“Assalamu’alaikum?”“Wa’laikum salam”Ita keluar membukakan pintu untuk suaminya.“Baru pulang, Mas?”“Iya, capek banget Mas ini,” Keluhnya sembari mendaratkan bokongnya di kursi ruang tamu.Ita terlihat kasian melihat wajah lelah sang suami.“Temanmu itu mana?”“Lagi mandi” Ita juga duduk di sebelah sang suami.Awalnya dia sudah berpikiran negative saat suaminya tak membalas pesannya tadi, kekhawatirannya bertambah saat menyadari di rumah hanya ada Dinda sahabatnya, tetapi pikiran negative itu hilang saat dia sampai di rumah tetapi tak mendapati suaminya di sana. Dinda pun bilang kalau Bagas belum pulang ke rumah, baru selesai sholat maghrib suara motor Bagas berhenti tepat di depan rumah, barulah dia bisa bernafas lega.“Ini apa Mas?”“Mie ayam,”Ita tersenyum senang, saat mengetahui suaminya pulang membawa sesuatu untuk dirinya, karena selam mereka menikah, baru kali ini Bagas pulang membawa oleh-oleh untuknya. Alasannya dulu, lebih baik makan di rumah biar gak terlalu boros kalau
“Din, kamu belum dapat kerjaan?” Tanya Ita saat mereka sedang berkumpul untuk sarapan.“Sialan si Ita! Apa maksudnya dia bertanya seperti itu? Apa dia mengusirku?” monolognya dalam hati.Dia merasa dongkol dengan pertanyaan Ita yang ia kira mengusirnya secara tidak langsung, padahal niat Ita tidak begitu. Hanya saja Dinda yang salah menangkap maksud dalam pertanyaan Ita.“Dapat kok, mungkin mulai besok aku kerja, jadi nanti setelah ini mau ngontrak saja, kontrakan atau kos yang deket dengan tempat kerja”“Biar juga bebas mau berhubungan badan kapan saja sama suami kamu!” lanjutnya dalam hati.Bagas mengernyitkan dahi, setahunya Dinda belum mendapat kerjaan apapun.Bagas memandangi Dinda dalam-dalam, Dinda hanya mengangguk sebagai isyarat.Ita tersenyum senang, bukan maksud dia mengusir sahabatnya ini, tetapi dia takut Bagas malah tergoda dengan Dinda, apalagi pakaian Dinda selalu terbuka. Ita takut sang suami tak bisa menjaga pandangannya terlalu lama jika Dinda masih berada di rumahn
Tepat jam 8 malam Bagas sampai ke rumah, wajahnya tampak ceria karena habis bercinta dengan Dinda.“Mas Bagas kok baru pulang?” tanya Ita sesaat Bagas baru memasukkan sepeda motornya ke dalam rumah.Bayang-bayang akan wajah cantik Dinda dan senyuman manisnya, kini buyar berganti dengan wajah Ita. Senyum Bagas yang sedari terpatri di wajahnya, kini perlahan lenyap, melihat wajah istrinya yang baginya sudah tak menarik lagi membuatnya seakan malas berada di rumah.“Iya, Dinda masih beli peralatan dan barang-barang kontrakan. Aku juga yang harus nyusun di dalam kontrakannya”“Mas Bagas berdua di dalam kontrakan sama Dinda?”“Enggak, ada juga Mas-mas yang tukang nganter barang tersebut buat bantuin”Bagas nyelonong pergi ke kamarnya untuk istirahat. Ita kembali curiga saat tubuh suaminya masih tercium aroma sabun, khas orang baru mandi.“M—mas mandi di mana?” tanyanya curiga.Bagas yang tadi sudah rebahan santai di ranjang empuknya kini terduduk lalu memandang Ita dengan tatapan tak suka.
“Aduh .. sudah malam begini Mas Bagas belum juga pulang” ucapnya gelisah.Ita mondar mandir di ruang tamu karena sampai jam 9 malam sang suami belum pulang, apalagi pesannya dari tadi pagi belum di baca sama sekali. Di telfonpun gak di angkat sama sekali. Membuatnya menjadi semakin khawatir, ingin menghubungi rekan kerja Suami, tetapi dia tidak tahu siapa saja dan berapa nomer kontaknya.Selama dia menikah, tidak pernah sekalipun dia mengotak atik ponsel sang Suami, karena baginya tindakan itu sangat lancang. Hanya rasa percaya yang begitu besar kepada sang Suami yang ia miliki.Tetapi belakangan ini sfat Bagas mulai berubah, membuat Ita mulai ragu dengan Suaminya. Selalu saja prasangka buruk yang hinggap dikepalanya.Dulu, sesibuk apapun Bagas, dia kan berusaha menghubungi dirinya, tetapi sekarang sampai malam begini dia tidak juga mendapati satu pesan pun dari Bagas suaminya.Ita kembali berusaha menghubungi suaminya.“Mas, noh Istri kamu nelfonin melulu dari tadi, ganggu kita aja!”
