"Kenapa kau masih memakai kalung itu?" Sorotan mata Chanyeon mengarah ke arah kalung bandul tetes air yang dikenakan Diana.
Kedua mata Diana langsung membulat dengan wajah yang langsung beringsut ke arah kalung bandul tetes air di sekitaran lehernya.
"Ini sudah menjadi milikku. Ada masalah apa kau dengan kalung ini? Aku suka memakainya," ketus Diana.
"Kau tidak boleh memakainya. Kalung itu sungguh jelek di lehermu!"
"Ya! Ada apa denganmu? Jika kau tak suka melihat kalung ini di leherku, sebaiknya kau selalu memejam mata saja saat berhadapan atau pun berpapasan denganku!" jawab Diana seraya memegang bandul tetes air kalungnya. Tersenyum masam.
Chanyeon menghempaskan napas kasar. "Kalung itu kubeli bersama Bae. Aku bilang jika kalung itu kubeli untuk eomma-ku. Jadi, bisakah kau jangan memakainya jika ada Bae dan teman-teman EXE yang lain?" Akhirnya bersikap jujur.
Sepasang mata Diana membulat lagi. "Mwo?"
"Lepas kalung itu!"
"Tidak!" Menggeleng cepat. "Aku tidak akan melepasnya. Lagi pula kalung jenis ini tidak hanya satu di dunia, 'kan? Jadi, jangan berpikiran sempit jika Bae melihat kalung bandul tetes air ini kupakai, dia akan mudah berasumsi jika kau yang membelikannya untukku."
"Tapi--"
"Ya! Ada apa denganmu? Kau takut skandal denganku ketahuan, hmm?" Diana senyum meremehkan.
Chanyeon tetap bergeming. Memilih membuang muka.
"Dari awal itu kau memang sudah ceroboh, Oppa. Bagaimana mungkin kau justru meminta managermu untuk mengurus skandal ini? Jangan berlaku so' apatis. Belum apa-apa kau sudah mencemaskan semua ini, 'kan?"
"Ya! Kenapa aku memilih menyerahkan semua ini kepada managerku? Karena dia bisa diandalkan untuk merahasiakan semuanya. Pula, dia adalah samchon-ku."
"Mwo? Samchon?"
"Hmm, itulah kenapa aku tak segan-segan untuk memerintahnya. Apalagi yang ingin kau tanyakan, heh?!"
Diana meneguk ludahnya. Bibirnya langsung kelu untuk mengatakan hal apa pun setelah mendapati kilatan mata Chanyeon yang bertambah tajam saja.
Sesaat kemudian Diana mengangguk pelan, hingga akhirnya Kyung Seo datang membawakan dubu jorim, segera menatanya di meja makan. Pula, Bae Hyun dan Sehan yang rupanya sudah kembali ingat akan rasa laparnya, datang dan segera mengambil tempat duduk. Menjadikan pertengkaran mereka berdua usai begitu saja.
"Kau tidak tahu EXE?" Setelah berkenalan satu sama lain, Bae Hyun mengernyit ke arah di hadapannya yang duduk di sebelah Chanyeon, mendapati gadis bermata lebar itu baru saja mengatakan jika dirinya tidak begitu mengetahui perihal EXE. Padahal, 'kan, EXE sangat terkenal di Korsel. Sekalipun masih dalam mode hiatus karena berapa member menjalani wajib militer.
"Aku mengetahui EXE. Hanya saja mengetahui sebatas ... ya, tahu saja." Diana menggaruk kepalanya yang tak gatal, kebingungan menjelaskan.
"Maksudku ..., aku mengetahui kalian hanya sebatas lewat cerita-cerita teman di kampus." Nyengir.
"Jadi, bagaimana kesan mereka terhadapku?" Sepasang mata sipit Bae Hyun berbinar. Ia minat sekali akan pertanyaannya hingga ia melepaskan sendok garpu dan pisau makannya yang dipegang, diletakkan ke piring, membenahi posisi duduknya dengan posisi badan yang tegap.
