Suasana di kamar Enrico benar-benar kacau. Bila sebelum ini hanya suara erangan dan desah kenikmatan yang muncul, malam ini telah berganti dengan jerit tangis dan ketakutan.
Alonzo sangat iba melihat Lynea diperlakukan kasar oleh Tuan Mudanya. Ia ingin melerai dan melarang Enrico agar tidak menyakiti wanita manis itu, tapi ia tidak ada kuasa sama sekali.
Lynea menjerit sejadi-jadinya. Ia langsung berdiri dan berlindung di balik tubuh besar Alonzo. Namun, Enrico tidak peduli. Ia seperti hewan buas yang terus mengejar mangsa di depan mata.
"Aku tidak mau!" jerit Lynea makin menangis dan ketakutan, “jangan tarik bajuku! Jangan perkosa aku!”
Alonzo akhirnya memberanikan diri untuk melindungi Lynea. Ia sedikit menghalangi gerak Enrico dengan menyembunyikan separuh tubuh wanita itu di belakangnya.
“Maaf, Tuan. Tapi Nona Lynea belum pernah memiliki kekasih sebelumnya,” sela Alonzo mencoba membuat tuannya berhenti dan memahami kondisi Lynea yang sedang shock.“Ia tidak pernah berhubungan dengan lelaki, seperti yang Tuan ketahui selama ini. Maafkan dia, Tuan,” pinta Alonzo menunduk, tidak berani menatap wajah tuannya.
Enrico tertegun. Wajahnya terperangah tidak percaya. Seorang wanita usia dua puluh lima tahun tidak pernah memiliki seorang kekasih?
“Bagaimana mungkin kamu tidak pernah memiliki kekasih? Memang berapa umurmu? Apa kamu tidak menyukai lelaki?” Enrico masih terus mengamuk. “Aku tidak mau sembarangan memilih lelaki!” seru Lynea sangat jengkel dengan ucapan-ucapan lawan bicaranya. “Aku tidak peduli! Pokoknya kamu harus menikah denganku!” Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari saku bajunya lalu memencet sebuah nomor telepon. “Sedang apa Bryant Stefanson saat ini?” Enrico bertanya dengan nada yang sangat dingin. “Hentikan!” Lynea berhenti menangis dan segera berlari menuju calon suaminya. “Oh, dia sedang mengelap meja. Kamu sudah memastikan sepeda motornya baik-baik saja?” lanjut Enrico tersenyum sinis. “Hentikan! Jangan sakiti adikku!” mohon Lynea spontan memukuli dada bidang Enrico. Lelaki berambut cokelat keemasan ini menghentikan sambungan telepon. Jemarinya sigap merengkuh kedua tangan Lynea yang sedang beradu dengan dadanya.“Aku tidak ingin mendengar alasan pembatalan dalam bentuk apa pun darimu!” tegasnya.
Kedua bola mata mereka beradu pandang. Dalam sekian detik itu, perasaan Lynea terhanyut ke dalam sebuah hamparan tanah tepi pantai tanpa batas. Seperti itulah warna mata Enrico yang cokelat terang. Begitu indah untuk dilihat, tetapi begitu kejam untuk dikagumi. “Alonzo! Siapkan pesta pertunangan!” serunya masih terus merengkuh kedua tangan Lynea di dadanya.“Pesta pertunangan?” Lynea tak mengerti. “Bukankah sebelum pernikahan, ada pertunangan? Apa kamu hidup di planet Mars selama ini?” geram Enrico menggelengkan kepala. Lynea hanya bisa membatin, mengira-ngira apakah urat bahagia lelaki ini sudah putus? Sejak tadi yang ia lakukan hanyalah berteriak dan marah-marah saja. Dengan perangai seperti ini mengapa begitu banyak wanita luluh dan mau saja diajak tidur meski hanya semalam? “Aku kira kita akan langsung menikah?” “Tidak! Aku ingin meyakinkan Paman Roma bahwa kamu dan aku, telah jatuh cinta.”“Untuk apa?”“Tidakkah kamu dengar, dia tadi berkata akan memantau pernikahan kita? Demi Jupiter! Berapa IQ-mu? Apakah kamu tidak bisa berpikir sedikit saja?” Lynea terdiam. Ia sudah pasrah akan semua keinginan Tuan Muda sang pangeran kerajaan De Luca.
