Lynea hanya bisa menunduk dan terdiam ketika Tuan Muda De Luca itu mengancam akan mencelakai dia atau keluarganya, bila menolak untuk menikah dalam tiga bulan ke depan. Sesekali ia melirik kepada Alonzo yang juga hanya tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Mengapa Anda memaksa saya seperti ini, Tuan? Pernikahan bukan sesuatu untuk dipermainkan. Pernikahan itu suci dan seba—”
“Diam! Aku tidak menyuruh kamu ceramah, Linen!” bentak Enrico memotong ucapan Lynea.
“Lynea, bukan Linen!”
“Kalau aku bilang Linen, ya Linen!” Kembali Enrico berteriak sampai matanya mendelik karena sangat emosi menghadapi Lynea.
“Kita menikah dan memiliki anak hanya di atas kertas. Saat warisan cair aku akan memberikan sepuluh persen kepadamu.”
Enrico terlihat santai saat berbicara memiliki anak hanya di atas kertas. Lynea terkesiap mendengarnya. Hati macam apa yang sedang ia hadapi?
“Lima puluh persen!” sanggahnya berani.
“Apa-apaan? Kamu pikir kamu siapa?” bentak Enrico. “Aku orang yang akan kamu tiduri lalu mengandung anakmu! Lima puluh persen atau semua ini batal!”Enrico menatap Lynea sangat tajam. Wajahnya cenderung terlihat sedikit mengerikan saat ini. Kedua tangannya terlihat mulai mengepal di atas kasur. Napasnya juga mulai tidak teratur. Sedikit lagi, maka ia akan meledak.
“Saya yakin Nona Lynea hanya bercanda saja, Tuan. Jangan diambil hati apa perkataannya,” sela Alonzo tiba-tiba berdiri di hadapan Lynea.
Tubuh kekar dan tinggi besar milik Alonzo menghalangi pandangan Enrico kepada Lynea. Sementara itu, di balik punggungnya, Alonzo memberi isyarat kepada Lynea dengan jari telunjuk yang digoyang ke kanan dan ke kiri. Ia seolah mengatakan “Jangan” kepada wanita calon nyonya besar istana ini.
Lynea kebingungan dengan sikap Alonzo. Tetapi ia diam saja dan tidak membantah. Dalam hatinya, bila ia memang akan menikah, biar bagaimanapun harta itu akan menjadi miliknya.
Enrico mulai terlihat menurunkan emosinya. Napasnya tidak lagi memburu. Sorot matanya pun mulai normal.
“Sekarang, keluar kalian dari kamarku! Aku akan berpakaian!” usirnya memberi isyarat kepada Alonzo agar segera meninggalkan kamar.
“Alonzo!” panggil Enrico tiba-tiba.
“Ya, Tuan?” Kembali pria berkacamata itu membalikkan badan dan menghampiri majikannya.
“Suruh Lynea tunggu di depan kamarku. Sementara kamu, temui Paman Romario di bawah. Katakan, bahwa aku setuju dengan syarat si Tua Bangka!”
Lynea semakin gerah melihat perilaku Enrico yang menganggapnya tidak ada. Padahal jelas-jelas ia berdiri di sebelah Alonzo. Namun, pemuda sombong dan sangat tampan itu lebih memilih menyuruh Alonzo untuk berbicara padanya, daripada berbicara sendiri.
“Mari, Nona. Silahkan menunggu di luar,” ucap Alonzo mengarahkan menuju pintu keluar.
BRAK!
Lynea membanting pintu kamar Enrico karena kesal, membuat Alonzo melompat kaget.
“Apa yang anda lakukan, Nona Lynea? Jangan mencari masalah dengan Tuan Enrico!” serunya kesal dan kuatir pada saat yang bersamaan.
“Biar saja! Tuanmu itu sombong sekali! Sekarang katakan padaku yang sejujurnya, Alonzo! Apakah ia akan melakukan semua yang tadi dikatakan?”
“Maksud Nona?”
“Bagian dia akan mencelakai aku, adikku atau bibiku? Benarkah dia sesadis itu?”
“Tentu saja! Bahkan beliau bisa lebih dari itu! Kematian kadang terlalu baik untuk musuh-musuh Tuan Enrico. Penderitaanlah yang ia berikan bagi mereka yang tidak menuruti perintahnya!”