Diana menyipitkan matanya mengamati Bae Hyun itu dari arahnya. Sehan dan Kyung Seo yang duduk di sisi Bae Hyun, menguyah Salmon Teriyaki dengan menatap khidmat Diana penuh selidik akan jawab. Sedangkan Chanyeon, lelaki paling jangkung di EXE itu bersikap apatis dengan tetap berfokus mengiris Salmon Teriyaki di piringnya.
"Kau terkenal dengan mode eyliner-nya, Oppa. Mr. Eyeliner," jawab Diana. Berhasil membuat Sehan dan Kyung Seo menelan Salmon Teriyaki dan menahan geli secara bersamaan.
Bae Hyun mendengkus. "Ya! Aku mempunyai suara yang merdu. Kenapa kau tak menjawab jika aku mempunyai suara emas saja, hah?!"
Diana tertawa renyah kepada salah satu main vocalist EXE kelahiran Bucheon itu. "Nyatanya memang itulah yang mereka ceritakan. Pula, kau itu humoris. Dan ternyata itu memamg benar, di saat kau marah saja, aura lucu di mukamu masih kental."
"Dia memang suka melawak, hingga menurunkan martabatnya pun akan dilakukannya, Di. Pula begitu dengan sebelahmu. Chanyeon hyeong. Dia adalah happy virus kami. Akan banyak hal menyenangkan jika kau berada di sebelahnya." Sehan, maknae EXE berwajah tirus itu dengan semangatnya memberi tahu perihal demikian, menunjuk Chanyeon dengan sendok garpu yang berada di sebelah tangannya.
Semringah di wajah Diana perlahan surut. Melengok ke arah lelaki jangkung yang berada di sebelahnya yang tetap saja apatis dengan gurauan yang ada, fokus ke arah Salmon Teriyaki di piringnya, mengiris perlahan.
"Happy virus?" batin Diana bergolak tak percaya. Itu palsu sekali.
Malamnya, Chanyeon tidak bisa tidur. Berulang-ulang ia memejam, lalu mengerjap membuka matanya. Hatinya begitu resah bahkan aroma chamomile dari reed diffuser di kamarnya tidak bisa membuat pikiranya tenang.
Chanyeon menghempaskan napasnya berat, menyibak bed cover abu-abu yang menyelimuti tubuhnya. Badannya ia angkat duduk, mengambil ponselnya di nakas.
Jam dua malam waktu Seoul terpampang di angka digital ponselnya. Chanyeon ber-huh lemah mendapati waktu sedini itu belum pula tidur. Raganya kelelahan seharian penuh banyak hal telah ia kerjakan, tapi itu tak membuat dirinya bisa lelap tidur dengan mudah. Padahal, menjadi sosok idol dengan rutinitas padat seperti dirinya haruslah memiliki waktu tidur yang berkualitas agar kesehatannya terjaga, pula psikisnya.
Psikis?
Chanyeon ber-huh lemah lagi. Ia benci perihal mengingat satu kata itu. Pasalnya, selama ini dirinya merasa psikisnya tak pernah baik-baik saja. Keceriaan yang terlihat, alih-alih hanyalah sebuah topeng agar dirinya terlihat baik-baik saja, menyembunyikan rasa berkabut yang ada pada publik.
"Apakah ini yang dinamakan munafik karena pura-pura tegar?" batinnya.
Chanyeon pula bingung pada dirinya sendiri. Ini menyakitkan, membuat pikirannya tertekan, suasana hatinya porak poranda.
"Apakah salah jika berusaha terlihat baik-baik saja sekalipun tengah dirundung kesedihan mendalam?" benaknya lagi.
Chanyeon meneguk ludahnya seketika. Ia hanya tak ingin orang lain menjadi merasa pilu karenanya, menjadi beban mereka. Apalagi teman-teman EXE, pula para fans yang kadang bisa sangat berlebihan mengkhawatirkan idol-nya. Pula, sosok wanita paruh baya berwajah teduh yang amat disayangi dan dihormatinya melebihi apa pun.
Tidak. Bahkan tidak hanya lingkup sesempit itu saja. Dirinya bahkan menginginkan semua orang di dunia ini bisa bahagia jika sudah mengenalnya. Itulah mengapa ia sangat menyukai membuat laku yang bisa membuat orang lain senang dengan sikapnya, seperti halnya Bae Hyun yang humoris, di mana tempat melawak, membuat banyak orang terhibur.