Jengah dimaki dan dihina, ia menarik tangannya dari genggaman jemari Enrico. Jantung Lynea berdetak cepat ketika jemari itu ternyata menolak untuk melepaskan.
“Semua ini akan berakhir dengan cepat, tanpa kamu sadari. Sampai saat itu, jangan membuat aku susah. Mengerti?” ucap Enrico bernada sedikit mengancam sambil perlahan melepas tangan Lynea. “Saya yakin Nona Lynea mengerti, Tuan. Sekedar saran, mungkin mulai saat ini Tuan dan Nona bisa saling memanggil layaknya sepasang kekasih?” Tiba-tiba Alonzo menyela dan memberikan ide yang kemudian disetujui oleh Enrico.“Kalau begitu, bisakah dimulai dengan memanggilku dengan benar? Namaku Lynea, Tuan.” “Ah, susah sekali diucapkan!” gerutu Enrico mendengus. “Ly-nea? Benar?” Lynea mengangguk, sedikit tersenyum. Kini giliran Enrico yang menentukan seperti apa ia akan dipanggil. “Kamu boleh panggil aku ... Enrico,” gumamnya menghela napas. “Demi apa aku membiarkan seseorang seperti kamu memanggilku hanya dengan Enrico. Aku bersumpah, Kakek! Di akherat nanti aku akan mencarimu!” lanjutnya kembali mengumpat pada udara kosong.
Demikian rendahnya seorang Lynea di hadapan Enrico sehingga ia terus mengutuk dan melampiaskan kekesalannya dengan beragam caci maki.
Alonzo masih tetap berdiri di belakang kedua pasangan itu. Senyuman kecil terbit di ujung bibirnya melihat Enrico akan segera menikahi Lynea.
***
Jam weker berbunyi dari ponsel Lynea. Wanita yang tengah dirundung nestapa dan hilang kebebasannya ini membuka mata. Ia memalingkan wajah ke kanan, melihat sedikit cahaya matahari mulai menyapa masuk sedikit melalui celah tirai tebal.
Pikirannya kembali memastikan bahwa ini semua bukanlah mimpi. Bahwa ia harus menikah dan mengandung anak dari seorang Enrico De Luca, atau merasakan kepedihan kehilangan anggota keluarga.
Dengan malas ia mengangkat tangan, meregangkan tubuh lalu duduk di atas kasur. Kepalanya sedikit pening karena stress yang mulai merasuk. Istana ini begitu megah, namun begitu menyesakkan dada.Hari ini, Lynea harus pergi bersama Enrico untuk mengukur baju pertunangan mereka di Eddy Milano. Sebuah designer gaun pengantin yang sangat terkenal di seluruh negeri.
Bunyi ketukan pintu tetiba terdengar dengan nyaring.“Nona, ini saya, Alonzo. Boleh saya masuk?”
“Ya! Masuklah!” Kedua kaki Lynea mulai menapaki lantai kamar.Gaun tidur tipis transparan dipadu sinar mentari pagi membuat siluet badannya terlihat memukau dengan segala lekukan indah. Senyum ramahnya muncul menyapa rekan sejawat yang selalu menjadi pelindung di hadapan calon suami playboy-nya.
Alonzo menundukkan kepala melihat calon istri majikannya begitu mempesona meskipun baru saja bangun dari tidurnya.“Tuan Enrico menginginkan Anda untuk mendatangi kamarnya,” ucapnya terus menunduk.
Lynea menghela napas, membuang segenggam rasa berat di setiap tarikan napas. Ia mengambil jubah tidur, mengikatkan pada pinggang lalu melangkah keluar. “Tuan mencariku?” segera ia bertanya begitu menginjakkan kaki di kamar Enrico. “Baju yang kupesan untukmu sudah datang. Pakai ini kalau kamu pergi denganku,” jawab lelaki itu tanpa menoleh sama sekali. Ia hanya menunjuk ke pojok ruangan."Aku tidak ingin ditertawakan orang karena akan menikahi perempuan desa dan kampungan sepertimu," lanjutnya ketus.
Mata Lynea memandang arah telunjuk Enrico menunjuk ke pojok kamar. Di sana ada begitu banyak tumpukan baju mewah dan seksi untuk ia pakai. Keningnya berkerut karena perasaan risih harus memakai baju dengan belahan dada terbuka. Belum lagi panjang rok yang semuanya sepuluh atau lima belas centimeter di atas lutut. “Aku harus memakai ini? Tapi, mereka terlalu seksi untukku. Aku tidak mau,” tolaknya cepat dan segera membalikkan badan, ingin cepat meninggalkan ruangan. “Alonzo!” seru Enrico kesal tapi masih tidak melihat sama sekali pada Lynea.Alonzo segera memasang badan di depan langkah Lynea.