Lynea langsung tertegun mendengar itu semua. Dunia apa yang sudah menelan dirinya hidup-hidup? Jantungnya mendadak berdebar lebih kencang, sementara rasa mual mengisi lambung dan mulutnya. Keringat dingin dirasa mulai menjalar di sekujur wajah dan juga leher.
“Sekali lagi kamu membanting pintuku, akan aku suruh kamu tidur di kandang kuda! Paham tidak?” hardik Enrico mendadak sudah ada di sisi Lynea.
“Maafkan aku, Tuan,” desis Lynea menunduk ketakutan.
“Sekarang kita akan umumkan bahwa pernikahan terlaksana dalam tiga bulan lagi.”
“Baik, Tuan,” sahut Lynea merasa lemah tak berdaya.
***
Keduanya berjalan menuruni tangga yang bentuknya mengular berlapis karpet terbaik di kelasnya. Lynea mengekor langkah Enrico dan tetap menjaga jarak sekitar dua meter dari lelaki yang ia anggap bisa mencabut nyawanya kapan saja.
“Bisa lebih cepat tidak, Linen?” dengus Enrico menghentikan langkahnya dan menoleh kesal ke belakang.
“Maafkan aku, Tuan,” jawab Lynea berlari kecil menuju Enrico.
“Tuan Romario sudah menunggu Anda dan Nona Lynea, Tuan,” sambut Alonzo membukakan pintu ruang keluarga.
“Dengarkan semuanya! Aku ada pengumuman!” teriak Enrico begitu memasuki ruangan.
Ia duduk di atas sebuah sofa kulit cokelat dengan aksen ukiran klasik di bagian sandaran. Isyarat matanya memanggil Lynea untuk ikut duduk di sebelahnya.
“Kami memutuskan untuk setuju menikah, Paman Roma!” seru Enrico membuat yang lain terbelalak.
Seluruh keluarganya masih berada di dalam ruangan tersebut. Melihat Lynea berada di sisi Enrico, membuat mereka tidak lagi berani berkata kasar padanya.
“Siapa yang memesan The Janitor malam ini?” tanya Enrico dingin, kembali membuat yang lain terbelakak.
“Aku tegaskan mulai sekarang! Siapa pun yang berani menyentuh sehelai saja rambut Linen, dia akan menerima konsekuensi yang sangat mengerikan!” ancamnya masih terus salah menyebut nama Lynea.
“Kamu jangan menuduh sembarangan! Kami tidak tahu menahu soal The Janitor!” sanggah Belezza membela diri.
“Berbohonglah sesuka kalian! Aku pasti akan mengetahui siapa yang memesannya untuk menghabisi Linen!”
“Lynea, Tuan,” bisik Lynea jengah karena namanya disebut dengan salah terus menerus.
“Diam!” desis Enrico menahan geram agar suaranya agar tidak terdengar oleh yang lain.
Keadaan menjadi hening sesaat. Lynea menundukkan kepala karena tidak berani menatap ke arah keluarga De Luca di hadapannya. Mereka semua melihatnya dengan penuh kebencian.
Berbanding terbalik, Enrico justru menatap santai namun tajam, sinis dan kejam kepada seluruh keluarganya. Dalam hati ia mengetahui, hanya tinggal masalah waktu sebelum The Janitor datang mengincar dirinya.
Oleh karena itu, ia memilih untuk melakukan perang urat syaraf kepada Bernard, Belezza dan anak-anak mereka. Selama ini, selalu ada Fransiscus yang melerai pertikaian antara Enrico dengan yang lain. Ia selalu dilarang keras untuk menyakiti sesama saudara sedarah.
Sekarang kakek tersebut sudah tidak ada lagi di dunia, membuat Enrico bebas untuk berbuat apapun yang dia mau terhadap keluarga besarnya.
“Baiklah, karena kalian setuju menikah, maka syarat tambahan akan saya bacakan,” ucap Romario memecah kebisuan.
“Syarat tambahan?” Enrico menaikkan sebelah alisnya.
“Iya, betul. Kakekmu menginginkan syarat tambahan ini baru dibacakan kalau kalian setuju menikah,” jelas Romario menyobek sebuah amplop bersegel.
“Enrico dan Lynea harus tinggal satu rumah dan satu kamar tidur. Anak yang dilahirkan Lynea akan di cek DNA-nya oleh lima dokter yang berbeda. Kelimanya harus membuktikan bahwa anak tersebut adalah benar keturunan dari Enrico.”