Begitu pulalah dirinya. Ia hanya ingin bisa membuat orang lain bahagia, tak terundung duka seperti halnya yang tengah dirinya rasakan. Mendapat gelar Happy Virus oleh para fans-nya, itu sungguhlah sebuah kehormatan yang amat dibanggakannnya.
Chanyeon meletakkan ponselnya ke nakas lagi. Masih dalam posisi duduknya di pinggiran kasur, sesaat kemudian ia menjadi teringat sorot mata Diana saat Sehan memamerkan perihal happy virus-nya EXE dalam makan siang barusan. Tatapan manik mata cokelat itu menyorot laku masygul ketika melirik ke arahnya. Gadis bermata lebar itu tak menyukai dirinya. Ia yakin sekali.
Namun, itu sungguhlah wajar setelah apa yang telah dirinya lakukan pada gadis ras melayu itu hingga menjadi pembantu rumah tangga di rumahnya kini.
Pengajuan opsi yang minim logis.
Chanyeon meneguk ludahnya lagi. Dirinya memang egois sekali akan perihal itu. Hingga sosok gadis ras melayu itu mengajukan opsi memberatkan pula sebagai bentuk analogi dan mematahkan keangkuhannya.
Tidak. Tak semudah itu dirinya bisa dipatahkan. Akhirnya menerima ajuan opsi itu dengan gampang tanpa pikir panjang. Toh, selama ini hidupnya sudah terlalu runyam. Maka biarkan semakin runyam saja. Sudah lelah dengan keadaan dengan berusaha mengurusinya agak lebih baik, nyatanya malah menjadikan semakin sulit saja.
Happy virus? Entahlah, Chanyeon tak mau berpikir akan opini orang lain itu untuk sekarang. Sekalipun ia begitu bangga dengan gelar itu selama ini. Nyatanya di relung hati terdalamnya, dirinya semakin memikirkan membenci diri sendiri akan gelar itu mendapati banyak orang yang--terutama para fans--merasa terinspirasi atas kegigihannya dalam menata karir selama ini, pula dalam kecintaan akan musik, terlihat begitu bersahaja, aura positif kental, dan hal lain yang membuat mereka bahagia karenanya.
Sungguh, ketika dirinya bercermin lagi pada diri sendiri, nyatanya ia tak bisa menemukan banyak hal yang positif selain mengutuk takdir. Yang terlihat hanya kenaifan, kebencian, putus asa. Inilah yang membuat frustasi. Rapuh acap kali menyadarinya kenyataan ini.
Chanyeon sungguh membenci dirinya. Teramat sangat.
"Mungkin lebih baik jika semua orang berganti melihat dengan cara mata cokelat Anna yang melimpah benci dan dendam. Itu akan lebih melegakan pikiran. Atau?" hatinya.
Tidak bisa berasumsi lagi. Chanyeon sungguh rapuh.
Samchon: paman dari pihak ayah
Malam terlarut, cahaya putih melintang yang mengikuti lintang ufuk Timur--akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer--telah terlakoni sedari lama, fajar shidiq menyongsong, waktu subuh sudah tiba sejam lalu. Sebelum memasak sarapan pagi, setelah selesai salat subuh dan berdoa, Dan tadarus al-Quran hingga 2 juz, Diana segera melepas dan melipat mukenah yang dikenakannya, menaruhnya di pinggiran kasur. Dengan cekatan ia mencepol rambutnya, meraih tablet pemonitor rumah di atas nakas, lalu bergegas ke kamar Chanyeon. Uh! Menerima opsi kedua dari Chanyeon ini sungguh membuatnya menjadi seperti budak saja. Mengapa pula ia juga harus membangunkan lelaki happy virus palsu itu setiap hari. Menambah pekerjaan saja. Merepotkan. Dan benar-benar lelaki dewasa yang tidak mandiri. Jangan ditiru! Dan jika ingin memilih pasangan hidup jangan sampai memilih lelaki macam dia!
