank. Tetapi untungnya Arman bisa meyakinkan, sehingga hutang Ayahnya kepada rentenir lunas, tinggal hutang di Bank atas nama dirinya.Sehingga Vivi sangat membenci Nilam, karena baru beberapa hari menikah Bapak mereka meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang, begitu juga dengan Ibunya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu, yang pada akhirnya harus membuat mereka hidup berdua beserta pasangan masing-masing, di rumah peninggalan orang tuanya tersebut.“Aku kakak tertua, aku adalah pengganti Ibu sekarang, karena bel
Tetapi tiba-tiba Althaf menangis dengan kencangnya. Membuat Nilam terperanjat kaget ia langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari menuju kamarnya.Sesampainya di dalam kamar, Althaf tengan telentang seraya menangis dengan kencang, buru-buru menggendong sang buah hati, di telisiknya wajah Althaf dengan seksama, ternyata ada sedikit memar di dahinya.“Mbak, Althaf ini kenapa?” tanyanya kepada kakak Iparnya yang sedari tadi hanya diam melihat Althaf menangis tak henti-hentinya.“Ya, ini semua gara-gara kamu. Kalau punya anak di jaga! Masak di biarin di kamar sendirian!”“Aku lagi nyuci beras buat masak Mbak”“Hallah .. ya bawa saja si Althaf, kalau kamu bawa dia tadi, gak mungkin dia akan kejedot pintu saat aku mau masuk kamar kamu!”Althaf mulai tenang, anak kecil itu menyusu kepada Ibunya.“Mbak mau ngapain ke kamar aku?”“Ya terserah aku mau ngapai aja ke kamar kamu, toh ini masihh rumahku! Ya suka-suka aku lah!”Nilam menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar, percuma
“Nil, kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu!”Nilam hanya tertunduk lesu, pasalnya dirinya baru gagal bertunangan dengan pria pilihannya sendiri. Dulu dia sempat lolos dari perjodohan yang kedua orang tuanya tawarkan, karena menerima lamaran dari pria kenalan teman dekatnya. Tetapi siapa sangka, lelaki tersebut hanya mempermainkan perasaannya saja, padahal kedua orang tua masing-masing sudah mengetahui hubungan mereka.Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, Nilam harus menerima perjodohan tersebut, lelaki yang dulu masih orang tuanya jodohkan kepadanya.Hingga pernikahan tanpa cinta pun terjadi, semua berjalan lancar sesuai kehendak kedua orang tuanya.“Kamu cepat hamil ya, cepat punya anak. Ibu sama Bapak ingin menggendong cucu dari kamu.” Ibunya berkata seraya menyerahkan jamu subur kepada Nilam yang kebetulan bertandang ke rumah orang tuanya.Padahal pernikahan keduanya baru berjalan 3 bulan, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak sabar, dan memaksa Nilam untuk
Malam kembali datang, menyapa mereka yang ingin ketenangan.Yesa kembali berkumpul dengan saudaranya yang lain, saling bersenda gurau seperti biasanya.Tiba-tiba saja Mertuanya datang bersama seseorang yang tidak terlalu bisa dia kenali, karena kedua orang tuanya dan juga saudaranya yang lain untuk menyuruhnya kembali masuk ke dalam kamar.Yesa mendengarkan semua pembicaraan dan perdebatan diantara mereaka, karena memang kamarnya berada tepat di samping ruang tamu.“Kami meminta maaf atas nama Agam putraku”“Kami sudah memaafkannya, besan. Tetapi maaf, untuk kembali menjadi istri Nak Agam putri bungsu saya sudah tidak bisa, dan kami berhak memberinya keputusan atas dirinya sendiri.” Jelas sang Ayah sembari menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon maaf.“Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?”Ayah dari Yesa menggeleng, “Tidak, maaf!” ucapnya tegas.Lelaki tersebut menghela nafas berat, dia harus terima jika keputusan yang diambil kali ini adalah memisahkan putranya dan sang
“Nelfon siapa?” Tanya Agam tiba-tiba.Agam kembali ke kamar dan mendapati istrinya mendekatkan posel ke telinganya, pertanda sedang menpon seseorang.“Mbak Tya”“Buat apa?”“Minta di jemput, ‘kan kamu sendiri yang ngusir tadi!” Tanpa banyak bicara Agam langsung mengambil ponsel istrinya dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan Yesa di kamar mereka sendirian.‘Pergilah dari sini, tinggalkan pria tak tahu diri seperti dirinya. Selagi kalian belum memiliki anak, kau harus hidup bebas Yesa. Jangan biarkan lelaki itu terus menindasmu!’Yesa menghela nafas, mau tidak mau dia harus pakai cara lain. Selama ini dia sudah cukup diam, toh mereka tidak memiliki anak untuk dipertahankan, lebih baik sendiri dari pada nelangsa dan makan hati tiap hari.Yesa membulatkan tekadnya untuk pergi dari kehidupan Agam. Dia akan pergi, dan harus pergi!Siang itu Yesa bersiap pergi dengan membawa beberapa helai bajunya yang ia sembunyikan di tas dagangannya.“Mau kemana kamu?” Tanya kakak Iparnya.“Mau ngan
“Dek, baju kamu kok begitu sih? Gak usah pake celana lah!”“Kenapa? setidaknya bajuku panjang sampai betis kok”“Iya aku gak suka! Ganti baju sana, nurut sama suami!”Yesa menurut, padahal sebentar lagi mereka akan berangkat kondangan ke rumah saudaranya. Sedari tadi malam Yesa sudah membantu di rumah saudaranya itu hingga larut, baru kembali pulang. Pagi-pagi juga begitu, hingga hari berganti siang, dan siang berganti sore, Yesa seharian itu membantu tanpa istirahat.Itu pun terkadang masih saja salah di mata orang-orang sekitarnya, entah karena sudah terhasut gunjingan Ipar atau mertuanya, atau memang orang-orang sana yang memang tidak suka atas apa yang dilakukan oleh Yesa. Padahal setahunya, dirinya tidak pernah berbuat masalah kepada orang lain.Yesa kembali menemui Agam dengan memakai gamis syar’I yang menurutnya terlalu kebesaran, tetapi begitulah. Apalagi dirinya di kenal dengan menantu dan Istri dari seorang Ustadz. Jadi dia harus bisa menjaga penampilannya sesantun mungkin
“Dia Lina, salah satu waninta yang ikut clup touring”“Harus ya, sampai meluk gitu?”“Memangnya kenapa? Toh hanya teman! Anak-anak di clup juga pada tahu kok kalau aku sudah menikah! Sudahlah jangan memperpanjang sesuatu yang tidak penting! Jangan berlebihan dalam menanggapi sesuatu!” ujarnya ketus.Agam melenggang pergi keluar dari kamarnya meninggalkan Yesa sendiri yang masih mematung di tempatnya.Apa katanya? Yesa berlebihan dalam menanggapi sesuatu? Lalu yang dilakukan selama ini kepada Yesa apa? Bukankah dia yang terlalu berlebihan? Sedangkan Yesa hanya bertanya saja! Yesa menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya perlahan, dirinya pergi ke dapur untuk membuatkan makan siang atau sekedar kopi untuk suaminya yang baru pulang ke rumah setelah bepergian jauh.Yesa melihat di luar suaminya menerima sebuah paket yang cukup mahal baginya, tanpa berlama-lama lagi Agam langsung memasang besi tambahan yang kurir berikan tadi.“Dimodif lagi?” Tanya Yesa kemudian meletakkan kopi yang