‘Sebenatr lagi masanya, bukankah setiap pertemuan pasti ada namanya perpisahan? Seharusnya kalian para manusia berterima kasih kepadaku, karena aku menunjukkan sifat buruk orang terdekat kalian! Agar kalian bisa memilih mana yang terbaik buat kalian sendiri, aku menunjukkannya kepada kalian, agar kalian bisa terbebas dari hubungan bersama orang yang salah!’Dasim menyuarakan pendapat yang menurutnya benar, Dasim melihat manusia berlalu lalang dari alamnya sendiri, alam yang ‘tak bisa di lihat oleh mata telanjang manusia, alam yang tidak bisa digapai dengan mudah dan penuh teka-teki di dalamnya. Alam ananta, ya sebut saja begitu!“Tuhanku, Engkau menyuruh nenek moyang kami untuk bersujud kepada Adam, saat dia diciptakan. Tetapi apa yang anak cucu Adam perbuat kepada bumi yang Engkau ciptakan? Mereka merusaknya! Dan Engkau masih berbaik hati menjamin mereka Syurga bagi kaum Nabi terakhir? Akan ku buat mereka melakukan apa yang Engkau benci dan yang Engkau larang! Akan kami sesatkan ana
Yanto kembali ke rumah setelah pulang dari membeli durian bersama Vino, mereka pulang rada larut, karena masih nongkrong dulu di warung Pak Lek Sugeng seperti biasa.Yanto membuka pintu kamar, dia terkejut saat kamar itu terlihat legang tak ada orang. Bukan hanya kamarnya, tetapi seisi rumah tampak sunyi dan sepi. Yanto sudah mencari Arumi dan Faqih di mana-mana, hinga ke belakang rumah, dia mengira Faqih dan Arumi bermain di belakang, kerena jam segini Faqih sering terbangun dari tidurnya dan bermain bersama Arumi.Yanto merogoh ponselnya di dalam saku kemudian mencari kontak istrinya tersebut, dia menelfon Arumi tetapi ponsel Arumi tidak aktif, dia bingung dan bertanya-tanya kemana perginya istri dan anaknya di malam buta begini.Yanto melirik jam dinding yang jarumnya sudah menunjukkan ke angka 2 dini hari. Dia gelisah sendiri di rumah tersebut memikirkan kemana gerangan Arumi, dia kembali mengecek ponselnya, barangkali ada pesan masuk dari istrinya yang tak dia sadari. Tetapi taka
“Ini—“Yanto melihat Kakak Iparnya yang mengangguk yakin.“Itu sesuatu yang dititipkan Arumi untukmu!”“Tapi Kak, kenapa?”Aiswara geram, “Kau masih bertanya kenapa? Coba kau intropeksi diri dulu! Pantaslah Adikku meminta cerai sama kamu!”“Dan untuk anda—“Aiswara beralih menatap Vino tajam.“Jika setelah menikah nanti, apakah kau akan sering keluar bersama temanmu jika istrimu ‘tak mengijinkan?”“Tentu saja tidak, aku akan di rumah menjaga istriku!” jawabnya tegas.Aiswara tersenyum sinis.“Ku harap kau paham dengan apa yang kau lakukan, hingga adikku memilik untuk meninggalkanmu!”“Sampai bertemu lagi dengan adikku seminggu lagi!”“Tetapi di ruang persidangan!” lanjut Aiswara.Yanto ‘tak bisa berkata-kata lagi, kini dia hanya pasrah dan harus rela kehilangan istri dan anaknya, Faqih!‘Ck .. kau selalu tidak enakan kepada temanmu, tetapi perasaan istrimu kau abaikan, kau ‘tak perduli kepada wanita yang telah melahirkan putramu dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Tetapi ‘tak meng
“Kau—“Dinda mengernyit heran melihat pria di hadapannya ini, semenit kemudian Dinda tersenyum manis.“Suaminya Ita ‘kan?”Bagas hanya mengangguk, tatapannya tak beralih kepada belahan di dada wanita tersebut, jakunnya naik turun melihat belahan putih bening yang terpampang di depannya.“Mas”Ita memanggil suaminya, Bagas segera tersadar dan melewati Dinda yang masih menyapu di teras.“Itu?”“Sahabatku, yang aku ceritakan ke Mas, dia akan tinggal di sini sementara waktu”Bagas kembali menoleh ke arah Dinda, bokongnya yang terlihat sintal membuat Bagas ingin meremasnya.“Dek, Mas kangen” ujarnya di telinga Ita.Ita merinding merasakan deru nafas berat Bagas di telinganya, Ita tersenyum.“Tapi ini masih sore, Mas”Bagas melihat tatapan sayu Bagas terhadapnya.Tanpa berlama-lama lagi Bagas menarik sang Istri ke kamar mereka berdua, dan hal itu tak sengaja di lihat oleh Dinda.Di dalam kamar, Bagas dengan bringas melampiaskannya kepada sang Istri sambil membayangkan wajah ayu sahabat istr