Kerongkongan Lynea langsung tercekat. Ia kesulitan bernapas dan menelan ludahnya sendiri. Membayangkan harus melakukan hubungan suami istri dengan Enrico membuatnya semakin mual.
“Setiap malam, Enrico harus pulang ke rumah dan tidur bersama isterinya. Bila Enrico hendak berpergian ke luar kota atau luar negeri, Lynea harus ikut.”
“Tua Bangka gila!” umpat Enrico bergumam sendiri. Ia menggelengkan kepala sambil bersungut-sungut.
“Ini yang terpenting! Enrico harus memperlakukan Lynea dengan baik, selayaknya seorang suami memperlakukan isteri yang sangat ia cintai. Tidak ada lagi hubungan dengan wanita lain, selain Lynea.”
Kalimat terakhir itu sontak membuat geger seisi ruangan. Mereka semua terkekeh dan berbisik mendengarnya. Seorang Enrico De Luca, setia hanya pada satu wanita? Sungguh sebuah kejadian langka yang tidak bisa dipercaya.
“Ini bagian terakhir. Apabila kalian menikah, dan syarat-syarat tersebut dilanggar, maka harta warisan yang seharusnya menjadi milik kalian berdua, akan dibagi tiga sama rata dengan Bernard dan Belezza.”
“Bila Enrico melanggar dan warisan ini batal, maka Lynea akan mendapatkan uang sebesar satu milyar rupiah dan sebuah rumah yang lokasinya masih dirahasiakan.”
“Kenapa syaratnya semua hanya di aku? Apakah Linen ini bebas dari syarat apa pun? Enak sekali dia!” protes Enrico bersungut-sungut.
“Entahlah, tanyakan kakekmu,” kekeh Romario mengangkat bahunya sekali. “Saya akan memantau langsung jalannya pernikahan kalian, Lynea dan Enrico. Baiklah, saya ucapkan selamat! Semoga kalian saling mencintai dan rukun selamanya!” ***Berjalan di atas seutas tali tipis, dengan tanpa jaring pengaman apa pun di bawah. Demikian perasaan Lynea saat ini. Seluruh hidupnya seolah bukan miliknya lagi.
Bahkan ia tidak bisa melakukan apa pun mengenai pernikahan tanpa cinta ini.
Ia menatap nanar pada punggung Enrico yang berjalan tegap di depannya.Aroma parfum mahal milik lelaki itu meresap masuk, menelisik dan. menggugah imaji terdalam. Seketika ingatan Lynea kembali memutar suara-suara desahan tengah malam yang kerap ia dengar.
Batinnya berkecamuk, membayangkan bahwa dirinya yang akan berada di atas ranjang bersama seorang Enrico De Luca. Membayangkan jemari maskulin itu menyentuh berbagai bagian sensitif dari tubuhnya. Darahnya berdesir hebat.
Ini tidak mungkin terjadi! Aku tidak mungkin melakukannya pertama kali dengan seseorang seperti dia! Jerit Lynea mulai frustasi di dalam hati. “Kenapa kamu berhenti?” hardik Enrico melihat Lynea mematung beberapa meter di belakangnya. “Aku tidak bisa melakukan ini, Tuan,” gagap Lynea dengan tubuh mulai bergetar ketakutan. Enrico menahan napas dan langsung menghampirinya. Tangan kekar itu kemudian menarik paksa lengan Lynea sampai mereka kembali memasuki kamar mewahnya. “Duduk!” perintahnya kasar menghempaskan tubuh Lynea ke atas sofa. “Kamu benar-benar cari mati ya? Sudah tidak sayang dengan nyawamu?”Bentakan demi bentakan, teriakan demi teriakan terus dilancarkan Enrico persis di depan wajah Lynea. Membuat wanita polos itu akhirnya menangis ketakutan. Ia sampai tersengal-sengal dan kesulitan bernapas.
