SEOUL~KORSEL~2021
"Mwo?" Diana menaikkan tekanan suaranya. Sebelah tangannya di atas meja restoran, perlahan mengepal.
Netra sipit sosok lelaki di depan Diana melirik ke arah sebelah tangannya yang mengepal itu, menukik senyum tanpa sopan santun.
"Sepertinya kau sangat menikmati drama ini?" sulut Diana seraya menatap sebal tukikan senyum lelaki di depannya itu.
"Hmm, sangat."
"Aish! Aku sungguh merasa dibodohi selama ini."
"Wae?"
"Selama ini aku kebanyakan mendengar cerita-cerita teman di kampus tentangmu tanpa cela sedikitpun. Katanya kau adalah seorang happy virus yang jika berada di dekatmu, mereka akan bahagia. Namun, nyatanya semua itu hanya bualan, omong kosong. Aku sungguh dibodohi oleh cerita-cerita mereka selama ini!"
"Tidak! Mereka benar. Bukan hanya sekedar julukan, aku memang seorang happy virus."
Diana tersenyum masam mendengar jawaban itu. "Tapi mengapa semakin lama berada di tempat ini denganmu, aku justru semakin merasa kesal?" ujarnya, membuang muka sembarang.
"Itu karena kau membangkang, Agassi."
"Mwo? Membangkang?"
"Hmm."
"Di mana letak membangkangku?!"
"Kusuruh kau memilih dua opsi yang kuberikan, namun kau justru membuat opsi lain sebagai pilihan. Bukankah itu termasuk sebuah pembangkangan, Agassi?"
"Aku membuat opsi lain karena dua opsimu itu tidak rasional!"
"Tidak rasional?" Lelaki itu menukik dahinya.
Diana mengangguk. Melipat kedua tangannya di dada. Tatapannya pun berubah sangat tajam.
"Di mana letak tidak rasional itu? Aku hanya menyuruhmu mengganti rugi dalam dua opsi itu, Agassi."
Diana melerai lipatan kedua tangannya, mencondongkan wajahnya ke arah lelaki di depannya yang tersekat meja makan restoran dengan sikap menahan kesal.
"Ya! Kau hanya cedera ringan, Idol. Sebelah kakimu hanya terkilir biasa, keseleo, tapi kau justru menuntutku membayar ganti rugi hingga lima juta won? Bukankah kau sebenarnya tengah merampasku, hah?!"
"Tidak, justru itu sebetulnya bukanlah bayaran yang setimpal. Kau tahu, selain suara, kaki juga adalah aset terbesarku dalam menata karir. Karena cedera itu, aku sangat rugi, tidak bisa menari saat konser SeChan di Thailand."
Seorang idol di depan Diana itu menunduk, tidak lagi berlaku menyebalkan meremehkan. Wajahnya yang tirus tampak sedih.
"Mianhae, jeongmal mianhae ...," maaf Diana. Mendadak ia menjadi terenyuh, kasihan, sekaligus merasa bersalah.
Idol itu terlihat mengangkat wajahnya lagi, lalu sebelah tangan kokohnya meraih secangkir espresso yang mulai mengepul lemah.
"Tapi aku pun tidak menekankan kau memilih opsi pertama, Agassi. Memilih opsi kedua, itu lebih ringan. Pasalnya aku hanya membutuhkan seseorang yang pandai memasak untukku, lalu mencuci pakaian, merapikan kamarku, selebihnya ... aku mempunyai beberapa robot untuk menyelesaikan tugas lain. Bukankah itu ringan?Dan, ya, aku juga akan membayarmu setiap bulan." Kali ini idol itu menukik senyum hingga memamerkan lesung pipitnya. Bukan senyum meremehkan. Terlihat senyum tulus. Sepertinya.
"Tidak, tapi sama saja itu seperti perbudakakan. Ya! Bisakah kita mengambil jalan lain?"
Idol itu menggeleng. Diana melenguh lesu.
"Ya! Lagi pula, aku juga tidak pandai memasak. Bukankah kau tadi mengatakan jika aku memilih opsi kedua, aku harus memasak untukmu? Mianhae, kau salah orang."