“Nona, Anda akan tetap cantik menggunakan gaun tersebut. Mereka berasal dari designer ternama. Ada Valentino, Versace, Gucci dan lain sebagainya,” bujuk Alonzo mencegah kepergian Lynea.Wajahnya menegaskan bahwa ia tidak ada pilihan selain menerimanya.
“Ambil semua baju itu, lalu siap jam sembilan. Kita akan berangkat mengukur pakaian pertunangan. Paham?” tegas Enrico, kali ini sedikit menoleh pada Lynea. Jubah tidur wanita perawat kakeknya itu terbuka lebar di daerah dada. Mata nakal Enrico tak kuasa menolak. Keduanya berhenti, mulai menikmati sembulan kenyal yang hanya tertutup kain mengkilat juga tipis. Lynea mengetahui kemana lirikan calon suaminya, dan ia merasa risih dengan hal itu.Ia tidak ingin tubuhnya disapu dengan pandangan Enrico yang menghadirkan rasa mual. Segera ia menutup dadanya yang memang lebih besar dari wanita pada umumnya. Ia kencangkan ikatan di pinggang sehingga jubah tidurnya kini tertarik ke kanan dan ke kiri, menjadikan dadanya tertutup lebih banyak.
Jemari lentik Lynea kemudian mengambil tumpukan pakaian baru tersebut. Alonzo segera membantu begitu melihat ia kesulitan membawa semua.
“Jangan lupa jam sembilan sudah siap di depan pintuku,” gumam Enrico tenang, membuang tatap ke layar ponsel.“Iya, Enrico!” jawab Lynea sengaja meninggikan suaranya karena jengkel.“Kamu panggil aku apa barusan?” Tuan Muda gagah itu langsung berdiri dan berjalan mendekati Lynea.Mata yang dalam dan tajam menatapnya seakan hendak menyerang melalui pandangan.
“Kemarin aku bo-boleh memanggilmu Enrico, bu-bukan?” jelas Lynea membela diri sambil sedikit takut. Kedua tangannya masih penuh dengan tumpukan pakaian, membuatnya kadang hilang keseimbangan. Lelaki di depannya diam saja melihat Lynea beberapa kali hampir hilang keseimbangan lalu terombang-ambing ke kanan dan ke kiri.Mendengar jawaban itu, Enrico langsung menghentikan langkahnya. Ia baru saja ingat, memang benar kalau sekarang Lynea diperbolehkan memanggilnya hanya berdasarkan nama.Meskipun demikan, tetap saja Enrico tidak menyukainya.
“Kalau begitu, sebaiknya kita tidak usah sering berbicara. Aku tidak suka mendengar kamu memanggilku tanpa kata tuan!” sinisnya begitu sombong dan angkuh. Lynea hanya tetap berdiri dengan tumpukan baju di kedua tangannya. Mendengar ucapan Enrico yang terus saja merendahkan, seperti telah menjadi kebiasaan baru. Ia tidak menjawab apa pun.Sementara itu, Alonzo yang sudah selesai membawa beberapa baju ke dalam kamar, kembali lagi untuk mengambil seluruh tumpukan baju di tangan Lynea.
“Saya bawakan, Nona,” ucapnya pelan.“Terima kasih, Tuan Alonzo. Kamu memang sangat gentleman,” puji Lynea menyindir seseorang.Kata Tuan dengan sengaja ia pertegas dengan suara keras pula. Usahanya membuahkan hasil.