“Diam! Berhenti menangis!” Bukannya menurut dan menghentikan tangisannya, Lynea justru semakin menjadi-jadi, membuat Enrico kemudian bergegas membuka pintu kamar lalu berteriak, “Alonzo!” Tidak lama munculah pria berkacamata itu segera masuk ke dalam kamar. Ia kaget melihat Lynea menangis sesenggukan dengan tubuh yang gemetaran. “Tuan apakan dia?” ceplosnya spontan mengira sesuatu telah terjadi. “Heh! Aku tidak gila! Dia menangis sendiri! Urus dia!” sahut Enrico marah. Alonzo kemudian perlahan mendekati Lynea yang sudah bersimbah air mata. Segelas air minum ia ambil dari meja kecil di sebelah ranjang majikannya.“Minumlah dulu, Nona. Tenangkan dirimu,” ucapnya pelan, menenangkan. Lynea menerima gelas tersebut. Getaran di tangannya membuat isi gelas agak tertumpah dan membasahi pakaiannya. Perlahan ia berusaha menelan sedikit demi sedikit, sampai akhirnya satu gelas air itu habis sudah. Napasnya mulai membaik setelah selesai menenggak air tersebut.
“Ada apa, Nona?” tanya Alonzo melihat Lynea mulai tenang.
“A-aku tidak bisa me-menikah dengan Tu-tuan Enrico … ti-tidak bisa!” “Bayangkan, Tuan Alonzo! Memiliki anak dengannya, lalu tes DNA, berarti aku ha-harus … tidur … de-dengannya!” Lynea kembali menangis tersedu-sedu. Alonzo semakin bingung. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri sambil menghela napas panjang. Masalah yang rumit, batinnya kesal. Sungguh ia paham perasaan Lynea karena memang Tuan Mudanya itu sangat kasar terhadap mantan perawat Fransiscus ini. “Memangnya kenapa kalau kamu tidur denganku? Kamu pikir aku mengecewakan di ranjang? Kurang ajar!""Kamu harusnya bersyukur! Kamu tahu berapa banyak wanita antri di luar sana untuk bisa menikmati satu malam bersamaku?” cecar Enrico semakin meninggikan suaranya.
“Aku bukan wanita seperti itu!” jerit Lynea disela tangisannya."Buka bajumu! Akan kubuktikan saat ini betapa luar biasanya aku di atas ranjang!" Enrico meringsek maju. Dengan kasar ia menarik-narik baju calon istrinya.
"BERSAMBUNG"
(ON NEXT CHAPTER)
“Ambil semua baju itu, lalu siap jam sembilan. Kita akan berangkat mengukur pakaian pertunangan. Paham?” tegas Enrico, kali ini sedikit menoleh pada Lynea.
Jubah tidur wanita perawat kakeknya itu terbuka lebar di daerah dada. Mata nakal Enrico tak kuasa menolak. Keduanya berhenti, mulai menikmati sembulan kenyal yang hanya tertutup kain mengkilat juga tipis.Suasana di kamar Enrico benar-benar kacau. Bila sebelum ini hanya suara erangan dan desah kenikmatan yang muncul, malam ini telah berganti dengan jerit tangis dan ketakutan. Alonzo sangat iba melihat Lynea diperlakukan kasar oleh Tuan Mudanya. Ia ingin melerai dan melarang Enrico agar tidak menyakiti wanita manis itu, tapi ia tidak ada kuasa sama sekali. Lynea menjerit sejadi-jadinya. Ia langsung berdiri dan berlindung di balik tubuh besar Alonzo. Namun, Enrico tidak peduli. Ia seperti hewan buas yang terus mengejar mangsa di depan mata. "Aku tidak mau!" jerit Lynea makin menangis dan ketakutan, “jangan tarik bajuku! Jangan perkosa aku!” Alonzo akhirnya memberanikan diri untuk melindungi Lynea. Ia sedikit menghalangi gerak Enrico dengan menyembunyikan separuh tubuh wanita itu di belakangnya. “Maaf, Tuan. Tapi Nona Lynea belum pernah memiliki kekasih sebelumnya,” sela Alonzo mencoba membuat tuannya berhenti dan memahami kondisi
Eddy Milano adalah seorang designer kenamaan yang dipilih Enrico untuk membuat pakaian pertunangan mereka. Nama besarnya sudah terkenal di seluruh penjuru negeri. Hanya orang berlimpah harta saja yang mampu membeli masterpiece darinya.Lynea selama ini hanya bisa membayangkan memakai salah satu gaun Eddy Milano untuk acara pernikahannya. Sama sekali ia tidak menyangka, bahwa ia akan berada di sini berbicara langsung dengan sang designer. Terlebih lagi, betapa kehadirannya di situ sangat dihormati. Semua tentu tidak lepas dari keberadaan Enrico De Luca bersamanya.“Lumayan,” jawab Enrico singkat, mengomentari tampilan Lynea.“Ah, kalau lumayan, maka aku tidak setuju! Ayo kita cari gaun yang lain saja kalau begitu!” sela Eddy Milano tampak kecewa.“Untuk seorang Enrico De Luca, kecantikan adalah kesempurnaan. Ayo, Sayangku! Mari kita cari gaun lain yang akan digandrungi tunanganmu!” ajak sang designer me
