Eddy Milano adalah seorang designer kenamaan yang dipilih Enrico untuk membuat pakaian pertunangan mereka. Nama besarnya sudah terkenal di seluruh penjuru negeri. Hanya orang berlimpah harta saja yang mampu membeli masterpiece darinya.
Lynea selama ini hanya bisa membayangkan memakai salah satu gaun Eddy Milano untuk acara pernikahannya. Sama sekali ia tidak menyangka, bahwa ia akan berada di sini berbicara langsung dengan sang designer. Terlebih lagi, betapa kehadirannya di situ sangat dihormati. Semua tentu tidak lepas dari keberadaan Enrico De Luca bersamanya.
“Lumayan,” jawab Enrico singkat, mengomentari tampilan Lynea.
“Ah, kalau lumayan, maka aku tidak setuju! Ayo kita cari gaun yang lain saja kalau begitu!” sela Eddy Milano tampak kecewa.
“Untuk seorang Enrico De Luca, kecantikan adalah kesempurnaan. Ayo, Sayangku! Mari kita cari gaun lain yang akan digandrungi tunanganmu!” ajak sang designer menggandeng tangan Lynea memasuki studio mewahnya.
“Meskipun aku yakin gaun itu tidak akan lama bertahan di badanmu, begitu acara selesai!” bisiknya lagi kemudian terbahak sambil mencubit pipi Enrico gemas.
Wajah Lynea memerah karena malu. Ia melirik Enrico yang juga sedang memandangnya. Kedua bola mata mereka beradu tatap. Untuk tiga detik kemudian, hanya gemuruh di dada yang bisa dirasakan oleh Lynea. Sungguh, tatapan Enrico begitu tajam namun lembut, membuat ia menjadi salah tingkah.
“Ayo, ikuti saya Lynea!” panggil Eddy Milano menghentikan momen mendebarkan tersebut.
Keduanya berhenti saling tatap dan kembali membuang muka ke arah berlawanan. Tidak ada perubahan apa pun di wajah Enrico. Berbeda halnya dengan Lynea yang masih bersemu merah, karena membayangkan bagaimana rasanya ketika gaun itu dilepas oleh Enrico.
"Bagaimana dengan ini?" Eddy Milano mempersembahkan Lynea dengan sebuah gaun yang lebih simple namun elegan. Berwarna biru langit dan mengkilat. Bentuknya yang ketat sangat rapi menampilkan setiap lekukan dari tubuh sintalnya.
Pada bagian betis ada belahan rok yang tinggi ke atas sampai dengan lutut. Belahan itu memamerkan betis jenjang dan mulus milik Lynea. Sementara di bagian atas, gaun tersebut memiliki model tanpa lengan dengan belahan dada rendah. Garis pembelah dua bukit di dada Lynea nampak begitu membumbung terkena korset yang kencang.
"Kamu suka, Enrico?" tanya Lynea malu-malu.
"Iya, aku suka," gumam Enrico tidak berkedip. Bahkan setitik senyum terlihat di ujung bibirnya.
"Aaaah! Yeees!" seru Eddy Milano bertepuk tangan.
"Tunanganmu terlihat cantik dengan gaun ini, bukan?"
"Ya, Eddy. Dia terlihat ... cantik," jawab Enrico pelan dan terlihat seperti orang kebingungan.
***
Selesai melakukan fitting gaun, mereka melanjutkan perjalanan menuju sebuah restoran. Selama perjalanan di dalam mobil berkali-kali Lynea membenarkan rok mininya yang terus menerus tertarik semakin ke atas.
Ia terlihat sangat tidak nyaman menggunakan baju terusan itu. Model tanpa lengan berwarna merah tua memang semakin menonjolkan kulit putih bersih di paha, namun tetap saja ia tidak pernah memakai baju seperti itu untuk keseharian.
Posisi duduknya berubah dan berubah lagi dalam waktu tiga puluh menit bersama Enrico di dalam mobil.
“Bisakah kamu diam? Lama-lama rok itu sobek kalau kamu tarik ke bawah terus!” bentak lelaki itu karena tidak tahan merasakan goyangan di kursinya akibat Lynea terus bergoyang.
“Sebentar lagi kita sampai di restoran. Aku ada perlu. Awas nanti jangan menggangguku!” lanjutnya terus berkata dengan suara meninggi.