“Heh? Kamu panggil Alonzo dengan kata Tuan? Apa-apaan? Tidak boleh! Dia bukan Tuan! Dia hanya orang suruhan! Jangan merendahkan aku!” protes Enrico kembali berjalan mendekati Lynea. Kini tubuh tinggi dan tegap itu berada persis di hadapan Lynea. Deru napas Enrico terdengar memburu karena emosi. Membuat sang wanita keheranan. Hanya karena sebuah kata sapaan yaitu Tuan, darahnya sudah memanas. Kembali aroma parfum Enrico melesat masuk ke dalam khayalan Lynea. Imajinasinya berdebar, membayangkan apa saja yang selama ini telah dilakukan oleh lelaki itu di atas ranjang. Alonzo yang mengetahui Tuan Mudanya sedang emosi kembali berusaha menenangkan suasana.“Nona Lynea hanya asal bicara, Tuan. Kebiasaannya dahulu memanggil saya seperti itu. Setelah ini, saya yakin beliau tidak akan memanggil lagi seperti itu. Benar begitu, Nona Lynea?” ucapnya meredakan emosi Enrico. “Ya, terserah saja,” gumam Lynea malas berdebat dan melangkah mundur lalu membalikkan badan, menuju kamarnya kembali. Enrico memandangi tubuh sintal Lynea dari belakang. Mata lelaki itu mengetahui ada sebuah keseksian dari calon istrinya.Dada yang membusung besar, demikian pula dengan bongkahan padat di bawah pinggangnya. Namun, tetap saja baginya wanita itu tidak sepadan dengan keberadaannya sebagai Tuan Muda kerajaan De Luca.
***“Wah! Luar biasa cantik tunangan Anda!” seru Eddy Milano bertepuk tangan saat Lynea keluar dari kamar ganti.
Enrico tidak menjawab, ia hanya tajam memandangi calon istrinya. Gaun berwarna keemasan terang seperti cahaya mentari pagi, begitu sempurna melekat pada tubuh Lynea.
Memakai aksen klasik seperti putri raja dengan bordiran renda di ujung bagian kaki, menjadikan keanggunan pemakainya semakin nampak jelas. Bagian bawah gaun agak mengembang dan memberikan kesan mewah. Dipadu dengan gaun tersebut adalah rambut hitam lebat Lynea yang digulung ke atas, memamerkan leher jenjang miliknya.
“Kamu menyukainya, Enrico?” tanya Lynea sengaja membuka percakapan dengan kembali memanggil nama sang Tuan Muda. “Lumayan,” jawab Enrico singkat.
Untuk pertama kalinya sorot mata Enrico terlihat lembut, tidak tajam dan menakutkan.
Lynea tersipu ditatap seperti itu. Debaran jantungnya mendadak meningkat pesat.
"BERSAMBUNG"
(ON NEXT CHAPTER)
Wajah Lynea seketika pucat pasi saat melihat David mengambil sepucuk senjata api dari dalam jasnya. Dengan gemetar ia bertanya pada Enrico, “A-apa yang ka-kamu lakukan?”
***
Eddy Milano adalah seorang designer kenamaan yang dipilih Enrico untuk membuat pakaian pertunangan mereka. Nama besarnya sudah terkenal di seluruh penjuru negeri. Hanya orang berlimpah harta saja yang mampu membeli masterpiece darinya.Lynea selama ini hanya bisa membayangkan memakai salah satu gaun Eddy Milano untuk acara pernikahannya. Sama sekali ia tidak menyangka, bahwa ia akan berada di sini berbicara langsung dengan sang designer. Terlebih lagi, betapa kehadirannya di situ sangat dihormati. Semua tentu tidak lepas dari keberadaan Enrico De Luca bersamanya.“Lumayan,” jawab Enrico singkat, mengomentari tampilan Lynea.“Ah, kalau lumayan, maka aku tidak setuju! Ayo kita cari gaun yang lain saja kalau begitu!” sela Eddy Milano tampak kecewa.“Untuk seorang Enrico De Luca, kecantikan adalah kesempurnaan. Ayo, Sayangku! Mari kita cari gaun lain yang akan digandrungi tunanganmu!” ajak sang designer me
Jantung Enrico semakin kencang berdetak ketika ia melihat Lynea sudah tidak sadarkan diri. Tangan wanita itu terus mengucurkan tetesan darah akibat luka sobek. Perasaan marah semakin menguasai emosinya.“Kalau kalian tidak bisa mendapatkan orang tadi dalam waktu satu minggu ke depan, akan kubuang tubuh kalian ke danau di halaman belakang!” teriaknya mengancam.Alonzo dan David saling pandang dengan mimik ketakutan. Keduanya pun bingung bagaimana seseorang bisa ternyata sudah ada di dalam kamar mandi wanita menunggu kedatangan Lynea di sana.“Saya curiga ada mata-mata di antara anak buah, Tuan. Siapa saja yang tahu kalau Nona Lynea akan bersama Tuan mendatangi Bellevue siang ini?” tanya Alonzo menganalisa.“Mana aku tahu? Itu tugas kalian, bukan?” hardik sang Tuan Muda menggebrak kaca jendela saking marahnya, sampai kaca tersebut bergetar.Seketika suasana kembali menjadi hening. Baik