Jantung Enrico semakin kencang berdetak ketika ia melihat Lynea sudah tidak sadarkan diri. Tangan wanita itu terus mengucurkan tetesan darah akibat luka sobek. Perasaan marah semakin menguasai emosinya.“Kalau kalian tidak bisa mendapatkan orang tadi dalam waktu satu minggu ke depan, akan kubuang tubuh kalian ke danau di halaman belakang!” teriaknya mengancam.Alonzo dan David saling pandang dengan mimik ketakutan. Keduanya pun bingung bagaimana seseorang bisa ternyata sudah ada di dalam kamar mandi wanita menunggu kedatangan Lynea di sana.“Saya curiga ada mata-mata di antara anak buah, Tuan. Siapa saja yang tahu kalau Nona Lynea akan bersama Tuan mendatangi Bellevue siang ini?” tanya Alonzo menganalisa.“Mana aku tahu? Itu tugas kalian, bukan?” hardik sang Tuan Muda menggebrak kaca jendela saking marahnya, sampai kaca tersebut bergetar.Seketika suasana kembali menjadi hening. Baik
Kamar perawatan VVIP Rumah Sakit Mariano Galli telah kedatangan seorang pasien penting yaitu calon istri Enrico De Luca, ahli waris dari kerajaan bisnis keluarga besar De Luca. Seorang dokter bernama Gabriel muncul di saat Lynea merasa hari-hari kelamnya tidak akan berakhir. Kehadirannya seolah memberikan harapan bagi mantan perawat itu, bahwa hari-hari ke depan akan lebih baik. “Selamat saya ucapkan untuk kalian berdua yang akan segera menikah,” ucap Gabriel tersenyum kepada Lynea. “Dokter datang untuk memeriksa bukan? Segera periksa, lalu pergilah!” hardik Enrico tajam menatap Gabriel. Dokter muda itu menjadi salah tingkah. Tentu sebelumnya ia sudah diberi tahu bahwa pasien di kamar ini adalah VVIP sehingga ia harus memberikan pelayanan yang terbaik. Mendapati sikap Enrico seperti ini, ia tidak ingin membantah atau mencari masalah. Gabriel segera mendekat dan memeriksa kondisi Lynea. Ia mendengarkan degup jantung kekasih masa lalunya melalui
Suasana remang malam di dalam kamar Enrico terasa semakin hangat karena ia sedang bercinta dengan seorang wanita yang baru saja ia kenal dua hari lalu. Mereka berkenalan melalui salah seorang rekan bisnisnya saat makan siang bersama di sebuah restoran. Naima, nama wanita itu. Rambutnya merah kecokelatan bergelombang. Kulitnya putih bersih dengan bibir tebal merah alami. Wanita seperti ini yang selalu digandrungi oleh Enrico. “Aku ingin bersamamu selalu, Enrico,” bisik Elena saat Enrico mulai mencumbunya. “Aaahhh… Aaahh… Yeaahh…!” desahnya semakin menggeliat di atas ranjang. Mendengar suara kenikmatan Naima membuat Enrico semakin bergairah dan bersemangat melakukan berbagai serangan. Lidahnya memainkan kedua gundukan kenyal di dada Naima. Saat mencapai sebuah lingkaran kecil berwarna merah muda, ia berhenti dan mulai menghisapnya perlahan. “Damn! Aduuuuh, aku … aaah … enak sekali!” racau Naima menarik-narik sprei dengan jemari lentiknya. Kakiny
Wajah Gabriel mengisyaratkan kekhawatiran terhadap keselamatan Lynea. Ia telah mendengar dari berbagai orang tentang sepak terjang Enrico sebagai Pangeran De Luca yang sangat dimanja dan dibiarkan berbuat apa pun yang ia inginkan oleh mendiang Fransiscus. Dokter itu tidak percaya bahwa takdir mempertemukan mereka kembali, hanya untuk melihat kekasih masa kecilnya sudah akan dinikahi oleh seseorang yang menurutnya, sangat tidak pantas untuk mendapatkan Lynea. "Kamu terlalu baik untuk seseorang seperti Enrico De Luca. Hatimu terlalu bersih untuknya," cetus Gabriel berbisik. "Kalau saja aku memiliki mesin waktu, tentu aku akan kembali pada detik itu. Saat dimana aku harus pergi ...." Ia tak meneruskan kalimatnya. Lynea tersenyum pahit sambil memandang wajah prihatin Gabriel. Hatinya bersorak karena pada sorot mata lawan bicaranta itu, masih tersirat sebuah rasa cinta. "Berhati-hatilah, Lynea. Aku harap kamu bisa pergi dari keadaan ini," pun