Kini, di bawah langit menyerbuk salju Desa Gamcheon, di depan gerbang kayu mungil bercat putih, tampaklah sebuah rumah khas Gamcheon dengan warna-warninya, kombinasi kuning, pink, biru, bahkan hijau. Diana menyempatkan menggigit bibir bawahnya yang kenyal sebelum melangkah mendekat ke arah gerbang kayu bercat putih di hadapannya itu untuk lantas memencet tombol hubung interkom di sisi gerbang. Berjalan pelan mendekat tanpa menderapkan sebatu boots-nya, Diana menyempatkan membaca basmalah, sebelah telunjuk tangannya ia mainkan memencet tombol interkom, tetapi tertahan, ponselnya berderit. Gerak telunjuknya tertahan berganti kepal, merutuki ponselnya yang berdering tanpa sopan santun itu dalam senyap, mengambilnya cepat dalam sling bag-nya. "Kembali ke Seoul!" Tanpa sapaan yang lebih ramah, penelepon itu langsung bicara dengan nada tinggi memekakkan rungu Diana.
Butir salju terus membumbuh tanah Seoul. Di halaman rumah Chanyeon dengan desain dinding material batu bata itu, dengan butiran salju yang terus menjatuhi tubuh mereka berdua, Diana melerai pelukannya setelah Chanyeon berhenti menepuk lembut pucuk kepalanya. Diana mendongak menatap Chanyeon dengan jarak sangat dekat itu. "Gomawo," lirihnya. Chanyeon tetap bergeming, menikmati manik mata cokelat di hadapannya itu yang masih menyendu dengan sedikit bekas air mata di sudut kelopak matanya. Perlahan, Diana mengembangkan bibirnya, membentuk lengkung sempurna untuk menyirnakan kesedihan yang menyesakkan dadanya barusan. "Kau benar-benar Happy Virus, Oppa. Kau menenangkanku saat ini. Gomawo. Akhirnya aku sudah dapat tersenyum lebar lagi." Mimik wajah Diana langsung bertransfomasi cepat, semringah nian menyusutkan lara yang singgah. Bibirnya mengulang lengkung sempurna yang sempat us
Malam menggulung siang musim dingin. Lesap berubah kelam. Pula tengah tiada gemintang. Hitam legam di atas sana terbentang. Salju tipis menggugur tanpa enggan. Di sebuah rumah hanok di desa tradisional Bukchon, tampak sosok wanita paruh baya tengah mengencangkan penggesek biola--bow. Jemarinya memutar skrup yang ada pada bagian ujung bow. Memutarnya hingga tercipta jarak antara rambut dengan tangkai bow sekira lebar lingkaran pensil. Lalu, menggosokkan bulu bow dengan rosin secara lembut dari ujung ke ujung, menyetem senar biola dengan putar pasak tuning yang berada pada ujung leher biola hingga mendapatkan nada yang tepat. Selesai. Seulas senyum baru saja terulas dari bibir wanita paruh baya itu yang telah berhasil mengurus biola di pangkuannya sebelum ia mainkan. Keningnya terlihat mengerut sesaat setelahnya, memikirkan lagu apa yang akan ia bawakan kini untuk menemani malamnya.