Kamar perawatan VVIP Rumah Sakit Mariano Galli telah kedatangan seorang pasien penting yaitu calon istri Enrico De Luca, ahli waris dari kerajaan bisnis keluarga besar De Luca. Seorang dokter bernama Gabriel muncul di saat Lynea merasa hari-hari kelamnya tidak akan berakhir. Kehadirannya seolah memberikan harapan bagi mantan perawat itu, bahwa hari-hari ke depan akan lebih baik. “Selamat saya ucapkan untuk kalian berdua yang akan segera menikah,” ucap Gabriel tersenyum kepada Lynea. “Dokter datang untuk memeriksa bukan? Segera periksa, lalu pergilah!” hardik Enrico tajam menatap Gabriel. Dokter muda itu menjadi salah tingkah. Tentu sebelumnya ia sudah diberi tahu bahwa pasien di kamar ini adalah VVIP sehingga ia harus memberikan pelayanan yang terbaik. Mendapati sikap Enrico seperti ini, ia tidak ingin membantah atau mencari masalah. Gabriel segera mendekat dan memeriksa kondisi Lynea. Ia mendengarkan degup jantung kekasih masa lalunya melalui
Suasana remang malam di dalam kamar Enrico terasa semakin hangat karena ia sedang bercinta dengan seorang wanita yang baru saja ia kenal dua hari lalu. Mereka berkenalan melalui salah seorang rekan bisnisnya saat makan siang bersama di sebuah restoran. Naima, nama wanita itu. Rambutnya merah kecokelatan bergelombang. Kulitnya putih bersih dengan bibir tebal merah alami. Wanita seperti ini yang selalu digandrungi oleh Enrico. “Aku ingin bersamamu selalu, Enrico,” bisik Elena saat Enrico mulai mencumbunya. “Aaahhh… Aaahh… Yeaahh…!” desahnya semakin menggeliat di atas ranjang. Mendengar suara kenikmatan Naima membuat Enrico semakin bergairah dan bersemangat melakukan berbagai serangan. Lidahnya memainkan kedua gundukan kenyal di dada Naima. Saat mencapai sebuah lingkaran kecil berwarna merah muda, ia berhenti dan mulai menghisapnya perlahan. “Damn! Aduuuuh, aku … aaah … enak sekali!” racau Naima menarik-narik sprei dengan jemari lentiknya. Kakiny
Wajah Gabriel mengisyaratkan kekhawatiran terhadap keselamatan Lynea. Ia telah mendengar dari berbagai orang tentang sepak terjang Enrico sebagai Pangeran De Luca yang sangat dimanja dan dibiarkan berbuat apa pun yang ia inginkan oleh mendiang Fransiscus. Dokter itu tidak percaya bahwa takdir mempertemukan mereka kembali, hanya untuk melihat kekasih masa kecilnya sudah akan dinikahi oleh seseorang yang menurutnya, sangat tidak pantas untuk mendapatkan Lynea. "Kamu terlalu baik untuk seseorang seperti Enrico De Luca. Hatimu terlalu bersih untuknya," cetus Gabriel berbisik. "Kalau saja aku memiliki mesin waktu, tentu aku akan kembali pada detik itu. Saat dimana aku harus pergi ...." Ia tak meneruskan kalimatnya. Lynea tersenyum pahit sambil memandang wajah prihatin Gabriel. Hatinya bersorak karena pada sorot mata lawan bicaranta itu, masih tersirat sebuah rasa cinta. "Berhati-hatilah, Lynea. Aku harap kamu bisa pergi dari keadaan ini," pun
Rangkaian bunga memenuhi berbagai sudut ruangan Party Hall di hotel bintang lima yang paling terkenal di seluruh kota San Angelo. Wanginya sungguh harum semerbak, menyenangkan bagi mereka yang tengah berkumpul untuk melihat dari dekat, seperti apa calon istri seorang Enrico De Luca. Wanita mana yang menurut mereka, sangat beruntung menjadi Nyonya Besar di kerajaan bisnis keluarga De Luca?Seandainya saja mereka tahu, bahwa segala kemewahan yang melekat pada diri Lynea saat ini tidak akan pernah bisa membuatnya bahagia secara penuh. Seandainya saja mereka tahu, bahwa wanita itu lebih memilih untuk melepas semua dan kembali menjadi manusia merdeka seperti sebelumnya.“Senyumlah, kamu akan masuk surat kabar dan media lainnya di seluruh negeri,” gumam Enrico memaksa Lynea untuk melepaskan wajah gundahnya.“Aku sudah tersenyum sejak sejam yang lalu. Aku lelah, wajahku pegal rasanya!” protes Lynea masih memasang senyum kaku di wajahnya.