“Baju ini menyiksaku! Mulai besok aku tidak mau lagi pakai baju ini!” balas Lynea kesal.
“Kamu itu diangkat derajatnya menjadi wanita kelas atas! Harusnya berterima kasih!” tukas Enrico juga semakin kesal.
“Lain kali bawa aku untuk beli baju! Aku pilih sendiri! Jangan samakan aku dengan perempuan murahan yang kamu biasa bawa setiap malam!”
Enrico terbelalak mendengarnya. Ucapan Lynea lagi-lagi membuatnya merasa dilawan, tidak dituruti. Selama ini, sembilan puluh sembilan persen wanita yang ia kencani, tidak pernah sedikit pun melawan perkataannya.
Apa pun yang Enrico berikan selalu mereka terima dengan bahagia. Tentunya karena barang-barang pemberian tersebut harganya sangat mahal dan merupakan kualitas paling utama.
“Kita sudah sampai, Tuan.” Suara Alonzo menahan Enrico dari membalas perkataan calon istrinya.
Ia hanya mendengus kesal dan membuang wajah ke arah jendela. Lynea bersyukur mereka sudah sampai.Tidak ada lagi perdebatan menjengkelkan dengan salah satu lelaki terkaya di kota itu.
Alonzo segera membuka pintu dan turun dari mobil. Ia kemudian membuka pintu mobil di sisi Lynea berada. Sementara David yang berada di mobil belakang, juga telah turun dan segera berlari, membuka pintu mobil di sisi Enrico duduk.
“Silahkan, Nona.”
“Tuan Enrico, silahkan turun.”
Alonzo dan David mengucap bersamaan. Keduanya menunduk, benar-benar memberikan hormat. Lynea tidak merasa nyaman dengan penghormatan seperti ini. Ia tidak ingin merasa lebih tinggi dari manusia lain hingga harus diberi hormat seperti ini.
“Ayo masuk! Ikuti aku!” desis Enrico melangkah menuju pintu masuk restoran bernama Bellevue.
Mulai dari penjaga pintu sampai dengan pelayan, semua membungkukkan kepala saat Enrico dan Lynea melintas.
“Kenapa mereka semua menghormatimu?” bisik Lynea sambil berlari kecil berusaha mengikuti langkah kaki lebar milik Enrico.
“Ini adalah restoranku. Aku membangunnya sendiri dari nol. Tua Bangka itu tidak ada hubungannya. Makanya tidak ada di dalam daftar warisan,” jelas Enrico datar.
Mereka kemudian duduk di sebuah kursi berbentuk setengah lingkaran yang mengelilingi sebuah meja bundar. Di sebelah kanan Enrico, ada Alonzo duduk tenang sambil terus menulis sesuatu di layar tabletnya. Sementara di kiri Lynea telah diduduki David.
“Kenapa tidak ada pengunjung sama sekali?” Kembali Lynea berbisik.
“Sudah aku suruh tutup dari satu jam lalu.”
“Kenapa?”
Enrico tidak menjawab. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi apa pun. Ia hanya melirik pada Alonzo.
Hati Lynea mulai tidak tenang saat melihat seseorang bertubuh besar dengan banyak bekas luka di wajahnya datang dan membisikkan sesuatu pada Alonzo. Selang beberapa detik, orang kepercayaan keluarga De Luca tersebut membisikkan sesuatu kepada Enrico.
“Bawa sini!” perintah Enrico tegas menanggapi bisikan tersebut.
“Oh ya, dan pesankan Lynea steak buatan Gerald yang terkenal itu. Kamu lapar, kan?” cetus Enrico mendadak memalingkan wajah pada Lynea.
Sontak ia mengangguk. Memang perutnya sudah keroncongan sejak mereka meninggalkan rumah mode Eddy Milano tadi. Hati Lynea sedikit tersanjung ketika Enrico menanyakan apakah ia lapar atau tidak. Secercah perhatian pikirnya, dari sang calon suami.
“Ini orangnya, Tuan!” Lelaki dengan bekas luka di wajahnya kembali datang dengan menyeret seorang pria yang wajahnya sudah babak belur.
“Dia mau bicara, Luigi?” tanya Enrico santai tanpa perasaan apa pun meski melihat tawanan itu sudah hampir tidak sadarkan diri.