"Jangan berbohong."
"Mwo? Aku tidak berbohong. Memang demikian. Aku tidak pandai memasak!"
"Kau kursus memasak dengan Chef Kyung, 'kan?"
"Hmm, kenapa kau tahu?" Mendadak intonasi Diana melemah. Dahinya melipat samar.
Idol itu kumat lagi dengan tersenyum meremehkan.
"Apa kau lupa, kemarin kau membatalkan janji pertemuan sebelumnya dengan alasan tidak bisa absen mengikuti kursus memasak dengan Chef Kyung?"
Diana meneguk ludahnya. Agaknya ia lupa karena emosinya sekarang. Aish!
"Kau mau berdalih apa lagi, Dina?" Idol itu mencoba menyebut nama Diana untuk kali pertamanya di pertemuan ini. Namun gagal, malah menjadi menyebut Dina.
"Mianhae, namaku bukan Dina! Dan mengikuti kursus memasak Chef Kyung bukan berarti aku pandai memasak juga," sungut Diana. Lalu menyesap cokelat panas yang mulai dingin.
Idol itu melipat dahinya. "Kata managerku kau bernama Dina. Aish, rupanya dia memberiku informasi yang salah." Menggerutu. "Mianhae, namamu?" tanyanya sekaligus mengulurkan sebelah tangan kokohnya untuk berjabat tangan.
Diana melirik ke arah uluran tangan itu. Agak enggan, ia akhirnya menjabatnya seraya mengenalkan dirinya, meluruskan letak kesalahan pula.
"Namaku Diana Hadid. Kau bisa memanggilku Diana bukan Dina. Atau memanggil Di pun tidak masalah." Diana mengulas senyum terbaik.
Idol itu mengangguk seraya menimpal senyum. "Hmm, baiklah, Dina ...."
Mendengar itu Diana meneguk ludahnya lagi. Saat idol itu hendak melepaskan jabatan tangannya, ia justru lebih meremas jabatan tangan itu untuk menahan, mencoba meluruskan letak kesalahnnya lagi. "Mianhae, namaku Diana. DI-A-NA!" Pengucapan akhir penuh penekanan.
Idol itu tetap bergeming. Mengangkat sebelah alisnya. Terlihat berpikir.
"DI-A-NA!" ulang Diana. Ia tambah menekan nada ucapnya. Gemas sekali dengan satu manusia ini.
Sekalipun sosok di depannya adalah seorang idol yang populer, Diana tidak peduli. Pasalnya pula idol satu ini sudah sangat menyebalkan dari awal pertemuan di pagi ini. Menyesal sekali ia mengindahkan dapat bertemu dengannya, sehari waktu liburan musim gugur yang nahas, dan sekarang ia sungguh menyesali kenapa malam itu yang menolongnya dari para preman penggangu di sebuah jalan setapak justru sosok di depannya yang bertindak so' menjadi pahalwan, menolongnya dengan berlagak so' keren dengan berakhir sebelah kakinya keseleo pula. Sekalipun--ia juga tidak memungkiri--idol satu ini berhasil membaku hantam mundur semua preman itu.
"Hmm, DI ... NA ..." Idol itu mencoba mengulangi sesuai intruksi Diana, namun tetap saja salah.
Mendengar pengucapan itu, Diana melenguh lesu, melepaskan jabatan tangannya yang lebih pantas dikatakan sebuah cengkeraman. Asalnya ia ingin sekali memaki idol di depannya itu dengan mengumpat "Pabo!", tapi ia tanggalkan karena itu terlalu kasar dan pula mereka baru saja mengenal satu sama lain.
Iya, ia sungguh berani memaki idol satu ini jika saja lelaki jangkung ini tidak pernah menolongnya sebelumnya. Status idol, itu tak berarti baginya. Untuk sekarang, jika pun mengumpat, toh, tak ada siapapun yang tahu kecuali mereka berdua. Mereka memang tengah berada di sebuah restoran, tapi tak ada pengunjung lainnya selain mereka di restoran italia ini yang bernuansa perpaduan konsep klasik dan modern industrial. Hmm, sekalipun masih bisa terekam CCTV, sih!