Boygroup EXE tengah menjalani masa hiatus dikarenakan beberapa anggota tengah melaksanakan tugas wajib militer. Boygroup dengan sembilan member ini yang ditinggal Shou, Xiu, Dae, pula sebelumnya juga Kyung Seo untuk wajib militer, sebagian melakukan debut solo. Tak lain adalah Baehyun, Key, dan Liu. Sisanya, Chanyeon dan Sehan membentuk unit SeChan. Pula mereka mengambil peran sebagai aktor. Layaknya Chanyeon, kini lelaki bertubuh jangkung itu tengah disibukkan dengan aktifitas main perannya dalam sebuah film berjudul "Stay Alive", berkisah tentang bertahan hidup di tengah-tengah virus mematikan yang sulit dikendalikan oleh manusia, menyebar liar layaknya sihir, memakan banyak korban di seluruh penjuru dunia, mengakibatkan sebuah pandemi layaknya flu spanyol di masa silam. Dalam temaram rumah Chanyeon, Diana pulang dengan langkah pelan nian. Sehati-hati mungkin ia berjalan
BANDUNG~INDONESIA~2024 Langit masih gelap, padahal pagi semakin matang. Masih tersisa mendung akibat hujan lebat semalaman. Jam delapan pagi yang seharusnya suhu mulai menghangat sungguh belum terasa. Di kondisi seperti ini malah terasa masih seperti jam setengah enam pagi. Itulah pula alasan kenapa Diana menjadi telat bangun pagi, selain memang sedang datang bulan, kondisi seperti ini sungguh membuatnya lalai akan waktu, ditambah pula libur dinas kerja di akhir pekan. Aish, sudahlah, ini sungguh posisi wenak! Diana melenguh lesu mendapati hendak mandi, malah persediaan pembalutnya habis. Terpaksa menanggalkan mandinya, melempar handuk di bahunya sembarang ke kasur, meraih kardigan rajut panjangnya di gantungan baju lemari untuk membalut baju tidur pendek bahan baby terry yang dikenakan, baru beranjak pergi ke mini market terdekat d
SEOUL~KORSEL~2021 "Mwo?" Diana menaikkan tekanan suaranya. Sebelah tangannya di atas meja restoran, perlahan mengepal. Netra sipit sosok lelaki di depan Diana melirik ke arah sebelah tangannya yang mengepal itu, menukik senyum tanpa sopan santun. "Sepertinya kau sangat menikmati drama ini?" sulut Diana seraya menatap sebal tukikan senyum lelaki di depannya itu. "Hmm, sangat." "Aish! Aku sungguh merasa dibodohi selama ini." "Wae?" "Selama ini aku kebanyakan mendengar cerita-cerita teman di kampus tentangmu tanpa cela sedikitpun. Katanya kau adalah seorang happy virus yang jika berada di dekatmu, mereka akan bahagia. Namun, nyatanya semua itu hanya bualan, omong kosong. Aku sungguh dibodohi oleh cerita-ceri
"Menikah denganku ...," sebut Diana itu akan permohonan memilih satu opsi dari Chanyeon. Kilatan matanya terfokus ke arah lelaki jangkung rupawan, namun menjengkelkan itu dengan jemawa. Sepertinya benar jika keangkuhan bisa lumpuh dengan keangkuhan pula. Bibir Chanyeon yang semula menukik senyum arogan karena merasa yakin sekali akan bisa mengindahkan permohonan Diana, kini mengurai pasrah. Sesaat ke depan Chanyeon pula bermonoton geming dengan tatapan kosong ke arah Diana. "Sepertinya aku memang hendak memenangkan adu keangkuhan saat ini." Batinnya penuh kepuasan. "Mianhae, Oppa. Aku seorang perempuan muslim, sangat tidak diperbolehkan jika aku harus tinggal serumah hanya berdua dengan lelaki yang tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun. Pula--" "Apa yang harus aku lakukan jika aku menikah denganmu?" tukas Chanyeon Menatap tajam Diana.
Boygroup EXE tengah menjalani masa hiatus dikarenakan beberapa anggota tengah melaksanakan tugas wajib militer. Boygroup dengan sembilan member ini yang ditinggal Shou, Xiu, Dae, pula sebelumnya juga Kyung Seo untuk wajib militer, sebagian melakukan debut solo. Tak lain adalah Baehyun, Key, dan Liu. Sisanya, Chanyeon dan Sehan membentuk unit SeChan. Pula mereka mengambil peran sebagai aktor. Layaknya Chanyeon, kini lelaki bertubuh jangkung itu tengah disibukkan dengan aktifitas main perannya dalam sebuah film berjudul "Stay Alive", berkisah tentang bertahan hidup di tengah-tengah virus mematikan yang sulit dikendalikan oleh manusia, menyebar liar layaknya sihir, memakan banyak korban di seluruh penjuru dunia, mengakibatkan sebuah pandemi layaknya flu spanyol di masa silam. Dalam temaram rumah Chanyeon, Diana pulang dengan langkah pelan nian. Sehati-hati mungkin ia berjalan
Malam menggulung siang musim dingin. Lesap berubah kelam. Pula tengah tiada gemintang. Hitam legam di atas sana terbentang. Salju tipis menggugur tanpa enggan. Di sebuah rumah hanok di desa tradisional Bukchon, tampak sosok wanita paruh baya tengah mengencangkan penggesek biola--bow. Jemarinya memutar skrup yang ada pada bagian ujung bow. Memutarnya hingga tercipta jarak antara rambut dengan tangkai bow sekira lebar lingkaran pensil. Lalu, menggosokkan bulu bow dengan rosin secara lembut dari ujung ke ujung, menyetem senar biola dengan putar pasak tuning yang berada pada ujung leher biola hingga mendapatkan nada yang tepat. Selesai. Seulas senyum baru saja terulas dari bibir wanita paruh baya itu yang telah berhasil mengurus biola di pangkuannya sebelum ia mainkan. Keningnya terlihat mengerut sesaat setelahnya, memikirkan lagu apa yang akan ia bawakan kini untuk menemani malamnya.