Rangkaian bunga memenuhi berbagai sudut ruangan Party Hall di hotel bintang lima yang paling terkenal di seluruh kota San Angelo. Wanginya sungguh harum semerbak, menyenangkan bagi mereka yang tengah berkumpul untuk melihat dari dekat, seperti apa calon istri seorang Enrico De Luca. Wanita mana yang menurut mereka, sangat beruntung menjadi Nyonya Besar di kerajaan bisnis keluarga De Luca?Seandainya saja mereka tahu, bahwa segala kemewahan yang melekat pada diri Lynea saat ini tidak akan pernah bisa membuatnya bahagia secara penuh. Seandainya saja mereka tahu, bahwa wanita itu lebih memilih untuk melepas semua dan kembali menjadi manusia merdeka seperti sebelumnya.“Senyumlah, kamu akan masuk surat kabar dan media lainnya di seluruh negeri,” gumam Enrico memaksa Lynea untuk melepaskan wajah gundahnya.“Aku sudah tersenyum sejak sejam yang lalu. Aku lelah, wajahku pegal rasanya!” protes Lynea masih memasang senyum kaku di wajahnya.
Ketiga manusia yang tengah bertemu dalam suasana serba canggung itu saling menatap. Enrico terlihat begitu menggoda iman para kaum hawa ketika rahang kotak tegasnya berpadu serasi dengan jas dan dasi berwarna biru tua senada. Mata cokelatnya terus memandang Gabriel dengan pernyataan tidak senang. Lynea berusaha untuk tetap tenang meski dalam hatinya sangat khawatir dengan apa yang bisa dilakukan oleh tunangannya. Ia merasa bingung, karena sebelum ini Enrico telah membebaskan dirinya untuk berhubungan dengan Gabriel. “Maaf, kalau saya membuat Anda tidak nyaman. Saya hanya berbincang dengan Lynea,” jawab Gabriel setelah ia berhasil menguasai perasaan gugupnya. “Ah, jangan berlebihan! Untuk apa saya merasa tidak nyaman? Kehadiransl seorang dokter seperti Anda tidak ada pengaruhnya pada diriku!” kilah Enrico tertawa ketus. “Aku hanya ingin mengingatkan Lynea, bahwa ia harus melahirkan anakku! Jadi, kalau kalian ingin bercinta, pastikan tunanganku ini tida
Sudah hampir satu tahun sejak Lynea menandatangani surat perceraiannya. Ia tetap tinggal di rumahnya yang berada di desa kecil, kota San Aguira. Bryant memilih untuk tetap bekerja di kota San Angelo dan menjadi kepala keamanan untuk kantor utama Maximo Corporation. Setiap dua atau tiga minggu sekali ia selalu pulang menemui Lynea dan keponakannya. Kabar tentang Enrico sering diceritakan oleh Bryant. Namun demikian, Lynea tidak pernah terlalu bersemangat untuk mendengarkannya. Bagaimana ia masih menyimpan luka dan harapan yang tak pernah pudar terhadap hubungan mereka, kadang membuat hatinya semakin sakit. Enrico pun masih sering menanyakan pada Bryant bagaimana kondisi Lynea dan David. Setiap Bryant kembali ke desa, Enrico selalu membawakan hadiah-hadiah mahal untuk anaknya. Kata Bryant, Enrico selalu menanyakan apakah kini Lynea sudah memiliki tambatan hati yang baru? Setiap mendengar bahwa Lynea masih sendiri, Tuan Besar De Luca hanya terdiam kemudi
Dalam temaram kendaraan menuju kantor polisi, Lynea menatap tak percaya pada selembar kertas di tangannya. Enrico setuju untuk bercerai dengannya.“Apakahah dia bersalah? Kamu yang memaksa bercerai, padahal dia hampir gila karena kamu pergi!” Kembali Romario menyindir secara terang-terangan.“Paman, ayolah bantu aku! Lalu sekarang aku harus bagaimana?” rengek Lynea kesal. Sampai kapan ia dan Enrico harus seperti ini.“Aku tidak tahu. Aku hanya pengacara. Kalian yang menikah. Berbicaralah satu sama lain, hati ke hati.”“Kenapa dia tidak datang malam ini? Apa dia tidak tahu kalau aku hampir mati? Apa dia tidak sadar pacarnya mau membunuhku, dan kini pacarnya itu sudah mati?” gusar Lynea.“Telepon saja langsung. Tanyakan sendiri,” jawab Romario santai. “Aku teleponkan Enrico untukmu saat ini juga.”Hati Lynea berdetak lebih cepat. Debaran rindu atau rasa bersalah menjadi sa