“Tidak, Tuan!” jawab lelaki menyeramkan yang ternyata bernama Luigi itu.
“David?” gumam Enrico tetap tenang. Hanya satu kata panggilan saja, namun sudah menjelaskan keinginannya.
“Bawa ke ruang pendingin!” perintah David pada Luigi. Keduanya beserta beberapa orang lain segera menyeret tawanan tersebut ke belakang.
Wajah Lynea seketika pucat pasi saat melihat David mengambil sepucuk senjata api dari dalam jasnya. Dengan gemetar ia bertanya pada Enrico, “A-apa yang ka-kamu lakukan?”
Calon suaminya menyeringai. Ia menoleh pada Lynea dan berkata, “Orang itu tahu dimana The Janitor. Aku tidak mau kamu disakiti orang. Jadi orang itu harus mengatakan dimana aku bisa menemukan The Janitor.”
“Lalu? Kamu akan berbuat apa?” Lynea masih terus mendesak. Hatinya iba melihat lelaki yang sudah penuh dengan bekas pukulan kemudian masih diseret ke belakang.
“Aku sudah bilang tadi, jangan menggangguku. Jangan ikut campur!” hardik Enrico kembali kasar.
Suara letupan terdengar dari ruang dapur di area kamar pendingin. Jeritan seorang lelaki langsung terdengar begitu mengerikan.
“Apa yang kamu lakukan?” Lynea menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia sangat terkejut dan juga ketakutan dengan semua ini.
“Apa yang harus aku lakukan,” jawab Enrico santai menyeruput kopi hitam yang baru saja dibawa oleh Alonzo.
Lagi, suara menjerit terdengar dari belakang. Enrico melirik Lynea. Ia kemudian berkata, “Atau kamu lebih senang kalau The Janitor mendatangimu lagi?”
Wanita itu merasakan mual di dalam perutnya semakin nyata. Ia segera berlari menuju kamar mandi sambil terus menutup mulutnya.
***
Lynea langsung menjatuhkan diri di depan toilet. Ia sudah tidak tahan lagi ingin memuntahkan rasa mual dalam lambungnya.
“Hoeeekkk!” Berkali-kali ia membuka lebar mulutnya dan memuntahkan semua yang ada di dalam lambungnya.
Tubuhnya gemetaran akibat peristiwa barusan. Ini adalah pertama kalinya ia melihat dengan mata kepala sendiri ada orang sedang diinterogasi dengan cara-cara yang diluar kebiasaan.
Lynea terduduk di lantai kamar mandi. Semua yang Alonzo katakan ternyata benar adanya. Calon suaminya memang bisa berbuat apa saja sesukanya. Seketika bayangan adik dan bibinya terlintas. Kemarin saat Enrico menelepon berarti memang adiknya sedang diikuti oleh anak buahnya.
Hatinya terasa sesak dan napasnya semakin memburu. Ia mulai tersengal-sengal dan mengalami serangan kepanikan seperti kemarin malam.
Diantara rintihan tangis dan napas yang tercekat, Lynea bisa mendengar sesseorang berjalan di bilik toilet sebelah. Ia segera menoleh karena tidak menyangka ada orang lain di dalam kamar mandi ini.
Seorang lelaki, bertubuh kecil, berjanggut tebal dan memakai kacamata menatapnya menakutkan. Tangannya mengarahkan senjata api ke arah kepala Lynea. Perlahan ia mendekat sambil membawa sepucuk kain berwarna putih.
“Aa—” Lynea tidak berhasil berteriak karena lelaki itu telah berhasil menutup mulutnya dengan kain tersebut.
Meski mulai merasa pusing, ia mencoba melawan sekuat tenaga. Lynea menendang-nendang sekitar, berusaha agar terlepas dari cengkraman orang asing itu.
Kedua tangan kekar miliknya berhasil menekan pergerakan Lynea yang merasa matanya semakin berat dan mengantuk. Ia masih berusaha untuk terus meronta.
Beruntung ujung kakinya berhasil menendang tong sampah hingga terjatuh dan menimbulkan bunyi yang sangat keras. Lelaki asing itu menjadi panik kemudian mengeluarkan sebilah pisau. Ia hendak menusuk Lynea karena tidak berhasil membawanya pergi.