“Semenjak aku bekerja, Mas Bagas tidak lagi memberiku uang nafkah. Apa-apa harus pakek uangku sekarang. Bahkan uang untuk dapur saja Mas Bagas perhitungan! Ada apa dengannya?” Ita tampak gusar.Dia mengeluarkan uang di dompetnya, ”Hanya tinggal segini. Apalagi Mas Bagas belakangan ini sudah jarang berada di rumah! Dia sering lembur.”“Bosan juga sering di rumah! Apa aku pergi ke rumah Dinda saja ya? Hanya sekedar ngobrol. Siapa tahu hari minggu dia juga libur kerja”Ita terlihat kembali bersemangat sangat menyusun agenda untu besok bersama Dinda, dia akan mengajak Dinda untuk jalan-jalan, rujak dan yang lainnya. Senggaknya bercerita, mengenai masa kecil keduanya.Ita tersenyum sendiri, lalu memasukkan kembali uang ke dalam dompetnya. Dia langsung kembali berbaring, melihat tempat suaminya kosong. Ini adalah bukan kali pertamanya, tetapi dia sudah mulai terbiasa tanpa sang suami yang biasanya selalu menemani hari-harinya.“Mas kenapa sering lembur dan bahkan jarang sekali pulang?”“Aku
Di dalam sana, Ita melihat Bagas mencium mesra sang sahabat, dari kening hingga turun ke bibirnya. Dinda mendorong pelan dada bidang Bagas.“Kenapa?”“Capek”“Sini tiduran di atas paha Mas”Bagas menuntun Dinda untuk tiduran, sedangkan pahanya dia jadikan sebagai bantal Dinda. Bagas mengelus perut Dinda yang pulai tampak buncit, dia mencium punggung tangan Dinda dengan sayang.Semua itu tidak lepas dari perhatian Ita, selama menikah, Ita belum pernah diperlakukan semanis itu oleh suaminya, Bagas. “Mereka pengkhianat Ita, suamimu dan sahabatmu diam-diam menjalin hubungan. Mereka pasti menjalin kasih sejak lama! Lihat saja, bahkan sahabatmu tengah mengandung benih dari suamimu!” hasut Dasim.PlakIta terkejut saat ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang, dia mematung, wajahnya pucat. Bukankah siang hari tak ada yang namanya setan?“Mbak?”Ita menoleh, dia memindai gadis di depannya ini dari atas hingga bawah, hanya untuk memastikan bahwa wanita di depannya ini memang benar-
Yesa mengeluarkan dompetnya, Agam langsung merampas dompet tersebut.“Loh Mas, kok ambil lebih? Bukannya Bakso satu porsi sama teh dingin Cuma 30 ribu? Kamu kenapa ngambil 50?”“Untuk bensin,” jawabnya santai.“Jangan pelit gitulah sama Suami! Kamu itu hidup sama aku! Jadilah wanita penurut dan mandiri. Memangnya kamu mau jalan kaki sambil dorong sepeda motor?”Yesa menggeleng lemah.Agam membayar pesanan mereka lalu beranjak pulang kembali ke rumah.Di rumah tersebut Yesa masih terlihat canggung karena belum terbiasa, orang-orang rumah jarang mengajaknya duduk bersama untuk sekedar mengobrol. Setelah selesai berdagang jam 8 pagi, penghuni rumah kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat, karena sejak dini hari jam 2 sudah berkutat di dapur untuk memasak bahan makananan yang nanti akan di jual, dan mereka akan menjualnya setelah shubuh. Itu sudah menjadi rutinitas bagi Agam dan keluarganya.Agam sibuk dengan motor kesayangannya, sedangkan Yesa aktif di group kepenulisannya, dia sa
“Dia Lina, salah satu waninta yang ikut clup touring”“Harus ya, sampai meluk gitu?”“Memangnya kenapa? Toh hanya teman! Anak-anak di clup juga pada tahu kok kalau aku sudah menikah! Sudahlah jangan memperpanjang sesuatu yang tidak penting! Jangan berlebihan dalam menanggapi sesuatu!” ujarnya ketus.Agam melenggang pergi keluar dari kamarnya meninggalkan Yesa sendiri yang masih mematung di tempatnya.Apa katanya? Yesa berlebihan dalam menanggapi sesuatu? Lalu yang dilakukan selama ini kepada Yesa apa? Bukankah dia yang terlalu berlebihan? Sedangkan Yesa hanya bertanya saja! Yesa menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya perlahan, dirinya pergi ke dapur untuk membuatkan makan siang atau sekedar kopi untuk suaminya yang baru pulang ke rumah setelah bepergian jauh.Yesa melihat di luar suaminya menerima sebuah paket yang cukup mahal baginya, tanpa berlama-lama lagi Agam langsung memasang besi tambahan yang kurir berikan tadi.“Dimodif lagi?” Tanya Yesa kemudian meletakkan kopi yang
“Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s
Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir
Arman bekerja dengan begitu keras, tidak peduli siang dan malam. Karena Vivi sendiri lepas tangan, padahal itu adaalah hutang orang tuanya juga. Vivi ‘tak mau ambil pusing akan hal itu. Sehingga Arman harus banting tulang sendiri untuk melunasi hutang Ayahnya, yang kini menjadi hutang di Bank.Arman berinisiatif meminjam uang di Bank dengan mengadai sertifikat rumah tersebut, awalnya Vivi menentang dengan keras karena takut rumah tersebut juga akan di sita oleh pihak Bank. Tetapi untungnya Arman bisa meyakinkan, sehingga hutang Ayahnya kepada rentenir lunas, tinggal hutang di Bank atas nama dirinya.Sehingga Vivi sangat membenci Nilam, karena baru beberapa hari menikah Bapak mereka meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang, begitu juga dengan Ibunya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu, yang pada akhirnya harus membuat mereka hidup berdua beserta pasangan masing-masing, di rumah peninggalan orang tuanya tersebut.“Aku kakak tertua, aku adalah pengganti Ibu sekarang, karena bel
Tetapi tiba-tiba Althaf menangis dengan kencangnya. Membuat Nilam terperanjat kaget ia langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari menuju kamarnya.Sesampainya di dalam kamar, Althaf tengan telentang seraya menangis dengan kencang, buru-buru menggendong sang buah hati, di telisiknya wajah Althaf dengan seksama, ternyata ada sedikit memar di dahinya.“Mbak, Althaf ini kenapa?” tanyanya kepada kakak Iparnya yang sedari tadi hanya diam melihat Althaf menangis tak henti-hentinya.“Ya, ini semua gara-gara kamu. Kalau punya anak di jaga! Masak di biarin di kamar sendirian!”“Aku lagi nyuci beras buat masak Mbak”“Hallah .. ya bawa saja si Althaf, kalau kamu bawa dia tadi, gak mungkin dia akan kejedot pintu saat aku mau masuk kamar kamu!”Althaf mulai tenang, anak kecil itu menyusu kepada Ibunya.“Mbak mau ngapain ke kamar aku?”“Ya terserah aku mau ngapai aja ke kamar kamu, toh ini masihh rumahku! Ya suka-suka aku lah!”Nilam menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar, percuma
“Nil, kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu!”Nilam hanya tertunduk lesu, pasalnya dirinya baru gagal bertunangan dengan pria pilihannya sendiri. Dulu dia sempat lolos dari perjodohan yang kedua orang tuanya tawarkan, karena menerima lamaran dari pria kenalan teman dekatnya. Tetapi siapa sangka, lelaki tersebut hanya mempermainkan perasaannya saja, padahal kedua orang tua masing-masing sudah mengetahui hubungan mereka.Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, Nilam harus menerima perjodohan tersebut, lelaki yang dulu masih orang tuanya jodohkan kepadanya.Hingga pernikahan tanpa cinta pun terjadi, semua berjalan lancar sesuai kehendak kedua orang tuanya.“Kamu cepat hamil ya, cepat punya anak. Ibu sama Bapak ingin menggendong cucu dari kamu.” Ibunya berkata seraya menyerahkan jamu subur kepada Nilam yang kebetulan bertandang ke rumah orang tuanya.Padahal pernikahan keduanya baru berjalan 3 bulan, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak sabar, dan memaksa Nilam untuk