Tapi, benar tak ada satu pun pengunjung selain mereka di retoran ini. Pasalnya restoran ini belum memasuki jam buka. Chanyeon jelaslah sudah menyuruh manegernya untuk mengurusnya sebelumnya agar semuanya aman terkendali. Pula, ini restoran milik eomma-nya.
"Ya! Kau salah lagi, Idol. Kasihan sekali para fans-mu. Mereka ternyata tengah mengagumi sosok dengan pendengaran yang minim," timpal Diana. Setelah itu cepat-cepat menutupi mulutnya dengan sebelah tangannya. Pura-pura salah bicara.
"Apa maksudmu, Agassi?" tatapan idol itu menajam.
"Tidak. Mianhae, aku hanya salah bicara. Hanya saja aku kesal, kau salah menyebut namaku lagi, Idol. Aish!" Diana menyibakkan rambutnya yang terasa menggerahkan di area lehernya. Terasa panas sekali pagi ini. Hari di musim dingin yang sungguh berbeda. Saking panasnya, sekarang ia ingin sekali melepas syal merah yang melingkari lehernya.
Idol itu, Chanyeon menghembuskan napas panjang. Ia menyempatkan menilik waktu di arlojinya yang melingkar di sebelah tangan.
"Baiklah, Agassi. Kita sudah berlaku banyak membuang waktu hanya berdebat soal menyebut namamu. Ini bukan murni kesalahanku. Managerku yang salah menginformasiakan kepadaku jika namamu adalah Dina. Jadi, sekali lagi aku minta maaf, tapi ... sekarang kau hendak memilih opsi ke berapa?"
Chanyeon berlaku lebih lembut kali ini, sekalipun sama saja, itu tetap menyebalkan bagi Diana. Kesalahan managernya bagaimana, padahal manager itu saat menemuinya untuk mengatakan perihal pertemuan ini dapat menyebutanya dengan sangat baik dan sopan. " Nona Diana ...." Panggilan itu mendadak berdengung untuk menostalgia.
Diana mendiamkan Chanyeon. Sepasang manik matanya mengedar ke arah seberang meja duduknya. Tepatnya terfokus ke jendela kaca mozaik dengan warna-warni pastel yang mendominasi, terinspirasi dari indahnya kota Venice Italia, sesuai dengan konsep menu makanan di restoran ini. Ditambah dengan keanggunan luar dengan putihnya salju yang mendampar, pula yang terus menggugur. Mengagumkan.
"Agassi ...."
Diana tetap tak acuh. Ia memilih fokus ke arah itu, bahkan berhasil menukik senyum.
Chanyeon menyimak laku Diana itu, sosok berwajah khas melayu yang tempo hari pernah ditolongnya dari gangguan para preman. Entah kenapa kali ini ia tidak marah seperti sebelumnya. Ia justru mengikuti alur gadis di depannya. Turut menyimak salju yang berguguran, putih terhampar sepanjang mata memandang.
"Kau menyukainya?" Seperti lupa akan maksud awal tentang meluruskan pembicaraan pagi ini tentang memilih dua opsi itu, Chanyeon justru bertanya demikian.
Diana mengangguk pelan dengan senyum yang terus singgah.
"Bahagia itu simpel, ya? Dengan melihat jendela mozaik warna-warni pastel itu, hamparan putih di baliknya beserta salju yang terus menggugur, itu cukup membahagiakan," gumam Diana. Masih tetap menatap ke arah luar jendela di seberang mejanya itu.
Wajah Chanyeon beringsut perlahan menatap Diana beberapa saat. Ia merasa baru mengenal sosok lain Diana detik ini, setelah sebelumnya mereka berdua sempat berdebat sengit akan keegoisan yang dibuatnya. Gadis ras melayu itu memang tersenyum seraya menatap kagum, namun kilatan mata bulatnya seperti tengah memendam kesedihan yang menekan hidupnya.
Chanyeon terenyuh. Memilih tetap diam. Membiarkan gadis di depannya menikmati kebahagiaan yang sederhana itu. Sempat pula, ia menjadi merasa bersalah karena telah memberinya dua opsi yang memang minim logis. Berpikir merubahnya, meringankannya.