Butir salju terus membumbuh tanah Seoul. Di halaman rumah Chanyeon dengan desain dinding material batu bata itu, dengan butiran salju yang terus menjatuhi tubuh mereka berdua, Diana melerai pelukannya setelah Chanyeon berhenti menepuk lembut pucuk kepalanya. Diana mendongak menatap Chanyeon dengan jarak sangat dekat itu. "Gomawo," lirihnya. Chanyeon tetap bergeming, menikmati manik mata cokelat di hadapannya itu yang masih menyendu dengan sedikit bekas air mata di sudut kelopak matanya. Perlahan, Diana mengembangkan bibirnya, membentuk lengkung sempurna untuk menyirnakan kesedihan yang menyesakkan dadanya barusan. "Kau benar-benar Happy Virus, Oppa. Kau menenangkanku saat ini. Gomawo. Akhirnya aku sudah dapat tersenyum lebar lagi." Mimik wajah Diana langsung bertransfomasi cepat, semringah nian menyusutkan lara yang singgah. Bibirnya mengulang lengkung sempurna yang sempat us
Kini, di bawah langit menyerbuk salju Desa Gamcheon, di depan gerbang kayu mungil bercat putih, tampaklah sebuah rumah khas Gamcheon dengan warna-warninya, kombinasi kuning, pink, biru, bahkan hijau. Diana menyempatkan menggigit bibir bawahnya yang kenyal sebelum melangkah mendekat ke arah gerbang kayu bercat putih di hadapannya itu untuk lantas memencet tombol hubung interkom di sisi gerbang. Berjalan pelan mendekat tanpa menderapkan sebatu boots-nya, Diana menyempatkan membaca basmalah, sebelah telunjuk tangannya ia mainkan memencet tombol interkom, tetapi tertahan, ponselnya berderit. Gerak telunjuknya tertahan berganti kepal, merutuki ponselnya yang berdering tanpa sopan santun itu dalam senyap, mengambilnya cepat dalam sling bag-nya. "Kembali ke Seoul!" Tanpa sapaan yang lebih ramah, penelepon itu langsung bicara dengan nada tinggi memekakkan rungu Diana.
Malam terlarut, cahaya putih melintang yang mengikuti lintang ufuk Timur--akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer--telah terlakoni sedari lama, fajar shidiq menyongsong, waktu subuh sudah tiba sejam lalu. Sebelum memasak sarapan pagi, setelah selesai salat subuh dan berdoa, Dan tadarus al-Quran hingga 2 juz, Diana segera melepas dan melipat mukenah yang dikenakannya, menaruhnya di pinggiran kasur. Dengan cekatan ia mencepol rambutnya, meraih tablet pemonitor rumah di atas nakas, lalu bergegas ke kamar Chanyeon. Uh! Menerima opsi kedua dari Chanyeon ini sungguh membuatnya menjadi seperti budak saja. Mengapa pula ia juga harus membangunkan lelaki happy virus palsu itu setiap hari. Menambah pekerjaan saja. Merepotkan. Dan benar-benar lelaki dewasa yang tidak mandiri. Jangan ditiru! Dan jika ingin memilih pasangan hidup jangan sampai memilih lelaki macam dia!