Enrico dan Alonzo mendengar suara gaduh dari kamar mandi wanita. Keduanya saling memandang heran sebelum sama-sama berlari menuju kamar mandi. Mereka merasa aneh bila besi terjatuh itu adalah dengan sendirinya.
“Nona Lynea!” seru Alonzo membuka pintu kamar mandi.
Lelaki asing tadi langsung mencabut pisaunya dari lengan Lynea. Wanita itu sudah di akhir kesadarannya saat dia berusaha melawan berbagai serangan pisau kepada tubuhnya. Tidak hanya lengan, namun bagian perutnya juga mengeluarkan darah.
Ia segera melompat keluar melalui jendela kamar mandi. Alonzo mengeluarkan pistol dan membidik, tetapi lawannya terlalu gesit. Secepat kilat lelaki itu melompat dan menaiki sepeda motor yang sudah menunggunya di bawah jendela. Dentum tembakan yang dikeluarkan hanya mengenai kusen jendela.
“Lynea!” Enrico langsung melepas jas mahalnya dan menutupi tubuh calon istrinya yang terluka.
“David! Ambil mobil Tuan!” teriak Alonzo di pintu kamar mandi.
“Lynea, sadarlah! Lynea!” teriak Enrico mengguncang pundak Lynea. Ia bahkan menepuk-nepuk pipinya.
Ia segera berlari keluar sambil menggendong tubuh lemah Lynea. David sudah menunggu di balik setir. Alonzo duduk di depan, sementara Enrico dan Lynea berada di kursi belakang. Kepala wanita polos itu ditidurkan di paha Enrico.
“Rumah sakit! Cepat!” perintahnya sangat takut sesuatu menimpa wanita yang akan segera ia nikahi.
*****
"BERSAMBUNG"
(ON NEXT CHAPTER)
"“Lynea?” sapa dokter itu memanggil.
Lynea menoleh, wajahnya pun menandakan sebuah rasa kaget melihat sang dokter.“Gabriel?” pekiknya tertahan. Lelaki yang pernah sangat ia gandrungi saat masih di bangku sekolah tiba-tiba muncul di hadapan seperti jawaban atas rasa pedih hatinya.*****
Jantung Enrico semakin kencang berdetak ketika ia melihat Lynea sudah tidak sadarkan diri. Tangan wanita itu terus mengucurkan tetesan darah akibat luka sobek. Perasaan marah semakin menguasai emosinya.“Kalau kalian tidak bisa mendapatkan orang tadi dalam waktu satu minggu ke depan, akan kubuang tubuh kalian ke danau di halaman belakang!” teriaknya mengancam.Alonzo dan David saling pandang dengan mimik ketakutan. Keduanya pun bingung bagaimana seseorang bisa ternyata sudah ada di dalam kamar mandi wanita menunggu kedatangan Lynea di sana.“Saya curiga ada mata-mata di antara anak buah, Tuan. Siapa saja yang tahu kalau Nona Lynea akan bersama Tuan mendatangi Bellevue siang ini?” tanya Alonzo menganalisa.“Mana aku tahu? Itu tugas kalian, bukan?” hardik sang Tuan Muda menggebrak kaca jendela saking marahnya, sampai kaca tersebut bergetar.Seketika suasana kembali menjadi hening. Baik
Kamar perawatan VVIP Rumah Sakit Mariano Galli telah kedatangan seorang pasien penting yaitu calon istri Enrico De Luca, ahli waris dari kerajaan bisnis keluarga besar De Luca. Seorang dokter bernama Gabriel muncul di saat Lynea merasa hari-hari kelamnya tidak akan berakhir. Kehadirannya seolah memberikan harapan bagi mantan perawat itu, bahwa hari-hari ke depan akan lebih baik. “Selamat saya ucapkan untuk kalian berdua yang akan segera menikah,” ucap Gabriel tersenyum kepada Lynea. “Dokter datang untuk memeriksa bukan? Segera periksa, lalu pergilah!” hardik Enrico tajam menatap Gabriel. Dokter muda itu menjadi salah tingkah. Tentu sebelumnya ia sudah diberi tahu bahwa pasien di kamar ini adalah VVIP sehingga ia harus memberikan pelayanan yang terbaik. Mendapati sikap Enrico seperti ini, ia tidak ingin membantah atau mencari masalah. Gabriel segera mendekat dan memeriksa kondisi Lynea. Ia mendengarkan degup jantung kekasih masa lalunya melalui