"Tidak bisa!" Sisi lain hati Chanyeon langsung menepisnya. Keegoisannya hadir lagi. Toh, setiap manusia pasti mempunyai beban derita tersendiri. Termasuk dirinya.
Hingga akhirnya Diana mendadak ingat dengan laku lamunnya itu. Ia cepat-cepat mengoreksi letak duduknya. Berdehem untuk mengusik rasa salah tingkahnya itu dengan iringan maki dalam batin. Menatap lelaki berlesung pipit di depannya yang entah kenapa masih sabar menunggu dan mendadak tidak emosional.
"Setelah kupikirkan, aku lebih memilih opsi kedua, menjadi pembantu rumah tangga di rumahmu selama tiga bulan." Diana membuat keputusan.
"Baik. Itu memang yang lebih aku tekankan. Gomawo."
Diana mengangguk pelan. "Tapi ...."
Chanyeon menaikkan sebelah alisnya.
"Aku juga ingin mengajukan permintaan kepadamu, Oppa." Untuk kali pertama, Diana menyebut "Oppa" di pertemuan ini.
"Permintaan?"
"Hmm. Untuk kenyamananku dalam bekerja."
Chanyeon mengangguk-angguk pelan, seperti sudah tahu saja apa permintaan itu.
"Kau akan bersedia mengindahkannya, Oppa? Agaknya ini akan sulit bagimu."
"Untuk kenyamanmu bekerja, pasti aku akan mengindahkanya. Jangan khawatir. Itu pasti tidak sulit bagiku."
"Tapi, jika kau tak sanggup mengindahkannya, apa kau mau merubah dua opsi itu dengan sesuatu yang lebih ringan dan ... logis?"
Chanyeon menaikkan sebelah alisnya lagi. Bergeming sesaat.
"Sudah kukatan, agaknya akan sulit bagimu." Diana menekankan itu lagi dengan sedikit meringis rikuh.
Sempat masih bergeming sesaat, akhirnya Chanyeon menyahut. "Jangan khawatir, aku akan mengindahkannnya, Agassi. Dan aku pula akan mengindahkan permintaanmu jika aku tidak bisa mengindahkan permintaan yang kau ajukan itu." Menjawab denagn mantap. Teriring senyuman pula.
Diana menimpal senyuman itu. "Baiklah. Sepertinya kau termasuk sosok yang bijaksana, tapi berjanjilah kau akan mengindahkan permintaanku jika kau tak sanggup melakukannya."
"Pasti. Jangan khawatir."
Diana membenahi letak duduknya sebelum mengatakan permintaannya itu. Menghembuskan napas panjang.
"Jadi, permintaanku adalah ...."
Agassi: Nona Eomma: Ibu Gomawo: terima kasih (non formal) Mianhae: maaf (non formal) Mwo: apa Pabo: bodoh Wae: kenapa Ya: hei Oppa: kakak lelalaki ( yang menyebut perempuan)
"Menikah denganku ...," sebut Diana itu akan permohonan memilih satu opsi dari Chanyeon. Kilatan matanya terfokus ke arah lelaki jangkung rupawan, namun menjengkelkan itu dengan jemawa. Sepertinya benar jika keangkuhan bisa lumpuh dengan keangkuhan pula. Bibir Chanyeon yang semula menukik senyum arogan karena merasa yakin sekali akan bisa mengindahkan permohonan Diana, kini mengurai pasrah. Sesaat ke depan Chanyeon pula bermonoton geming dengan tatapan kosong ke arah Diana. "Sepertinya aku memang hendak memenangkan adu keangkuhan saat ini." Batinnya penuh kepuasan. "Mianhae, Oppa. Aku seorang perempuan muslim, sangat tidak diperbolehkan jika aku harus tinggal serumah hanya berdua dengan lelaki yang tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun. Pula--" "Apa yang harus aku lakukan jika aku menikah denganmu?" tukas Chanyeon Menatap tajam Diana.