Malam kembali datang, menyapa mereka yang ingin ketenangan.Yesa kembali berkumpul dengan saudaranya yang lain, saling bersenda gurau seperti biasanya.Tiba-tiba saja Mertuanya datang bersama seseorang yang tidak terlalu bisa dia kenali, karena kedua orang tuanya dan juga saudaranya yang lain untuk menyuruhnya kembali masuk ke dalam kamar.Yesa mendengarkan semua pembicaraan dan perdebatan diantara mereaka, karena memang kamarnya berada tepat di samping ruang tamu.“Kami meminta maaf atas nama Agam putraku”“Kami sudah memaafkannya, besan. Tetapi maaf, untuk kembali menjadi istri Nak Agam putri bungsu saya sudah tidak bisa, dan kami berhak memberinya keputusan atas dirinya sendiri.” Jelas sang Ayah sembari menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon maaf.“Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?”Ayah dari Yesa menggeleng, “Tidak, maaf!” ucapnya tegas.Lelaki tersebut menghela nafas berat, dia harus terima jika keputusan yang diambil kali ini adalah memisahkan putranya dan sang
“Nelfon siapa?” Tanya Agam tiba-tiba.Agam kembali ke kamar dan mendapati istrinya mendekatkan posel ke telinganya, pertanda sedang menpon seseorang.“Mbak Tya”“Buat apa?”“Minta di jemput, ‘kan kamu sendiri yang ngusir tadi!” Tanpa banyak bicara Agam langsung mengambil ponsel istrinya dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan Yesa di kamar mereka sendirian.‘Pergilah dari sini, tinggalkan pria tak tahu diri seperti dirinya. Selagi kalian belum memiliki anak, kau harus hidup bebas Yesa. Jangan biarkan lelaki itu terus menindasmu!’Yesa menghela nafas, mau tidak mau dia harus pakai cara lain. Selama ini dia sudah cukup diam, toh mereka tidak memiliki anak untuk dipertahankan, lebih baik sendiri dari pada nelangsa dan makan hati tiap hari.Yesa membulatkan tekadnya untuk pergi dari kehidupan Agam. Dia akan pergi, dan harus pergi!Siang itu Yesa bersiap pergi dengan membawa beberapa helai bajunya yang ia sembunyikan di tas dagangannya.“Mau kemana kamu?” Tanya kakak Iparnya.“Mau ngan
“Dek, baju kamu kok begitu sih? Gak usah pake celana lah!”“Kenapa? setidaknya bajuku panjang sampai betis kok”“Iya aku gak suka! Ganti baju sana, nurut sama suami!”Yesa menurut, padahal sebentar lagi mereka akan berangkat kondangan ke rumah saudaranya. Sedari tadi malam Yesa sudah membantu di rumah saudaranya itu hingga larut, baru kembali pulang. Pagi-pagi juga begitu, hingga hari berganti siang, dan siang berganti sore, Yesa seharian itu membantu tanpa istirahat.Itu pun terkadang masih saja salah di mata orang-orang sekitarnya, entah karena sudah terhasut gunjingan Ipar atau mertuanya, atau memang orang-orang sana yang memang tidak suka atas apa yang dilakukan oleh Yesa. Padahal setahunya, dirinya tidak pernah berbuat masalah kepada orang lain.Yesa kembali menemui Agam dengan memakai gamis syar’I yang menurutnya terlalu kebesaran, tetapi begitulah. Apalagi dirinya di kenal dengan menantu dan Istri dari seorang Ustadz. Jadi dia harus bisa menjaga penampilannya sesantun mungkin
“Dia Lina, salah satu waninta yang ikut clup touring”“Harus ya, sampai meluk gitu?”“Memangnya kenapa? Toh hanya teman! Anak-anak di clup juga pada tahu kok kalau aku sudah menikah! Sudahlah jangan memperpanjang sesuatu yang tidak penting! Jangan berlebihan dalam menanggapi sesuatu!” ujarnya ketus.Agam melenggang pergi keluar dari kamarnya meninggalkan Yesa sendiri yang masih mematung di tempatnya.Apa katanya? Yesa berlebihan dalam menanggapi sesuatu? Lalu yang dilakukan selama ini kepada Yesa apa? Bukankah dia yang terlalu berlebihan? Sedangkan Yesa hanya bertanya saja! Yesa menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya perlahan, dirinya pergi ke dapur untuk membuatkan makan siang atau sekedar kopi untuk suaminya yang baru pulang ke rumah setelah bepergian jauh.Yesa melihat di luar suaminya menerima sebuah paket yang cukup mahal baginya, tanpa berlama-lama lagi Agam langsung memasang besi tambahan yang kurir berikan tadi.“Dimodif lagi?” Tanya Yesa kemudian meletakkan kopi yang