Suasana remang malam di dalam kamar Enrico terasa semakin hangat karena ia sedang bercinta dengan seorang wanita yang baru saja ia kenal dua hari lalu. Mereka berkenalan melalui salah seorang rekan bisnisnya saat makan siang bersama di sebuah restoran. Naima, nama wanita itu. Rambutnya merah kecokelatan bergelombang. Kulitnya putih bersih dengan bibir tebal merah alami. Wanita seperti ini yang selalu digandrungi oleh Enrico. “Aku ingin bersamamu selalu, Enrico,” bisik Elena saat Enrico mulai mencumbunya. “Aaahhh… Aaahh… Yeaahh…!” desahnya semakin menggeliat di atas ranjang. Mendengar suara kenikmatan Naima membuat Enrico semakin bergairah dan bersemangat melakukan berbagai serangan. Lidahnya memainkan kedua gundukan kenyal di dada Naima. Saat mencapai sebuah lingkaran kecil berwarna merah muda, ia berhenti dan mulai menghisapnya perlahan. “Damn! Aduuuuh, aku … aaah … enak sekali!” racau Naima menarik-narik sprei dengan jemari lentiknya. Kakiny
Wajah Gabriel mengisyaratkan kekhawatiran terhadap keselamatan Lynea. Ia telah mendengar dari berbagai orang tentang sepak terjang Enrico sebagai Pangeran De Luca yang sangat dimanja dan dibiarkan berbuat apa pun yang ia inginkan oleh mendiang Fransiscus. Dokter itu tidak percaya bahwa takdir mempertemukan mereka kembali, hanya untuk melihat kekasih masa kecilnya sudah akan dinikahi oleh seseorang yang menurutnya, sangat tidak pantas untuk mendapatkan Lynea. "Kamu terlalu baik untuk seseorang seperti Enrico De Luca. Hatimu terlalu bersih untuknya," cetus Gabriel berbisik. "Kalau saja aku memiliki mesin waktu, tentu aku akan kembali pada detik itu. Saat dimana aku harus pergi ...." Ia tak meneruskan kalimatnya. Lynea tersenyum pahit sambil memandang wajah prihatin Gabriel. Hatinya bersorak karena pada sorot mata lawan bicaranta itu, masih tersirat sebuah rasa cinta. "Berhati-hatilah, Lynea. Aku harap kamu bisa pergi dari keadaan ini," pun
Rangkaian bunga memenuhi berbagai sudut ruangan Party Hall di hotel bintang lima yang paling terkenal di seluruh kota San Angelo. Wanginya sungguh harum semerbak, menyenangkan bagi mereka yang tengah berkumpul untuk melihat dari dekat, seperti apa calon istri seorang Enrico De Luca. Wanita mana yang menurut mereka, sangat beruntung menjadi Nyonya Besar di kerajaan bisnis keluarga De Luca?Seandainya saja mereka tahu, bahwa segala kemewahan yang melekat pada diri Lynea saat ini tidak akan pernah bisa membuatnya bahagia secara penuh. Seandainya saja mereka tahu, bahwa wanita itu lebih memilih untuk melepas semua dan kembali menjadi manusia merdeka seperti sebelumnya.“Senyumlah, kamu akan masuk surat kabar dan media lainnya di seluruh negeri,” gumam Enrico memaksa Lynea untuk melepaskan wajah gundahnya.“Aku sudah tersenyum sejak sejam yang lalu. Aku lelah, wajahku pegal rasanya!” protes Lynea masih memasang senyum kaku di wajahnya.