"Kalung itu terlihat jelek di lehermu," ungkap Chanyeon dengan bibirnya sedikit maju, mencibir setelah mengamati leher Diana dari arahnya. "Hmm?" sahut Diana tak bisa berkata apa pun. Perlahan wajahnya turun, sepasang manik matanya mengilat ke arah kalung berlian model princess, berbandul tetes air. Meneguk kegetiran. Tak apa! Diana mencoba menguatkan hatinya akan cibiran itu. Perlahan mengangkat wajahnya lagi. Seperti kilat, Chanyeon sudah hilang dari arah pandangnya dengan derap langkah kakinya yang masih bisa ia dengar. Diana menghembuskan napas kasar karena kesalnya. "Dasar Happy Virus Palsu!" bentaknya pada senyap. Mencoba melengahkan akan kekesalannya pada Chanyeon, Diana memilih beringsut ke
Diana masih tetap bergeming dengan kedua tangan mengepal yang ditempelkan ke sebelah pipi. Perlahan ia meringis senyum. "Annyeong ...," sapanya kemudian dengan menahan banyak malu, menurunkan kedua tangannya yang hendak membuat aegyo. Lalu, ia membalikkan badan untuk merutuki dirinya dengan menajamkan matanya sesaat seraya memukul kepalanya dengan sebelah tangan. "Pabo!" Chanyeon mengulas senyum meremehkan seraya mengakhiri sesi memvideonya, memasukkan ponselnya lagi ke saku celana jeans-nya. Sedangkan Bae Hyun, Sehan, dan Kyung Seo mengendus-ngendus mendapati bau sesuatu yang menyengat. "Agassi," sebut Kyung Seo dari arahnya. Diana masih saja diam memunggungi. "Agassi," sebut lagi seraya beranjak ke arah Diana. Ia sudah berifirasat sesuatu yang kurang baik. "Kau masih memasak? Sepertinya masakanmu gosong, Agassi!" Kini Ba
"Kenapa kau masih memakai kalung itu?" Sorotan mata Chanyeon mengarah ke arah kalung bandul tetes air yang dikenakan Diana. Kedua mata Diana langsung membulat dengan wajah yang langsung beringsut ke arah kalung bandul tetes air di sekitaran lehernya. "Ini sudah menjadi milikku. Ada masalah apa kau dengan kalung ini? Aku suka memakainya," ketus Diana. "Kau tidak boleh memakainya. Kalung itu sungguh jelek di lehermu!" "Ya! Ada apa denganmu? Jika kau tak suka melihat kalung ini di leherku, sebaiknya kau selalu memejam mata saja saat berhadapan atau pun berpapasan denganku!" jawab Diana seraya memegang bandul tetes air kalungnya. Tersenyum masam. Chanyeon menghempaskan napas kasar. "Kalung itu kubeli bersama Bae. Aku bilang jika kalung itu kubeli untuk eomma-ku. Jadi, bisakah kau jangan memakainya jika ada Bae dan teman-teman EXE yang lain?" Akhirnya bersikap jujur.
Malam terlarut, cahaya putih melintang yang mengikuti lintang ufuk Timur--akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer--telah terlakoni sedari lama, fajar shidiq menyongsong, waktu subuh sudah tiba sejam lalu. Sebelum memasak sarapan pagi, setelah selesai salat subuh dan berdoa, Dan tadarus al-Quran hingga 2 juz, Diana segera melepas dan melipat mukenah yang dikenakannya, menaruhnya di pinggiran kasur. Dengan cekatan ia mencepol rambutnya, meraih tablet pemonitor rumah di atas nakas, lalu bergegas ke kamar Chanyeon. Uh! Menerima opsi kedua dari Chanyeon ini sungguh membuatnya menjadi seperti budak saja. Mengapa pula ia juga harus membangunkan lelaki happy virus palsu itu setiap hari. Menambah pekerjaan saja. Merepotkan. Dan benar-benar lelaki dewasa yang tidak mandiri. Jangan ditiru! Dan jika ingin memilih pasangan hidup jangan sampai memilih lelaki macam dia!