Cinta, sebuah rasa sejuta cerita Madu pelepas dahaga Racun pembunuh jiwa Hidup mati karenanya Cinta, mendatangkan obsesi Untuk saling memiliki Tak rela bila harus berakhir Sabit kalam menjelma tahir “Kamu baik-baik saja, Lyn?” Gabriel terengah-engah datang, langsung memeluk kekasihnya. Belum bisa mengucap apa-apa karena rasa shock yang bergulir sepanjang hari, yang ditanya hanya terdiam berlinang kepedihan. “Semua sudah berakhir, Lyn. Besok kita akan pergi meninggalkan ini semua. Hanya kamu, aku, dan anak-anak kita,” lanjut Gabriel mendekap erat. Tubuh yang bergetar, hati yang dingin, dan kunci kebahagiaan yang telah entah kemana. Lynea tertegun menatap sang dokter dengan hampa. “Aku … ti-tidak bisa … ikut de-denganmu,” gumamnya datar, ringan, dan gamang. “Apa maksudmu? Kita sudah berjanji untuk saling setia dan bersama selamanya! Baru tadi pagi kamu dan aku menyusuri sungai masa
Pandang Lynea mengabur. Rasanya semua ini terlalu berat untuk dijalani dalam waktu satu hari. Apakah penderitaan akan berakhir? Mengapa dunia begitu kejam padanya?Dimanakah bahagia itu? Apakah memang benar ada wujud nyata dari sebuah kata tersebut? Kalau memang hidupnya berhak merasakan, kenapa semua sulit sekali didapatkan?“Ga-Gabriel sudah memiliki i-istri? Sejak ka-kapan kalian me-menikah?” Terbata-bata dan bergetar ia bertanya.Lagi, air mata mengalir begitu saja. Rasa itu bahkan seperti sudah mati. Hancur berkeping, terserak di atas tanah begitu saja menunggu gersang.“Sejak lima tahun lalu, Nyonya,” jawab Avril mulai berkaca-kaca pada matanya.“Hai, Kristin. Ayo, ikut Tante. Kita lihat adek bayi, mau?” Jenna mengajak gadis cilik itu menjauh dari dua wanita dewasa yang akan segera runtuh bersamaan.Kristin melirik pada ibunya. Ketika sang ibu menganggukkan kepala, ia menerima uluran tangan Jenna dan
Ombak tenang menghiasi sungai kecil. Dua anak Adam menyusuri perlahan. Sang wanita membiarkan tangannya digenggam erat oleh teman prianya. Wajah mereka berseri, tidak kalah indah dengan gaung alam dan udara senja.“Kamu bahagia atau tidak, Lyn?” tanya Gabriel menatap begitu lembut.“Bersamamu? Aku bahagia. Selama ini aku sudah salah arah,” jawab Lynea tersenyum lalu mengacak-acak sedikit rambut teman masa kecilnya.Tiba-tiba Gabriel berlutut di hadapannya. Tangan kanan mengambil sesuatu dari kantong jaket. Sebuah kotak kain mungil berwarna biru tua.“Aku tahu kamu masih menjadi istri orang dan sedang dalam proses cerai, tetapi aku begitu terobsesi dan jatuh cinta padamu,” ucap Gabriel. Perlahan ia membuka kotak itu.Sebuah cincin emas putih dengan berlian mungil berbentuk hati di tengahnya dipersembahkan untuk Lynea.“Maukah kamu menikah denganku? Be my wife, for all eternity,” pintanya memberi
Enough is enough, begitu kata pepatah. Cukup sudah semua ini membuat hidup Lynea begitu kacau dan naik turun seperti roller coaster. Tidak ada lagi yang harus dipikirikan. Dua kali sudah Enrico bercinta dengan Elena saat masih menyandang status sebagai suaminya. “Terima kasih karena telah membuka mataku, Elena. Kini aku mengetahui, seperti apa suamiku sebenarnya. Kamu bisa mengambilnya. Aku tidak butuh lelaki yang tidak setia padaku.” Lynea menegakkan kepala, berbicara dengan anggun dan tegas. Jika harga diri adalah satu-satunya yang tersisa dari dirinya, maka ia akan menjaganya dengan sebaik mungkin. Tidak ada yang boleh menghancurkan seutas harga diri tersebut. “Lyn, aku minta maaf,” pinta Enrico berniat mengikuti langkah istrinya yang mulai meninggalkan ruangan. Lynea tidak menoleh sama sekali, apa lagi menjawab. Baginya keberadaan Enrico tidak lebih dari sebuah kisah usang. Terus saja berulang tanpa ada akhir bahagia. “Kamu! Wanita ular!”