Ketiga manusia yang tengah bertemu dalam suasana serba canggung itu saling menatap. Enrico terlihat begitu menggoda iman para kaum hawa ketika rahang kotak tegasnya berpadu serasi dengan jas dan dasi berwarna biru tua senada. Mata cokelatnya terus memandang Gabriel dengan pernyataan tidak senang. Lynea berusaha untuk tetap tenang meski dalam hatinya sangat khawatir dengan apa yang bisa dilakukan oleh tunangannya. Ia merasa bingung, karena sebelum ini Enrico telah membebaskan dirinya untuk berhubungan dengan Gabriel. “Maaf, kalau saya membuat Anda tidak nyaman. Saya hanya berbincang dengan Lynea,” jawab Gabriel setelah ia berhasil menguasai perasaan gugupnya. “Ah, jangan berlebihan! Untuk apa saya merasa tidak nyaman? Kehadiransl seorang dokter seperti Anda tidak ada pengaruhnya pada diriku!” kilah Enrico tertawa ketus. “Aku hanya ingin mengingatkan Lynea, bahwa ia harus melahirkan anakku! Jadi, kalau kalian ingin bercinta, pastikan tunanganku ini tida
Ada pepatah yang mengatakan jangan membangunkan singa tidur. Bila ia bangun, maka kita sendiri yang akan berada dalam bahaya. Malam ini, seperti itulah perasaan Lynea setelah dengan sukses melempar cincin pertunangannya dan mengenai wajah Enrico persis di pelipisnya. Kedua mata Tuan Muda De Luca itu memerah, menahan amarah. Giginya gemeretak seolah siap menerkam musuh yang begitu ganas di depan. Kedua tangannya mengepal di samping tubuh, siap untuk melukai siapa yang berani menyerang. “Ma-maaf … maafkan a-aku … maaf …,” ucap Lynea terbata-bata. Ia sungguh menyesali ketidak mampuannya menahan emosi terhadap Enrico. “Kurang ajar kamu!” maki Enrico kembali menggebrak meja. Dua buah gelas yang sudah ada di pinggir meja akhirnya terjatuh dan pecah berserakan di lantai. Suara pecahan gelas membuat Lynea melompat kaget sekaligus takut. Ia mundur beberapa langkah dengan gemetar. Ketika tumitnya menyentuh tembok, ia terpaksa berhenti karena sudah tidak ada lag
Pepatah berkata, cinta sejati hanya datang satu kali. Ketika ia memasuki relung hati, seseorang akan mengalami malam-malam meresahkan karena rindu. Ia juga akan mengalami siang penuh gundah akibat tidak dapat bersama orang yang dicintainya.Kemudian, bila cinta sejati itu menetap, maka berbahagialah orang tesebut dan dunianya terasa lengkap sudah. Namun, dikala cinta sejati itu pergi, maka ia akan meratap pilu dan berubah menjadi sosok pribadi yang berbeda dari sebelumnya.Apa yang Lynea dengar dari Maddy pagi ini merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan. Ia sama sekali belum pernah mendengar cerita ini dari siapa pun juga. Selama menjadi perawat Fransiscus sampai telah menjadi tunangan Enrico, yang ia dengar dan lihat hanyalah betapa Tuan Muda De Luca itu merupakan seorang “player” yang tidak berhati sama sekali.“Kamu tahu dari mana cerita ini?” tanya Lynea pada Maddy.“Saya dulu adalah sopir untuk Elena. Tuan Enrico menug
Sudah hampir satu tahun sejak Lynea menandatangani surat perceraiannya. Ia tetap tinggal di rumahnya yang berada di desa kecil, kota San Aguira. Bryant memilih untuk tetap bekerja di kota San Angelo dan menjadi kepala keamanan untuk kantor utama Maximo Corporation. Setiap dua atau tiga minggu sekali ia selalu pulang menemui Lynea dan keponakannya. Kabar tentang Enrico sering diceritakan oleh Bryant. Namun demikian, Lynea tidak pernah terlalu bersemangat untuk mendengarkannya. Bagaimana ia masih menyimpan luka dan harapan yang tak pernah pudar terhadap hubungan mereka, kadang membuat hatinya semakin sakit. Enrico pun masih sering menanyakan pada Bryant bagaimana kondisi Lynea dan David. Setiap Bryant kembali ke desa, Enrico selalu membawakan hadiah-hadiah mahal untuk anaknya. Kata Bryant, Enrico selalu menanyakan apakah kini Lynea sudah memiliki tambatan hati yang baru? Setiap mendengar bahwa Lynea masih sendiri, Tuan Besar De Luca hanya terdiam kemudi