Kini, di bawah langit menyerbuk salju Desa Gamcheon, di depan gerbang kayu mungil bercat putih, tampaklah sebuah rumah khas Gamcheon dengan warna-warninya, kombinasi kuning, pink, biru, bahkan hijau. Diana menyempatkan menggigit bibir bawahnya yang kenyal sebelum melangkah mendekat ke arah gerbang kayu bercat putih di hadapannya itu untuk lantas memencet tombol hubung interkom di sisi gerbang. Berjalan pelan mendekat tanpa menderapkan sebatu boots-nya, Diana menyempatkan membaca basmalah, sebelah telunjuk tangannya ia mainkan memencet tombol interkom, tetapi tertahan, ponselnya berderit. Gerak telunjuknya tertahan berganti kepal, merutuki ponselnya yang berdering tanpa sopan santun itu dalam senyap, mengambilnya cepat dalam sling bag-nya. "Kembali ke Seoul!" Tanpa sapaan yang lebih ramah, penelepon itu langsung bicara dengan nada tinggi memekakkan rungu Diana.
Butir salju terus membumbuh tanah Seoul. Di halaman rumah Chanyeon dengan desain dinding material batu bata itu, dengan butiran salju yang terus menjatuhi tubuh mereka berdua, Diana melerai pelukannya setelah Chanyeon berhenti menepuk lembut pucuk kepalanya. Diana mendongak menatap Chanyeon dengan jarak sangat dekat itu. "Gomawo," lirihnya. Chanyeon tetap bergeming, menikmati manik mata cokelat di hadapannya itu yang masih menyendu dengan sedikit bekas air mata di sudut kelopak matanya. Perlahan, Diana mengembangkan bibirnya, membentuk lengkung sempurna untuk menyirnakan kesedihan yang menyesakkan dadanya barusan. "Kau benar-benar Happy Virus, Oppa. Kau menenangkanku saat ini. Gomawo. Akhirnya aku sudah dapat tersenyum lebar lagi." Mimik wajah Diana langsung bertransfomasi cepat, semringah nian menyusutkan lara yang singgah. Bibirnya mengulang lengkung sempurna yang sempat us
Malam menggulung siang musim dingin. Lesap berubah kelam. Pula tengah tiada gemintang. Hitam legam di atas sana terbentang. Salju tipis menggugur tanpa enggan. Di sebuah rumah hanok di desa tradisional Bukchon, tampak sosok wanita paruh baya tengah mengencangkan penggesek biola--bow. Jemarinya memutar skrup yang ada pada bagian ujung bow. Memutarnya hingga tercipta jarak antara rambut dengan tangkai bow sekira lebar lingkaran pensil. Lalu, menggosokkan bulu bow dengan rosin secara lembut dari ujung ke ujung, menyetem senar biola dengan putar pasak tuning yang berada pada ujung leher biola hingga mendapatkan nada yang tepat. Selesai. Seulas senyum baru saja terulas dari bibir wanita paruh baya itu yang telah berhasil mengurus biola di pangkuannya sebelum ia mainkan. Keningnya terlihat mengerut sesaat setelahnya, memikirkan lagu apa yang akan ia bawakan kini untuk menemani malamnya.
Boygroup EXE tengah menjalani masa hiatus dikarenakan beberapa anggota tengah melaksanakan tugas wajib militer. Boygroup dengan sembilan member ini yang ditinggal Shou, Xiu, Dae, pula sebelumnya juga Kyung Seo untuk wajib militer, sebagian melakukan debut solo. Tak lain adalah Baehyun, Key, dan Liu. Sisanya, Chanyeon dan Sehan membentuk unit SeChan. Pula mereka mengambil peran sebagai aktor. Layaknya Chanyeon, kini lelaki bertubuh jangkung itu tengah disibukkan dengan aktifitas main perannya dalam sebuah film berjudul "Stay Alive", berkisah tentang bertahan hidup di tengah-tengah virus mematikan yang sulit dikendalikan oleh manusia, menyebar liar layaknya sihir, memakan banyak korban di seluruh penjuru dunia, mengakibatkan sebuah pandemi layaknya flu spanyol di masa silam. Dalam temaram rumah Chanyeon, Diana pulang dengan langkah pelan nian. Sehati-hati mungkin ia berjalan
Malam menggulung siang musim dingin. Lesap berubah kelam. Pula tengah tiada gemintang. Hitam legam di atas sana terbentang. Salju tipis menggugur tanpa enggan. Di sebuah rumah hanok di desa tradisional Bukchon, tampak sosok wanita paruh baya tengah mengencangkan penggesek biola--bow. Jemarinya memutar skrup yang ada pada bagian ujung bow. Memutarnya hingga tercipta jarak antara rambut dengan tangkai bow sekira lebar lingkaran pensil. Lalu, menggosokkan bulu bow dengan rosin secara lembut dari ujung ke ujung, menyetem senar biola dengan putar pasak tuning yang berada pada ujung leher biola hingga mendapatkan nada yang tepat. Selesai. Seulas senyum baru saja terulas dari bibir wanita paruh baya itu yang telah berhasil mengurus biola di pangkuannya sebelum ia mainkan. Keningnya terlihat mengerut sesaat setelahnya, memikirkan lagu apa yang akan ia bawakan kini untuk menemani malamnya.