"Kenapa kau masih memakai kalung itu?" Sorotan mata Chanyeon mengarah ke arah kalung bandul tetes air yang dikenakan Diana. Kedua mata Diana langsung membulat dengan wajah yang langsung beringsut ke arah kalung bandul tetes air di sekitaran lehernya. "Ini sudah menjadi milikku. Ada masalah apa kau dengan kalung ini? Aku suka memakainya," ketus Diana. "Kau tidak boleh memakainya. Kalung itu sungguh jelek di lehermu!" "Ya! Ada apa denganmu? Jika kau tak suka melihat kalung ini di leherku, sebaiknya kau selalu memejam mata saja saat berhadapan atau pun berpapasan denganku!" jawab Diana seraya memegang bandul tetes air kalungnya. Tersenyum masam. Chanyeon menghempaskan napas kasar. "Kalung itu kubeli bersama Bae. Aku bilang jika kalung itu kubeli untuk eomma-ku. Jadi, bisakah kau jangan memakainya jika ada Bae dan teman-teman EXE yang lain?" Akhirnya bersikap jujur.
Diana masih tetap bergeming dengan kedua tangan mengepal yang ditempelkan ke sebelah pipi. Perlahan ia meringis senyum. "Annyeong ...," sapanya kemudian dengan menahan banyak malu, menurunkan kedua tangannya yang hendak membuat aegyo. Lalu, ia membalikkan badan untuk merutuki dirinya dengan menajamkan matanya sesaat seraya memukul kepalanya dengan sebelah tangan. "Pabo!" Chanyeon mengulas senyum meremehkan seraya mengakhiri sesi memvideonya, memasukkan ponselnya lagi ke saku celana jeans-nya. Sedangkan Bae Hyun, Sehan, dan Kyung Seo mengendus-ngendus mendapati bau sesuatu yang menyengat. "Agassi," sebut Kyung Seo dari arahnya. Diana masih saja diam memunggungi. "Agassi," sebut lagi seraya beranjak ke arah Diana. Ia sudah berifirasat sesuatu yang kurang baik. "Kau masih memasak? Sepertinya masakanmu gosong, Agassi!" Kini Ba
"Kalung itu terlihat jelek di lehermu," ungkap Chanyeon dengan bibirnya sedikit maju, mencibir setelah mengamati leher Diana dari arahnya. "Hmm?" sahut Diana tak bisa berkata apa pun. Perlahan wajahnya turun, sepasang manik matanya mengilat ke arah kalung berlian model princess, berbandul tetes air. Meneguk kegetiran. Tak apa! Diana mencoba menguatkan hatinya akan cibiran itu. Perlahan mengangkat wajahnya lagi. Seperti kilat, Chanyeon sudah hilang dari arah pandangnya dengan derap langkah kakinya yang masih bisa ia dengar. Diana menghembuskan napas kasar karena kesalnya. "Dasar Happy Virus Palsu!" bentaknya pada senyap. Mencoba melengahkan akan kekesalannya pada Chanyeon, Diana memilih beringsut ke
"Menikah denganku ...," sebut Diana itu akan permohonan memilih satu opsi dari Chanyeon. Kilatan matanya terfokus ke arah lelaki jangkung rupawan, namun menjengkelkan itu dengan jemawa. Sepertinya benar jika keangkuhan bisa lumpuh dengan keangkuhan pula. Bibir Chanyeon yang semula menukik senyum arogan karena merasa yakin sekali akan bisa mengindahkan permohonan Diana, kini mengurai pasrah. Sesaat ke depan Chanyeon pula bermonoton geming dengan tatapan kosong ke arah Diana. "Sepertinya aku memang hendak memenangkan adu keangkuhan saat ini." Batinnya penuh kepuasan. "Mianhae, Oppa. Aku seorang perempuan muslim, sangat tidak diperbolehkan jika aku harus tinggal serumah hanya berdua dengan lelaki yang tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun. Pula--" "Apa yang harus aku lakukan jika aku menikah denganmu?" tukas Chanyeon Menatap tajam Diana.