Keesokan harinya Dinda terbangun saat hari sudah beranjak siang, dia keluar dari kamar saat mendengar suara orang lain di rumah tersebut, dia mencoba mengintip Ita dan suaminya yang berada di teras dan sudah ingin berangkat kerja tetapi mereka masih mengobrol dengan seseorang yang tidak Dinda ketahui.“Ini, bawa saja bekal dari Ibuk.” Paksa wanita tersebut seraya menyerahkan kotak bekal kepada Ita.“Sudah, ambil saja lah Dek”“Iya, bener kata suami kamu itu. Ini Ibu masak khusus buat kamu, ada ayam rica-rica dan sambel ati ampela kesukaan kamu”“Duh—Ita ngerepotin Ibu jadinya,”Ita mengambil kotak bekal tersebut dan memasukkannya ke dalam tote bag miliknya.“Ngerepotin apa sih? Kamu itu menantu Ibu, Istrinya Bagas. Otomatis kamu juga anak Ibu” senyumnya.Ita dan bagas berpamitan kepada wanita tersebut dan mencium tangannya dengan takzim, wanita yang ternyata Ibu mertua Ita melambaikan tangannya dan berlalu pergi setelah motor yang dinaiki Bagas dan Ita tidak terlihat lagi.“Enak ya ja
“Assalamu’alaikum?”“Wa’laikum salam”Ita keluar membukakan pintu untuk suaminya.“Baru pulang, Mas?”“Iya, capek banget Mas ini,” Keluhnya sembari mendaratkan bokongnya di kursi ruang tamu.Ita terlihat kasian melihat wajah lelah sang suami.“Temanmu itu mana?”“Lagi mandi” Ita juga duduk di sebelah sang suami.Awalnya dia sudah berpikiran negative saat suaminya tak membalas pesannya tadi, kekhawatirannya bertambah saat menyadari di rumah hanya ada Dinda sahabatnya, tetapi pikiran negative itu hilang saat dia sampai di rumah tetapi tak mendapati suaminya di sana. Dinda pun bilang kalau Bagas belum pulang ke rumah, baru selesai sholat maghrib suara motor Bagas berhenti tepat di depan rumah, barulah dia bisa bernafas lega.“Ini apa Mas?”“Mie ayam,”Ita tersenyum senang, saat mengetahui suaminya pulang membawa sesuatu untuk dirinya, karena selam mereka menikah, baru kali ini Bagas pulang membawa oleh-oleh untuknya. Alasannya dulu, lebih baik makan di rumah biar gak terlalu boros kalau
“Din, kamu belum dapat kerjaan?” Tanya Ita saat mereka sedang berkumpul untuk sarapan.“Sialan si Ita! Apa maksudnya dia bertanya seperti itu? Apa dia mengusirku?” monolognya dalam hati.Dia merasa dongkol dengan pertanyaan Ita yang ia kira mengusirnya secara tidak langsung, padahal niat Ita tidak begitu. Hanya saja Dinda yang salah menangkap maksud dalam pertanyaan Ita.“Dapat kok, mungkin mulai besok aku kerja, jadi nanti setelah ini mau ngontrak saja, kontrakan atau kos yang deket dengan tempat kerja”“Biar juga bebas mau berhubungan badan kapan saja sama suami kamu!” lanjutnya dalam hati.Bagas mengernyitkan dahi, setahunya Dinda belum mendapat kerjaan apapun.Bagas memandangi Dinda dalam-dalam, Dinda hanya mengangguk sebagai isyarat.Ita tersenyum senang, bukan maksud dia mengusir sahabatnya ini, tetapi dia takut Bagas malah tergoda dengan Dinda, apalagi pakaian Dinda selalu terbuka. Ita takut sang suami tak bisa menjaga pandangannya terlalu lama jika Dinda masih berada di rumahn
Tepat jam 8 malam Bagas sampai ke rumah, wajahnya tampak ceria karena habis bercinta dengan Dinda.“Mas Bagas kok baru pulang?” tanya Ita sesaat Bagas baru memasukkan sepeda motornya ke dalam rumah.Bayang-bayang akan wajah cantik Dinda dan senyuman manisnya, kini buyar berganti dengan wajah Ita. Senyum Bagas yang sedari terpatri di wajahnya, kini perlahan lenyap, melihat wajah istrinya yang baginya sudah tak menarik lagi membuatnya seakan malas berada di rumah.“Iya, Dinda masih beli peralatan dan barang-barang kontrakan. Aku juga yang harus nyusun di dalam kontrakannya”“Mas Bagas berdua di dalam kontrakan sama Dinda?”“Enggak, ada juga Mas-mas yang tukang nganter barang tersebut buat bantuin”Bagas nyelonong pergi ke kamarnya untuk istirahat. Ita kembali curiga saat tubuh suaminya masih tercium aroma sabun, khas orang baru mandi.“M—mas mandi di mana?” tanyanya curiga.Bagas yang tadi sudah rebahan santai di ranjang empuknya kini terduduk lalu memandang Ita dengan tatapan tak suka.
“Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s
Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir
Arman bekerja dengan begitu keras, tidak peduli siang dan malam. Karena Vivi sendiri lepas tangan, padahal itu adaalah hutang orang tuanya juga. Vivi ‘tak mau ambil pusing akan hal itu. Sehingga Arman harus banting tulang sendiri untuk melunasi hutang Ayahnya, yang kini menjadi hutang di Bank.Arman berinisiatif meminjam uang di Bank dengan mengadai sertifikat rumah tersebut, awalnya Vivi menentang dengan keras karena takut rumah tersebut juga akan di sita oleh pihak Bank. Tetapi untungnya Arman bisa meyakinkan, sehingga hutang Ayahnya kepada rentenir lunas, tinggal hutang di Bank atas nama dirinya.Sehingga Vivi sangat membenci Nilam, karena baru beberapa hari menikah Bapak mereka meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang, begitu juga dengan Ibunya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu, yang pada akhirnya harus membuat mereka hidup berdua beserta pasangan masing-masing, di rumah peninggalan orang tuanya tersebut.“Aku kakak tertua, aku adalah pengganti Ibu sekarang, karena bel
Tetapi tiba-tiba Althaf menangis dengan kencangnya. Membuat Nilam terperanjat kaget ia langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari menuju kamarnya.Sesampainya di dalam kamar, Althaf tengan telentang seraya menangis dengan kencang, buru-buru menggendong sang buah hati, di telisiknya wajah Althaf dengan seksama, ternyata ada sedikit memar di dahinya.“Mbak, Althaf ini kenapa?” tanyanya kepada kakak Iparnya yang sedari tadi hanya diam melihat Althaf menangis tak henti-hentinya.“Ya, ini semua gara-gara kamu. Kalau punya anak di jaga! Masak di biarin di kamar sendirian!”“Aku lagi nyuci beras buat masak Mbak”“Hallah .. ya bawa saja si Althaf, kalau kamu bawa dia tadi, gak mungkin dia akan kejedot pintu saat aku mau masuk kamar kamu!”Althaf mulai tenang, anak kecil itu menyusu kepada Ibunya.“Mbak mau ngapain ke kamar aku?”“Ya terserah aku mau ngapai aja ke kamar kamu, toh ini masihh rumahku! Ya suka-suka aku lah!”Nilam menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar, percuma
“Nil, kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu!”Nilam hanya tertunduk lesu, pasalnya dirinya baru gagal bertunangan dengan pria pilihannya sendiri. Dulu dia sempat lolos dari perjodohan yang kedua orang tuanya tawarkan, karena menerima lamaran dari pria kenalan teman dekatnya. Tetapi siapa sangka, lelaki tersebut hanya mempermainkan perasaannya saja, padahal kedua orang tua masing-masing sudah mengetahui hubungan mereka.Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, Nilam harus menerima perjodohan tersebut, lelaki yang dulu masih orang tuanya jodohkan kepadanya.Hingga pernikahan tanpa cinta pun terjadi, semua berjalan lancar sesuai kehendak kedua orang tuanya.“Kamu cepat hamil ya, cepat punya anak. Ibu sama Bapak ingin menggendong cucu dari kamu.” Ibunya berkata seraya menyerahkan jamu subur kepada Nilam yang kebetulan bertandang ke rumah orang tuanya.Padahal pernikahan keduanya baru berjalan 3 bulan, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak sabar, dan memaksa Nilam untuk