Butir salju terus membumbuh tanah Seoul. Di halaman rumah Chanyeon dengan desain dinding material batu bata itu, dengan butiran salju yang terus menjatuhi tubuh mereka berdua, Diana melerai pelukannya setelah Chanyeon berhenti menepuk lembut pucuk kepalanya. Diana mendongak menatap Chanyeon dengan jarak sangat dekat itu. "Gomawo," lirihnya. Chanyeon tetap bergeming, menikmati manik mata cokelat di hadapannya itu yang masih menyendu dengan sedikit bekas air mata di sudut kelopak matanya. Perlahan, Diana mengembangkan bibirnya, membentuk lengkung sempurna untuk menyirnakan kesedihan yang menyesakkan dadanya barusan. "Kau benar-benar Happy Virus, Oppa. Kau menenangkanku saat ini. Gomawo. Akhirnya aku sudah dapat tersenyum lebar lagi." Mimik wajah Diana langsung bertransfomasi cepat, semringah nian menyusutkan lara yang singgah. Bibirnya mengulang lengkung sempurna yang sempat us
Kini, di bawah langit menyerbuk salju Desa Gamcheon, di depan gerbang kayu mungil bercat putih, tampaklah sebuah rumah khas Gamcheon dengan warna-warninya, kombinasi kuning, pink, biru, bahkan hijau. Diana menyempatkan menggigit bibir bawahnya yang kenyal sebelum melangkah mendekat ke arah gerbang kayu bercat putih di hadapannya itu untuk lantas memencet tombol hubung interkom di sisi gerbang. Berjalan pelan mendekat tanpa menderapkan sebatu boots-nya, Diana menyempatkan membaca basmalah, sebelah telunjuk tangannya ia mainkan memencet tombol interkom, tetapi tertahan, ponselnya berderit. Gerak telunjuknya tertahan berganti kepal, merutuki ponselnya yang berdering tanpa sopan santun itu dalam senyap, mengambilnya cepat dalam sling bag-nya. "Kembali ke Seoul!" Tanpa sapaan yang lebih ramah, penelepon itu langsung bicara dengan nada tinggi memekakkan rungu Diana.
Malam terlarut, cahaya putih melintang yang mengikuti lintang ufuk Timur--akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer--telah terlakoni sedari lama, fajar shidiq menyongsong, waktu subuh sudah tiba sejam lalu. Sebelum memasak sarapan pagi, setelah selesai salat subuh dan berdoa, Dan tadarus al-Quran hingga 2 juz, Diana segera melepas dan melipat mukenah yang dikenakannya, menaruhnya di pinggiran kasur. Dengan cekatan ia mencepol rambutnya, meraih tablet pemonitor rumah di atas nakas, lalu bergegas ke kamar Chanyeon. Uh! Menerima opsi kedua dari Chanyeon ini sungguh membuatnya menjadi seperti budak saja. Mengapa pula ia juga harus membangunkan lelaki happy virus palsu itu setiap hari. Menambah pekerjaan saja. Merepotkan. Dan benar-benar lelaki dewasa yang tidak mandiri. Jangan ditiru! Dan jika ingin memilih pasangan hidup jangan sampai memilih lelaki macam dia!