Ketiga manusia yang tengah bertemu dalam suasana serba canggung itu saling menatap. Enrico terlihat begitu menggoda iman para kaum hawa ketika rahang kotak tegasnya berpadu serasi dengan jas dan dasi berwarna biru tua senada. Mata cokelatnya terus memandang Gabriel dengan pernyataan tidak senang. Lynea berusaha untuk tetap tenang meski dalam hatinya sangat khawatir dengan apa yang bisa dilakukan oleh tunangannya. Ia merasa bingung, karena sebelum ini Enrico telah membebaskan dirinya untuk berhubungan dengan Gabriel. “Maaf, kalau saya membuat Anda tidak nyaman. Saya hanya berbincang dengan Lynea,” jawab Gabriel setelah ia berhasil menguasai perasaan gugupnya. “Ah, jangan berlebihan! Untuk apa saya merasa tidak nyaman? Kehadiransl seorang dokter seperti Anda tidak ada pengaruhnya pada diriku!” kilah Enrico tertawa ketus. “Aku hanya ingin mengingatkan Lynea, bahwa ia harus melahirkan anakku! Jadi, kalau kalian ingin bercinta, pastikan tunanganku ini tida
Ada pepatah yang mengatakan jangan membangunkan singa tidur. Bila ia bangun, maka kita sendiri yang akan berada dalam bahaya. Malam ini, seperti itulah perasaan Lynea setelah dengan sukses melempar cincin pertunangannya dan mengenai wajah Enrico persis di pelipisnya. Kedua mata Tuan Muda De Luca itu memerah, menahan amarah. Giginya gemeretak seolah siap menerkam musuh yang begitu ganas di depan. Kedua tangannya mengepal di samping tubuh, siap untuk melukai siapa yang berani menyerang. “Ma-maaf … maafkan a-aku … maaf …,” ucap Lynea terbata-bata. Ia sungguh menyesali ketidak mampuannya menahan emosi terhadap Enrico. “Kurang ajar kamu!” maki Enrico kembali menggebrak meja. Dua buah gelas yang sudah ada di pinggir meja akhirnya terjatuh dan pecah berserakan di lantai. Suara pecahan gelas membuat Lynea melompat kaget sekaligus takut. Ia mundur beberapa langkah dengan gemetar. Ketika tumitnya menyentuh tembok, ia terpaksa berhenti karena sudah tidak ada lag
Sudah hampir satu tahun sejak Lynea menandatangani surat perceraiannya. Ia tetap tinggal di rumahnya yang berada di desa kecil, kota San Aguira. Bryant memilih untuk tetap bekerja di kota San Angelo dan menjadi kepala keamanan untuk kantor utama Maximo Corporation. Setiap dua atau tiga minggu sekali ia selalu pulang menemui Lynea dan keponakannya. Kabar tentang Enrico sering diceritakan oleh Bryant. Namun demikian, Lynea tidak pernah terlalu bersemangat untuk mendengarkannya. Bagaimana ia masih menyimpan luka dan harapan yang tak pernah pudar terhadap hubungan mereka, kadang membuat hatinya semakin sakit. Enrico pun masih sering menanyakan pada Bryant bagaimana kondisi Lynea dan David. Setiap Bryant kembali ke desa, Enrico selalu membawakan hadiah-hadiah mahal untuk anaknya. Kata Bryant, Enrico selalu menanyakan apakah kini Lynea sudah memiliki tambatan hati yang baru? Setiap mendengar bahwa Lynea masih sendiri, Tuan Besar De Luca hanya terdiam kemudi
Dalam temaram kendaraan menuju kantor polisi, Lynea menatap tak percaya pada selembar kertas di tangannya. Enrico setuju untuk bercerai dengannya.“Apakahah dia bersalah? Kamu yang memaksa bercerai, padahal dia hampir gila karena kamu pergi!” Kembali Romario menyindir secara terang-terangan.“Paman, ayolah bantu aku! Lalu sekarang aku harus bagaimana?” rengek Lynea kesal. Sampai kapan ia dan Enrico harus seperti ini.“Aku tidak tahu. Aku hanya pengacara. Kalian yang menikah. Berbicaralah satu sama lain, hati ke hati.”“Kenapa dia tidak datang malam ini? Apa dia tidak tahu kalau aku hampir mati? Apa dia tidak sadar pacarnya mau membunuhku, dan kini pacarnya itu sudah mati?” gusar Lynea.“Telepon saja langsung. Tanyakan sendiri,” jawab Romario santai. “Aku teleponkan Enrico untukmu saat ini juga.”Hati Lynea berdetak lebih cepat. Debaran rindu atau rasa bersalah menjadi sa