Malam kembali datang, menyapa mereka yang ingin ketenangan.Yesa kembali berkumpul dengan saudaranya yang lain, saling bersenda gurau seperti biasanya.Tiba-tiba saja Mertuanya datang bersama seseorang yang tidak terlalu bisa dia kenali, karena kedua orang tuanya dan juga saudaranya yang lain untuk menyuruhnya kembali masuk ke dalam kamar.Yesa mendengarkan semua pembicaraan dan perdebatan diantara mereaka, karena memang kamarnya berada tepat di samping ruang tamu.“Kami meminta maaf atas nama Agam putraku”“Kami sudah memaafkannya, besan. Tetapi maaf, untuk kembali menjadi istri Nak Agam putri bungsu saya sudah tidak bisa, dan kami berhak memberinya keputusan atas dirinya sendiri.” Jelas sang Ayah sembari menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon maaf.“Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?”Ayah dari Yesa menggeleng, “Tidak, maaf!” ucapnya tegas.Lelaki tersebut menghela nafas berat, dia harus terima jika keputusan yang diambil kali ini adalah memisahkan putranya dan sang
“Nelfon siapa?” Tanya Agam tiba-tiba.Agam kembali ke kamar dan mendapati istrinya mendekatkan posel ke telinganya, pertanda sedang menpon seseorang.“Mbak Tya”“Buat apa?”“Minta di jemput, ‘kan kamu sendiri yang ngusir tadi!” Tanpa banyak bicara Agam langsung mengambil ponsel istrinya dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan Yesa di kamar mereka sendirian.‘Pergilah dari sini, tinggalkan pria tak tahu diri seperti dirinya. Selagi kalian belum memiliki anak, kau harus hidup bebas Yesa. Jangan biarkan lelaki itu terus menindasmu!’Yesa menghela nafas, mau tidak mau dia harus pakai cara lain. Selama ini dia sudah cukup diam, toh mereka tidak memiliki anak untuk dipertahankan, lebih baik sendiri dari pada nelangsa dan makan hati tiap hari.Yesa membulatkan tekadnya untuk pergi dari kehidupan Agam. Dia akan pergi, dan harus pergi!Siang itu Yesa bersiap pergi dengan membawa beberapa helai bajunya yang ia sembunyikan di tas dagangannya.“Mau kemana kamu?” Tanya kakak Iparnya.“Mau ngan
“Dek, baju kamu kok begitu sih? Gak usah pake celana lah!”“Kenapa? setidaknya bajuku panjang sampai betis kok”“Iya aku gak suka! Ganti baju sana, nurut sama suami!”Yesa menurut, padahal sebentar lagi mereka akan berangkat kondangan ke rumah saudaranya. Sedari tadi malam Yesa sudah membantu di rumah saudaranya itu hingga larut, baru kembali pulang. Pagi-pagi juga begitu, hingga hari berganti siang, dan siang berganti sore, Yesa seharian itu membantu tanpa istirahat.Itu pun terkadang masih saja salah di mata orang-orang sekitarnya, entah karena sudah terhasut gunjingan Ipar atau mertuanya, atau memang orang-orang sana yang memang tidak suka atas apa yang dilakukan oleh Yesa. Padahal setahunya, dirinya tidak pernah berbuat masalah kepada orang lain.Yesa kembali menemui Agam dengan memakai gamis syar’I yang menurutnya terlalu kebesaran, tetapi begitulah. Apalagi dirinya di kenal dengan menantu dan Istri dari seorang Ustadz. Jadi dia harus bisa menjaga penampilannya sesantun mungkin
“Dia Lina, salah satu waninta yang ikut clup touring”“Harus ya, sampai meluk gitu?”“Memangnya kenapa? Toh hanya teman! Anak-anak di clup juga pada tahu kok kalau aku sudah menikah! Sudahlah jangan memperpanjang sesuatu yang tidak penting! Jangan berlebihan dalam menanggapi sesuatu!” ujarnya ketus.Agam melenggang pergi keluar dari kamarnya meninggalkan Yesa sendiri yang masih mematung di tempatnya.Apa katanya? Yesa berlebihan dalam menanggapi sesuatu? Lalu yang dilakukan selama ini kepada Yesa apa? Bukankah dia yang terlalu berlebihan? Sedangkan Yesa hanya bertanya saja! Yesa menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya perlahan, dirinya pergi ke dapur untuk membuatkan makan siang atau sekedar kopi untuk suaminya yang baru pulang ke rumah setelah bepergian jauh.Yesa melihat di luar suaminya menerima sebuah paket yang cukup mahal baginya, tanpa berlama-lama lagi Agam langsung memasang besi tambahan yang kurir berikan tadi.“Dimodif lagi?” Tanya Yesa kemudian meletakkan kopi yang