Sekian pasang mata menatap cemas ketika pintu ruang operasi dibuka dan seorang perawat keluar memanggil keluarga Alonzo. Felix segera berdiri dan maju menghampiri sang perawat.“Saya kakaknya,” ucapnya.“Operasi Tuan ALonzo telah selesai. Ternyata ada tiga peluru yang masuk dalam tubuhnya.”“Apakah Alonzo hidup?” Enrico menyela.“Beliau telah melewati masa kritis selama dua jam terakhir. Tubuhnya menunjukkan repson yang baik terhadap obat-obatan yang kami berikan. Kini kondisinya sudah stabil, tapi masih dalam bius total sampai dua hari ke depan.”“Terima kasih, Tuhan!” jerit Lynea melompat dan memeluk Enrico.Dia lupa kalau sedang menjauhi sang suami. Semua kembali bernapas lega mendengar kabar baik ini. Ketegangan seketika menghilang. Felix menitikkan air mata bahagia, dan langsung di seka oleh jemarinya. Tidak ada air mata bagi lelaki tangguh yang melewati berbagai peperangan. Na
“Alonzo! Bangun, buka matamu! Alonzo, ayolah! Bangun, bangun! Kamu tidak boleh pergi dengan cara seperti ini!” Enrico menepuk-nepuk pipi orang kepercayaan dan sahabat terbaiknya. “Siapkan helikopter!” seru Felix kepada anak buahnya melalui speaker telinga. “Paramedik!” teriak Kapten Abrahm berulang. Orang-orang berbaju putih berlambang palang merah datang, membawa tandu dan kotak pertolongan pertama. Mereka segera menekan luka tembak di dada Alonzo dan menutupnya dengan perban. Tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu kemudian diangkat oleh empat orang ke atas tandu. “Parkir helikopter di halaman belakang saja! Adikku harus ke rumah sakit saat ini juga!” Felix terus memerintah anak buahnya. Ketika mereka melintas di antara kursi-kursi sidang, jenazah Viery sedang tergeletak di atas lantai dengan darah menggenang sangat banyak. Alessia berlutut di samping tubuh sang kakak yang sudah tidak bernyawa. Ia menangis dan berteriak, sangat memilukan.
“Enrico?” tanya Gabriel melirik ke ponsel Lynea.“Hmm, dia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin.”“Kamu benar-benar masih cinta padanya? Orang seperti dia, Lyn?”Lynea terdiam. Ia sendiri tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Ada sesuatu yang membuatnya begitu terikat pada sang suami, dan itu bukan hanya karena Enrico adalah ayah dari putranya. Seolah ada aura khusus yang membuat dirinya, dan juga ratusan wanita lain tidak bisa berhenti mencintainya.Ya, dia memang kaya raya, tapi Lynea tidak pernah memedulikan itu semua. Tampan? Sangat! Akan tetapi, Gabriel pun memiliki wajah baby face yang diidolakan para dokter wanita di rumah sakit.Enrico memiliki jiwa yang misterius. Di sana, ada kekerasan, tetapi juga kelembutan. Penuh dendam, namun juga mencari kedamaian. Serba kekerasan, hanya saja ia juga begitu mencintai istrinya.“Aku tidak tahu, Gabriel. Semua ini terlalu menyesakkan dan membingun