Dalam temaram kendaraan menuju kantor polisi, Lynea menatap tak percaya pada selembar kertas di tangannya. Enrico setuju untuk bercerai dengannya.“Apakahah dia bersalah? Kamu yang memaksa bercerai, padahal dia hampir gila karena kamu pergi!” Kembali Romario menyindir secara terang-terangan.“Paman, ayolah bantu aku! Lalu sekarang aku harus bagaimana?” rengek Lynea kesal. Sampai kapan ia dan Enrico harus seperti ini.“Aku tidak tahu. Aku hanya pengacara. Kalian yang menikah. Berbicaralah satu sama lain, hati ke hati.”“Kenapa dia tidak datang malam ini? Apa dia tidak tahu kalau aku hampir mati? Apa dia tidak sadar pacarnya mau membunuhku, dan kini pacarnya itu sudah mati?” gusar Lynea.“Telepon saja langsung. Tanyakan sendiri,” jawab Romario santai. “Aku teleponkan Enrico untukmu saat ini juga.”Hati Lynea berdetak lebih cepat. Debaran rindu atau rasa bersalah menjadi sa
Cinta, sebuah rasa sejuta cerita Madu pelepas dahaga Racun pembunuh jiwa Hidup mati karenanya Cinta, mendatangkan obsesi Untuk saling memiliki Tak rela bila harus berakhir Sabit kalam menjelma tahir “Kamu baik-baik saja, Lyn?” Gabriel terengah-engah datang, langsung memeluk kekasihnya. Belum bisa mengucap apa-apa karena rasa shock yang bergulir sepanjang hari, yang ditanya hanya terdiam berlinang kepedihan. “Semua sudah berakhir, Lyn. Besok kita akan pergi meninggalkan ini semua. Hanya kamu, aku, dan anak-anak kita,” lanjut Gabriel mendekap erat. Tubuh yang bergetar, hati yang dingin, dan kunci kebahagiaan yang telah entah kemana. Lynea tertegun menatap sang dokter dengan hampa. “Aku … ti-tidak bisa … ikut de-denganmu,” gumamnya datar, ringan, dan gamang. “Apa maksudmu? Kita sudah berjanji untuk saling setia dan bersama selamanya! Baru tadi pagi kamu dan aku menyusuri sungai masa
Pandang Lynea mengabur. Rasanya semua ini terlalu berat untuk dijalani dalam waktu satu hari. Apakah penderitaan akan berakhir? Mengapa dunia begitu kejam padanya?Dimanakah bahagia itu? Apakah memang benar ada wujud nyata dari sebuah kata tersebut? Kalau memang hidupnya berhak merasakan, kenapa semua sulit sekali didapatkan?“Ga-Gabriel sudah memiliki i-istri? Sejak ka-kapan kalian me-menikah?” Terbata-bata dan bergetar ia bertanya.Lagi, air mata mengalir begitu saja. Rasa itu bahkan seperti sudah mati. Hancur berkeping, terserak di atas tanah begitu saja menunggu gersang.“Sejak lima tahun lalu, Nyonya,” jawab Avril mulai berkaca-kaca pada matanya.“Hai, Kristin. Ayo, ikut Tante. Kita lihat adek bayi, mau?” Jenna mengajak gadis cilik itu menjauh dari dua wanita dewasa yang akan segera runtuh bersamaan.Kristin melirik pada ibunya. Ketika sang ibu menganggukkan kepala, ia menerima uluran tangan Jenna dan
Ombak tenang menghiasi sungai kecil. Dua anak Adam menyusuri perlahan. Sang wanita membiarkan tangannya digenggam erat oleh teman prianya. Wajah mereka berseri, tidak kalah indah dengan gaung alam dan udara senja.“Kamu bahagia atau tidak, Lyn?” tanya Gabriel menatap begitu lembut.“Bersamamu? Aku bahagia. Selama ini aku sudah salah arah,” jawab Lynea tersenyum lalu mengacak-acak sedikit rambut teman masa kecilnya.Tiba-tiba Gabriel berlutut di hadapannya. Tangan kanan mengambil sesuatu dari kantong jaket. Sebuah kotak kain mungil berwarna biru tua.“Aku tahu kamu masih menjadi istri orang dan sedang dalam proses cerai, tetapi aku begitu terobsesi dan jatuh cinta padamu,” ucap Gabriel. Perlahan ia membuka kotak itu.Sebuah cincin emas putih dengan berlian mungil berbentuk hati di tengahnya dipersembahkan untuk Lynea.“Maukah kamu menikah denganku? Be my wife, for all eternity,” pintanya memberi
Enough is enough, begitu kata pepatah. Cukup sudah semua ini membuat hidup Lynea begitu kacau dan naik turun seperti roller coaster. Tidak ada lagi yang harus dipikirikan. Dua kali sudah Enrico bercinta dengan Elena saat masih menyandang status sebagai suaminya. “Terima kasih karena telah membuka mataku, Elena. Kini aku mengetahui, seperti apa suamiku sebenarnya. Kamu bisa mengambilnya. Aku tidak butuh lelaki yang tidak setia padaku.” Lynea menegakkan kepala, berbicara dengan anggun dan tegas. Jika harga diri adalah satu-satunya yang tersisa dari dirinya, maka ia akan menjaganya dengan sebaik mungkin. Tidak ada yang boleh menghancurkan seutas harga diri tersebut. “Lyn, aku minta maaf,” pinta Enrico berniat mengikuti langkah istrinya yang mulai meninggalkan ruangan. Lynea tidak menoleh sama sekali, apa lagi menjawab. Baginya keberadaan Enrico tidak lebih dari sebuah kisah usang. Terus saja berulang tanpa ada akhir bahagia. “Kamu! Wanita ular!”