"Kenapa kau masih memakai kalung itu?" Sorotan mata Chanyeon mengarah ke arah kalung bandul tetes air yang dikenakan Diana. Kedua mata Diana langsung membulat dengan wajah yang langsung beringsut ke arah kalung bandul tetes air di sekitaran lehernya. "Ini sudah menjadi milikku. Ada masalah apa kau dengan kalung ini? Aku suka memakainya," ketus Diana. "Kau tidak boleh memakainya. Kalung itu sungguh jelek di lehermu!" "Ya! Ada apa denganmu? Jika kau tak suka melihat kalung ini di leherku, sebaiknya kau selalu memejam mata saja saat berhadapan atau pun berpapasan denganku!" jawab Diana seraya memegang bandul tetes air kalungnya. Tersenyum masam. Chanyeon menghempaskan napas kasar. "Kalung itu kubeli bersama Bae. Aku bilang jika kalung itu kubeli untuk eomma-ku. Jadi, bisakah kau jangan memakainya jika ada Bae dan teman-teman EXE yang lain?" Akhirnya bersikap jujur.
Diana masih tetap bergeming dengan kedua tangan mengepal yang ditempelkan ke sebelah pipi. Perlahan ia meringis senyum. "Annyeong ...," sapanya kemudian dengan menahan banyak malu, menurunkan kedua tangannya yang hendak membuat aegyo. Lalu, ia membalikkan badan untuk merutuki dirinya dengan menajamkan matanya sesaat seraya memukul kepalanya dengan sebelah tangan. "Pabo!" Chanyeon mengulas senyum meremehkan seraya mengakhiri sesi memvideonya, memasukkan ponselnya lagi ke saku celana jeans-nya. Sedangkan Bae Hyun, Sehan, dan Kyung Seo mengendus-ngendus mendapati bau sesuatu yang menyengat. "Agassi," sebut Kyung Seo dari arahnya. Diana masih saja diam memunggungi. "Agassi," sebut lagi seraya beranjak ke arah Diana. Ia sudah berifirasat sesuatu yang kurang baik. "Kau masih memasak? Sepertinya masakanmu gosong, Agassi!" Kini Ba
"Kalung itu terlihat jelek di lehermu," ungkap Chanyeon dengan bibirnya sedikit maju, mencibir setelah mengamati leher Diana dari arahnya. "Hmm?" sahut Diana tak bisa berkata apa pun. Perlahan wajahnya turun, sepasang manik matanya mengilat ke arah kalung berlian model princess, berbandul tetes air. Meneguk kegetiran. Tak apa! Diana mencoba menguatkan hatinya akan cibiran itu. Perlahan mengangkat wajahnya lagi. Seperti kilat, Chanyeon sudah hilang dari arah pandangnya dengan derap langkah kakinya yang masih bisa ia dengar. Diana menghembuskan napas kasar karena kesalnya. "Dasar Happy Virus Palsu!" bentaknya pada senyap. Mencoba melengahkan akan kekesalannya pada Chanyeon, Diana memilih beringsut ke
"Menikah denganku ...," sebut Diana itu akan permohonan memilih satu opsi dari Chanyeon. Kilatan matanya terfokus ke arah lelaki jangkung rupawan, namun menjengkelkan itu dengan jemawa. Sepertinya benar jika keangkuhan bisa lumpuh dengan keangkuhan pula. Bibir Chanyeon yang semula menukik senyum arogan karena merasa yakin sekali akan bisa mengindahkan permohonan Diana, kini mengurai pasrah. Sesaat ke depan Chanyeon pula bermonoton geming dengan tatapan kosong ke arah Diana. "Sepertinya aku memang hendak memenangkan adu keangkuhan saat ini." Batinnya penuh kepuasan. "Mianhae, Oppa. Aku seorang perempuan muslim, sangat tidak diperbolehkan jika aku harus tinggal serumah hanya berdua dengan lelaki yang tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun. Pula--" "Apa yang harus aku lakukan jika aku menikah denganmu?" tukas Chanyeon Menatap tajam Diana.