Cinta, sebuah rasa sejuta cerita Madu pelepas dahaga Racun pembunuh jiwa Hidup mati karenanya Cinta, mendatangkan obsesi Untuk saling memiliki Tak rela bila harus berakhir Sabit kalam menjelma tahir “Kamu baik-baik saja, Lyn?” Gabriel terengah-engah datang, langsung memeluk kekasihnya. Belum bisa mengucap apa-apa karena rasa shock yang bergulir sepanjang hari, yang ditanya hanya terdiam berlinang kepedihan. “Semua sudah berakhir, Lyn. Besok kita akan pergi meninggalkan ini semua. Hanya kamu, aku, dan anak-anak kita,” lanjut Gabriel mendekap erat. Tubuh yang bergetar, hati yang dingin, dan kunci kebahagiaan yang telah entah kemana. Lynea tertegun menatap sang dokter dengan hampa. “Aku … ti-tidak bisa … ikut de-denganmu,” gumamnya datar, ringan, dan gamang. “Apa maksudmu? Kita sudah berjanji untuk saling setia dan bersama selamanya! Baru tadi pagi kamu dan aku menyusuri sungai masa
Pandang Lynea mengabur. Rasanya semua ini terlalu berat untuk dijalani dalam waktu satu hari. Apakah penderitaan akan berakhir? Mengapa dunia begitu kejam padanya?Dimanakah bahagia itu? Apakah memang benar ada wujud nyata dari sebuah kata tersebut? Kalau memang hidupnya berhak merasakan, kenapa semua sulit sekali didapatkan?“Ga-Gabriel sudah memiliki i-istri? Sejak ka-kapan kalian me-menikah?” Terbata-bata dan bergetar ia bertanya.Lagi, air mata mengalir begitu saja. Rasa itu bahkan seperti sudah mati. Hancur berkeping, terserak di atas tanah begitu saja menunggu gersang.“Sejak lima tahun lalu, Nyonya,” jawab Avril mulai berkaca-kaca pada matanya.“Hai, Kristin. Ayo, ikut Tante. Kita lihat adek bayi, mau?” Jenna mengajak gadis cilik itu menjauh dari dua wanita dewasa yang akan segera runtuh bersamaan.Kristin melirik pada ibunya. Ketika sang ibu menganggukkan kepala, ia menerima uluran tangan Jenna dan
Ombak tenang menghiasi sungai kecil. Dua anak Adam menyusuri perlahan. Sang wanita membiarkan tangannya digenggam erat oleh teman prianya. Wajah mereka berseri, tidak kalah indah dengan gaung alam dan udara senja.“Kamu bahagia atau tidak, Lyn?” tanya Gabriel menatap begitu lembut.“Bersamamu? Aku bahagia. Selama ini aku sudah salah arah,” jawab Lynea tersenyum lalu mengacak-acak sedikit rambut teman masa kecilnya.Tiba-tiba Gabriel berlutut di hadapannya. Tangan kanan mengambil sesuatu dari kantong jaket. Sebuah kotak kain mungil berwarna biru tua.“Aku tahu kamu masih menjadi istri orang dan sedang dalam proses cerai, tetapi aku begitu terobsesi dan jatuh cinta padamu,” ucap Gabriel. Perlahan ia membuka kotak itu.Sebuah cincin emas putih dengan berlian mungil berbentuk hati di tengahnya dipersembahkan untuk Lynea.“Maukah kamu menikah denganku? Be my wife, for all eternity,” pintanya memberi
Enough is enough, begitu kata pepatah. Cukup sudah semua ini membuat hidup Lynea begitu kacau dan naik turun seperti roller coaster. Tidak ada lagi yang harus dipikirikan. Dua kali sudah Enrico bercinta dengan Elena saat masih menyandang status sebagai suaminya. “Terima kasih karena telah membuka mataku, Elena. Kini aku mengetahui, seperti apa suamiku sebenarnya. Kamu bisa mengambilnya. Aku tidak butuh lelaki yang tidak setia padaku.” Lynea menegakkan kepala, berbicara dengan anggun dan tegas. Jika harga diri adalah satu-satunya yang tersisa dari dirinya, maka ia akan menjaganya dengan sebaik mungkin. Tidak ada yang boleh menghancurkan seutas harga diri tersebut. “Lyn, aku minta maaf,” pinta Enrico berniat mengikuti langkah istrinya yang mulai meninggalkan ruangan. Lynea tidak menoleh sama sekali, apa lagi menjawab. Baginya keberadaan Enrico tidak lebih dari sebuah kisah usang. Terus saja berulang tanpa ada akhir bahagia. “Kamu! Wanita ular!”