Sekian pasang mata menatap cemas ketika pintu ruang operasi dibuka dan seorang perawat keluar memanggil keluarga Alonzo. Felix segera berdiri dan maju menghampiri sang perawat.“Saya kakaknya,” ucapnya.“Operasi Tuan ALonzo telah selesai. Ternyata ada tiga peluru yang masuk dalam tubuhnya.”“Apakah Alonzo hidup?” Enrico menyela.“Beliau telah melewati masa kritis selama dua jam terakhir. Tubuhnya menunjukkan repson yang baik terhadap obat-obatan yang kami berikan. Kini kondisinya sudah stabil, tapi masih dalam bius total sampai dua hari ke depan.”“Terima kasih, Tuhan!” jerit Lynea melompat dan memeluk Enrico.Dia lupa kalau sedang menjauhi sang suami. Semua kembali bernapas lega mendengar kabar baik ini. Ketegangan seketika menghilang. Felix menitikkan air mata bahagia, dan langsung di seka oleh jemarinya. Tidak ada air mata bagi lelaki tangguh yang melewati berbagai peperangan. Na
“Alonzo! Bangun, buka matamu! Alonzo, ayolah! Bangun, bangun! Kamu tidak boleh pergi dengan cara seperti ini!” Enrico menepuk-nepuk pipi orang kepercayaan dan sahabat terbaiknya. “Siapkan helikopter!” seru Felix kepada anak buahnya melalui speaker telinga. “Paramedik!” teriak Kapten Abrahm berulang. Orang-orang berbaju putih berlambang palang merah datang, membawa tandu dan kotak pertolongan pertama. Mereka segera menekan luka tembak di dada Alonzo dan menutupnya dengan perban. Tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu kemudian diangkat oleh empat orang ke atas tandu. “Parkir helikopter di halaman belakang saja! Adikku harus ke rumah sakit saat ini juga!” Felix terus memerintah anak buahnya. Ketika mereka melintas di antara kursi-kursi sidang, jenazah Viery sedang tergeletak di atas lantai dengan darah menggenang sangat banyak. Alessia berlutut di samping tubuh sang kakak yang sudah tidak bernyawa. Ia menangis dan berteriak, sangat memilukan.
“Enrico?” tanya Gabriel melirik ke ponsel Lynea.“Hmm, dia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin.”“Kamu benar-benar masih cinta padanya? Orang seperti dia, Lyn?”Lynea terdiam. Ia sendiri tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Ada sesuatu yang membuatnya begitu terikat pada sang suami, dan itu bukan hanya karena Enrico adalah ayah dari putranya. Seolah ada aura khusus yang membuat dirinya, dan juga ratusan wanita lain tidak bisa berhenti mencintainya.Ya, dia memang kaya raya, tapi Lynea tidak pernah memedulikan itu semua. Tampan? Sangat! Akan tetapi, Gabriel pun memiliki wajah baby face yang diidolakan para dokter wanita di rumah sakit.Enrico memiliki jiwa yang misterius. Di sana, ada kekerasan, tetapi juga kelembutan. Penuh dendam, namun juga mencari kedamaian. Serba kekerasan, hanya saja ia juga begitu mencintai istrinya.“Aku tidak tahu, Gabriel. Semua ini terlalu menyesakkan dan membingun