Sekian pasang mata menatap cemas ketika pintu ruang operasi dibuka dan seorang perawat keluar memanggil keluarga Alonzo. Felix segera berdiri dan maju menghampiri sang perawat.“Saya kakaknya,” ucapnya.“Operasi Tuan ALonzo telah selesai. Ternyata ada tiga peluru yang masuk dalam tubuhnya.”“Apakah Alonzo hidup?” Enrico menyela.“Beliau telah melewati masa kritis selama dua jam terakhir. Tubuhnya menunjukkan repson yang baik terhadap obat-obatan yang kami berikan. Kini kondisinya sudah stabil, tapi masih dalam bius total sampai dua hari ke depan.”“Terima kasih, Tuhan!” jerit Lynea melompat dan memeluk Enrico.Dia lupa kalau sedang menjauhi sang suami. Semua kembali bernapas lega mendengar kabar baik ini. Ketegangan seketika menghilang. Felix menitikkan air mata bahagia, dan langsung di seka oleh jemarinya. Tidak ada air mata bagi lelaki tangguh yang melewati berbagai peperangan. Na
“Alonzo! Bangun, buka matamu! Alonzo, ayolah! Bangun, bangun! Kamu tidak boleh pergi dengan cara seperti ini!” Enrico menepuk-nepuk pipi orang kepercayaan dan sahabat terbaiknya. “Siapkan helikopter!” seru Felix kepada anak buahnya melalui speaker telinga. “Paramedik!” teriak Kapten Abrahm berulang. Orang-orang berbaju putih berlambang palang merah datang, membawa tandu dan kotak pertolongan pertama. Mereka segera menekan luka tembak di dada Alonzo dan menutupnya dengan perban. Tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu kemudian diangkat oleh empat orang ke atas tandu. “Parkir helikopter di halaman belakang saja! Adikku harus ke rumah sakit saat ini juga!” Felix terus memerintah anak buahnya. Ketika mereka melintas di antara kursi-kursi sidang, jenazah Viery sedang tergeletak di atas lantai dengan darah menggenang sangat banyak. Alessia berlutut di samping tubuh sang kakak yang sudah tidak bernyawa. Ia menangis dan berteriak, sangat memilukan.
“Enrico?” tanya Gabriel melirik ke ponsel Lynea.“Hmm, dia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin.”“Kamu benar-benar masih cinta padanya? Orang seperti dia, Lyn?”Lynea terdiam. Ia sendiri tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Ada sesuatu yang membuatnya begitu terikat pada sang suami, dan itu bukan hanya karena Enrico adalah ayah dari putranya. Seolah ada aura khusus yang membuat dirinya, dan juga ratusan wanita lain tidak bisa berhenti mencintainya.Ya, dia memang kaya raya, tapi Lynea tidak pernah memedulikan itu semua. Tampan? Sangat! Akan tetapi, Gabriel pun memiliki wajah baby face yang diidolakan para dokter wanita di rumah sakit.Enrico memiliki jiwa yang misterius. Di sana, ada kekerasan, tetapi juga kelembutan. Penuh dendam, namun juga mencari kedamaian. Serba kekerasan, hanya saja ia juga begitu mencintai istrinya.“Aku tidak tahu, Gabriel. Semua ini terlalu menyesakkan dan membingun